Selasa, 13 Desember 2016

ARE YOU NARUTO?



DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Romance dan Friendship
Rating : T
WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, OOC_Iruka, campuran Canon dan AU, little bashing penduduk Konoha.
Pair : -
Author Note :
Banyaknya fic Canon, membuat Ai tergoda untuk melakukan hal yang sama. Tapi, di cerita Ai, Naruto tidak dibuat super power, melainkan bertahap.
Chekidot.

Don't Like Don't Read

                                                                Chapter one

Naruto berjalan ke sekolahnya dengan santai seperti biasanya. Ia bersiul kecil di sepanjang trotoar yang dilaluinya bersama para pejalan kaki lainnya. Sesekali, ia membetulkan tali tas punggungnya yang melorot ke bawah. Tak pernah terbersit pun dalam benaknya, akan terjadi sesuatu yang besar hari itu, sama seperti orang-orang di sekitarnya.
Lalu, terjadilah sesuatu yang berada di luar prediksi. Gejala pertamanya, terjadi guncangan lemah pada tanah yang menyebabkan beberapa orang oleng. Lebih karena terkejut daripada efek guncangannya. ‘Gempa,’ batin mereka tenang. Mereka sama sekali tak panik, karena memang di Jepang termasuk Konoha sering terjadi gempa khususnya yang skala ringan seperti ini. Jadi, sama sekali tidak ada histeris masal.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara aneh, seperti suara retakan pada dinding. Awalnya perlahan, dan lama kelamaan semakin keras. Sesudahnya, tanah beraspal, trotoar yang dilapisi beton tampak merekah seiring kerasnya suara retakan. Dreeetttt.... kretekkk... kretekkk... Selanjutnya, jalanan membelah jadi dua, menyebabkan kendaraan yang tak sempat diselamatkan tertelan atau remuk karenanya.
Tak butuh waktu lama, manusia-manusia yang ada di sekitar itu pun berlarian, bergegas mencari tempat perlindungan, termasuk Naruto. Naruto kebingungan, tengok kanan kiri mencari tempat perlindungan yang paling aman. Namun, tak ada tempat aman untuknya. Semua lahan telah ditanami gedung-gedung bertingkat, jalan layang yang sudah patah, membelah, yang sewaktu-waktu bisa ambruk menimpanya jika gempa belum berhenti berguncang. Akhirnya, ia memilih lari ke tengah lapangan baseball yang ada 100 meter di depannya bersama puluhan atau ratusan orang.
Sayangnya nasibnya tidaklah seberuntung orang-orang yang tadi lari bersamanya. Ia terlambat menyelamatkan diri. Ada sebuah tiang listrik yang tadinya berdiri tegak, kini oleng dan jatuh menimpanya. Ini membuat bocah SD yang masih belia itu terkapar penuh di jalan berkubang dalam darahnya sendiri.

.......................*****.....................

Di sisi lain, di dimensi waktu yang berbeda, ada si kecil Naruto Uzumaki yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dengan banyak selang menghiasi tubuhnya. Lukanya yang sangat parah ditambah dengan semangat hidupnya yang nol, membuatnya terbaring koma selama seminggu penuh. Cakra merah yang dialirkan Kyuubi pada induk semangnya hanya bisa membuatnya tetap hidup, tapi tak mampu membuatnya bangun dari tidur panjangnya.
“Kapan kau membuka matamu, Nak?” tanya Hokage ketiga dengan raut sendu. Gurat-gurat kelelahan dan kesedihan terlukis jelas di wajah keriputnya. Hatinya berduka. Ia merasa gagal melindungi anak dari Yondaime Hokage yang dulu dititipkan padanya.
“Apa kau marah padaku, karena tak berhasil membuat para penduduk desa untuk tidak membencimu, Nak? Apa kau lelah dengan perlakuan kasar mereka, Naru-chan?” tanya Hokage ketiga tanpa jawaban karena yang ditanya masih memejamkan mata.
“Hokage-sama.” panggil salah satu anbu datang melapor.
“Apa?” kata sang hokage lirih seolah takut mengusik ketenangan Naruto.
“Lapor, Hokage-sama. Anda ditunggu para tetua untuk rapat.”
“Hm.” Gumamnya datar. Karena tugasnya yang banyak sebagai seorang hokage, membuatnya tak bisa setiap saat menemani Naruto di rumah sakit. “Aku pergi dulu, Naru-chan. Nanti aku datang lagi.” katanya sebelum pergi dengan sunshin ke kantornya.

.......................*****........................

Naruto terbangun di sebuah ruangan yang gelap. Saking gelapnya, ia bahkan tak bisa melihat anggota tubuhnya sendiri. ‘Dimana ini?’ pikirnya. Matanya nanar, memandang sekitarnya, berusaha mencari seberkas cahaya yang akan menuntunnya. Tapi, sepanjang mata memandang hanya ada kegelapan saja yang tersaji.
‘Tempat apakah ini? Jangan-jangan aku sudah mati dan ini tempat menunggu ke alam selanjutnya.’ Pikirnya.
Oh, GOD. Ini tidak adil. Hei, dia masih kecil. Masih banyak hal yang ingin dilakukannya. Seperti menjahili Neji dan FG-nya yang menyebalkan itu, atau menjahili Mizuki-sensei yang munafik. Tapi, semua itu harus terhenti hanya karena gempa sialan yang kini membuatnya harus terkatung-katung di dunia arwah. “Cih,” decihnya.
“Tenanglah. Kau belum mati. Kau masih hidup, untuk saat ini.”
“Siapa kau? Apa kau Shinigami?” Tanya Naruto tertarik. Ia memang pernah mendengar kalau ada kehidupan lain setelah kematian dan bahwa setelah mati kita akan bertemu Kami-sama dari pengasuhnya, tapi ia belum pernah seyakin itu hingga hari ini. Maklumlah, Naruto  lahir dan besar di lingkungan ateis yang steril dari sisi-sisi spiritual. Jadi, hal-hal gaib yang tak bisa diindera dianggap tidak ada atau khayalan, sama seperti ide adanya Kami-sama.
“Ha ha ha... menarik-menarik.” Bukannya menjawab, suara misterius itu justru tertawa dan bergumam menyebalkan.
Perempatan menghiasi dahi Naruto. “Apanya yang lucu?”
“Kau tidak takut padaku, Bocah?” tanyanya balik, enggan menjawab.
“Kenapa harus takut? Kata pengasuhku, Kami-sama itu maha adil dan sangat penyayang, khusus pada seorang bocah yang masih suci dan tak berdosa. Aku ini masih bocah. Jadi, tidak mungkin kau akan memasukkanku ke dalam neraka.” Kata Naruto percaya diri.
“Tak berdosa? Apa aku tak salah dengar, mengingat panjangnya daftar kenakalanmu?”
“Aku punya alasan,” bela Naruto.
“Iri hati dan dengki. Itu kan alasanmu?”
Wajah Naruto memucat. Ia lupa jika makhluk yang dihadapinya ini mungkin Kami-sama atau Shinigami atau apalah namanya, yang pastinya tahu isi hatinya. “Memang sebagian karena itu, tapi sebagian lagi karena mereka memang layak dijahili. Mereka menghina pengasuhku.” Belanya berapi-api. Ia menahan diri untuk tidak menangis, karena teringat akan pengasuhnya yang selama ini menjaganya, yang kini telah pergi menghadap Kami-sama untuk selamanya demi melindunginya.
“Tentu saja aku tahu, Bocah, karena aku selalu melihat dan memperhatikanmu. Tapi, itu tidak mengurangi besarnya kesalahanmu, beban dosamu. Penyebab tidak bisa jadi pembenaran untuk semua kesalahan dan kejahatan, seringan apapun kejahatan itu,”
“Lalu, apa maumu? Apa kau akan memasukkanku ke neraka?”
“Tidak. Tapi, aku punya tawaran untukmu,”
Naruto mendesah lega, memikirkan dirinya tak jadi dibakar oleh api neraka. Baru terkena siraman air panas sedikit saja, ia sudah menjerit apalagi jika dirinya dicelupkan ke dalam sumur penuh larutan mendidih di atas bara api nan panas? Baru membayangkannya saja sudah ngeri, gimana kalau itu benar terjadi? Habislah ia. “Tawaran? Seperti apa?” tanyanya begitu ia mendapatkan suaranya kembali.
“Untuk memperbaiki kehidupanmu,”
“Maksudnya?”
“Saat ini dunia dikuasai oleh tirani dictator Raja Bayangan. Ia telah membuat para penduduk …,”
“Intinya saja dech,” potong Naruto malas mendengarkan penjelasan yang panjang dan bertele-tele. Khususnya, ceramah soal sejarah. Tidak, terima kasih. Cukup di sekolah saja. Ia tak mau mendengarnya lagi.
“Bagaimana kalau kita praktek saja?”
“Praktek?”
“Ya, praktek. Jika kau setuju kau akan hidup kembali. Jika tidak ya kau mati,” katanya dengan entengnya.
Naruto merenung. Ia menimbang-nimbang tawaran yang sangat mencurigakan ini, terlebih dari seseorang yang tidak nampak wujudnya. “Aku setuju,” katanya mantap. ‘Tak ada ruginya ini,’ tambahnya dalam hati.
“Bagus. Sekarang pejamkan matamu!”
“Tunggu! Kau belum memberi tahu misiku sebagai barter nyawaku?”
“Tugasmu mudah. Temukan mereka.”
Mereka? Siapa?”
Orang-orang pilihan yang rencananya akan dibunuh oleh Raja Bayangan karena dianggap menghalangi ambisinya, yakni menguasai dunia.”
“Bagaimana caraku menemukannya?”
Mereka ada didekatmu,”
“Hey, memangnya aku hidup di gua yang hanya dihuni dua orang? Bagaimana aku membedakannya dengan orang… b-biasss...aaa…!” Naruto terpaksa menelan kembali aksi protesnya karena ia tersedot kembali ke lubang hitam. Naruto menjerit ketakutan. Ia berusaha menggapai apapun yang bisa dijadikan tali penyelamat. Perasaan takut dan sesak itu kembali menghantuinya. “T-tolongg..! Tolong aku!” jeritnya memohon pertolongan.
“Temukan mereka, Naruto! Aku akan memberimu dua kekuatan untuk menjalankan misi penting ini.” Tutur suara misterius itu sebelum suaranya menghilang dan tidak bisa didengar oleh Naruto lagi karena kegelapan telah berhasil menangkapnya.

………………………*****…………………….

Sasuke membaca gulungan di tangannya dengan ekspresi bosan, soalnya ia sudah hafal tiap kata dalam gulungan itu. Namun, ia tetap membacanya untuk membunuh rasa bosan akut yang mencekiknya. Sesekali, ia menengadahkan kepalanya, untuk melihat kalau-kalau si Dobe ini sadar. Ia menghela nafas panjang, karena harapannya membentur dinding yang tinggi. Si Dobe masih sama seperti hari-hari sebelumnya, masih saja belum sadarkan diri.
“Cih!” dengusnya jengkel. Sebetulnya, ia malas menunggu teman setimnya yang sedang koma ini. ‘Buang-buang waktu saja! Lebih baik latihan,’ pikirnya kejam. Akan tetapi, Kakashi-sensei yang jadi pembimbingnya memaksanya. Jadi, ia dengan terpaksa menerimanya.
Ia pikir ‘Tak apalah menerimanya,’ Toh, ia juga kasihan pada nasib si Dobe ini yang tak kalah malangnya dari kehidupannya. Itung-itung amal. Itu setengah jam yang lalu. Sekarang, ia menyesal pakai sangat. Karena menunggui orang yang sedang koma tuch bosannya tidak ketulungan. Terlebih jika kau seorang diri saja. Bosannya dua kali lipat.
“Gyaa…!” jerit Naruto keras dalam tidurnya. Sasuke yang sudah hampir tertidur karena bosan terbangun seketika. “Naruto,” gumamnya secara refleks mencengkram tangan Naruto, sekedar memberinya rasa aman.
Naruto pun membuka matanya. Safir indah yang selama seminggu ini tertutup kini terbuka. Naruto mengerjabkan bulu matanya untuk memfokuskan penglihatannya. Yang pertama ditangkap olehnya adalah warna putih dari langit-langit bangunan yang ditempatinya. ‘Dimana ini?’ batinnya kebingungan setelah ia berhasil keluar dari jebakan pusaran lubang hitam menakutkan yang menyedotnya tadi.
Lalu, indera penciumannya aktif kembali. Hidung mancungnya mencium aroma obat-obatan yang selalu sukses membuat perut Naruto bergolak mual. Telinganya mendengar suara alat medis nan rumit yang tugasnya menangkap suara detak jantung. ‘Ini pasti rumah sakit,’ pikirnya begitu ia mendapatkan kembali kesadarannya.
Selanjutnya, Naruto merasakan kehangatan mengaliri kulit di bagian jemari tangannya. Rasa hangat itu ternyata berasal dari sebuah tangan berwarna putih berwarna putih milik seorang bocah berusia belasan tahun yang kira-kira sepantaran dengannya. Mata Naruto merambat ke atas, mencari pemilik tangan itu. Tatapannya terpaku pada mata sekelam langit malam yang tiada berbintang. Safir bertemu oniks.
Naruto mengernyit. Ia memutar otaknya, mencari-cari dalam folder penyimpanan arsip memorinya di otaknya. ‘Siapa dia?’ batinnya penuh tanda tanya. Ia belum pernah melihat seseorang yang begitu tampan, begitu sempurna dalam penciptaannya, sehingga tidak terlihat manusiawi seperti orang yang ada di hadapannya ini. ‘Malaikat?’ batinnya. “Kau siapa?” tanyanya pada akhirnya.
Wajah orang itu memang datar. Tapi, Naruto masih bisa menangkap kekesalan samar pada oniksnya. ‘Kenapa ia marah? Apa yang telah ku lakukan hingga membuatnya semarah itu?’ batinnya bingung. Ia mungkin tak mengenalnya, tapi Naruto yakin orang ini bukanlah orang yang gemar memamerkan emosinya. Jika emosinya sampai terlihat, pasti orang itu memang sudah sangat keterlaluan.
“Candaanmu tidak lucu, Dobe.” Katanya ketus.

Mata Naruto memicing. Oke, ia memang bukanlah orang yang jenius. Nilai-nilai pelajarannya selalu jeblok. Ia hanya mendapat nilai tinggi pada satu bidang pelajaran saja, tapi bukan berarti ia akan terima dikatai ‘Dobe’. Terlebih oleh orang asing ini. “Siapa yang kau panggil Dobe, Teme?” teriaknya kesal.
“Itu ingat.” celetuknya.
“Jadi namamu Teme?” pekik Naruto terkejut. ‘Oh, astaga,’ tambahnya dalam hati. Orang tua gila mana yang memberi nama anaknya, ‘Teme’? Normalnya, orang tua pasti ingin anaknya jadi orang baik. Karena itulah, mereka memberi nama anaknya dengan sesuatu yang bermakna positif. Lah ini, Teme. Astaga! Kesurupan apa sih orang tuanya sampai mendoakan anaknya agar jadi orang brengsek.
“Tentu saja bukan,” tukas orang itu sambil merengut masam.  
“Jadi, kau ini siapa?”
“Sudahlah! Jangan ngelawak, Naruto!” katanya ketus. “Aku tidak suka.”
“Siapa yang bercanda?” balas Naruto tak kalah ketusnya. ‘Orang ini siapa sih? Kenapa ia SKSD sama aku?’ batinnya bingung.
“Jadi, kau betul-betul tidak ingat aku?” tanyanya memastikan.
“Kalau ingat ngapain aku nanya,” sergahnya kesal.
“Aku ini Sasuke. Sasuke Uchiha, rekan setimmu.”
‘Sasuke Uchiha? Rekan setim? Ni, orang ngomong apa, sih? Kurang piknik kali, ya?’ batin Naruto tenggelam dalam kebingungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar