Rabu, 07 Desember 2016

Bolpoin Keramat




Pada suatu hari, Firnas sedang berjalan-jalan ke pasar loak di daerah Jogja, mumpung sedang liburan. Ia sibuk melihat-lihat barang-barang yang ditata di etalase toko ataupun di atas meja panjang begitu saja sepanjang jalan. Sepanjang jalan pula, para pedagang menawarkan barang dagangannya padanya dari makanan, minuman, baju, peralatan sekolah dll. 

Firnas berhenti cukup lama di salah satu toko yang menjual barang-barang etnik yang terbuat dari kayu dan batu-batuan. Ia membeli dua buah cincin akik untuk kakek dan ayahnya yang penggemar akik dan sebuah gelang dari rotan untuk dirinya sendiri. Untuk ibu dan adiknya, ia membelikan masing-masing mereka dompet dan tas cantik. 

Ketika ia mau pergi, pedagang yang berada di sebelah toko barang etnik tadi menawarkan bolpoin padanya. Bolpoinnya unik berwarna hitam legam. Ada ukiran naga berwarna keemasan pada badannnya. Sangat unik. Pedagang itu memberikan harga yang sangat murah untuk barang sebagus itu. “Kau tak akan menyesal jika membelinya,” rayu pedagang itu. Akhirnya, Firnas pun membelinya.




Beberapa hari kemudian, Firnas mulai menggunakan bolpoin itu untuk menulis sebuah cerita yang nantinya akan ia kirim ke media massa. Ini salah satu hobinya, yakni menulis cerpen. Biasanya sih cerpennya bertemakan percintaan remaja atau persahabatan. Tapi, kali ini ia sedang mencoba menulis cerpen bertemakan tragedy. 

Firnas sangat bersemangat merangkai kalimat demi kalimat dalam karangannya  hingga membentuk sebuah cerita yang menarik. Ia merasa idenya mengalir begitu saja begitu ia menggunakan bolpoin unik itu, seperti air yang mengalir. Padahal, biasanya kan ia sering macet di tengah jalan, khususnya saat ia sampai pada klimaks. Firnas merasa sepertinya bolpoin itu seperti punya pikiran sendiri. Ia bergerak dengan sendirinya, begitu jemari tangannya menyentuh bolpoin itu.     

Keesokan harinya, saat pulang dari kuliah, Firnas melihat sebuah kejadian aneh. Ada sebuah tabrakan beruntun yang merenggut banyak korban jiwa. Ia merasa aneh karena kejadian itu sangat mirip dengan cerita yang ditulisnya. Bahkan urutan kendaraan yang kecelakaan itu pun sama. Akan tetapi, Firnas mengabaikannya. ‘Mungkin Cuma kebetulan saja,’ pikirnya.




Seminggu kemudian, setelah cerpennya dimuat di salah satu harian ibukota, Joni berniat kembali menulis cerpen. Tanpa sengaja, ia melihat jendela kamarnya. Ia melihat kebakaran hebat sedang berlangsung tak jauh dari rumahnya. Kebakaran itu menghanguskan bangunan toko berikut isinya. Untunglah, tak ada korban jiwa. Kejadiannya juga sama persis dengan salah satu cerpennya yang baru saja ia kirim kemarin. 


Firnas kembali terheran-heran dan mulai bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan tulisan yang ia buat? Kenapa semua tragedy yang ia tulis dalam cerpennya bisa menjadi kenyataan? Hal itu membuatnya tidak tenang dan kehilangan gairah menulisnya. Ia pun meletakkan bolpoinnya di atas meja begitu saja. Ia takut jika cerpen buatannya kembali jadi kenyataan.

Di tengah malam buta, Firnas terbangun dari tidur lelapnya. Ia baru teringat tugas kuliahnya yang harus ia kumpulkan besok. Harus ditulis dengan tangan. Tidak boleh diketik. Firnas pun menendang selimutnya dan bersiap untuk mengerjakan tugas kuliah. Tiba-tiba sebuah kejadian aneh muncul di hadapannya.

Bolpoinnya yang sebelum tidur tergeletak begitu saja di atas kertas putih, kini bergerak-gerak sendiri, berputar-putar, dan mengeluarkan asap tebal diiringi munculnya suatu sosok yang menyeramkan. Firnas pun ketakutan. Ia ingin lari, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Kakinya seolah-olah dilem di tempat.

Belum hilang rasa takutnyq, tiba-tiba sosok menyeramkan tadi menyergapnya. Makhluk itu mencekik leher Firnas dan mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi di atas udara. Firnas tercekik, hampir kehilangan nafas. Ia berusaha melawan dan meronta-ronta sekuat tenaga, akan tetapi usahanya sia-sia saja. Ia kalah kuat dengan makhluk itu. Tttolonggg.. ukshg@#$...” teriaknya parau diantara usahanya melepaskan cekikan makhluk itu.  




Saat tubuh Firnas sudah mulai terasa lemas, tanpa diduga muncul pamannya sambil membawa pentungan kayu. Paman Firnas kemudian memukul bolpoin itu hingga hancur berkeping-keping. Seketika, makhluk itu menjerit melengking “Gyaaa…graooww…” dan lalu melepaskan cekikakannya. Tubuh Firnas terjatuh dan membentur lantai. Firnas beringsut menjauhi maklhuk seram itu.  Ia bersembunyi di balik tubuh pamannya.

Setelah itu, muncul api yang menyala-nyala membakar tubuh makhluk menyeramkan itu. makhluk itu meraung-rauh kesakitan, sebelum akhirnya menghilang meninggalkan asap dan bau busuk seperti campuran bau selokan dan bau mayat tikus yang sudah membusuk selama 8 hari. Firnas mengelus-elus perutnya yang bergolak mual, mau muntah.

“Bolpoin itu dihuni makhluk yang jahat dan sesat. Ia sangat berambisi ingin mencelakai manusia sebanyak mungkin dengan cara menyusup pada seseorang yang gemar menulis cerita tragedy,” jelas pamannya. Firnas berterima kasih pada pamannya karena telah menolongnya. Ia lalu membuang bolpoin itu ke dalam sungai yang dalam dan berarus deras agar tidak bisa ditemukan oleh manusia yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar