Selasa, 13 Desember 2016

The Secret Part Two






DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.

Don't Like Don't Read

Chapter Two

Sunagakure
Gaara berdiri dengan resah. Perasaannya campur aduk. Istilah kerennya Gaara sedang baper. Mendengar Naruto ingin kembali menjejakkan kakinya di Konoha, desa yang jelas-jelas mengabaikan bakat dan potensinya sekaligus menginjak-injak kebaikannya, membuatnya gusar bukan kepalang. Meski, tentu saja tidak terlalu kentara. Gaara berhasil menutupi emosi yang berkecamuk dalam benaknya dengan wajah datarnya.


“Kau yakin, Nar?” tanya Gaara mungkin untuk yang ke-100 kalinya, dalam seminggu ini.
Naruto menahan diri untuk tidak memutar bola matanya karena jengah. “Ya, ya, dan ya, Gaara. Aku yakin 100%.” Kata Naruto mantap. Tidak ada keraguan sedikit pun di matanya. Namun, itu tidak membuat Gaara puas ataupun lega. Kekhawatiran masih menguasai Gaara.
“Tapi, kenapa?” tanya Gaara lagi.
Naruto menghembuskan nafas lelah. “Bisakah kau tak menanyakan ini lagi? Demi Tuhan, kita sudah membahas ini berulang kali, Gaara.”
Gaara cemberut. “Aku masih menunggu kau kembali waras.” Tak ada jawaban. Naruto sibuk mengemas barang-barang yang akan ia bawa. “Apa kamu yakin mau kembali ke Konoha? Apakah itu benar-benar penting? Apa… bla..bla…bla…” Gaara yang jengkel karena diabaikan, memberondong Naruto dengan selusin pertanyaan. Itu pastilah sesuatu, mengingat bagaimana hematnya Gaara dalam berbicara. “…Kau tahu? Kau bisa tinggal di Suna dengan aman. Pintu desa ini terbuka lebar untukmu,” pungkasnya mengakhiri pidatonya.
Naruto menolehkan kepalanya dan memandang Gaara. Dengan nada lembut, ia menjawab pertanyaan Gaara, “Kau tahu betul alasannya, Gaara. Aku tidak pernah menutup-nutupi apapun darimu,”
“Tapi…” Gaara masih ragu.
“Aku tak punya pilihan lain, Gaara. Hanya Kakashi-sensei yang bisa membantuku.”
“Kita bisa memanggilnya ke sini dan aku yakin ia tak akan keberatan melakukan kunjungan ke Suna diantara waktu santainya membaca buku laknat karangan mantan gurumu itu,” balas Gaara dengan keras kepala.
Naruto meracau, “Beberapa hari ini cuacanya cerah ya. Aku yakin tidak akan ada badai pasir selama dalam perjalanan ke Konoha,” untuk mengalihkan topic. Tidak terlalu berhasil. Gaara masih tetap kerap kepala, bersikeras membahas topic sensitif ini. “Aku juga harus mengunjungi makam kedua orang tuaku. Sudah hampir 7 tahun lamanya aku menelantarkannya,”
Gaara menyipit tajam. Lagi-lagi Naruto tidak mau jujur. Sebetulnya, ia tak keberatan Naruto kembali ke Konoha. Bagaimana pun itu desa kelahirannya dan ia punya beberapa orang yang dikasihinya. Tapi, masalahnya di Konoha ada orang itu, orang yang telah membuat Naruto hidup menderita seperti ini. Siapa lagi kalau bukan si brengsek Sasuke Uchiha.
Dia itu memang bajingan tulen. Dari ia masih bocah hingga kini beranjak dewasa, ia masih saja menyusahkan Naruto. Daftar kejahatannya pada Naruto sangatlah panjang, dari mengkhianatinya, berniat membunuh Naruto beberapa kali, menikung Naruto, menghancurkan impian Naruto, merebut ceweknya —mungkin—, dan yang terbaru meninggalkan Naruto dalam keadaan ukh, Gaara bahkan tak sanggup menyebutnya saking kasihannya. Pokoknya, makhluk itu tak layak mendapat ampunan. Makhluk sesat.
“Lalu, bagaimana caramu menghadapi si Uchiha itu?” tanya Gaara.
Punggung Naruto menegang. Ia berdiri dengan kaku. Iris safirnya nampak kosong, tiada kehidupan untuk sesaat. Namun, akhirnya ia berhasil menguasai diri. “Uchiha yang mana?” tanya Naruto dengan bodohnya.
“Memangnya berapa jumlah Uchiha di dunia ini?” sindir Gaara. Ia melipat kedua tangannya di atas dada, menatap angkuh Naruto.
Naruto menelan ludahnya susah payah. Mendadak, ia merasa kerongkongannya kering kerontang. “Konoha itu luas. Aku tak harus menemuinya setiap hari,” elak Naruto. Suaranya terdengar bergetar dan asing, bahkan di telinganya sendiri.
“Jangan membohongi dirimu sendiri!” tukas Gaara kejam. “Dia itu hokage. Mau tak mau kau akan berurusan dengannya lebih sering dari yang kau inginkan. Dan bagian terburuknya..”
“Apa?”
“Ia akan menikah sekitar 2 bulan lagi. Itu artinya kau datang tepat saat ia akan mengikrarkan sumpah seumur hidupnya sebagai suami,”
Keheningan yang ganjil menggantung di udara. “Memangnya kenapa kalau ia menikah? Itu bukan urusanku. Aku hanya datang untuk meminta bantuan Kakashi-sensei dan lalu pulang.” Kata Naruto defensif, berusaha terdengar acuh dan dingin.
“Astaga, Naruto! Kau itu betul-betul naïf.” Gerutu Gaara kesal. “Dia pasti tidak akan membiarkanmu pulang begitu saja, apapun alasannya sebelum kau datang ke pestanya. Kau yakin sanggup bertahan?”
“Tidak mungkin. Kau lupa? Aku ini bagi Konoha adalah monster. Mereka pasti akan dengan senang hati mengizinkanku tidak datang ke pesta itu.”
“Kau pikir Uchiha itu idiot? Apapun pandangan Konoha, di mata dunia kau itu pahlawan. Jika ia tidak mengundangmu, itu berarti mereka menjatuhkan nama baiknya sendiri di depan para kage dan shinobi-shinobi penting dari berbagai desa.” Sembur Gaara.
“Aku…”
“Atau, jangan-jangan kau memang merindukan si Uchiha itu. Kau hanya menggunakan Menma sebagai alasan. Iya, kan?” tuduh Gaara.
“Tidak aku tidak begitu.”
“Huh, omong kosong. Kau pikir aku percaya? Aku mengenalmu, Naruto. Kau itu sangat terobsesi padanya.”
“Aku tidak terobsesi padanya.”
“Kebohongan yang lain lagi. Apa kau lupa? Kau mengejarnya selama 3 tahun. Kau bahkan meminta bantuanku.”
“Itu karena aku sudah janji pada Sakura,”
“Bohong.”
“Tidak,”
“Bohong,”
“Tidak,”
“Akui saja kau memang terobsesi padanya. Iya, kan?” tuduh Gaara lagi.
“Tidak,”
“Iya,”
“Tidak,”
“Iya,”
Keduanya terus berdebat hingga beberapa menit lamanya, mengabaikan seorang penonton yang memandang keduanya dengan jengah di salah satu sudut ruangan. Matanya beralih dari Naruto ke Gaara dan sebaliknya berulang-ulang. Wajahnya memperlihatkan keheranan dan juga ill feel, merasa percakapan GaaNaru ini sangatlah absurd.
Keduanya bertengkar layaknya pasangan kekasih yang sedang cemburu karena kehadiran pihak ketiga, daripada sepasang sahabat. Sikap Gaara yang posesif dan kalimat-kalimatnya yang ambigulah yang membuat persepsi gila itu terbentuk di kepala Kankurou. Dan itu sukses membuat bulu roma Kankurou meremang. Ia tak suka baca homophobic dengan yang berbau penyimpangan seksual, meski itu bukanlah sesuatu yang aneh di jaman sekarang.
Dia tahu, di dunia shinobi sekarang, hubungan homo, gay dan yang sejenis bukanlah sesuatu yang tabu. Hubungan ini terjadi karena minimnya jumlah wanita yang hidup pasca perang mengerikan melawan Madara. Parahnya lagi, para wanita ini sangatlah kejam dan pemilih, sehingga akhirnya para pria beralih pada sesama jenisnya untuk melampiaskan hasrat seksualnya. Well, itu teori Kankurou sih, dan ini belum teruji secara klinis.
Ia tidak menutup mata, jika praktek ini sudah berkembang jauh sebelum hubungan sejenis ini merebak seperti sekarang. Ia pernah mendengar selentingan kabar jika diantara para shinobi hebat ada yang terlibat hubungan sesama jenis. Kankurou tidak tahu pasti. Namun, ia menduga sepertinya diantara anggota Akatsuki ada yang homo dech. Di sana kan ada cowok bishounen.
Naruto bukanlah pria bishounen. Ia cukup mainly. Tubuhnya kekar. Rahangnya tegas dan kasar untuk ukuran pria cantik. Tapi, sejak memiliki Menma, Naruto jadi agak… ukh bagaimana bilangnya ya? Naruto dianugerahi watak lembut layaknya kaum wanita, penuh kasih, dan senyuman yang mampu membuat pria mana pun salting di depannya. Bisa saja kan Gaara… Gaara yang tadinya orientasi seksualnya tidak jelas, jadi ehem sudah memutuskan orientasinya sekarang.
Kankurou mengumpat dalam hati, berdoa sepenuh hati, semoga adiknya termasuk golongan lurus, selurus tiang listrik. Dalam hati, ia menyalahkan Kakashi. Ia tertuduh utama yang memberikan pengaruh buruk pada Gaara. Ketidak jelasan orientasi seksualnya dijiplak dengan sempurna oleh Gaara. Oh, dan itu membuat Kankurou ingin mempelajari ilmu Vodoo untuk mengutuk mantan guru Naruto itu.
“Pokoknya aku tetap pergi ke Konoha. Titik!” kata Naruto memutus lamunan nista Kankurou.
Gaara menghela nafas. Ia tahu akhirnya ia kalah. Ia tak mungkin menang melawan kekeras kepalaan Naruto. Tapi, bukan berarti ia akan membiarkan Naruto menghancurkan dirinya lagi. “Oke aku ijinkan kau pergi ke Konoha, tapi aku ikut denganmu,” putus Gaara. Naruto hendak menyanggah, namun sudah dipotong Gaara. “..dan aku tidak menerima penolakan,” tambahnya.
“Lalu, bagaimana dengan Suna, jika kau pergi?”
“Kan ada Kankurou. Ia bisa menggantikan tugasku sementara waktu.”
“Kau tak boleh melalaikan tugasmu. Kau itu seorang kage,” cela Naruto.
“Suna tidak akan hancur hanya karena ku tinggal sebentar. Toh, aku juga harus menghadiri pesta pernikahan si Uchiha sialan itu.”
“Kau tidak bisa seenaknya begitu, Gaara.” Nada tajam terdengar dari kalimatnya.
“Kalau begitu kau memutuskan untuk tetap tinggal?” Gaara melempar pertanyaan lagi. Naruto memilih diam, tak ingin terpancing dalam perdebatan melelahkan itu.
“Naruto benar. Kau tak bisa melempar tanggung jawabmu begitu saja padaku,” kata Kankurou yang sejak tadi diam kini ikut berkomentar. Batinnya terusik setelah namanya disebut-sebut.
“Aku juga ingin mengunjungi keponakanku tercinta,”
So Sweat. Rupanya, kau masih ingat kalau kau punya keponakan yang tinggal di Konoha sana?” sindir Kankurou. Selama ini, Gaara tak pernah satu kali pun mengunjungi Temari-Shika semenjak mereka menikah. Ia baru tahu jika Temari punya seorang putra beberapa minggu lalu, yang artinya sudah telat selama 5 tahun. Ia bahkan ragu, Gaara ingat nama keponakannya sendiri.
“Apa boleh buat aku sibuk, dan aku berencana memperbaiki hubungan kami. Aku akan membelikannya beberapa hadian sebagai penebusan.” dalih Gaara.
“Seharusnya kau menikah dan punya anak, bukannya berkencan dengan kertas-kertas keparat itu, agar kau jadi lebih manusiawi.”
“Omong kosong. Aku sudah punya dua keponakan yang siap aku manjakan. Aku tak butuh selusin anak untuk membuatku merasakan posisi sebagai seorang ayah.”
‘Tuh kan benar. Gaara memang tidak jelas. Bahasanya benar-benar ambigu.’ Pikir Kankurou. Dia itu sebenarnya menganggap Naruto apa sih? Dibilang hanya sahabat, ia terlalu over protektif, sampai hal-hal sepele pun ia perhatikan. Dibilang kekasih, ia sangatlah tidak romantis dan kaku. Dibilang hanya kenalan, nyatanya ia bersikap hangat.  Jadi? Apa dong?
Kankurou bergumam tidak jelas. Naruto mendengar nama Kakashi disebut-sebut. Naruto tahu, jika selama ini Kankurou selalu menuduh mantan hokage keenam itu, tertuduh utama yang memberikan pengaruh yang tidak baik pada Gaara. “Aku bisa pergi sendiri, Gaara.” Kata Naruto mengusik lamunan Kankurou.
“Tidak. Sudah diputuskan, aku ikut denganmu,” kata Gaara tak menerima penolakan.
Naruto dan Kankurou hanya bisa menghela nafas, pasrah. Susah mempengaruhi Gaara saat ia sudah bertekad melakukan sesuatu. Tak ada satupun yang bisa membelokkan tujuan Gaara. Kalau sudah begini, mau tak mau, mereka hanya bisa menurutinya.

…………………….*****……………………

Butuh waktu sebulan untuk menempuh perjalanan dari Suna ke Konoha. Naruto bisa saja menyingkatnya menjadi beberapa hari saja. Tapi, karena Menma turut serta dalam perjalanan, mau tak mau, ia pun harus melambatkan perjalanannya, jadi secepat siput berjalan. Akan tetapi, Naruto tidak mengeluh.
Naruto butuh waktu untuk menyiapkan mentalnya. Tidak seperti perkataannya pada Gaara. Sejujurnya, ia ragu dengan perjalanan ini. Ia dicekam perasaan was-was. Bagaimana jika mereka menanyakan soal Menma? Siapa orang tuanya? Bagaimana jika ada yang menghubungkan Menma dengan orang itu?
Naruto dilanda panik dari waktu ke waktu. Ia takut rahasianya —alasan yang membuat Naruto harus meninggalkan Konoha 7 tahun lalu—terkuak. Waktu itu, Naruto berencana untuk tidak menginjakkan kaki lagi di Konoha. Tapi, Kami-sama punya rencana lain. Takdir kembali mempermainkan hidupnya.
Terjadi sesuatu pada anak kesayangannya, Menma. Satu-satunya pertolongan yang bisa ia harapkan adalah orang itu, atau mungkin Kakashi-sensei. Naruto berharap tidak harus meminta bantuan orang itu. Cukup Kakashi sensei saja. Ia tak ingin rahasia yang ia kubur dalam-dalam terkuak dan menorehkan luka di hati banyak orang. Biarlah rahasia menjadi rahasia, terkubur oleh waktu hingga ajal menjemputnya.
‘Tidak, tidak mungkin mereka tahu,’ kata Naruto merapal dalam hati layaknya mantra. Ia terus mengulanginya di sela-sela acara mengurus Menma.
Gaara memperhatikan Naruto dalam diam. Ia tahu kegelisahan Naruto. Tapi, ia tidak bisa berbuat banyak. Ini sudah keputusan Naruto dan ia menghormatinya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk Naruto adalah mendampinginya, melindunginya, dan memberikannya sandaran untuk Naruto.
“Kita sudah sampai, Naruto.” kata Gaara memutus lamunan muram Naruto.
“Oh, ya.” Kata Naruto tak semangat. Ia menunggu rasa rindu itu muncul dalam hatinya. Sayangnya, itu tidak terjadi. Hatinya sama sekali tak tergerak dengan semua yang ada di desa. Tatapannya tetap kosong sama seperti 7 tahun lalu. Kalaupun ada yang membuatnya antusias, itu adalah pahatan wajah milik para hokage, khususnya wajah ayahnya di bukit Konoha.
Naruto mengangkat Menma lebih tinggi. “Itu pahatan wajah kakekmu, Menma!” kata Naruto berbicara pada Menma.
“Gyaa..! Kyaaa…! Kaa..kakk..!” celoteh Menma tidak jelas.
“Kakek, sayang.” Kata Naruto membetulkan.
“Jaa..jaa.. Kaaa..kaakk…!” seru Menma dengan bahasa bayinya. Tangan dan kakinya bergerak-gerak tidak jelas. Sepertinya, ia sedang protes pada Naruto karena Naruto tak mengizinkan Menma merangkak di tanah untuk menjelajahi tempat baru itu, dan masih saja menggendongnya seperti bayi.
Naruto tersenyum tipis menanggapi. Ia mengelus punggung Menma penuh sayang dan lalu mengecup puncak kepalanya, menyerap aroma wangi dari tubuh Menma.
“Kita kemana dulu, Naruto.”
“Ke pasar untuk belanja. Aku harus menyiapkan makan untuk Menma terlebih dahulu. Dan, tentu saja bersih-bersih apartemen. Aku yakin Menma lapar dan juga letih.”
Gaara menatap Naruto skeptis. Menma tidak terlihat seperti bayi yang sedang lemah, letih, dan lesu. Sebaliknya, ia tampak bersemangat, tak sabar untuk mengeksplor tempat baru itu. Oniksnya saja sudah berbinar-binar. “Terserah kau saja,” kata Gaara pasrah.
Mereka berdua memasuki areal pertokoan, mengabaikan tatapan aneh orang-orang. Gaara biasanya tak ambil pusing. Jika saja bukan Naruto dan Menma yang dipandangi. Mereka pasti berfikir jika mereka ini keluarga yang tengah piknik. Ia tak keberatan sih. Ide memiliki keluarga seperti Naruto-Menma bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi, ia tak suka melihat tatapan nafsu mereka pada Naruto.
Sekilas, Naruto terlihat seperti wanita cantik. Rambut Naruto yang panjang dan dikepang asal berikut tubuhnya yang tinggi semampai memang sering membuat orang salah paham. Ia sering dikira wanita cantik dan seksi. Gaara merengut masam, melemparkan deathglear mematikannya pada orang-orang lancang itu sepanjang perjalanan.
Mereka berhenti di depan toko bahan makanan. Naruto belanja persediaan bahkan makanan untuk beberapa hari ke depan dan juga kebutuhan rumah tangga lainnya, khususnya kebutuhan balita. Dijamin kulkasnya akan penuh. Naruto juga membeli beberapa potong baju untuk Menma. Kini, tangan mereka penuh dengan belanjaan.
Waktu meninggalkan toko, Naruto merasa ada yang kurang. Tapi, ia tak ingat. Gaara tidak banyak membantu. Dan, ia memilih mengabaikannya karena ia sangat letih dan ingin segera istirahat di apartemennya, sama seperti Gaara.  
Di tengah jalan, tak disangka-sangka, Naruto dan Gaara bertemu dengan Temari dan ia mengajak baca menyeret Gaara ke rumahnya. Kini, tinggalkan Naruto dengan kantung-kantung belanjaan. Naruto geleng-geleng kepala. Ia maklum dengan tingkah Temari. Mereka kan sudah lama sekali tak bertemu. Temari pasti kangen pada adiknya yang satu ini.
Setelah itu, Naruto melihat Kiba dan Shino yang tengah jalan berdua dengan baju santai menyusuri areal pertokoan. Naruto nyengir gaje melihat pasangan aneh itu. Maksud Naruto, pasangan sahabat itu. Naruto tidak berfikir yang macam-macam, kok.
“Hoy, Nar!” seru Kiba melambai antusias. Ia menarik Shino yang berjalan lebih lambat dan berlari kecil menghampiri Naruto. “Kau pulang? Kapan?” tanyanya.
“Iya, baru saja.”
“Wach, sudah lama tidak bertemu. Kau berubah banyak ya? Aku hampir tidak mengenalimu. Untung, aku hafal baumu.” komentar Kiba dengan penampilan baru Naruto yang bertolak belakang dengan gaya Naruto 7 tahun lalu. Naruto jadi lebih anggun, dan tidak lagi urakan. “Kau sendiri ke sini?” tanya Kiba.
“Tidak. Aku datang bersama Gaara, tapi Gaara tadi bertemu dengan kakaknya dan ia lalu meninggalkanku dengan ....” Naruto celingukan. “Lho, mana dia? Dia dimana?” tanya Naruto panik.
“Siapa? Bukannya dari tadi kau sendiri.” Tanya Kiba bingung.
“Menma mana?”
“Menma itu siapa?” tanya Shino yang untuk pertama kalinya bersuara.
“Anakku.”
“Kau sudah punya anak? Berarti, kau sudah menikah dong. Kok, kau tak mengabarkan ini padaku, sih.” Keluh Kiba dengan cerewetnya.
“Nanti saja ceritanya. Aku harus mencari Menma dulu.” kata Naruto mengakhiri percakapan mereka. Naruto berjalan tergesa-gesa. Kantung belanjaannya terlupakan begitu saja. Matanya celingukan mencari Menma. “Menma! Menma!” panggil Naruto ketakutan.
Kiba dan Shino memutuskan untuk membantu Naruto. Shino membawa belanjaan Naruto dan mengirimnya ke apartemen Naruto. Sedangkan Kiba membantu Naruto mencari Menma. Keduanya berpindah dari satu toko ke toko lainnya, mencegat orang-orang yang lewat dan menanyai mereka.
Setengah menit berlalu, dan Menma tak kunjung ketemu. Naruto sudah hampir dikuasai perasaan takut. Jika wanita, Naruto pasti sudah menangis meraung-raung karena cemas dan marah. Berbagai prasangka buruk menghantui benaknya. “MENMAA…!” teriak Naruto seperti orang kesetanan.

…………………….*****…………….

Di waktu yang sama, di kedai dango, Neji tampak berwajah masam. Ia tak tahan pada seseorang yang dengan seenaknya meninggalkan balitanya di tengah jalan. Mana balita itu bertengger di kepalanya pula. Itu bikin Neji dari jengkel menjadi luar biasa jengkel. Ia bersumpah akan memberi pelajaran pada orang tua sembrono itu.
“Itu apa, Ji?” tanya Lee, rekan timnya yang baru tiba di samping Tenten.
Hari ini mereka ada misi keluar desa, karena itu mereka berniat berkumpul di pintu gerbang. Sayangnya, ada si setan cilik ini yang menghentikan misi penting Neji. “Bayi,” jawab Neji ketus.
“Aku tahu. Maksudku itu bayi siapa? Dan kenapa kau membawanya? Kita ini ada misi penting,” kata Lee jengah.
Neji hendak menjawab, tapi balita itu memilih untuk menjawabnya terlebih dahulu. “Dadada…”
“Astaga! Jadi, kau punya anak rahasia, Ji? Pantas saja kau tak mau menikah hingga sekarang,” cetus Lee terkejut.
Neji dengan sadis memukul kepala Lee. “Bukan,” aku Neji. “Aku tak tahu ini anak siapa. Tiba-tiba saja ia sudah memanjat tubuhku dan tak mau turun dari kepalaku. Adududuh… sakiitt… jangan tarik-tarik rambutku!” jerit Neji berusaha melepas cengkraman si balita dari rambutnya. “..dan jangan mengilerinya juga,” kata Neji merasa jijik dengan air ludah si balita yang membasahi rambut indahnya.
“Mungkin dia lapar,” komentar Tenten. “Coba susui!” usulnya dengan tidak cerdasnya.
“Kau pikir aku punya payudara? Apa kau buta? Aku ini laki-laki.” Raung Neji geram.
“Ups, sorry. Aku lupa. Habis kamu lebih cewek dari cewek sih,” kata Tenten dengan tidak bertanggung jawabnya.
“Aku anggap benjolan di kepalamu itu yang membuatmu bicara ngawur,” balas Neji sinis. Dia memang pria yang sinis, sejak dulu, dan semakin sinis setelah kepergian Naruto. Tidak, ia tidak jatuh cinta pada Naruto. Tapi, dengan perginya Naruto, impiannya untuk mendapatkan status setara seperti klan souke juga hilang. Dan, itu membuatnya jadi orang yang getir.
“Menma..!” terdengar sebuah suara memanggil-manggil.
“Mungkin, itu orang tua bayi ini,” kata Lee menjadi solusi. “Di sini!” balas Lee tidak kalah kerasnya dengan suara yang memanggil Menma-Menma.
“Oh, Menma. Rupanya kau di sini,” kata sosok berambut pirang panjang yang dikepang asal itu lega. Ia berusaha mengambil Menma dari kepala Neji. Tapi, Menma keras kepala, menolak melepas Neji.
“Kau siapa? Aku tak pernah melihatmu.” tanya Lee sopan, tapi tidak dihiraukan orang tua si bayi. Ia bahkan memunggungi Lee untuk membujuk anaknya yang masih setia bertengger di kepala Neji.
“Menma sayang. Ini tou-san!” bujuk orang itu lagi.
“Ndak. Dada…” racau Menma mengeratkan cengkramannya pada Neji.
“Bukan sayang. Itu ji-san. Ini Da…”
“Ketemu Naruto?” tanya Kiba tiba-tiba muncul dari belakang.
“Jadi kau Naruto! Astaga! Aku pangling,” cetus Lee.
“Naruto! Lakukan sesuatu dengan ini!” cetus Neji. Sejujurnya, ia senang dengan kepulangan Naruto karena Naruto salah satu dari sedikit orang yang ia akui dan ia anggap penting dalam hidupnya. Ia tak bermaksud berkata dengan nada sinis, tapi itu terlontar begitu saja. Bagian dari kepribadiannya.
“Maafkan aku Neji.” Naruto meminta maaf. Ia dengan cekatan melepas ikatan rambutnya dan menggerainya, membuat banyak orang terperangah, terpesona oleh Naruto. Menma melompat dari kepala Neji dan berhasil ditangkap oleh Naruto. Naruto tersenyum minta maaf. “Dia suka dengan orang yang berambut panjang dan dibiarkan tergerai,” kata Naruto memberi alasan.
“Karena itu, ia memutuskan bermain-main dengan rambutku,” keluh Neji. Ia sedikit menyesal kenapa tadi melepas ikatan rambutnya, hanya untuk memperbaiki ikatan rambutnya yang agak longgar. Jadi, ia tertimpa sial, dijadikan mainan oleh anak Naruto. Tapi, hanya sedikit. Ia jauh lebih senang, karena berkat itu, ia jadi bertemu dengan Naruto setelah sekian tahun lamanya tak bersua. Siapa tahu, setelah pulang dari misi, Naruto sudah meninggalkan Konoha lagi. Dan, ia pun kecele.
“Sepertinya begitu.” Naruto memandang Menma. “Tidak boleh melakukan itu lagi. Mengerti?” kata Naruto dengan tegas. Menma hendak protes, tapi tatapan tajam Naruto berhasil membungkam protesnya. Bayi juga tahu kapan ia bisa protes dan kapan ia harus diam.
“Are, maaf Menma menghentikan kalian. Kalian mau pergi keluar desa, kan?”
“Ya, dan tak masalah. Aku senang dengan Menma kok. Dia bayi yang manis,” jawab Neji tidak sesuai dengan keluhan panjang lebarnya tadi. Tenten sweatdrop. ‘Apa Neji juga terkena virus homo?’ batinnya terkejut. Ia pikir, selama ini, Neji itu aseksual, sama seperti Orochimaru.
“Kau sudah menikah Naruto?” tanya Lee mengulangi pertanyaannya sebelumnya yang  terpotong oleh kehadiran Kiba.
Naruto diam tak menjawab. Tapi, ia memamerkan senyum penuh artinya yang diterjemahkan oleh teman-temannya sebagai iya.
“Mana ibu Menma?” tanya Lee lebih lanjut.
Naruto bergerak gelisah. Ketenangan palsu yang ia perlihatkan barusan pecah. Ia tahu, suatu saat akan ada yang menanyakan ini. Namun, ia belum siap menjawabnya dan mungkin tak akan pernah siap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar