DISCLAIMER : Naruto
Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran,
bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Don't Like Don't
Read
Chapter Two
Sunagakure
Gaara
berdiri dengan resah. Perasaannya campur aduk. Istilah kerennya Gaara sedang
baper. Mendengar Naruto ingin kembali menjejakkan kakinya di Konoha, desa yang
jelas-jelas mengabaikan bakat dan potensinya sekaligus menginjak-injak
kebaikannya, membuatnya gusar bukan kepalang. Meski, tentu saja tidak terlalu
kentara. Gaara berhasil menutupi emosi yang berkecamuk dalam benaknya dengan
wajah datarnya.
“Kau
yakin, Nar?” tanya Gaara mungkin untuk yang ke-100 kalinya, dalam seminggu ini.
Naruto
menahan diri untuk tidak memutar bola matanya karena jengah. “Ya, ya, dan ya,
Gaara. Aku yakin 100%.” Kata Naruto mantap. Tidak ada keraguan sedikit pun di
matanya. Namun, itu tidak membuat Gaara puas ataupun lega. Kekhawatiran masih
menguasai Gaara.
“Tapi,
kenapa?” tanya Gaara lagi.
Naruto
menghembuskan nafas lelah. “Bisakah kau tak menanyakan ini lagi? Demi Tuhan,
kita sudah membahas ini berulang kali, Gaara.”
Gaara
cemberut. “Aku masih menunggu kau kembali waras.” Tak ada jawaban. Naruto sibuk
mengemas barang-barang yang akan ia bawa. “Apa kamu yakin mau kembali ke
Konoha? Apakah itu benar-benar penting? Apa… bla..bla…bla…” Gaara yang jengkel
karena diabaikan, memberondong Naruto dengan selusin pertanyaan. Itu pastilah
sesuatu, mengingat bagaimana hematnya Gaara dalam berbicara. “…Kau tahu? Kau
bisa tinggal di Suna dengan aman. Pintu desa ini terbuka lebar untukmu,”
pungkasnya mengakhiri pidatonya.
Naruto
menolehkan kepalanya dan memandang Gaara. Dengan nada lembut, ia menjawab
pertanyaan Gaara, “Kau tahu betul alasannya, Gaara. Aku tidak pernah
menutup-nutupi apapun darimu,”
“Tapi…”
Gaara masih ragu.
“Aku
tak punya pilihan lain, Gaara. Hanya Kakashi-sensei yang bisa membantuku.”
“Kita
bisa memanggilnya ke sini dan aku yakin ia tak akan keberatan melakukan
kunjungan ke Suna diantara waktu santainya membaca buku laknat karangan mantan
gurumu itu,” balas Gaara dengan keras kepala.
Naruto
meracau, “Beberapa hari ini cuacanya cerah ya. Aku yakin tidak akan ada badai
pasir selama dalam perjalanan ke Konoha,” untuk mengalihkan topic. Tidak
terlalu berhasil. Gaara masih tetap kerap kepala, bersikeras membahas topic
sensitif ini. “Aku juga harus mengunjungi makam kedua orang tuaku. Sudah hampir
7 tahun lamanya aku menelantarkannya,”
Gaara
menyipit tajam. Lagi-lagi Naruto tidak mau jujur. Sebetulnya, ia tak keberatan
Naruto kembali ke Konoha. Bagaimana pun itu desa kelahirannya dan ia punya
beberapa orang yang dikasihinya. Tapi, masalahnya di Konoha ada orang itu,
orang yang telah membuat Naruto hidup menderita seperti ini. Siapa lagi kalau
bukan si brengsek Sasuke Uchiha.
Dia
itu memang bajingan tulen. Dari ia masih bocah hingga kini beranjak dewasa, ia
masih saja menyusahkan Naruto. Daftar kejahatannya pada Naruto sangatlah
panjang, dari mengkhianatinya, berniat membunuh Naruto beberapa kali, menikung
Naruto, menghancurkan impian Naruto, merebut ceweknya —mungkin—, dan yang
terbaru meninggalkan Naruto dalam keadaan ukh, Gaara bahkan tak sanggup
menyebutnya saking kasihannya. Pokoknya, makhluk itu tak layak mendapat
ampunan. Makhluk sesat.
“Lalu,
bagaimana caramu menghadapi si Uchiha itu?” tanya Gaara.
Punggung
Naruto menegang. Ia berdiri dengan kaku. Iris safirnya nampak kosong, tiada
kehidupan untuk sesaat. Namun, akhirnya ia berhasil menguasai diri. “Uchiha
yang mana?” tanya Naruto dengan bodohnya.
“Memangnya
berapa jumlah Uchiha di dunia ini?” sindir Gaara. Ia melipat kedua tangannya di
atas dada, menatap angkuh Naruto.
Naruto
menelan ludahnya susah payah. Mendadak, ia merasa kerongkongannya kering
kerontang. “Konoha itu luas. Aku tak harus menemuinya setiap hari,” elak
Naruto. Suaranya terdengar bergetar dan asing, bahkan di telinganya sendiri.
“Jangan
membohongi dirimu sendiri!” tukas Gaara kejam. “Dia itu hokage. Mau tak mau kau
akan berurusan dengannya lebih sering dari yang kau inginkan. Dan bagian
terburuknya..”
“Apa?”
“Ia
akan menikah sekitar 2 bulan lagi. Itu artinya kau datang tepat saat ia akan
mengikrarkan sumpah seumur hidupnya sebagai suami,”
Keheningan
yang ganjil menggantung di udara. “Memangnya kenapa kalau ia menikah? Itu bukan
urusanku. Aku hanya datang untuk meminta bantuan Kakashi-sensei dan lalu
pulang.” Kata Naruto defensif, berusaha terdengar acuh dan dingin.
“Astaga,
Naruto! Kau itu betul-betul naïf.” Gerutu Gaara kesal. “Dia pasti tidak akan
membiarkanmu pulang begitu saja, apapun alasannya sebelum kau datang ke
pestanya. Kau yakin sanggup bertahan?”
“Tidak
mungkin. Kau lupa? Aku ini bagi Konoha adalah monster. Mereka pasti akan dengan
senang hati mengizinkanku tidak datang ke pesta itu.”
“Kau
pikir Uchiha itu idiot? Apapun pandangan Konoha, di mata dunia kau itu
pahlawan. Jika ia tidak mengundangmu, itu berarti mereka menjatuhkan nama
baiknya sendiri di depan para kage dan shinobi-shinobi penting dari berbagai
desa.” Sembur Gaara.
“Aku…”
“Atau,
jangan-jangan kau memang merindukan si Uchiha itu. Kau hanya menggunakan Menma
sebagai alasan. Iya, kan?” tuduh Gaara.
“Tidak
aku tidak begitu.”
“Huh,
omong kosong. Kau pikir aku percaya? Aku mengenalmu, Naruto. Kau itu sangat
terobsesi padanya.”
“Aku
tidak terobsesi padanya.”
“Kebohongan
yang lain lagi. Apa kau lupa? Kau mengejarnya selama 3 tahun. Kau bahkan
meminta bantuanku.”
“Itu
karena aku sudah janji pada Sakura,”
“Bohong.”
“Tidak,”
“Bohong,”
“Tidak,”
“Akui
saja kau memang terobsesi padanya. Iya, kan?” tuduh Gaara lagi.
“Tidak,”
“Iya,”
“Tidak,”
“Iya,”
Keduanya
terus berdebat hingga beberapa menit lamanya, mengabaikan seorang penonton yang
memandang keduanya dengan jengah di salah satu sudut ruangan. Matanya beralih
dari Naruto ke Gaara dan sebaliknya berulang-ulang. Wajahnya memperlihatkan
keheranan dan juga ill feel, merasa percakapan GaaNaru ini sangatlah absurd.
Keduanya
bertengkar layaknya pasangan kekasih yang sedang cemburu karena kehadiran pihak
ketiga, daripada sepasang sahabat. Sikap Gaara yang posesif dan
kalimat-kalimatnya yang ambigulah yang membuat persepsi gila itu terbentuk di
kepala Kankurou. Dan itu sukses membuat bulu roma Kankurou meremang. Ia tak
suka baca homophobic dengan yang berbau penyimpangan seksual, meski itu
bukanlah sesuatu yang aneh di jaman sekarang.
Dia
tahu, di dunia shinobi sekarang, hubungan homo, gay dan yang sejenis bukanlah
sesuatu yang tabu. Hubungan ini terjadi karena minimnya jumlah wanita yang
hidup pasca perang mengerikan melawan Madara. Parahnya lagi, para wanita ini
sangatlah kejam dan pemilih, sehingga akhirnya para pria beralih pada sesama
jenisnya untuk melampiaskan hasrat seksualnya. Well, itu teori Kankurou sih,
dan ini belum teruji secara klinis.
Ia
tidak menutup mata, jika praktek ini sudah berkembang jauh sebelum hubungan
sejenis ini merebak seperti sekarang. Ia pernah mendengar selentingan kabar
jika diantara para shinobi hebat ada yang terlibat hubungan sesama jenis.
Kankurou tidak tahu pasti. Namun, ia menduga sepertinya diantara anggota
Akatsuki ada yang homo dech. Di sana kan ada cowok bishounen.
Naruto
bukanlah pria bishounen. Ia cukup mainly. Tubuhnya kekar. Rahangnya tegas dan
kasar untuk ukuran pria cantik. Tapi, sejak memiliki Menma, Naruto jadi agak…
ukh bagaimana bilangnya ya? Naruto dianugerahi watak lembut layaknya kaum
wanita, penuh kasih, dan senyuman yang mampu membuat pria mana pun salting di
depannya. Bisa saja kan Gaara… Gaara yang tadinya orientasi seksualnya tidak
jelas, jadi ehem sudah memutuskan orientasinya sekarang.
Kankurou
mengumpat dalam hati, berdoa sepenuh hati, semoga adiknya termasuk golongan
lurus, selurus tiang listrik. Dalam hati, ia menyalahkan Kakashi. Ia tertuduh
utama yang memberikan pengaruh buruk pada Gaara. Ketidak jelasan orientasi
seksualnya dijiplak dengan sempurna oleh Gaara. Oh, dan itu membuat Kankurou
ingin mempelajari ilmu Vodoo untuk mengutuk mantan guru Naruto itu.
“Pokoknya
aku tetap pergi ke Konoha. Titik!” kata Naruto memutus lamunan nista Kankurou.
Gaara
menghela nafas. Ia tahu akhirnya ia kalah. Ia tak mungkin menang melawan
kekeras kepalaan Naruto. Tapi, bukan berarti ia akan membiarkan Naruto
menghancurkan dirinya lagi. “Oke aku ijinkan kau pergi ke Konoha, tapi aku ikut
denganmu,” putus Gaara. Naruto hendak menyanggah, namun sudah dipotong Gaara.
“..dan aku tidak menerima penolakan,” tambahnya.
“Lalu,
bagaimana dengan Suna, jika kau pergi?”
“Kan
ada Kankurou. Ia bisa menggantikan tugasku sementara waktu.”
“Kau
tak boleh melalaikan tugasmu. Kau itu seorang kage,” cela Naruto.
“Suna
tidak akan hancur hanya karena ku tinggal sebentar. Toh, aku juga harus
menghadiri pesta pernikahan si Uchiha sialan itu.”
“Kau
tidak bisa seenaknya begitu, Gaara.” Nada tajam terdengar dari kalimatnya.
“Kalau
begitu kau memutuskan untuk tetap tinggal?” Gaara melempar pertanyaan lagi.
Naruto memilih diam, tak ingin terpancing dalam perdebatan melelahkan itu.
“Naruto
benar. Kau tak bisa melempar tanggung jawabmu begitu saja padaku,” kata
Kankurou yang sejak tadi diam kini ikut berkomentar. Batinnya terusik setelah
namanya disebut-sebut.
“Aku
juga ingin mengunjungi keponakanku tercinta,”
“So Sweat. Rupanya, kau masih ingat kalau
kau punya keponakan yang tinggal di Konoha sana?” sindir Kankurou. Selama ini,
Gaara tak pernah satu kali pun mengunjungi Temari-Shika semenjak mereka menikah.
Ia baru tahu jika Temari punya seorang putra beberapa minggu lalu, yang artinya
sudah telat selama 5 tahun. Ia bahkan ragu, Gaara ingat nama keponakannya sendiri.
“Apa
boleh buat aku sibuk, dan aku berencana memperbaiki hubungan kami. Aku akan
membelikannya beberapa hadian sebagai penebusan.” dalih Gaara.
“Seharusnya
kau menikah dan punya anak, bukannya berkencan dengan kertas-kertas keparat
itu, agar kau jadi lebih manusiawi.”
“Omong
kosong. Aku sudah punya dua keponakan yang siap aku manjakan. Aku tak butuh
selusin anak untuk membuatku merasakan posisi sebagai seorang ayah.”
‘Tuh
kan benar. Gaara memang tidak jelas. Bahasanya benar-benar ambigu.’ Pikir
Kankurou. Dia itu sebenarnya menganggap Naruto apa sih? Dibilang hanya sahabat,
ia terlalu over protektif, sampai hal-hal sepele pun ia perhatikan. Dibilang
kekasih, ia sangatlah tidak romantis dan kaku. Dibilang hanya kenalan, nyatanya
ia bersikap hangat. Jadi? Apa dong?
Kankurou
bergumam tidak jelas. Naruto mendengar nama Kakashi disebut-sebut. Naruto tahu,
jika selama ini Kankurou selalu menuduh mantan hokage keenam itu, tertuduh
utama yang memberikan pengaruh yang tidak baik pada Gaara. “Aku bisa pergi
sendiri, Gaara.” Kata Naruto mengusik lamunan Kankurou.
“Tidak.
Sudah diputuskan, aku ikut denganmu,” kata Gaara tak menerima penolakan.
Naruto
dan Kankurou hanya bisa menghela nafas, pasrah. Susah mempengaruhi Gaara saat
ia sudah bertekad melakukan sesuatu. Tak ada satupun yang bisa membelokkan
tujuan Gaara. Kalau sudah begini, mau tak mau, mereka hanya bisa menurutinya.
…………………….*****……………………
Butuh
waktu sebulan untuk menempuh perjalanan dari Suna ke Konoha. Naruto bisa saja
menyingkatnya menjadi beberapa hari saja. Tapi, karena Menma turut serta dalam
perjalanan, mau tak mau, ia pun harus melambatkan perjalanannya, jadi secepat
siput berjalan. Akan tetapi, Naruto tidak mengeluh.
Naruto
butuh waktu untuk menyiapkan mentalnya. Tidak seperti perkataannya pada Gaara.
Sejujurnya, ia ragu dengan perjalanan ini. Ia dicekam perasaan was-was.
Bagaimana jika mereka menanyakan soal Menma? Siapa orang tuanya? Bagaimana jika
ada yang menghubungkan Menma dengan orang itu?
Naruto
dilanda panik dari waktu ke waktu. Ia takut rahasianya —alasan yang membuat
Naruto harus meninggalkan Konoha 7 tahun lalu—terkuak. Waktu itu, Naruto
berencana untuk tidak menginjakkan kaki lagi di Konoha. Tapi, Kami-sama punya
rencana lain. Takdir kembali mempermainkan hidupnya.
Terjadi
sesuatu pada anak kesayangannya, Menma. Satu-satunya pertolongan yang bisa ia
harapkan adalah orang itu, atau mungkin Kakashi-sensei. Naruto berharap tidak
harus meminta bantuan orang itu. Cukup Kakashi sensei saja. Ia tak ingin
rahasia yang ia kubur dalam-dalam terkuak dan menorehkan luka di hati banyak
orang. Biarlah rahasia menjadi rahasia, terkubur oleh waktu hingga ajal
menjemputnya.
‘Tidak,
tidak mungkin mereka tahu,’ kata Naruto merapal dalam hati layaknya mantra. Ia
terus mengulanginya di sela-sela acara mengurus Menma.
Gaara
memperhatikan Naruto dalam diam. Ia tahu kegelisahan Naruto. Tapi, ia tidak
bisa berbuat banyak. Ini sudah keputusan Naruto dan ia menghormatinya.
Satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk Naruto adalah mendampinginya,
melindunginya, dan memberikannya sandaran untuk Naruto.
“Kita
sudah sampai, Naruto.” kata Gaara memutus lamunan muram Naruto.
“Oh,
ya.” Kata Naruto tak semangat. Ia menunggu rasa rindu itu muncul dalam hatinya.
Sayangnya, itu tidak terjadi. Hatinya sama sekali tak tergerak dengan semua
yang ada di desa. Tatapannya tetap kosong sama seperti 7 tahun lalu. Kalaupun
ada yang membuatnya antusias, itu adalah pahatan wajah milik para hokage,
khususnya wajah ayahnya di bukit Konoha.
Naruto
mengangkat Menma lebih tinggi. “Itu pahatan wajah kakekmu, Menma!” kata Naruto
berbicara pada Menma.
“Gyaa..!
Kyaaa…! Kaa..kakk..!” celoteh Menma tidak jelas.
“Kakek,
sayang.” Kata Naruto membetulkan.
“Jaa..jaa..
Kaaa..kaakk…!” seru Menma dengan bahasa bayinya. Tangan dan kakinya
bergerak-gerak tidak jelas. Sepertinya, ia sedang protes pada Naruto karena
Naruto tak mengizinkan Menma merangkak di tanah untuk menjelajahi tempat baru
itu, dan masih saja menggendongnya seperti bayi.
Naruto
tersenyum tipis menanggapi. Ia mengelus punggung Menma penuh sayang dan lalu
mengecup puncak kepalanya, menyerap aroma wangi dari tubuh Menma.
“Kita
kemana dulu, Naruto.”
“Ke
pasar untuk belanja. Aku harus menyiapkan makan untuk Menma terlebih dahulu.
Dan, tentu saja bersih-bersih apartemen. Aku yakin Menma lapar dan juga letih.”
Gaara
menatap Naruto skeptis. Menma tidak terlihat seperti bayi yang sedang lemah,
letih, dan lesu. Sebaliknya, ia tampak bersemangat, tak sabar untuk mengeksplor
tempat baru itu. Oniksnya saja sudah berbinar-binar. “Terserah kau saja,” kata
Gaara pasrah.
Mereka
berdua memasuki areal pertokoan, mengabaikan tatapan aneh orang-orang. Gaara
biasanya tak ambil pusing. Jika saja bukan Naruto dan Menma yang dipandangi.
Mereka pasti berfikir jika mereka ini keluarga yang tengah piknik. Ia tak
keberatan sih. Ide memiliki keluarga seperti Naruto-Menma bukanlah sesuatu yang
buruk. Tapi, ia tak suka melihat tatapan nafsu mereka pada Naruto.
Sekilas,
Naruto terlihat seperti wanita cantik. Rambut Naruto yang panjang dan dikepang
asal berikut tubuhnya yang tinggi semampai memang sering membuat orang salah
paham. Ia sering dikira wanita cantik dan seksi. Gaara merengut masam,
melemparkan deathglear mematikannya pada orang-orang lancang itu sepanjang
perjalanan.
Mereka
berhenti di depan toko bahan makanan. Naruto belanja persediaan bahkan makanan
untuk beberapa hari ke depan dan juga kebutuhan rumah tangga lainnya, khususnya
kebutuhan balita. Dijamin kulkasnya akan penuh. Naruto juga membeli beberapa
potong baju untuk Menma. Kini, tangan mereka penuh dengan belanjaan.
Waktu
meninggalkan toko, Naruto merasa ada yang kurang. Tapi, ia tak ingat. Gaara
tidak banyak membantu. Dan, ia memilih mengabaikannya karena ia sangat letih
dan ingin segera istirahat di apartemennya, sama seperti Gaara.
Di
tengah jalan, tak disangka-sangka, Naruto dan Gaara bertemu dengan Temari dan
ia mengajak baca menyeret Gaara ke rumahnya. Kini, tinggalkan Naruto dengan
kantung-kantung belanjaan. Naruto geleng-geleng kepala. Ia maklum dengan
tingkah Temari. Mereka kan sudah lama sekali tak bertemu. Temari pasti kangen
pada adiknya yang satu ini.
Setelah
itu, Naruto melihat Kiba dan Shino yang tengah jalan berdua dengan baju santai
menyusuri areal pertokoan. Naruto nyengir gaje melihat pasangan aneh itu.
Maksud Naruto, pasangan sahabat itu. Naruto tidak berfikir yang macam-macam,
kok.
“Hoy,
Nar!” seru Kiba melambai antusias. Ia menarik Shino yang berjalan lebih lambat
dan berlari kecil menghampiri Naruto. “Kau pulang? Kapan?” tanyanya.
“Iya,
baru saja.”
“Wach,
sudah lama tidak bertemu. Kau berubah banyak ya? Aku hampir tidak mengenalimu.
Untung, aku hafal baumu.” komentar Kiba dengan penampilan baru Naruto yang
bertolak belakang dengan gaya Naruto 7 tahun lalu. Naruto jadi lebih anggun,
dan tidak lagi urakan. “Kau sendiri ke sini?” tanya Kiba.
“Tidak.
Aku datang bersama Gaara, tapi Gaara tadi bertemu dengan kakaknya dan ia lalu
meninggalkanku dengan ....” Naruto celingukan. “Lho, mana dia? Dia dimana?”
tanya Naruto panik.
“Siapa?
Bukannya dari tadi kau sendiri.” Tanya Kiba bingung.
“Menma
mana?”
“Menma
itu siapa?” tanya Shino yang untuk pertama kalinya bersuara.
“Anakku.”
“Kau
sudah punya anak? Berarti, kau sudah menikah dong. Kok, kau tak mengabarkan ini
padaku, sih.” Keluh Kiba dengan cerewetnya.
“Nanti
saja ceritanya. Aku harus mencari Menma dulu.” kata Naruto mengakhiri
percakapan mereka. Naruto berjalan tergesa-gesa. Kantung belanjaannya
terlupakan begitu saja. Matanya celingukan mencari Menma. “Menma! Menma!”
panggil Naruto ketakutan.
Kiba
dan Shino memutuskan untuk membantu Naruto. Shino membawa belanjaan Naruto dan
mengirimnya ke apartemen Naruto. Sedangkan Kiba membantu Naruto mencari Menma.
Keduanya berpindah dari satu toko ke toko lainnya, mencegat orang-orang yang
lewat dan menanyai mereka.
Setengah
menit berlalu, dan Menma tak kunjung ketemu. Naruto sudah hampir dikuasai
perasaan takut. Jika wanita, Naruto pasti sudah menangis meraung-raung karena
cemas dan marah. Berbagai prasangka buruk menghantui benaknya. “MENMAA…!”
teriak Naruto seperti orang kesetanan.
…………………….*****…………….
Di
waktu yang sama, di kedai dango, Neji tampak berwajah masam. Ia tak tahan pada
seseorang yang dengan seenaknya meninggalkan balitanya di tengah jalan. Mana
balita itu bertengger di kepalanya pula. Itu bikin Neji dari jengkel menjadi
luar biasa jengkel. Ia bersumpah akan memberi pelajaran pada orang tua sembrono
itu.
“Itu
apa, Ji?” tanya Lee, rekan timnya yang baru tiba di samping Tenten.
Hari
ini mereka ada misi keluar desa, karena itu mereka berniat berkumpul di pintu
gerbang. Sayangnya, ada si setan cilik ini yang menghentikan misi penting Neji.
“Bayi,” jawab Neji ketus.
“Aku
tahu. Maksudku itu bayi siapa? Dan kenapa kau membawanya? Kita ini ada misi
penting,” kata Lee jengah.
Neji
hendak menjawab, tapi balita itu memilih untuk menjawabnya terlebih dahulu.
“Dadada…”
“Astaga!
Jadi, kau punya anak rahasia, Ji? Pantas saja kau tak mau menikah hingga
sekarang,” cetus Lee terkejut.
Neji
dengan sadis memukul kepala Lee. “Bukan,” aku Neji. “Aku tak tahu ini anak
siapa. Tiba-tiba saja ia sudah memanjat tubuhku dan tak mau turun dari
kepalaku. Adududuh… sakiitt… jangan tarik-tarik rambutku!” jerit Neji berusaha
melepas cengkraman si balita dari rambutnya. “..dan jangan mengilerinya juga,”
kata Neji merasa jijik dengan air ludah si balita yang membasahi rambut
indahnya.
“Mungkin
dia lapar,” komentar Tenten. “Coba susui!” usulnya dengan tidak cerdasnya.
“Kau
pikir aku punya payudara? Apa kau buta? Aku ini laki-laki.” Raung Neji geram.
“Ups,
sorry. Aku lupa. Habis kamu lebih cewek dari cewek sih,” kata Tenten dengan
tidak bertanggung jawabnya.
“Aku
anggap benjolan di kepalamu itu yang membuatmu bicara ngawur,” balas Neji
sinis. Dia memang pria yang sinis, sejak dulu, dan semakin sinis setelah
kepergian Naruto. Tidak, ia tidak jatuh cinta pada Naruto. Tapi, dengan
perginya Naruto, impiannya untuk mendapatkan status setara seperti klan souke
juga hilang. Dan, itu membuatnya jadi orang yang getir.
“Menma..!”
terdengar sebuah suara memanggil-manggil.
“Mungkin,
itu orang tua bayi ini,” kata Lee menjadi solusi. “Di sini!” balas Lee tidak
kalah kerasnya dengan suara yang memanggil Menma-Menma.
“Oh,
Menma. Rupanya kau di sini,” kata sosok berambut pirang panjang yang dikepang
asal itu lega. Ia berusaha mengambil Menma dari kepala Neji. Tapi, Menma keras
kepala, menolak melepas Neji.
“Kau
siapa? Aku tak pernah melihatmu.” tanya Lee sopan, tapi tidak dihiraukan orang
tua si bayi. Ia bahkan memunggungi Lee untuk membujuk anaknya yang masih setia
bertengger di kepala Neji.
“Menma
sayang. Ini tou-san!” bujuk orang itu lagi.
“Ndak.
Dada…” racau Menma mengeratkan cengkramannya pada Neji.
“Bukan
sayang. Itu ji-san. Ini Da…”
“Ketemu
Naruto?” tanya Kiba tiba-tiba muncul dari belakang.
“Jadi
kau Naruto! Astaga! Aku pangling,” cetus Lee.
“Naruto!
Lakukan sesuatu dengan ini!” cetus Neji. Sejujurnya, ia senang dengan
kepulangan Naruto karena Naruto salah satu dari sedikit orang yang ia akui dan
ia anggap penting dalam hidupnya. Ia tak bermaksud berkata dengan nada sinis,
tapi itu terlontar begitu saja. Bagian dari kepribadiannya.
“Maafkan
aku Neji.” Naruto meminta maaf. Ia dengan cekatan melepas ikatan rambutnya dan
menggerainya, membuat banyak orang terperangah, terpesona oleh Naruto. Menma
melompat dari kepala Neji dan berhasil ditangkap oleh Naruto. Naruto tersenyum
minta maaf. “Dia suka dengan orang yang berambut panjang dan dibiarkan tergerai,”
kata Naruto memberi alasan.
“Karena
itu, ia memutuskan bermain-main dengan rambutku,” keluh Neji. Ia sedikit
menyesal kenapa tadi melepas ikatan rambutnya, hanya untuk memperbaiki ikatan
rambutnya yang agak longgar. Jadi, ia tertimpa sial, dijadikan mainan oleh anak
Naruto. Tapi, hanya sedikit. Ia jauh lebih senang, karena berkat itu, ia jadi
bertemu dengan Naruto setelah sekian tahun lamanya tak bersua. Siapa tahu,
setelah pulang dari misi, Naruto sudah meninggalkan Konoha lagi. Dan, ia pun
kecele.
“Sepertinya
begitu.” Naruto memandang Menma. “Tidak boleh melakukan itu lagi. Mengerti?”
kata Naruto dengan tegas. Menma hendak protes, tapi tatapan tajam Naruto berhasil
membungkam protesnya. Bayi juga tahu kapan ia bisa protes dan kapan ia harus
diam.
“Are,
maaf Menma menghentikan kalian. Kalian mau pergi keluar desa, kan?”
“Ya,
dan tak masalah. Aku senang dengan Menma kok. Dia bayi yang manis,” jawab Neji
tidak sesuai dengan keluhan panjang lebarnya tadi. Tenten sweatdrop. ‘Apa Neji
juga terkena virus homo?’ batinnya terkejut. Ia pikir, selama ini, Neji itu
aseksual, sama seperti Orochimaru.
“Kau
sudah menikah Naruto?” tanya Lee mengulangi pertanyaannya sebelumnya yang terpotong oleh kehadiran Kiba.
Naruto
diam tak menjawab. Tapi, ia memamerkan senyum penuh artinya yang diterjemahkan
oleh teman-temannya sebagai iya.
“Mana
ibu Menma?” tanya Lee lebih lanjut.
Naruto
bergerak gelisah. Ketenangan palsu yang ia perlihatkan barusan pecah. Ia tahu,
suatu saat akan ada yang menanyakan ini. Namun, ia belum siap menjawabnya dan
mungkin tak akan pernah siap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar