Minggu, 11 Desember 2016

The Secret Part One



Summary : “Sudahlah. Ini yang terbaik. Sasuke memang jauh lebih baik dariku,” aku Naruto yang membuat perut Gaara seperti disengat tawon. Jika Gaara yang ditanya, sudah pasti ia akan menjawab, “Naruto is the best and Sasuke is the worst,” “Apalagi dengan keadaanku yang sekarang, itu lebih tak memungkinkan lagi,” gumam Naruto lirih. Not Yaoi.
DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Author Note : Ide ini muncul saat otak lagi macet. Asli, lagi mentok. Nggak tahu mau diapain fic-fic Ai. Untung, masing-masing tinggal 1-2 chapter lagi dah tamat. Sambil nunggu ide ngalir lagi, fic nista ini Ai buat. Terinspirasi euforia pilkada yang lagi in.
Setting cerita ini saat Kakashi mau meletakkan jabatan sebagai hokage keenam.

Don't Like Don't Read

Chapter one

Naruto menatap dalam diam perdebatan sengit di dalam gedung hokage. Ia tak membutuhkan telinga nan tajam milik Akamaru untuk mengetahui apa yang mereka perdebatkan. Sungguh. Tanpa itu pun, ia sudah tahu. Mereka pasti tengah berdebat soal Kakashi yang berniat mengundurkan diri sebagai hokage keenam. 
Ini bukan sesuatu yang aneh sebetulnya. Tapi, masalahnya, Kakashi mengundurkan diri saat ia masih muda dan masih sangat pantas menyandang jabatan sebagai hokage. Karena itu Konoha gempar. Dan, puncaknya, para tetua dan pemimpin klan mengadakan rapat dadakan untuk membahas topic ini.  
Naruto menghembuskan nafasnya kasar di tempatnya berdiri di atas salah satu cabang pohon. Dia menggosok-gosok kedua tangannya satu sama lain untuk mengusir rasa dingin yang menggigit malam ini. Matanya masih setia menatap pintu gedung hokage yang sampai detik ini masih juga tertutup rapat. 

Ditilik dari lamanya rapat, pastilah pembicaraan mereka berjalan sangat alot. Meski, tentu saja Naruto tak tahu apa penyebabnya. ‘Tinggal bilang iya atau tidak, apa susahya sih?’ pikirnya sebal. Kecuali, jika mereka —para tetua dan pemimpin klan— membahas calon pengganti Kakashi. Nah, itu baru bisa dimaklumi.
Naruto tidak berharap ia akan terpilih sebagai hokage ketujuh seperti impiannya selama ini. Sungguh. Ia cukup tahu diri. Dia tak mungkin terpilih. Bahkan, walaupun ia berkampanye selama 360 hari, 24 jam nonstop betapa berbakatnya dan cocoknya ia sebagai hokage, ia tetap tak akan terpilih. Itu fakta. Bukan opini. 
 
Tak banyak yang berubah dengan persepsi penduduk Konoha padanya pasca perang dunia ninja keempat. Meskipun, ia sangat berperan penting dalam perang itu, mereka masih saja menatapnya sebelah mata, seolah-olah Naruto ini tak lebih dari kotoran di atas sepatu mereka. Hanya sedikit —mungkin hanya dalam hitungan jari tangannya— yang memandangnya sebagai Naruto Uzumaki. Dan daftar itu akan semakin menyusut, jika ditanya siapa orang yang benar-benar menerimanya dengan tangan terbuka. 
Naruto tidak mengada-ada. Ia tidak cukup buta untuk menyadari wajah-wajah tersiksa dari orang-orang yang terpaksa harus beramah tamah dengannya. Ia juga tahu, begitu Naruto pergi, mereka akan menghembuskan nafas lega. Tawa dan percakapan hangat mereka kembali begitu Naruto tak lagi ada diantara mereka. 
Hinata, satu-satunya wanita yang pernah jadi stalkernya dan pernah menyatakan cinta padanya dua kali, kini bahkan membalikkan punggungnya. Ia kini bergabung dengan Sakura dkk mendirikan Sasuke fans club. Yup, Hinata kini berbalik arah menjadi pemuja Sasuke yang kembali ke Konoha pasca perang dunia ninja. Bahkan, rumornya ia akan bersanding dengan Sasuke dalam waktu beberapa bulan ke depan.
Lalu, Naruto? Apa yang dirasakannya? Sakit? Tersinggung? Marah? Atau, kecewa? Jawabnya tidak. Ia tak merasakan apa-apa. Hatinya sudah beku untuk merasakan perasaan-perasaan negative itu. Oke jujur, ia sedikit kecewa. Bagaimana pun berpalingnya Hinata, membuat daftar orang-orang yang perduli padanya dari yang sedikit menjadi super sedikit. Wajar bukan, jika ia masih merasakan setitik rasa kecewa? 
Brakkk…! Terdengar suara pintu dibanting kuat-kuat. Terlalu lama melamun, membuat Naruto tak sadar, jika pintu gedung Hokage sudah terbuka sejak tadi. Satu per satu orang yang mengikuti rapat keluar ruangan. Naruto menengadahkan wajahnya ke atas, menghindari wajah-wajah yang keluar lewat pintu yang ditunggui Naruto sejak tadi. Setelah, tak ada lagi yang keluar, barulah Naruto mengembalikan perhatiannya.
Hup! Dalam satu kali lompatan, Naruto sudah menjejakkan kakinya ke tanah. Ia berjalan dengan santai, memasuki gedung hokage. Ia memberi salam sekadarnya pada Kotetsu dan Izumo yang masih setia dengan statusnya sebagai pengawal hokage. Ia memamerkan cengiran bodoh—ciri khasnya— sebelum menyapa hokagenya sekaligus mantan senseinya.
“Jangan marah-marah seperti itu, sensei! Nanti, sensei cepat tua lho.” Goda Naruto.
 
“Diam kau!” gerutu Kakashi sebal. Suasana hatinya memang sedang buruk. Terutama setelah rapat pemilihan hokage —sialan— yang baru itu berakhir. Ia bingung bagaimana menjelaskan kabar buruk ini pada Naruto, murid kesayangannya, jika…
“Sensei!..sensei..!” panggil Naruto sambil melambai-lambaikan tangannya dengan kurang ajar di depan mata Kakashi.
“Apa?” tanya Kakashi malas. 
“Sensei, tentang rapat tadi?”
“Maaf, Naruto! Maaf,” sesal Kakashi dengan wajah muram. Saat itulah, Naruto melihat mata senseinya berubah jadi keruh. Naruto bisa melihat penyesalan, kemarahan, dan kekecewaan dari netranya.


Naruto menghembuskan nafas perlahan. “Tak apa, sensei. Aku mengerti.” Kata Naruto yang bukannya menenangkan, tapi justru membuat Kakashi tambah murung. Ia merasa gagal sebagai seorang guru. “Ney, sensei. Bolehkah aku meminta sesuatu pada sensei, sebelum sensei tak lagi menjabat sebagai sensei?”
“Katakan saja!”
“Aku…” Naruto membisikkan permintaannya. Hanya Naruto dan Kakashi saja yang tahu apa permintaan Naruto hari itu. Suasana di kantor Kakashi menjadi hening untuk beberapa menit. “Baiklah, jika itu maumu, Naruto.” kata Kakashi terdengar tak rela. 
Naruto tersenyum. Sungguh-sungguh tersenyum dan bukannya senyum palsu seperti yang dipamerkannya selama ini. “Terima kasih, sensei.”
“Sama-sama Naruto. Hanya ini yang bisa ku lakukan untukmu. Semoga kau bahagia dan berhasil dengan mimpi barumu,” kata Kakashi dengan suara lirih.
Naruto mengangguk dan kembali memamerkan senyumnya sebelum undur diri dan menghilang dari hadapan Kakashi. Kakashi menatap pintu yang ditutup Naruto dengan tatapan sedih, menyesal, dan juga perasaan bersalah. Ia termenung, hanyut dalam kenangannya bersama Naruto. Ia berharap ia bisa bertahan dengan kenangan itu sebelum ia mati karena rindu.

…………………..*****……………………..

Gaara menatap Naruto penuh arti. “Kau yakin, Naruto?” tanyanya memastikan.
Naruto mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya. Matanya masih terpancang pada podium tempat Sasuke berpidato sebagai hokage ketujuh. Yup, Sasuke —si mantan missing nin yang tak pernah berkoar ke seluruh penjuru desa bahwa kelak ia akan menjadi seorang hokage— lah yang terpilih menjadi hokage menggantikan Kakashi. 
Naruto masih diam, memperhatikan sorak sorai para pendukungnya yang lebih banyak didominasi kaum hawa. Tawa kemenangan menggema ke seluruh penjuru desa seolah mereka memang menantikan Sasuke dilantik sebagai hokage yang baru. Di sela-sela pidatonya, Sasuke juga mengumumkan rencana pertunangannya dengan Hinata, sang pewaris dari klan Hyuga. Semua larut dalam perayaan itu, minus Naruto.
Naruto seperti biasanya tak pernah bisa larut dalam perayaan apapun di Konoha. Ia selalu jadi orang yang salah tempat dan pengacau suasana. Terlebih perayaan yang ini. Pasti sakitnya lebih bertubi-tubi. Pertama, hilangnya kesempatan meraih gelar hokage. Dan, kedua calon istri. ‘Semoga saja Naruto tidak berubah menjadi orang yang getir,’ pikir Gaara iba.
“Nar…Naruto…!” panggil Gaara dengan lembut mengguncang bahu Naruto. Ia berniat menghibur Naruto yang tengah berduka dan terpuruk, tapi Naruto sudah mengajaknya pergi. 

“Kita pergi,” kata Naruto dengan ekspresi datar dan juga dingin.
Gaara berjengit. Entah kenapa ia tak suka Naruto yang seperti ini. Naruto, baginya seperti matahari yang memberinya kehangatan di tengah kebencian penduduk Suna di masa silam. Sekarang, Naruto seperti bulan purnama yang tertutup mendung nan tebal, suram dan tak bercahaya. Ia tak suka itu. “Tapi…, mereka.” 

“Sudahlah. Ini yang terbaik. Sasuke memang jauh lebih baik dariku,” aku Naruto yang membuat perut Gaara seperti disengat tawon. Jika Gaara yang ditanya, sudah pasti ia akan menjawab, “Naruto is the best and Sasuke is the worst,” 
“Apalagi dengan keadaanku yang sekarang, itu lebih tak memungkinkan lagi,” gumam Naruto lirih menatap sendu pada pepohonan di hutan kematian yang terlihat di tempatnya berdiri. Ini salah satu rahasia terbesarnya yang ia simpan rapat-rapat selama ini. Hanya Gaara saja yang tahu hal ini. 

“Naruto,” gumam Gaara turut sedih.
“Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Yang terjadi biarlah terjadi. Tak ada yang perlu disesali. Lebih baik kita nikmati hidup ini dengan mencari mimpi yang baru,” kata Naruto berusaha tetap optimis dengan kondisinya yang hampir-hampir terpuruk. 
Gaara yang jarang —bisa dihitung dengan jari— tersenyum, memberikan senyuman terhangat dan terindahnya untuk Naruto, sahabatnya. Setelah itu, baik Gaara maupun Naruto meninggalkan Konoha, mungkin untuk selamanya.

……………………....*****…………………….

Sasuke menatap potret tim 7 di atas meja kerjanya. Dengan hari ini, sudah genap tujuh tahun lamanya, ia menjabat sebagai hokage. Suka dan duka sudah dilaluinya. Awalnya ia merasa bangga, menang, dan yeach bahagia. Impiannya untuk membangkitkan klannya, klan Uchiha akhirnya kesampaian. Tapi, akhir-akhir ini ia justru merasakan perasaan hampa. Ia merasa ada yang hilang darinya. Kekosongan itu semakin lama semakin besar dan menimbulkan ketidak puasan dalam hatinya. Hanya saja ia tak tahu itu apa? 
Mungkin karena tak ada Naruto di sisinya. Tanpa Naruto di sisinya, kemenangannya, keberhasilannya menjadi tidak ada artinya. Meski dikelilingi oleh banyak orang, ia justru merasakan kesepian. Tak ada satupun dari mereka yang bisa menggantikan kedudukan Naruto, bahkan Hinata tunangannya yang cantik. Sekali lagi, semua itu tidak ada artinya. Ia tak lengkap tanpa Naruto. Naruto seperti membawa salah satu keping dirinya bersamanya. 
“Naruto, kau dimana?” desahnya pada angin. Semakin lama di sini, ia semakin merasa merana. Jiwanya seperti terpenjara. Tapi, ia juga malas keluar dari gedungnya. Ia tak mau berurusan dengan para fans girlnya yang sepertinya masih berharap disunting olehnya. Akhirnya, Sasuke hanya bisa menyelesaikan tugas-tugas terkutuk sebagai hokage. Ia mendesah, berharap Naruto pulang dan menghidupkan hidupnya yang sepi.

To Be Continu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar