Summary :
“Sudahlah. Ini yang terbaik. Sasuke memang jauh lebih baik dariku,” aku Naruto
yang membuat perut Gaara seperti disengat tawon. Jika Gaara yang ditanya, sudah
pasti ia akan menjawab, “Naruto is the
best and Sasuke is the worst,” “Apalagi dengan keadaanku yang sekarang, itu
lebih tak memungkinkan lagi,” gumam Naruto lirih. Not Yaoi.
DISCLAIMER : Naruto
Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran,
bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Author Note : Ide
ini muncul saat otak lagi macet. Asli, lagi mentok. Nggak tahu mau diapain
fic-fic Ai. Untung, masing-masing tinggal 1-2 chapter lagi dah tamat. Sambil
nunggu ide ngalir lagi, fic nista ini Ai buat. Terinspirasi euforia pilkada
yang lagi in.
Setting cerita
ini saat Kakashi mau meletakkan
jabatan sebagai hokage keenam.
Don't Like Don't
Read
Chapter one
Naruto
menatap dalam diam perdebatan sengit di dalam gedung hokage. Ia tak membutuhkan
telinga nan tajam milik Akamaru untuk mengetahui apa yang mereka perdebatkan.
Sungguh. Tanpa itu pun, ia sudah tahu. Mereka pasti tengah berdebat soal
Kakashi yang berniat mengundurkan diri sebagai hokage keenam.
Ini
bukan sesuatu yang aneh sebetulnya. Tapi, masalahnya, Kakashi mengundurkan diri
saat ia masih muda dan masih sangat pantas menyandang jabatan sebagai hokage.
Karena itu Konoha gempar. Dan, puncaknya, para tetua dan pemimpin klan
mengadakan rapat dadakan untuk membahas topic ini.
Naruto
menghembuskan nafasnya kasar di tempatnya berdiri di atas salah satu cabang
pohon. Dia menggosok-gosok kedua tangannya satu sama lain untuk mengusir rasa
dingin yang menggigit malam ini. Matanya masih setia menatap pintu gedung
hokage yang sampai detik ini masih juga tertutup rapat.
Ditilik
dari lamanya rapat, pastilah pembicaraan mereka berjalan sangat alot. Meski,
tentu saja Naruto tak tahu apa penyebabnya. ‘Tinggal bilang iya atau tidak, apa
susahya sih?’ pikirnya sebal. Kecuali, jika mereka —para tetua dan pemimpin
klan— membahas calon pengganti Kakashi. Nah, itu baru bisa dimaklumi.
Naruto
tidak berharap ia akan terpilih sebagai hokage ketujuh seperti impiannya selama
ini. Sungguh. Ia cukup tahu diri. Dia tak mungkin terpilih. Bahkan, walaupun ia
berkampanye selama 360 hari, 24 jam nonstop betapa berbakatnya dan cocoknya ia
sebagai hokage, ia tetap tak akan terpilih. Itu fakta. Bukan opini.
Tak
banyak yang berubah dengan persepsi penduduk Konoha padanya pasca perang dunia
ninja keempat. Meskipun, ia sangat berperan penting dalam perang itu, mereka
masih saja menatapnya sebelah mata, seolah-olah Naruto ini tak lebih dari
kotoran di atas sepatu mereka. Hanya sedikit —mungkin hanya dalam hitungan jari
tangannya— yang memandangnya sebagai Naruto Uzumaki. Dan daftar itu akan
semakin menyusut, jika ditanya siapa orang yang benar-benar menerimanya dengan
tangan terbuka.
Naruto
tidak mengada-ada. Ia tidak cukup buta untuk menyadari wajah-wajah tersiksa
dari orang-orang yang terpaksa harus beramah tamah dengannya. Ia juga tahu,
begitu Naruto pergi, mereka akan menghembuskan nafas lega. Tawa dan percakapan
hangat mereka kembali begitu Naruto tak lagi ada diantara mereka.
Hinata,
satu-satunya wanita yang pernah jadi stalkernya dan pernah menyatakan cinta
padanya dua kali, kini bahkan membalikkan punggungnya. Ia kini bergabung dengan
Sakura dkk mendirikan Sasuke fans club. Yup, Hinata kini berbalik arah menjadi
pemuja Sasuke yang kembali ke Konoha pasca perang dunia ninja. Bahkan, rumornya
ia akan bersanding dengan Sasuke dalam waktu beberapa bulan ke depan.
Lalu,
Naruto? Apa yang dirasakannya? Sakit? Tersinggung? Marah? Atau, kecewa?
Jawabnya tidak. Ia tak merasakan apa-apa. Hatinya sudah beku untuk merasakan
perasaan-perasaan negative itu. Oke jujur, ia sedikit kecewa. Bagaimana pun
berpalingnya Hinata, membuat daftar orang-orang yang perduli padanya dari yang
sedikit menjadi super sedikit. Wajar bukan, jika ia masih merasakan setitik
rasa kecewa?
Brakkk…!
Terdengar suara pintu dibanting kuat-kuat. Terlalu lama melamun, membuat Naruto
tak sadar, jika pintu gedung Hokage sudah terbuka sejak tadi. Satu per satu
orang yang mengikuti rapat keluar ruangan. Naruto menengadahkan wajahnya ke
atas, menghindari wajah-wajah yang keluar lewat pintu yang ditunggui Naruto
sejak tadi. Setelah, tak ada lagi yang keluar, barulah Naruto mengembalikan
perhatiannya.
Hup!
Dalam satu kali lompatan, Naruto sudah menjejakkan kakinya ke tanah. Ia
berjalan dengan santai, memasuki gedung hokage. Ia memberi salam sekadarnya
pada Kotetsu dan Izumo yang masih setia dengan statusnya sebagai pengawal
hokage. Ia memamerkan cengiran bodoh—ciri khasnya— sebelum menyapa hokagenya
sekaligus mantan senseinya.
“Jangan
marah-marah seperti itu, sensei! Nanti, sensei cepat tua lho.” Goda Naruto.
“Diam
kau!” gerutu Kakashi sebal. Suasana hatinya memang sedang buruk. Terutama
setelah rapat pemilihan hokage —sialan— yang baru itu berakhir. Ia bingung
bagaimana menjelaskan kabar buruk ini pada Naruto, murid kesayangannya, jika…
“Sensei!..sensei..!”
panggil Naruto sambil melambai-lambaikan tangannya dengan kurang ajar di depan
mata Kakashi.
“Apa?”
tanya Kakashi malas.
“Sensei,
tentang rapat tadi?”
“Maaf,
Naruto! Maaf,” sesal Kakashi dengan wajah muram. Saat itulah, Naruto melihat
mata senseinya berubah jadi keruh. Naruto bisa melihat penyesalan, kemarahan,
dan kekecewaan dari netranya.
Naruto
menghembuskan nafas perlahan. “Tak apa, sensei. Aku mengerti.” Kata Naruto yang
bukannya menenangkan, tapi justru membuat Kakashi tambah murung. Ia merasa
gagal sebagai seorang guru. “Ney, sensei. Bolehkah aku meminta sesuatu pada
sensei, sebelum sensei tak lagi menjabat sebagai sensei?”
“Katakan
saja!”
“Aku…”
Naruto membisikkan permintaannya. Hanya Naruto dan Kakashi saja yang tahu apa
permintaan Naruto hari itu. Suasana di kantor Kakashi menjadi hening untuk beberapa
menit. “Baiklah, jika itu maumu, Naruto.” kata Kakashi terdengar tak rela.
Naruto
tersenyum. Sungguh-sungguh tersenyum dan bukannya senyum palsu seperti yang
dipamerkannya selama ini. “Terima kasih, sensei.”
“Sama-sama
Naruto. Hanya ini yang bisa ku lakukan untukmu. Semoga kau bahagia dan berhasil
dengan mimpi barumu,” kata Kakashi dengan suara lirih.
Naruto
mengangguk dan kembali memamerkan senyumnya sebelum undur diri dan menghilang
dari hadapan Kakashi. Kakashi menatap pintu yang ditutup Naruto dengan tatapan
sedih, menyesal, dan juga perasaan bersalah. Ia termenung, hanyut dalam
kenangannya bersama Naruto. Ia berharap ia bisa bertahan dengan kenangan itu
sebelum ia mati karena rindu.
…………………..*****……………………..
Gaara
menatap Naruto penuh arti. “Kau yakin, Naruto?” tanyanya memastikan.
Naruto
mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya. Matanya masih terpancang pada
podium tempat Sasuke berpidato sebagai hokage ketujuh. Yup, Sasuke —si mantan
missing nin yang tak pernah berkoar ke seluruh penjuru desa bahwa kelak ia akan
menjadi seorang hokage— lah yang terpilih menjadi hokage menggantikan Kakashi.
Naruto
masih diam, memperhatikan sorak sorai para pendukungnya yang lebih banyak
didominasi kaum hawa. Tawa kemenangan menggema ke seluruh penjuru desa seolah
mereka memang menantikan Sasuke dilantik sebagai hokage yang baru. Di sela-sela
pidatonya, Sasuke juga mengumumkan rencana pertunangannya dengan Hinata, sang
pewaris dari klan Hyuga. Semua larut dalam perayaan itu, minus Naruto.
Naruto
seperti biasanya tak pernah bisa larut dalam perayaan apapun di Konoha. Ia
selalu jadi orang yang salah tempat dan pengacau suasana. Terlebih perayaan
yang ini. Pasti sakitnya lebih bertubi-tubi. Pertama, hilangnya kesempatan
meraih gelar hokage. Dan, kedua calon istri. ‘Semoga saja Naruto tidak berubah
menjadi orang yang getir,’ pikir Gaara iba.
“Nar…Naruto…!”
panggil Gaara dengan lembut mengguncang bahu Naruto. Ia berniat menghibur
Naruto yang tengah berduka dan terpuruk, tapi Naruto sudah mengajaknya pergi.
“Kita pergi,” kata Naruto dengan ekspresi datar dan juga dingin.
“Kita pergi,” kata Naruto dengan ekspresi datar dan juga dingin.
Gaara
berjengit. Entah kenapa ia tak suka Naruto yang seperti ini. Naruto, baginya
seperti matahari yang memberinya kehangatan di tengah kebencian penduduk Suna
di masa silam. Sekarang, Naruto seperti bulan purnama yang tertutup mendung nan
tebal, suram dan tak bercahaya. Ia tak suka itu. “Tapi…, mereka.”
“Sudahlah.
Ini yang terbaik. Sasuke memang jauh lebih baik dariku,” aku Naruto yang
membuat perut Gaara seperti disengat tawon. Jika Gaara yang ditanya, sudah
pasti ia akan menjawab, “Naruto is the
best and Sasuke is the worst,”
“Apalagi
dengan keadaanku yang sekarang, itu lebih tak memungkinkan lagi,” gumam Naruto
lirih menatap sendu pada pepohonan di hutan kematian yang terlihat di tempatnya
berdiri. Ini salah satu rahasia terbesarnya yang ia simpan rapat-rapat selama
ini. Hanya Gaara saja yang tahu hal ini.
“Naruto,”
gumam Gaara turut sedih.
“Sudahlah,
tak perlu dipikirkan. Yang terjadi biarlah terjadi. Tak ada yang perlu
disesali. Lebih baik kita nikmati hidup ini dengan mencari mimpi yang baru,”
kata Naruto berusaha tetap optimis dengan kondisinya yang hampir-hampir
terpuruk.
Gaara
yang jarang —bisa dihitung dengan jari— tersenyum, memberikan senyuman
terhangat dan terindahnya untuk Naruto, sahabatnya. Setelah itu, baik Gaara
maupun Naruto meninggalkan Konoha, mungkin untuk selamanya.
……………………....*****…………………….
Sasuke
menatap potret tim 7 di atas meja kerjanya. Dengan hari ini, sudah genap tujuh
tahun lamanya, ia menjabat sebagai hokage. Suka dan duka sudah dilaluinya.
Awalnya ia merasa bangga, menang, dan yeach bahagia. Impiannya untuk
membangkitkan klannya, klan Uchiha akhirnya kesampaian. Tapi, akhir-akhir ini
ia justru merasakan perasaan hampa. Ia merasa ada yang hilang darinya.
Kekosongan itu semakin lama semakin besar dan menimbulkan ketidak puasan dalam
hatinya. Hanya saja ia tak tahu itu apa?
Mungkin
karena tak ada Naruto di sisinya. Tanpa Naruto di sisinya, kemenangannya,
keberhasilannya menjadi tidak ada artinya. Meski dikelilingi oleh banyak orang,
ia justru merasakan kesepian. Tak ada satupun dari mereka yang bisa
menggantikan kedudukan Naruto, bahkan Hinata tunangannya yang cantik. Sekali
lagi, semua itu tidak ada artinya. Ia tak lengkap tanpa Naruto. Naruto seperti
membawa salah satu keping dirinya bersamanya.
“Naruto,
kau dimana?” desahnya pada angin. Semakin lama di sini, ia semakin merasa
merana. Jiwanya seperti terpenjara. Tapi, ia juga malas keluar dari gedungnya.
Ia tak mau berurusan dengan para fans girlnya yang sepertinya masih berharap
disunting olehnya. Akhirnya, Sasuke hanya bisa menyelesaikan tugas-tugas
terkutuk sebagai hokage. Ia mendesah, berharap Naruto pulang dan menghidupkan
hidupnya yang sepi.
To Be Continu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar