DISCLAIMER
: Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre
: Romance dan Friendship
Rating
: T
WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, OOC_Iruka,
campuran Canon dan AU, little bashing penduduk Konoha.
Pair
: -
Author
Note :
Banyaknya
fic Canon, membuat Ai tergoda untuk melakukan hal yang sama. Tapi, di cerita
Ai, Naruto tidak dibuat super power,
melainkan bertahap.
Chekidot.
Don't
Like Don't Read
Chapter
one
Naruto berjalan ke
sekolahnya dengan santai
seperti biasanya. Ia
bersiul kecil di sepanjang trotoar yang dilaluinya bersama para pejalan kaki
lainnya. Sesekali, ia membetulkan tali tas
punggungnya yang melorot ke bawah.
Tak pernah terbersit pun dalam benaknya, akan terjadi
sesuatu yang besar hari itu, sama seperti orang-orang di sekitarnya.
Lalu, terjadilah
sesuatu yang berada di luar prediksi. Gejala pertamanya, terjadi guncangan
lemah pada tanah yang menyebabkan beberapa orang oleng. Lebih karena terkejut
daripada efek guncangannya. ‘Gempa,’ batin mereka tenang. Mereka sama sekali
tak panik, karena memang di Jepang termasuk Konoha sering terjadi gempa
khususnya yang skala ringan seperti ini. Jadi, sama sekali tidak ada histeris
masal.
Beberapa menit
kemudian, terdengar suara aneh, seperti suara retakan pada dinding. Awalnya
perlahan, dan lama kelamaan semakin keras. Sesudahnya, tanah beraspal, trotoar
yang dilapisi beton tampak merekah seiring kerasnya suara retakan. Dreeetttt....
kretekkk... kretekkk... Selanjutnya, jalanan membelah jadi dua, menyebabkan kendaraan yang
tak sempat diselamatkan tertelan atau remuk karenanya.
Tak butuh waktu
lama, manusia-manusia yang ada di sekitar itu pun berlarian, bergegas mencari
tempat perlindungan, termasuk Naruto. Naruto kebingungan,
tengok kanan kiri mencari tempat perlindungan yang paling aman. Namun, tak ada tempat aman untuknya. Semua lahan
telah ditanami gedung-gedung bertingkat, jalan layang yang sudah patah,
membelah, yang sewaktu-waktu bisa ambruk menimpanya jika gempa belum berhenti
berguncang. Akhirnya, ia memilih lari ke tengah lapangan
baseball yang ada 100 meter di depannya bersama
puluhan atau ratusan orang.
Sayangnya nasibnya tidaklah seberuntung orang-orang yang tadi
lari bersamanya. Ia terlambat menyelamatkan diri. Ada
sebuah tiang listrik yang tadinya berdiri tegak, kini oleng
dan jatuh menimpanya. Ini membuat bocah SD yang masih belia itu
terkapar penuh di jalan berkubang dalam
darahnya sendiri.
.......................*****.....................
Di sisi lain, di dimensi
waktu yang berbeda, ada si kecil Naruto Uzumaki yang sedang berbaring di ranjang rumah
sakit dengan banyak selang menghiasi tubuhnya. Lukanya yang sangat parah
ditambah dengan semangat hidupnya yang nol, membuatnya terbaring koma selama seminggu penuh.
Cakra merah yang dialirkan Kyuubi pada induk semangnya hanya bisa membuatnya
tetap hidup, tapi tak mampu membuatnya bangun dari tidur panjangnya.
“Kapan kau membuka matamu,
Nak?” tanya Hokage ketiga dengan raut sendu. Gurat-gurat kelelahan dan
kesedihan terlukis jelas di wajah keriputnya. Hatinya berduka. Ia merasa gagal
melindungi anak dari Yondaime Hokage yang dulu dititipkan padanya.
“Apa kau marah padaku,
karena tak berhasil membuat para penduduk desa untuk tidak membencimu, Nak? Apa
kau lelah dengan perlakuan kasar mereka, Naru-chan?” tanya Hokage ketiga tanpa
jawaban karena yang ditanya masih memejamkan mata.
“Hokage-sama.” panggil salah
satu anbu datang melapor.
“Apa?” kata sang hokage lirih seolah takut mengusik ketenangan Naruto.
“Lapor, Hokage-sama. Anda
ditunggu para tetua untuk rapat.”
“Hm.” Gumamnya datar. Karena
tugasnya yang banyak sebagai seorang hokage, membuatnya tak bisa setiap saat
menemani Naruto di rumah sakit. “Aku pergi dulu, Naru-chan. Nanti aku datang
lagi.” katanya sebelum pergi dengan sunshin ke kantornya.
.......................*****........................
Naruto terbangun di sebuah
ruangan yang gelap. Saking gelapnya, ia bahkan tak bisa melihat anggota
tubuhnya sendiri. ‘Dimana ini?’ pikirnya. Matanya nanar, memandang sekitarnya,
berusaha mencari seberkas cahaya yang akan menuntunnya. Tapi, sepanjang mata
memandang hanya ada kegelapan saja yang tersaji.
‘Tempat apakah ini?
Jangan-jangan aku sudah mati dan ini tempat menunggu ke alam selanjutnya.’
Pikirnya.
Oh, GOD. Ini tidak adil.
Hei, dia masih kecil. Masih banyak hal yang ingin dilakukannya. Seperti
menjahili Neji dan
FG-nya yang menyebalkan itu, atau menjahili Mizuki-sensei yang munafik. Tapi,
semua itu harus terhenti hanya karena gempa sialan yang kini membuatnya harus
terkatung-katung di dunia arwah. “Cih,” decihnya.
“Tenanglah.
Kau belum mati. Kau masih hidup, untuk saat ini.”
“Siapa kau? Apa kau
Shinigami?” Tanya
Naruto tertarik. Ia memang pernah mendengar kalau ada kehidupan lain
setelah kematian dan bahwa setelah mati kita akan bertemu Kami-sama dari
pengasuhnya, tapi ia belum pernah seyakin itu hingga hari ini. Maklumlah,
Naruto lahir
dan besar di lingkungan ateis yang steril dari sisi-sisi spiritual. Jadi, hal-hal gaib yang tak bisa diindera dianggap
tidak ada atau khayalan, sama seperti ide adanya Kami-sama.
“Ha
ha ha... menarik-menarik.” Bukannya menjawab, suara misterius itu justru
tertawa dan bergumam menyebalkan.
Perempatan menghiasi dahi
Naruto. “Apanya yang lucu?”
“Kau tidak takut padaku, Bocah?” tanyanya balik, enggan menjawab.
“Kenapa harus
takut? Kata pengasuhku, Kami-sama itu maha adil dan sangat penyayang, khusus
pada seorang bocah yang masih suci dan tak berdosa. Aku ini masih bocah. Jadi,
tidak mungkin kau akan memasukkanku ke dalam neraka.” Kata Naruto percaya diri.
“Tak berdosa? Apa aku tak salah dengar, mengingat
panjangnya daftar kenakalanmu?”
“Aku punya
alasan,” bela Naruto.
“Iri hati dan dengki. Itu kan alasanmu?”
Wajah Naruto
memucat. Ia lupa jika makhluk yang dihadapinya ini mungkin Kami-sama atau
Shinigami atau apalah namanya, yang pastinya tahu isi hatinya. “Memang sebagian
karena itu, tapi sebagian lagi karena mereka memang layak dijahili. Mereka
menghina pengasuhku.” Belanya berapi-api. Ia menahan diri untuk tidak menangis,
karena teringat akan pengasuhnya yang selama ini menjaganya, yang kini telah
pergi menghadap Kami-sama untuk selamanya demi melindunginya.
“Tentu saja aku tahu, Bocah, karena aku selalu melihat
dan memperhatikanmu. Tapi, itu tidak mengurangi besarnya kesalahanmu, beban
dosamu. Penyebab tidak bisa jadi pembenaran untuk semua kesalahan dan
kejahatan, seringan apapun kejahatan itu,”
“Lalu, apa
maumu? Apa kau akan memasukkanku ke neraka?”
“Tidak. Tapi, aku punya tawaran untukmu,”
Naruto mendesah
lega, memikirkan dirinya tak jadi dibakar oleh api neraka. Baru terkena siraman
air panas sedikit saja, ia sudah menjerit apalagi jika dirinya dicelupkan ke
dalam sumur penuh larutan mendidih di atas bara api nan panas? Baru
membayangkannya saja sudah ngeri, gimana kalau itu benar terjadi? Habislah ia.
“Tawaran? Seperti apa?” tanyanya begitu ia mendapatkan suaranya kembali.
“Untuk memperbaiki kehidupanmu,”
“Maksudnya?”
“Saat ini dunia dikuasai oleh tirani dictator Raja
Bayangan. Ia telah membuat para penduduk …,”
“Intinya saja dech,”
potong Naruto malas mendengarkan penjelasan yang panjang dan bertele-tele. Khususnya,
ceramah soal sejarah. Tidak, terima kasih. Cukup di sekolah saja. Ia tak mau
mendengarnya lagi.
“Bagaimana kalau kita praktek saja?”
“Praktek?”
“Ya, praktek. Jika kau setuju kau akan hidup kembali.
Jika tidak ya kau mati,” katanya dengan
entengnya.
Naruto merenung.
Ia menimbang-nimbang tawaran yang sangat mencurigakan ini, terlebih dari
seseorang yang tidak nampak wujudnya. “Aku setuju,” katanya mantap. ‘Tak ada
ruginya ini,’ tambahnya dalam hati.
“Bagus. Sekarang pejamkan matamu!”
“Tunggu! Kau belum
memberi tahu misiku sebagai barter nyawaku?”
“Tugasmu mudah. Temukan mereka.”
“Mereka? Siapa?”
“Orang-orang pilihan yang rencananya akan dibunuh oleh Raja Bayangan
karena dianggap menghalangi ambisinya, yakni menguasai dunia.”
“Bagaimana
caraku menemukannya?”
“Mereka ada didekatmu,”
“Hey, memangnya
aku hidup di gua yang hanya dihuni dua orang? Bagaimana aku membedakannya
dengan orang… b-biasss...aaa…!” Naruto terpaksa menelan kembali aksi protesnya karena
ia tersedot kembali ke lubang hitam. Naruto menjerit ketakutan. Ia berusaha
menggapai apapun yang bisa dijadikan tali penyelamat. Perasaan takut dan sesak
itu kembali menghantuinya. “T-tolongg..! Tolong aku!” jeritnya memohon
pertolongan.
“Temukan mereka, Naruto! Aku akan memberimu dua kekuatan untuk
menjalankan misi penting ini.”
Tutur suara misterius itu sebelum suaranya menghilang dan tidak bisa didengar
oleh Naruto lagi karena kegelapan telah berhasil menangkapnya.
………………………*****…………………….
Sasuke membaca
gulungan di tangannya dengan ekspresi bosan, soalnya ia sudah hafal tiap kata
dalam gulungan itu. Namun, ia tetap membacanya untuk membunuh rasa bosan akut
yang mencekiknya. Sesekali, ia menengadahkan kepalanya, untuk melihat
kalau-kalau si Dobe ini sadar. Ia menghela nafas panjang, karena harapannya
membentur dinding yang tinggi. Si Dobe masih sama seperti hari-hari sebelumnya,
masih saja belum sadarkan diri.
“Cih!” dengusnya
jengkel. Sebetulnya, ia malas menunggu teman setimnya yang sedang koma ini.
‘Buang-buang waktu saja! Lebih baik latihan,’ pikirnya kejam. Akan tetapi,
Kakashi-sensei yang jadi pembimbingnya memaksanya. Jadi, ia dengan terpaksa
menerimanya.
Ia pikir ‘Tak
apalah menerimanya,’ Toh, ia juga kasihan pada nasib si Dobe ini yang tak kalah
malangnya dari kehidupannya. Itung-itung amal. Itu setengah jam yang lalu.
Sekarang, ia menyesal pakai sangat. Karena menunggui orang yang sedang koma
tuch bosannya tidak ketulungan. Terlebih jika kau seorang diri saja. Bosannya
dua kali lipat.
“Gyaa…!” jerit
Naruto keras dalam tidurnya. Sasuke yang sudah hampir tertidur karena bosan
terbangun seketika. “Naruto,” gumamnya secara refleks mencengkram tangan
Naruto, sekedar memberinya rasa aman.
Naruto pun
membuka matanya. Safir indah yang selama seminggu ini tertutup kini terbuka.
Naruto mengerjabkan bulu matanya untuk memfokuskan penglihatannya. Yang pertama
ditangkap olehnya adalah warna putih dari langit-langit bangunan yang
ditempatinya. ‘Dimana ini?’ batinnya kebingungan setelah ia berhasil keluar
dari jebakan pusaran lubang hitam menakutkan yang menyedotnya tadi.
Lalu, indera
penciumannya aktif kembali. Hidung mancungnya mencium aroma obat-obatan yang
selalu sukses membuat perut Naruto bergolak mual. Telinganya mendengar suara
alat medis nan rumit yang tugasnya menangkap suara detak jantung. ‘Ini pasti
rumah sakit,’ pikirnya begitu ia mendapatkan kembali kesadarannya.
Selanjutnya,
Naruto merasakan kehangatan mengaliri kulit di bagian jemari tangannya. Rasa
hangat itu ternyata berasal dari sebuah tangan berwarna putih berwarna putih
milik seorang bocah berusia belasan tahun yang kira-kira sepantaran dengannya.
Mata Naruto merambat ke atas, mencari pemilik tangan itu. Tatapannya terpaku
pada mata sekelam langit malam yang tiada berbintang. Safir bertemu oniks.
Naruto
mengernyit. Ia memutar otaknya, mencari-cari dalam folder penyimpanan arsip
memorinya di otaknya. ‘Siapa dia?’ batinnya penuh tanda tanya. Ia belum pernah
melihat seseorang yang begitu tampan, begitu sempurna dalam penciptaannya,
sehingga tidak terlihat manusiawi seperti orang yang ada di hadapannya ini. ‘Malaikat?’
batinnya. “Kau siapa?” tanyanya pada akhirnya.
Wajah orang itu
memang datar. Tapi, Naruto masih bisa menangkap kekesalan samar pada oniksnya.
‘Kenapa ia marah? Apa yang telah ku lakukan hingga membuatnya semarah itu?’
batinnya bingung. Ia mungkin tak mengenalnya, tapi Naruto yakin orang ini
bukanlah orang yang gemar memamerkan emosinya. Jika emosinya sampai terlihat,
pasti orang itu memang sudah sangat keterlaluan.
“Candaanmu tidak
lucu, Dobe.” Katanya ketus.
Mata Naruto
memicing. Oke, ia memang bukanlah orang yang jenius. Nilai-nilai pelajarannya
selalu jeblok. Ia hanya mendapat nilai tinggi pada satu bidang pelajaran saja,
tapi bukan berarti ia akan terima dikatai ‘Dobe’. Terlebih oleh orang asing
ini. “Siapa yang kau panggil Dobe, Teme?” teriaknya kesal.
“Itu ingat.”
celetuknya.
“Jadi namamu
Teme?” pekik Naruto terkejut. ‘Oh, astaga,’ tambahnya dalam hati. Orang tua
gila mana yang memberi nama anaknya, ‘Teme’? Normalnya, orang tua pasti ingin
anaknya jadi orang baik. Karena itulah, mereka memberi nama anaknya dengan
sesuatu yang bermakna positif. Lah ini, Teme. Astaga! Kesurupan apa sih orang
tuanya sampai mendoakan anaknya agar jadi orang brengsek.
“Tentu saja
bukan,” tukas orang itu sambil merengut masam.
“Jadi, kau ini
siapa?”
“Sudahlah! Jangan
ngelawak, Naruto!” katanya ketus. “Aku tidak suka.”
“Siapa yang
bercanda?” balas Naruto tak kalah ketusnya. ‘Orang ini siapa sih? Kenapa ia
SKSD sama aku?’ batinnya bingung.
“Jadi, kau
betul-betul tidak ingat aku?” tanyanya memastikan.
“Kalau ingat
ngapain aku nanya,” sergahnya kesal.
“Aku ini Sasuke.
Sasuke Uchiha, rekan setimmu.”
‘Sasuke Uchiha?
Rekan setim? Ni, orang ngomong apa, sih? Kurang piknik kali, ya?’ batin Naruto
tenggelam dalam kebingungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar