Pada
suatu hari, Firnas sedang berjalan-jalan ke pasar loak di daerah Jogja, mumpung
sedang liburan. Ia sibuk melihat-lihat barang-barang yang ditata di etalase
toko ataupun di atas meja panjang begitu saja sepanjang jalan. Sepanjang jalan
pula, para pedagang menawarkan barang dagangannya padanya dari makanan,
minuman, baju, peralatan sekolah dll.
Firnas
berhenti cukup lama di salah satu toko yang menjual barang-barang etnik yang
terbuat dari kayu dan batu-batuan. Ia membeli dua buah cincin akik untuk kakek
dan ayahnya yang penggemar akik dan sebuah gelang dari rotan untuk dirinya
sendiri. Untuk ibu dan adiknya, ia membelikan masing-masing mereka dompet dan
tas cantik.
Ketika
ia mau pergi, pedagang yang berada di sebelah toko barang etnik tadi menawarkan
bolpoin padanya. Bolpoinnya unik berwarna hitam legam. Ada ukiran naga berwarna
keemasan pada badannnya. Sangat unik. Pedagang itu memberikan harga yang sangat
murah untuk barang sebagus itu. “Kau tak akan menyesal jika membelinya,” rayu
pedagang itu. Akhirnya, Firnas pun membelinya.
Beberapa
hari kemudian, Firnas mulai menggunakan bolpoin itu untuk menulis sebuah cerita
yang nantinya akan ia kirim ke media massa. Ini salah satu hobinya, yakni
menulis cerpen. Biasanya sih cerpennya bertemakan percintaan remaja atau
persahabatan. Tapi, kali ini ia sedang mencoba menulis cerpen bertemakan
tragedy.
Firnas
sangat bersemangat merangkai kalimat demi kalimat dalam karangannya hingga
membentuk sebuah cerita yang menarik. Ia merasa idenya mengalir begitu saja
begitu ia menggunakan bolpoin unik itu, seperti air yang mengalir. Padahal,
biasanya kan ia sering macet di tengah jalan, khususnya saat ia sampai pada
klimaks. Firnas merasa sepertinya bolpoin itu seperti punya pikiran sendiri. Ia
bergerak dengan sendirinya, begitu jemari tangannya menyentuh bolpoin itu.
Keesokan
harinya, saat pulang dari kuliah, Firnas melihat sebuah kejadian aneh. Ada
sebuah tabrakan beruntun yang merenggut banyak korban jiwa. Ia merasa aneh
karena kejadian itu sangat mirip dengan cerita yang ditulisnya. Bahkan urutan
kendaraan yang kecelakaan itu pun sama. Akan tetapi, Firnas mengabaikannya.
‘Mungkin Cuma kebetulan saja,’ pikirnya.
Seminggu
kemudian, setelah cerpennya dimuat di salah satu harian ibukota, Joni berniat
kembali menulis cerpen. Tanpa sengaja, ia melihat jendela kamarnya. Ia melihat
kebakaran hebat sedang berlangsung tak jauh dari rumahnya. Kebakaran itu
menghanguskan bangunan toko berikut isinya. Untunglah, tak ada korban jiwa.
Kejadiannya juga sama persis dengan salah satu cerpennya yang baru saja ia
kirim kemarin.
Firnas
kembali terheran-heran dan mulai bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan
tulisan yang ia buat? Kenapa semua tragedy yang ia tulis dalam cerpennya bisa
menjadi kenyataan? Hal itu membuatnya tidak tenang dan kehilangan gairah
menulisnya. Ia pun meletakkan bolpoinnya di atas meja begitu saja. Ia takut
jika cerpen buatannya kembali jadi kenyataan.
Di
tengah malam buta, Firnas terbangun dari tidur lelapnya. Ia baru teringat tugas
kuliahnya yang harus ia kumpulkan besok. Harus ditulis dengan tangan. Tidak
boleh diketik. Firnas pun menendang selimutnya dan bersiap untuk mengerjakan
tugas kuliah. Tiba-tiba sebuah kejadian aneh muncul di hadapannya.
Bolpoinnya
yang sebelum tidur tergeletak begitu saja di atas kertas putih, kini
bergerak-gerak sendiri, berputar-putar, dan mengeluarkan asap tebal diiringi
munculnya suatu sosok yang menyeramkan. Firnas pun ketakutan. Ia ingin lari,
tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Kakinya seolah-olah dilem di tempat.
Belum
hilang rasa takutnyq, tiba-tiba sosok menyeramkan tadi menyergapnya. Makhluk
itu mencekik leher Firnas dan mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi di atas udara.
Firnas tercekik, hampir kehilangan nafas. Ia berusaha melawan dan meronta-ronta
sekuat tenaga, akan tetapi usahanya sia-sia saja. Ia kalah kuat dengan makhluk
itu. Tttolonggg.. ukshg@#$...” teriaknya parau diantara usahanya melepaskan
cekikan makhluk itu.
Saat
tubuh Firnas sudah mulai terasa lemas, tanpa diduga muncul pamannya sambil
membawa pentungan kayu. Paman Firnas kemudian memukul bolpoin itu hingga hancur
berkeping-keping. Seketika, makhluk itu menjerit melengking “Gyaaa…graooww…”
dan lalu melepaskan cekikakannya. Tubuh Firnas terjatuh dan membentur lantai.
Firnas beringsut menjauhi maklhuk seram itu. Ia bersembunyi di balik
tubuh pamannya.
Setelah
itu, muncul api yang menyala-nyala membakar tubuh makhluk menyeramkan itu.
makhluk itu meraung-rauh kesakitan, sebelum akhirnya menghilang meninggalkan
asap dan bau busuk seperti campuran bau selokan dan bau mayat tikus yang sudah
membusuk selama 8 hari. Firnas mengelus-elus perutnya yang bergolak mual, mau
muntah.
“Bolpoin
itu dihuni makhluk yang jahat dan sesat. Ia sangat berambisi ingin mencelakai
manusia sebanyak mungkin dengan cara menyusup pada seseorang yang gemar menulis
cerita tragedy,” jelas pamannya. Firnas berterima kasih pada pamannya karena
telah menolongnya. Ia lalu membuang bolpoin itu ke dalam sungai yang dalam dan
berarus deras agar tidak bisa ditemukan oleh manusia yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar