Sabtu, 31 Desember 2016

BUNGA TERAKHIR PART ONE



DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Supernatural dan Horor
Rating T aja deh.
WARNING
Banyak OC dan bertebaran typo di sana-sini, OOC, banyak bahasa Arab, lagu Jawa, seting Indonesia, kata-kata tak baku, FEM NARU
Pair : No Pair

Don't Like Don't Read

Naruto merasa aneh. Ia bingung berada di mana dia sekarang? Ia merasa asing dengan tempat ini. Tempat ini begitu sepi seolah tak berpenghuni. Ya, Naruto saat ini menginjakkan kaki di sebuah kampong yang mirip di Bali. Tapi lebih kuno. Banyak rumah dibangun ukuran kecil di sekitar kompleks yang dibatasi pagar. Di tiap kompleks ada bangunan mirip pura kecil warna hitam dari batu. Aroma dupa bercampur kembang kemenyan menyeruak di indera penciumannya. "Kalau ada dupa mengepul, berarti ada orang yang melakukan sesaji." Katanya lirih.


Naruto berjalan ekstra hati-hati. Kenapa? Banyak sesajen di sepanjang jalan yang dilaluinya. Ia berjalan semakin masuk ke dalam perkampungan, mencari seseorang untuk ditanyai. Tapi sejauh mata memandang tak ada orang sama sekali. "Hallo, ada orang di sini?" Katanya bergema, karena sepinya, hanya ada suara gemirisik daun kering yang terinjak olehnya. "Permisi! Adakah orang di sini?" tanyanya lagi. Tetap tak ada sahutan sama sekali.
Brrrrrrr, ia bergidik kedinginan. Ia pun merapatkan jaketnya karena merasakan hawa dingin dan kembali berjalan. Kali ini ia memasuki sebuah rumah yang terletak paling besar dan paling bagus. Bentuk atapnya menyerupai joglo susun 3 dan mirip dengan komplek perumahan bangsawan Jawa tempo dulu. Ada pendoponya, Bro.
Srekkk srekkk srekkk… Kakinya menginjak dedaunan kering yang terserak di halaman, memberi suasana bising di telinga. Pendopo nan mewah itu ia lewati begitu saja, karena sama sekali tak ada orang. Ia masuk ke dalam bangunan utama. Kalo tak salah denger, kata guru sosiologinya dulu, di belakang pendopo itu bangunan tempat tinggal sang bangsawan. Pasti di situ ada orangnya.


Naruto POV
Kriet… pintu berengsel itu ku buka perlahan, menimbulkan derit memekakkan telinga. 'Tak apalah berisik. Siapa tahu gara-gara itu ada orang yang nongol.' Batinku. Bau apek menyambut indra penciumanku. Aku menebaskan tanganku ke atas, menghalau debu yang berhamburan dan sarang laba-laba. "Sepertinya tempat ini sudah lama ditinggalkan orang." Kataku, sambil menutup hidung dan mulut dengan sebelah tangan.
 Aku memberanikan diri masuk ke dalam rumah, meneliti bangunan tua tak berpenghuni ini. Tak banyak yang bisa ku lihat. Hanya ada meja kursi dari kayu yang diukir dan sebuah lukisan yang sangat besar terpampang. Lukisan seorang wanita bangsawan yang sangat cantik sedang berdiri dengan latar hutan.
Wanita itu mengenakan gaun ala Jawa dengan kemben warna putih disulam benang emas. Berbeda dengan lukisan wanita bangsawan Jawa lainnya, lukisan wanita ini tidak mengenakan jarit motif parang, melainkan kain warna putih, membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya sangat panjang  hingga tak terlihat ujungnya dalam lukisan berhiaskan mahkota berwarna emas. Di pergelangan tangan dan lengan atas, ada hiasan berupa gelang dengan motif ular disepuh emas. Ia sungguh cantik, anggun dan berwibawa. Yang membuatku takjub adalah matanya. Matanya tampak hidup. Sorot matanya tajam seakan-akan menembus jiwanya.

Aku merasa seakan terhipnotis lukisan itu hingga tak sadar dengan sekelilingku. Aku bahkan tak sadar saat sebuah tangan nan dingin dengan kukunya yang panjang mencengkeram pundakku erat dari arah belakang. Hipnotis nan magis itu pun terlepas, saat ku rasakan pundakku nyeri. Rasanya sakit sekali seperti menembus tulang. Aku pun menoleh ke belakang dan ku lihat.
Aku nyaris kesulitan bernafas, seakan-akan aku terperangkap di ruang hampa udara. Mataku terbelalak ngeri. Seorang nenek bermuka angker dengan rambut berantakan berwarna abu-abu, berdiri tepat di belakangku. Sorot matanya tajam dan sangat bengis. Ku tolehkan kepalaku ke bagian pundak yang makin terasa nyeri dan perih. Kuku nan panjang warna putih tulang mencengkeram kuat bahuku, kuku-kukunya yang tajam mengoyak daging merah di sana seakan tak ada lapisan baju dan jaket. Ini membuat bahuku berdarah. Spontan aku menjerit "Aaaaaaa…."
End Naruto POV
"Aaaaa…." Teriak Naruto keras, terbangun dari mimpinya. Naruto terbangun dengan nafas terengah-engah. Keringat membanjiri tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang, berlomba dengan deru nafasnya. 'Untung hanya mimpi. Itu mengerikan sekali.' Batinnya, sambil mengusap wajahnya yang ayu dengan kedua tangannya. Ia berusaha bangun dari tempat tidur dengan susah payah karena masih lemas. Tangannya meraih sebotol air minum yang selalu ia letakkan di meja kecil, sebagai persiapan jika tengah malam ia terbangun karena haus.
Baru saja ia meneguk beberapa tetes air minum, ia mendengar deru nafas begitu kencang dari samping tempat duduknya. Ia jadi merinding terpengaruh oleh mimpi buruknya. Dengan gerakan patah-patah, ia menoleh ke samping kanan. Dan… "Aaaaa…" teriaknya tak kalah kencang lagi.
Tek tek tek byar… Semua lampu di kostannya menyala semua. Semua penghuninya berhamburan masuk ke dalam kamar Naruto, untuk melihat apa yang terjadi. Mereka melihat Naruto meringkuk ketakutan di ujung kasur.
"Ada apa?" tanya Tenten.
"Ada maling?" tanya Karin yang berdiri paling belakang. Tangannya dengan sigap menggenggam sapu ijuk sebagai senjata.
"A-a-a-ada ha-ha-ha-hantu." Kata Naruto tergagap, ketakutan mirip cara bicaranya Hinata.
Semua langsung terlonjak kaget, spontan saling merapatkan diri. Matanya jelalatan melihat seisi kamar Naruto.
"Mana? Mana? Mana? Mana hantunya?" tanya Sakura yang paling berani diantara mereka.
"I-i-i-i-itu." tunjuk Naruto dengan mata masih tertutup karena takut.
"Mana?" tanya Sakura bingung sendiri. Padahal semua temannya sudah lihat sosok hantu yang dilihat Naru-chan.
Hinata lalu mengarahkan pandangan Sakura. "I-i-itu Sa-sa-sakura-chan." Kata Hinata tergagap, antara malu dan takut.
Kali ini Sakura juga melihatnya, persis di samping kanan mereka. Sesosok bergaun putih panjang dengan rambut panjang berombak terurai, berdiri dan bergumam sesuatu tak jelas.
"Mana? Itu? Ha ha ha.." Sakura tertawa geli setelah melihat siapa sosok hantu itu. "Itu mah bukan hantu. Itu Ino yang lagi pake masker." Kata Sakura masih ketawa ngakak.
"Ino?" gumam Tenten heran. Ia perhatikan lagi sosok hantu bergaun putih itu.
"Iya ini gue." Kata Ino kesal. Masa ia yang kece membahana badai ini dibilang hantu. "Rusak deh masker gue." Gerutunya. Maskernya rusak gara-gara dipake ngomong.
"Beneran Ino? Hi hi hi...lucu juga." Kata Tenten akhirnya tertawa geli, menertawakan kebodohannya.
"Salah elo sendiri nakutin kita. Ngapain elo pake masker tengah malam buta? Pake gaun putih lagi. Pasti semua orang juga ngiranya elo sundel bolong." Kata Karin ketus, menyalahkan Ino.
"Gue tiap malam pake, tahu. Kecantikan kan wajib dijaga, Sis. Nggak kayak elo. Entar elo keriputan lho." Kata Ino membela diri.
"Tapi nggak gitu juga kale. Dasar centil lho. Elo bikin Naru-chan sampai histeris. Kasihan kan dia." Kata Karin nggak mau kalah.
"Bukan salah guelah. Naru-chan dari tadi juga udah ketakutan, sebelum gue masuk. Pas gue mau nanya, eh dia-nya malah teriak lebih kenceng lagi." Kata Ino menjelaskan.
"Bener, itu Nar?" tanya Temari, penghuni yang lebih tua umurnya diantara penghuni kostan lainnya. Ia duduk menenangkan Naruto dan memberi Naruto air minum. Naruto menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia masih merasa lemas karena mimpi buruk dan insiden dengan Ino.
"Elo tidur lagi aja, baru jam 3 pagi ini. Jangan lupa baca doa tidur." Kata Temari yang diberi anggukan lemah Naruto. Ia kembali berbaring. Temari menyelimutinya dengan lembut. Ia memang yang paling dewasa dan keibuan dibandingkan penghuni lainnya yang terkadang sifatnya rada absurd.
"Huahhh, tidur lagi, ah. Masih ngantuk." Kata Karin sambil menguap lebar yang diamini yang lainnya.
"Tidur aja di pikiran kalian. Sholat tahajud dulu, gih. Trus tadarus! Bentar lagi shubuh tuh." Kata Temari.
"Kok perintahnya beda dengan Naru-chan. Ini nggak adil." Protes Ino yang lagi-lagi diamini penghuni lainnya.
"Naru-chan kan lagi halangan. Nah kalian? Apa alasannnya? Tahajud itu banyak pahalanya lho. Udah sana ambil wudhu. Ntar juga kantuknya hilang." Kata Temari sabar dengan ulah junior-juniornya yang manja itu.
Dengan segala gumaman dan runtukan kesal, mereka dengan berat hati menyeret kaki-kaki mereka ke kamar mandi. Air nan dingin mengguyur wajah mereka, sukses mengenyahkan kantuk yang menyerang.

SKIP TIME
Naruto mengikuti kuliah dengan malas. Bukannya dia nggak suka mata kuliahnya. Hanya saja dosennya nerangin nggak enak. Persis kayak ibu-ibu yang menina bobokkan anaknya. Tuh lihat aja! Banyak kok deretan mahasiswa yang sukses diantar kea lam mimpi oleh dosen itu. Ia berusaha bertahan, mengusir rasa kantuk yang menyerang. Meski matanya sudah merah, ia tak mau menyerah.
Ia mencorat-coret bukunya sesuai dengan penjelasan dosen yang ia anggap penting. Kalo otaknya sibuk gini kan ia jadi nggak ngantuk. Tak cukup itu saja. Diam-diam, ia ngemut permen kopiko sebagai senjata andalan pengusir ngantuk. Ia kan nggak mau dijuluki ratu tidur juga kayak Nao, teman kuliahnya yang lain. Tapi entah bagaimana, ia tak sadar. Kepalanya tertunduk ke bawah.
Naruto POV
Aku mengerjabkan bulu mataku, bingung. 'Perasaan tadi aku masih dengerin kuliah. Kenapa sekarang aku berada di rumah ini lagi.' Batinnya. Tempat ini masih rumah yang sama yang pernah ia masuki di mimpinya semalam. Bau apek dan sarang laba-laba di mana-mana, kembali menyapanya. Hatinya menjerit ingin keluar, tapi kakinya malah membawa masuk lebih ke dalam lagi. Ia buka satu-per satu kamar di rumah ini.
Sayup-sayup, aku mendenger suara seorang wanita sedang menyanyi. Aku merasa penasaran siapa gerangan? Aku pun mencari arah suara itu berasal. Semakin lama suaranya semakin terdengar jelas di gendang telinganya. Suaranya berasal dari dari kamar di depannya. Ia semakin bersemangat dan membuka pintunya perlahan karena meski diketuk beberapa kali, tak ada sahutan.
Krietttt, pintu engsel tua kamar itu berderit kencang, tapi tak cukup menarik perhatian si empu kamar. Terbukti ia masih asyik berdendang dengan bayi di tangan kanannya. Ia berdiri di dekat jendela, menunjukkan anaknya sang Bulan Purnama. Gaun putih nan panjangnya hampir tertutupi oleh rambutnya yang hitam legam, berombak dan panjang hingga kaki. Wajahnya tertutupi oleh rambutnya.

tak lelo lelo lelo ledung
cup menenga aja pijer nangis
anakku sing ayu rupane
nek nangis ndak ilang ayune
"Maaf permisi. Boleh tanya sebentar?" sapa ku sopan, berusaha menarik perhatian sosok tersebut, meski jujur ia takut. Bagaimana tidak? Sosoknya mirip dengan gambaran sundel bolong kayak di film-film Suzana. Iya kalo dugaannya salah, kalo bener gimana? Kakinya gemetaran dan giginya gemeletuk, ngeri. Ia masih berdendang, mengacuhkanku.
tak gadang bisa urip mulyo
dadiyo wanito utomo
ngluhurke asmanewong tua
dadiyo pendekaring bangsa
"Permisi, Mbak! Maaf mengganggu sebentar. Boleh saya tanya sesuatu?" Kata ku kembali mengusik ketenangannya. OK aku memang ingin pergi dari sini dengan segera, tapi hanya dia yang bisa ia tanyai di tempat nan asing ini. Ia tetap tak perduli dan tetap mendendangkan lagu yang semakin lama terasa menyeramkan. Auranya itu lho. Bulu kuduk ku sampai merinding.
cup menenga anakku
kae bulane ndadari
kaya ndasbuthonggilani
lagi nggoleti cah nangis
tak lelo lelo lelo ledung
"Maaf, Mbak. Boleh minta waktunya sebentar saja. Ini rumah siapa?" tanya ku lagi berusaha menguatkan nyalinya.
Kali ini ia mau menjawab, meski tak menoleh ke arahku. "Rumah Kanjeng Ratu." Jawabnya pelan. Suaranya terdengar sedikit melengking di telingaku. Lalu ia kembali bersenandung lirih.
cup menenga anakku cah ayu
tak emban slendang batik kawung
yen nangis mudak gawe bingung
tak lelo lelo ledung
Benar dugaan awalku. Ini rumah milik seorang bangsawan. "Boleh saya tanya jalan keluar dari desa ini? Saya tersesat ke sini." Kata ku lagi sopan.
"Tak ada yang bisa meninggalkan kediaman Kanjeng Ratu. Sekali masuk tak bisa keluar." Katanya dengan nada mengancam.
"Eh.." pekik ku pelan. Kali ini ia benar-benar ketakutan. Kakinya melemah solah tak sanggup menahan tubuhnya. Sosok itu menoleh ke arahnya menunjukkan wajah tepat padanya. "Aaaaaa…" aku menjerit sekuat tenaga.
Sosok itu berwajah putih, sangat putih hingga tak ada warna apapun menodainya. Tapi putihnya putih pucat dengan mata yang bundar dan besar. Warna hitam di sekeliling mata membuatnya terlihat tambah mengerikan, mengesankan sosok itu sedang marah padanya.
End Naruto POV
Hah hah hah… Naruto bernafas terengah-engah. Lagi-lagi ia mimpi buruk, di tengah kuliah pula. Ia memegangi dadanya untuk mengurangi rasa sesak di dada. Itu mengerikan sekali. Lebih seram dibandingkan mimpi sebelumnya. Lagu itu terasa tak asing. Ia sering mendengar ibunya berdendang saat ia masih kecil dulu. Ibunya sudah lama meninggal seusai melahirkan adik laki-lakinya yang hanya berusia 3 jam.
"Ukhti tidak apa-apa?" sapa Sasuke, teman seorganisasi dan teman kuliahnya juga, hanya beda angkatan. Ia angkatan dua tahun di bawah Sasuke.
"Tidak apa-apa." Kata Naruto berusaha menyunggingkan senyum.
Naruto lihat sekelilingnya sudah sepi. Teman-teman kuliahnya sudah berhamburan keluar menyisakan dia duduk di bangku kuliah dan Sasuke yang ada di depan pintu. Oh ya, ia lupa ia kan dimusuhi teman sekelasnya karena ia golput waktu pemilu kemarin. Makanya tak ada yang berniat membangunkannya. Untung ia segera terbangun. Bisa-bisa ia menginap dalam kelas ini lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar