DISCLAIMER
: Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre
: Supernatural dan Horor
Rating
T aja deh.
WARNING
Banyak
OC dan bertebaran typo di sana-sini, OOC, banyak bahasa Arab, lagu Jawa, seting
Indonesia, kata-kata tak baku, FEM NARU
Pair
: No Pair
Don't
Like Don't Read
Naruto
merasa aneh. Ia bingung berada di mana dia sekarang? Ia merasa asing dengan
tempat ini. Tempat ini begitu sepi seolah tak berpenghuni. Ya, Naruto saat ini
menginjakkan kaki di sebuah kampong yang mirip di Bali. Tapi lebih kuno. Banyak
rumah dibangun ukuran kecil di sekitar kompleks yang dibatasi pagar. Di tiap
kompleks ada bangunan mirip pura kecil warna hitam dari batu. Aroma dupa
bercampur kembang kemenyan menyeruak di indera penciumannya. "Kalau ada
dupa mengepul, berarti ada orang yang melakukan sesaji." Katanya lirih.
Naruto
berjalan ekstra hati-hati. Kenapa? Banyak sesajen di sepanjang jalan yang
dilaluinya. Ia berjalan semakin masuk ke dalam perkampungan, mencari seseorang
untuk ditanyai. Tapi sejauh mata memandang tak ada orang sama sekali.
"Hallo, ada orang di sini?" Katanya bergema, karena sepinya, hanya
ada suara gemirisik daun kering yang terinjak olehnya. "Permisi! Adakah
orang di sini?" tanyanya lagi. Tetap tak ada sahutan sama sekali.
Brrrrrrr,
ia bergidik kedinginan. Ia pun merapatkan jaketnya karena merasakan hawa dingin
dan kembali berjalan. Kali ini ia memasuki sebuah rumah yang terletak paling
besar dan paling bagus. Bentuk atapnya menyerupai joglo susun 3 dan mirip
dengan komplek perumahan bangsawan Jawa tempo dulu. Ada pendoponya, Bro.
Srekkk
srekkk srekkk… Kakinya menginjak dedaunan kering yang terserak di halaman,
memberi suasana bising di telinga. Pendopo nan mewah itu ia lewati begitu saja,
karena sama sekali tak ada orang. Ia masuk ke dalam bangunan utama. Kalo tak
salah denger, kata guru sosiologinya dulu, di belakang pendopo itu bangunan
tempat tinggal sang bangsawan. Pasti di situ ada orangnya.
Naruto POV
Kriet…
pintu berengsel itu ku buka perlahan, menimbulkan derit memekakkan telinga.
'Tak apalah berisik. Siapa tahu gara-gara itu ada orang yang nongol.' Batinku.
Bau apek menyambut indra penciumanku. Aku menebaskan tanganku ke atas,
menghalau debu yang berhamburan dan sarang laba-laba. "Sepertinya tempat
ini sudah lama ditinggalkan orang." Kataku, sambil menutup hidung dan
mulut dengan sebelah tangan.
Aku memberanikan diri masuk ke dalam rumah, meneliti bangunan tua tak berpenghuni ini. Tak banyak yang bisa ku lihat. Hanya ada meja kursi dari kayu yang diukir dan sebuah lukisan yang sangat besar terpampang. Lukisan seorang wanita bangsawan yang sangat cantik sedang berdiri dengan latar hutan.
Aku memberanikan diri masuk ke dalam rumah, meneliti bangunan tua tak berpenghuni ini. Tak banyak yang bisa ku lihat. Hanya ada meja kursi dari kayu yang diukir dan sebuah lukisan yang sangat besar terpampang. Lukisan seorang wanita bangsawan yang sangat cantik sedang berdiri dengan latar hutan.
Wanita
itu mengenakan gaun ala Jawa dengan kemben warna putih disulam benang emas. Berbeda dengan lukisan wanita bangsawan Jawa lainnya, lukisan wanita ini tidak mengenakan
jarit motif parang, melainkan kain warna putih, membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya sangat panjang hingga tak terlihat ujungnya dalam lukisan berhiaskan
mahkota berwarna emas. Di pergelangan tangan dan lengan atas, ada hiasan berupa gelang dengan
motif ular disepuh emas. Ia sungguh cantik, anggun dan berwibawa. Yang membuatku takjub adalah matanya. Matanya tampak hidup. Sorot matanya tajam seakan-akan menembus jiwanya.
Aku
merasa seakan terhipnotis lukisan itu hingga tak sadar dengan sekelilingku. Aku bahkan tak sadar saat sebuah tangan nan
dingin dengan kukunya yang panjang mencengkeram pundakku erat dari arah belakang.
Hipnotis nan magis itu pun terlepas, saat ku rasakan pundakku nyeri. Rasanya sakit sekali seperti menembus tulang. Aku pun menoleh ke belakang dan ku lihat.
Aku nyaris kesulitan bernafas, seakan-akan aku terperangkap di ruang hampa udara. Mataku
terbelalak ngeri. Seorang nenek bermuka angker dengan rambut berantakan
berwarna abu-abu, berdiri tepat di belakangku. Sorot matanya tajam dan sangat bengis.
Ku tolehkan kepalaku ke bagian pundak yang makin terasa nyeri dan perih. Kuku
nan panjang warna putih tulang mencengkeram kuat bahuku, kuku-kukunya yang
tajam mengoyak daging merah di sana seakan tak ada lapisan baju dan jaket. Ini
membuat bahuku berdarah. Spontan aku menjerit "Aaaaaaa…."
End Naruto POV
"Aaaaa…."
Teriak Naruto keras, terbangun dari mimpinya. Naruto terbangun dengan nafas
terengah-engah. Keringat membanjiri tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang,
berlomba dengan deru nafasnya. 'Untung hanya mimpi. Itu mengerikan sekali.'
Batinnya, sambil mengusap wajahnya yang ayu dengan kedua tangannya. Ia berusaha
bangun dari tempat tidur dengan susah payah karena masih lemas. Tangannya
meraih sebotol air minum yang selalu ia letakkan di meja kecil, sebagai persiapan
jika tengah malam ia terbangun karena haus.
Baru
saja ia meneguk beberapa tetes air minum, ia mendengar deru nafas begitu
kencang dari samping tempat duduknya. Ia jadi merinding terpengaruh oleh mimpi
buruknya. Dengan gerakan patah-patah, ia menoleh ke samping kanan. Dan…
"Aaaaa…" teriaknya tak kalah kencang lagi.
Tek
tek tek byar… Semua lampu di kostannya menyala semua. Semua penghuninya
berhamburan masuk ke dalam kamar Naruto, untuk melihat apa yang terjadi. Mereka
melihat Naruto meringkuk ketakutan di ujung kasur.
"Ada
apa?" tanya Tenten.
"Ada
maling?" tanya Karin yang berdiri paling belakang. Tangannya dengan sigap
menggenggam sapu ijuk sebagai senjata.
"A-a-a-ada
ha-ha-ha-hantu." Kata Naruto tergagap, ketakutan mirip cara bicaranya
Hinata.
Semua
langsung terlonjak kaget, spontan saling merapatkan diri. Matanya jelalatan
melihat seisi kamar Naruto.
"Mana?
Mana? Mana? Mana hantunya?" tanya Sakura yang paling berani diantara
mereka.
"I-i-i-i-itu."
tunjuk Naruto dengan mata masih tertutup karena takut.
"Mana?"
tanya Sakura bingung sendiri. Padahal semua temannya sudah lihat sosok hantu
yang dilihat Naru-chan.
Hinata
lalu mengarahkan pandangan Sakura. "I-i-itu Sa-sa-sakura-chan." Kata
Hinata tergagap, antara malu dan takut.
Kali
ini Sakura juga melihatnya, persis di samping kanan mereka. Sesosok bergaun
putih panjang dengan rambut panjang berombak terurai, berdiri dan bergumam
sesuatu tak jelas.
"Mana?
Itu? Ha ha ha.." Sakura tertawa geli setelah melihat siapa sosok hantu
itu. "Itu mah bukan hantu. Itu Ino yang lagi pake masker." Kata
Sakura masih ketawa ngakak.
"Ino?"
gumam Tenten heran. Ia perhatikan lagi sosok hantu bergaun putih itu.
"Iya
ini gue." Kata Ino kesal. Masa ia yang kece membahana badai ini dibilang
hantu. "Rusak deh masker gue." Gerutunya. Maskernya rusak gara-gara
dipake ngomong.
"Beneran
Ino? Hi hi hi...lucu juga." Kata Tenten akhirnya tertawa geli,
menertawakan kebodohannya.
"Salah
elo sendiri nakutin kita. Ngapain elo pake masker tengah malam buta? Pake gaun
putih lagi. Pasti semua orang juga ngiranya elo sundel bolong." Kata Karin
ketus, menyalahkan Ino.
"Gue
tiap malam pake, tahu. Kecantikan kan wajib dijaga, Sis. Nggak kayak elo. Entar
elo keriputan lho." Kata Ino membela diri.
"Tapi
nggak gitu juga kale. Dasar centil lho. Elo bikin Naru-chan sampai histeris.
Kasihan kan dia." Kata Karin nggak mau kalah.
"Bukan
salah guelah. Naru-chan dari tadi juga udah ketakutan, sebelum gue masuk. Pas
gue mau nanya, eh dia-nya malah teriak lebih kenceng lagi." Kata Ino
menjelaskan.
"Bener,
itu Nar?" tanya Temari, penghuni yang lebih tua umurnya diantara penghuni
kostan lainnya. Ia duduk menenangkan Naruto dan memberi Naruto air minum.
Naruto menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia masih merasa lemas karena mimpi
buruk dan insiden dengan Ino.
"Elo
tidur lagi aja, baru jam 3 pagi ini. Jangan lupa baca doa tidur." Kata
Temari yang diberi anggukan lemah Naruto. Ia kembali berbaring. Temari
menyelimutinya dengan lembut. Ia memang yang paling dewasa dan keibuan
dibandingkan penghuni lainnya yang terkadang sifatnya rada absurd.
"Huahhh,
tidur lagi, ah. Masih ngantuk." Kata Karin sambil menguap lebar yang
diamini yang lainnya.
"Tidur
aja di pikiran kalian. Sholat tahajud dulu, gih. Trus tadarus! Bentar lagi
shubuh tuh." Kata Temari.
"Kok
perintahnya beda dengan Naru-chan. Ini nggak adil." Protes Ino yang
lagi-lagi diamini penghuni lainnya.
"Naru-chan
kan lagi halangan. Nah kalian? Apa alasannnya? Tahajud itu banyak pahalanya
lho. Udah sana ambil wudhu. Ntar juga kantuknya hilang." Kata Temari sabar
dengan ulah junior-juniornya yang manja itu.
Dengan
segala gumaman dan runtukan kesal, mereka dengan berat hati menyeret kaki-kaki
mereka ke kamar mandi. Air nan dingin mengguyur wajah mereka, sukses
mengenyahkan kantuk yang menyerang.
SKIP TIME
Naruto
mengikuti kuliah dengan malas. Bukannya dia nggak suka mata kuliahnya. Hanya
saja dosennya nerangin nggak enak. Persis kayak ibu-ibu yang menina bobokkan
anaknya. Tuh lihat aja! Banyak kok deretan mahasiswa yang sukses diantar kea
lam mimpi oleh dosen itu. Ia berusaha bertahan, mengusir rasa kantuk yang
menyerang. Meski matanya sudah merah, ia tak mau menyerah.
Ia
mencorat-coret bukunya sesuai dengan penjelasan dosen yang ia anggap penting.
Kalo otaknya sibuk gini kan ia jadi nggak ngantuk. Tak cukup itu saja.
Diam-diam, ia ngemut permen kopiko sebagai senjata andalan pengusir ngantuk. Ia
kan nggak mau dijuluki ratu tidur juga kayak Nao, teman kuliahnya yang lain.
Tapi entah bagaimana, ia tak sadar. Kepalanya tertunduk ke bawah.
Naruto POV
Aku
mengerjabkan bulu mataku, bingung. 'Perasaan tadi aku masih dengerin kuliah.
Kenapa sekarang aku berada di rumah ini lagi.' Batinnya. Tempat ini masih rumah
yang sama yang pernah ia masuki di mimpinya semalam. Bau apek dan sarang
laba-laba di mana-mana, kembali menyapanya. Hatinya menjerit ingin keluar, tapi
kakinya malah membawa masuk lebih ke dalam lagi. Ia buka satu-per satu kamar di
rumah ini.
Sayup-sayup,
aku mendenger suara seorang wanita sedang menyanyi. Aku merasa penasaran siapa
gerangan? Aku pun mencari arah suara itu berasal. Semakin lama suaranya semakin
terdengar jelas di gendang telinganya. Suaranya berasal dari dari kamar di
depannya. Ia semakin bersemangat dan membuka pintunya perlahan karena meski
diketuk beberapa kali, tak ada sahutan.
Krietttt,
pintu engsel tua kamar itu berderit kencang, tapi tak cukup menarik perhatian
si empu kamar. Terbukti ia masih asyik berdendang dengan bayi di tangan
kanannya. Ia berdiri di dekat jendela, menunjukkan anaknya sang Bulan Purnama.
Gaun putih nan panjangnya hampir tertutupi oleh rambutnya yang hitam legam,
berombak dan panjang hingga kaki. Wajahnya tertutupi oleh rambutnya.
tak lelo lelo lelo ledung
cup menenga aja pijer nangis
anakku sing ayu rupane
nek nangis ndak ilang ayune
"Maaf
permisi. Boleh tanya sebentar?" sapa ku sopan, berusaha menarik perhatian
sosok tersebut, meski jujur ia takut. Bagaimana tidak? Sosoknya mirip dengan
gambaran sundel bolong kayak di film-film Suzana. Iya kalo dugaannya salah,
kalo bener gimana? Kakinya gemetaran dan giginya gemeletuk, ngeri. Ia masih
berdendang, mengacuhkanku.
tak gadang bisa urip mulyo
dadiyo wanito utomo
ngluhurke asmanewong tua
dadiyo pendekaring bangsa
"Permisi,
Mbak! Maaf mengganggu sebentar. Boleh saya tanya sesuatu?" Kata ku kembali
mengusik ketenangannya. OK aku memang ingin pergi dari sini dengan segera, tapi
hanya dia yang bisa ia tanyai di tempat nan asing ini. Ia tetap tak perduli dan
tetap mendendangkan lagu yang semakin lama terasa menyeramkan. Auranya itu lho.
Bulu kuduk ku sampai merinding.
cup menenga anakku
kae bulane ndadari
kaya ndasbuthonggilani
lagi nggoleti cah nangis
tak lelo lelo lelo ledung
"Maaf,
Mbak. Boleh minta waktunya sebentar saja. Ini rumah siapa?" tanya ku lagi
berusaha menguatkan nyalinya.
Kali
ini ia mau menjawab, meski tak menoleh ke arahku. "Rumah Kanjeng
Ratu." Jawabnya pelan. Suaranya terdengar sedikit melengking di telingaku.
Lalu ia kembali bersenandung lirih.
cup menenga anakku cah ayu
tak emban slendang batik kawung
yen nangis mudak gawe bingung
tak lelo lelo ledung
Benar
dugaan awalku. Ini rumah milik seorang bangsawan. "Boleh saya tanya jalan
keluar dari desa ini? Saya tersesat ke sini." Kata ku lagi sopan.
"Tak
ada yang bisa meninggalkan kediaman Kanjeng Ratu. Sekali masuk tak bisa
keluar." Katanya dengan nada mengancam.
"Eh.."
pekik ku pelan. Kali ini ia benar-benar ketakutan. Kakinya melemah solah tak
sanggup menahan tubuhnya. Sosok itu menoleh ke arahnya menunjukkan wajah tepat
padanya. "Aaaaaa…" aku menjerit sekuat tenaga.
Sosok
itu berwajah putih, sangat putih hingga tak ada warna apapun menodainya. Tapi
putihnya putih pucat dengan mata yang bundar dan besar. Warna hitam di
sekeliling mata membuatnya terlihat tambah mengerikan, mengesankan sosok itu
sedang marah padanya.
End Naruto POV
Hah
hah hah… Naruto bernafas terengah-engah. Lagi-lagi ia mimpi buruk, di tengah
kuliah pula. Ia memegangi dadanya untuk mengurangi rasa sesak di dada. Itu
mengerikan sekali. Lebih seram dibandingkan mimpi sebelumnya. Lagu itu terasa
tak asing. Ia sering mendengar ibunya berdendang saat ia masih kecil dulu.
Ibunya sudah lama meninggal seusai melahirkan adik laki-lakinya yang hanya
berusia 3 jam.
"Ukhti
tidak apa-apa?" sapa Sasuke, teman seorganisasi dan teman kuliahnya juga,
hanya beda angkatan. Ia angkatan dua tahun di bawah Sasuke.
"Tidak
apa-apa." Kata Naruto berusaha menyunggingkan senyum.
Naruto
lihat sekelilingnya sudah sepi. Teman-teman kuliahnya sudah berhamburan keluar
menyisakan dia duduk di bangku kuliah dan Sasuke yang ada di depan pintu. Oh
ya, ia lupa ia kan dimusuhi teman sekelasnya karena ia golput waktu pemilu
kemarin. Makanya tak ada yang berniat membangunkannya. Untung ia segera
terbangun. Bisa-bisa ia menginap dalam kelas ini lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar