Rabu, 14 Desember 2016

The Secret Part Three



DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.



Don't Like Don't Read

Chapter Three



Sikap diam Naruto membuat mereka berfikir, ada yang tidak beres dengan ibu Menma. Mungkinkah dia..sudah..?? Tenten, Neji, dan, Kiba tersenyum muram, merasa iba dengan nasib Menma. ‘Padahal ia masih kecil.’ Batin ketiganya. Tapi, tidak dengan Lee. Ia masih saja memaksa Naruto.
Tenten yang menyadari ketidak nyamanan Naruto langsung menggeplak kepala Lee. “Dasar kau ini! Tidak punya sensitifme,” omelnya sok berfilosofi, padahal diksinya ngawur tuh. “Abaikan Lee, Naruto. Dia itu memang tak pernah bicara dengan otaknya. Jangan diambil hati!” Naruto tersenyum canggung sebagai balasan dan lalu menganggukkan kepala, mengiyakan.
Tenten memasang wajah bersalah. “Aku sebenarnya ingin berbincang denganmu. Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan padamu. Tapi, kami harus segera berangkat untuk misi.”
“Tak apa aku mengerti. Semoga misinya sukses dan kalian pulang dengan selamat,” kata Naruto.
“Ya.”/ “Hm,” / “Doakan saja!” jawab mereka serempak.
Naruto melambaikan tangannya untuk tim Neji hingga sosok mereka hilang dari pandangan. “Jadi, ibunya Menma sudah tidak ada?” tanya Kiba setelah mereka tinggal berdua.
Naruto menyipit tajam. “Siapa yang bilang ibunya Menma mati?” katanya, tersinggung.
Kiba menggaruk kepalanya yang tidak gatal, salting. “Maaf. Aku tak bermaksud menuduh Menma anak yatim. Tapi, ku pikir…” Kiba terdiam, bingung dengan kalimat-kalimatnya sendiri. “Jadi, dimana ibu Menma? Kenapa kau tak mengajaknya ke sini?” tanyanya kemudian.
“Itu…”
“Oh, jangan-jangan wanita itu sudah kembali waras. Ia tahu kalau kau ini pria baka, yang IQ-nya jongkok, karena itu ia memilih untuk berpisah darimu untuk memperbaiki keturunan?” goda Kiba.
“Seperti kau pintar saja,” balas Naruto sengit. “Kau pun sama bakanya denganku.” Secara tidak langsung Naruto mengakui kalau ia memang dobe.
“Setidaknya, aku tidak membuat misi-misi pentingku gagal seperti kau.” Ada yang sadar? Kiba pun ternyata mengakui kalau ia tidak begitu pintar.
“Hei, itu kan dulu, saat aku masih bocah. Setelah remaja, aku tak lagi mengacaukan misi-misi pentingku. Bahkan, Tsunade baa-chan sering memberiku misi rank S. Kau lupa? Aku satu-satunya genin yang paling banyak melawan penjahat rank S seperti anggota Akatsuki.
Kiba kicep. Ia akui Naruto benar. Naruto bahkan jadi senjata andalan untuk menyatukan para shinobi dari lima desa besar melawan kelaliman Madara dan sekutunya. Dan, Naruto pula yang jadi tumpuan harapan mereka saat keputus asaan mengisi rongga-rongga udara mereka.
Seharusnya, dengan besarnya peranan Naruto pada perang mengerikan yang pernah dialami umat manusia ini, Naruto diangkat menjadi hokage. Tapi, sayang Naruto terlalu baik. Ia diam saja, meski ditikung oleh sahabat baiknya sendiri, Sasuke yang muncul belakangan. Ia memilih mundur daripada memaksakan hak-haknya demi perdamaian desa. Naruto memang hebat, pahlawan sejati. Karena itulah, Kiba sangat mengagumi dan menyayanginya.
“Kalau ia tidak kabur darimu, kenapa kau tak langsung menjawab pertanyaan Lee?”
“Ceritanya rumit.” Elak Naruto.
Wajah Kiba melembut. “Apa ia sedang sakit?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab Naruto ambigu.
“Lalu, kenapa kau tinggalkan dia? Seharusnya, kau bersamanya, merawatnya.” Tuduhnya menyalahkan.
“Aku ada urusan dengan…”
“Sasuke? Jadi Sasuke lebih penting daripada ibunya Menma?” potong Kiba kesal. Ia tersenyum masam. Ia termasuk golongan yang tidak setuju Sasuke menjadi hokage, karena ia masih menganggap Sasuke brengsek, sama seperti saat ia kabur ke Otogakure dan mengkhianati Konoha.
“Bukan begitu.” Tukas Naruto terdengar panik.
Lagi-lagi, ia dituduh Sasuke-seksual. Ups, sorry salah. Lagi-lagi, ia dituduh Sasuke maniak. Ia memang dulu mengejar Sasuke dan bertekad membawanya pulang ke Konoha, tapi bukan berarti Sasuke pusat hidupnya. Dan, ia jelas tidak cinta mati ataupun terobsesi pada Sasuke. Baginya, Sasuke ya Sasuke. Sahabat pertamanya dan yach soulmatenya. Begitulah kira-kira. Gimana sih rasanya berteman? Tahu, kan?
“Lalu apa?”
“Ceritanya benar-benar rumit. Tidak bisa dijelaskan dalam satu kalimat,”
“Intinya saja dech,” kata Kiba memaksa.
“Well, aku bingung bagaimana menjelaskannya. Tapi intinya, ini semua karena Menma. Aku ke sini karena Menma. Aku berharap orang yang akan ku temui itu bisa menolong Menma. Dan orang itu bukan Sasuke.”
“Astaga Menma juga sakit?” Kata Kiba terkejut. Dahinya mengerut tidak setuju. “Tapi, ia terlihat sehat-sehat saja.” Akunya menilai.
“Iy-iya begitulah, ah tidak. Well...” Naruto menggigit bibir bagian bawahnya, bingung bagaimana menjawabnya.
“Tinggal bilang iya atau tidak. Mudah, kan?”
“Nanti, di lain waktu dan di lain tempat, aku akan menceritakannya padamu. Sekarang, aku pergi dulu. Sudah waktunya Menma tidur siang. Bye!” kata Naruto langsung ngacir, tanpa menunggu jawaban Kiba.
“Ish, dia itu gimana sih. Tidak solider. Tidak setia kawan.” Gerutu Kiba sebal. “Tapi, masalah rumit apa ya? Kenapa ia tidak cerita padaku? Aku kan juga ingin membantunya. Ish, dasar Naruto. Tidak jelas.” Gerutunya.
Di lain pihak, Naruto sedang menarik nafas lega. Ia berhasil selamat dari interograsi Kiba. Maniak anjing itu kadang-kadang bisa sangat merepotkan. Sifat cerewetnya bikin ia kerepotan. Nyaris saja tadi ia keceplosan. Ia harus lebih berhati-hati. Jangan sampai rahasianya terkuak dan membuat hidup seseorang berantakan karenanya. Tidak, ia tak mau itu terjadi.
Ia kembali ke Konoha bukan untuk merusak kehidupan orang lain, atau pun mengacaukan rencana seseorang. Ia datang dengan maksud baik, untuk menolong Menma yang tengah dilanda masalah berat. Setelah urusannya selesai, ia akan pergi lagi dari Konoha. Kali ini, untuk selamanya.
Jika dengan Kiba saja ia sudah kuwalahan, bagaimana ia bisa membohongi Sasuke? Sasuke itu jenius. Ia pintar menganalisis dan menghubungkan potongan-potongan puzzle. Instingnya pun kuat. Ia mungkin bisa menebak rahasianya. Ukh, baru memikirkannya saja perutnya sudah bergolak mulas. Bagaimana jika bertemu langsung?
Naruto berhenti di depan sebuah bangunan bercat putih yang sudah agak pudar di makan usia. Bangunan itu terdiri dari dua lantai dan berisi puluhan apartemen-apartemen sederhana. Hanya ada satu kamar tidur, dapur, kamar mandi, ruang tamu sekaligus merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang makan. Di tempat inilah, Naruto hidup selama belasan tahun. Apartemen Naruto terletak di sebelah tengah agak ke Timur.
Sebetulnya, Naruto bisa saja membangun sebuah rumah dua lantai atau bahkan tiga lantai dengan isinya sekaligus. Ia bukanlah anak kere. Bagaimana pun ayahnya seorang hokage dan termasuk shinobi dengan prestasi yang mentereng. Simpanan kekayaan ayahnya lebih dari cukup untuk berfoya-foya. Di tambah dengan peninggalan ibunya, berikut property Uzumaki, Naruto jelas bukanlah pemuda miskin. Tapi, ia lebih suka dengan apartemen lamanya. Toh, buat apa ia membangun rumah megah dan mewah, jika ia jarang tinggal di dalamnya. Ia kan sering mendapat misi keluar desa.
“Itu rumah kita, Menma. Ru-mah.” Eja Naruto mengajari Menma kata rumah.
“Umm-ah,” kata Menma berusaha mengikuti ucapan ayahnya.
“Rumah, Sayang.” Naruto membetulkan.
“Lllu-mmah,” ujar Menma lagi yang hampir mendekati kata rumah. Berhubung, Menma masih cadel —namanya juga balita— huruf r jadi tertukar dengan huruf l, jadinya lumah bukan rumah.
Naruto terkekeh. Ia mengacak-acak rambut Menma yang entah kenapa cepat tumbuh memanjang. Padahal, baru seminggu yang lalu ia memotongnya cepak. Tapi, kini rambutnya sudah tumbuh sebahu. Kapan tumbuhnya ya?
Naruto mengecup pipi gembil Menma singkat, sebelum menaiki tangga menuju apartemennya. Sepanjang jalan, ia mendengarkan celotehan Menma yang rupa-rupanya tengah bersemangat menceritakan aksi penjelajahannya tadi pada Naruto. Naruto mengangguk-angguk seolah paham dan kadang-kadang menimpalinya.
Naruto baru mau membuka pintu ketika ia menyadari kehadiran Shino. “Kau masih di sini?” tanyanya terkejut. Ia berhasil menahan diri untuk tidak menjerit.
“Aku menunggui barang-barangmu,” kata Shino lugas dari balik kerah bajunya yang hampir menutupi separuh badannya.
“Oh, terima kasih.” Balas Naruto sopan. Ia memutar kunci apartemennya dan mulai melangkah masuk. “Kalau kau tak sibuk, silahkan mampir. Aku akan membuatkanmu minuman sebagai tanda terima kasih,”
Biasanya, Shino akan menolaknya secara halus. Tapi, hari ini tidak biasa. Jadi, ia mengangguk menyetujui dan mengekor di belakang Naruto. Naruto meletakkan Menma di lantai dan membiarkan balita itu merangkak, menjelajahi ruangan ditemani Shino. Ia tak khawatir karena yakin Iruka-sensei sudah membersihkan apartemennya sebelum ia datang.
Di dapur, Naruto mulai membuat minuman untuk dua orang dan makanan balita, menu makan siang sederhana, serta sedikit cemilan di atas piring. Sudah waktunya Menma makan. Naruto kembali dikejutkan dengan kehadiran Kiba sepaket dengan Akamaru, anjingnya. “Sorry, aku masuk begitu saja. Soalnya Akamaru rindu berat padamu,” kata Kiba membuat alasan.
Naruto berusaha tetap tenang. Ia menggenggam erat pegangan pada nampannya untuk menutupi kegugupannya. “Tak masalah,” balas Naruto singkat, bergabung dengan mereka.
Kiba ikut-ikutan makan cemilan untuk Shino. “Sugoi, kau sekarang pintar masak ya, Naruto.” Puji atau sindir Kiba.
“Tidak juga. Hanya masakan sederhana saja yang bisa ku buat.” Kata Naruto rendah hati. “Aku tak mungkin memberi makan Menma ramen instan, kan?”
Kiba nyengir. Mulutnya asyik menikmati makan siangnya. Rasanya lebih dari lumayan. Setidaknya lebih enak daripada masakan kakaknya atau Sakura. Masakan mereka super duper tidak enak dan masuk dalam kategori tidak layak makan. Karena itu, ia bersyukur Naruto menawarinya makan siang bersama. Setidaknya, ia selamat hari ini.
“Naruto…” kata Kiba memulai percakapan setelah meja makan disingkirkan berikut peralatan makan di atasnya.
“Hari ini aku sibuk, Kiba. Aku mau merapikan barang-barangku, lalu menemui Hokage-sama untuk laporan. Bisakah kau menundanya —apapun yang ingin kau tanyakan padaku— lain waktu?” kata Naruto memberi alasan
“Well, aku tidak memaksamu cerita, kok. Aku ke sini hanya ingin mengunjungi kawan lamaku dan juga keponakan baruku. Boleh aku ajak Menma jalan-jalan? Ia kelihatannya sudah lengket dengan Akamaru.” Pinta Kiba.
Naruto menoleh, menatap Menma yang kini menaiki punggung Akamaru. Tangan mungilnya dengan gemas menarik-narik bulu Akamaru yang panjang, tapi lembut. Kakinya menendang-nendang perut Akamaru. Bibirnya berceloteh riang, seolah-olah sedang mengajak Akamaru bercakap-cakap. Akamaru sebaliknya terlihat senang diperlakukan bayi menggemaskan di atas punggungnya, layaknya kuda tunggangan. Ia menjawab celotehan Menma dengan salakan ringan. “Guk guk guk…”
“Boleh, tapi jangan jauh-jauh.”
“Beres,” jawab Kiba. Ia pun membawa Menma jalan-jalan. Ia turut naik di atas Akamaru, menjaga Menma agar tidak jatuh. Shino ikut berpamitan, meninggalkan Naruto seorang diri saja.
Naruto mulai berbenah. Langkah pertama merapikan baju-bajunya dan baju Menma ke dalam lemari. Ia membuka lemarinya yang ada di kamar tidur. Ia terkejut mendapati lemarinya tidak kosong seperti saat ia tinggalkan dulu. Lemarinya berisi tumpukan baju-baju. Baju itu tidak baru, tapi bersih, wangi, dan dilipat dengan rapi. “Baju siapa ini?” gumamnya heran.
Naruto menarik satu helai baju dari tumpukan paling atas. Ia kembali terkejut, mendapati symbol kipas di bagian punggung. “Apa-apaan ini?” serunya tak habis pikir. Ia mencium aroma khas milik Sasuke. “Kenapa baju-baju Sasuke bisa ada di apartemenku?” katanya lagi. “Memangnya, Iruka-sensei pikir aku ini tak punya koleksi baju, hingga ia berfikir untuk meminta sedekah dari Sasuke,” gerutunya kesal menduga jika ini ulah senseinya.
Naruto dengan kasar mengeluarkan baju-baju milik Sasuke dari lemarinya. Awalnya, ia berniat membuangnya ke lantai, tapi ia urungkan dan lalu meletakkannya di atas kasurnya yang tertata rapi. Ia agak segan. Bagaimana pun, ia harus menghargai kebaikan hati senseinya.
Naruto menata baju-bajunya dengan hati-hati di bagian atas. Bajunya tidak begitu banyak. Satu tingkat saja lebih dari cukup. Dua tingkat di bawahnya ia gunakan untuk baju-baju Menma, sedangkan di bagian bawah untuk baju Gaara nanti. Setelah itu, ia menyimpan tas-tasnya di tempat penyimpanan barang dan melanjutkan aksi beres-beres rumahnya.
Malam tiba, baik Gaara maupun Menma belum juga muncul. Padahal, Naruto sudah memasak untuk makan malam mereka nanti. Gaara mungkin terhalang oleh Temari. Kalau Menma mungkin tengah asyik bermain-main dengan anjing-anjing milik keluarga Inuzuka. Selain menyukai rambut panjang yang tergerai, Menma juga sangat suka anjing. Karena itu, ia lengket dengan Akamaru. Naruto makan malam seorang diri.
Usai Naruto makan malam, barulah Kiba muncul. Menma berada dalam gendongannya. Naruto lihat, mata Menma sudah terpejam erat. Dadanya naik turun dengan teratur. Sesekali, gumamam ringan terucap dari bibir mungilnya. “Maaf, kemalaman. Soalnya, ibuku ribut ingin memandikan dan mendandani Menma. Katanya ia rindu dengan para bayi.” Kata Kiba meminta maaf.
“Coba kau menikah dan beri ia cucu. Ia pasti tak akan seantusias itu pada Menma.” Usul Naruto.
“Ah, tidak juga. Meskipun ia ku beri cucu, tetap saja ia akan memuja tanah yang dipijak Menma. Menma berhasil mencuri hati ibuku,” adu Kiba. Naruto membalas Kiba dengan senyum lima jarinya. Wajahnya terlihat bangga. Menma tidak bernasib sama sepertinya. Ia cukup diterima dan disayangi. “Aku pulang dulu, ya.” Pamit Kiba.
“Ya. Hati-hati di jalan,” balas Naruto.
Naruto menggendong Menma penuh sayang dan memasuki kamarnya untuk menidurkannya. Lagi-lagi kejutan menantinya. Kamarnya tidak kosong. Ada Sasuke —orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini— di sana. Ia berdiri tegap di dekat jendela yang terbuka  seakan sudah menunggu Naruto sejak tadi. Oniksnya menatap tajam Naruto. Naruto bersyukur ia sedang menggendong Menma sehingga rasa takutnya teralihkan oleh kehangatan tubuh Menma.  
“Jadi benar kau sudah kembali,” kata Sasuke membuka percakapan. “Kenapa tidak segera menemuiku?”
“Aku berniat melakukannya, tapi Menma kelelahan dan ia butuh istirahat segera. Karena itu, aku pikir untuk menemuimu besok saja.” jawab Naruto dengan hati-hati, berusaha untuk tidak gugup. Ia berdoa dalam hati agar Sasuke tidak mencium ketakutannya.
“Menma? Siapa dia?”
“Anakku,”
“Anak? Jadi kau sudah menikah.” Kata Sasuke. Sekilas, Naruto menangkap seberkas sinar aneh di oniksnya. Tapi, itu hanya sekejab mata, hingga Naruto mengira ia salah lihat. “Kau pasti bahagia sekarang. Impianmu untuk memiliki keluarga sendiri sudah kesampaian,” Lagi-lagi, Naruto mendengar sesuatu yang tak masuk akal. Sasuke terdengar iri padanya. Aneh kan? Atau, mungkin itu hanya khayalan indahnya saja?
“Bagaimana istrimu?” tanya Sasuke datar. Tapi, kedua tangannya tampak mengepal. Entah untuk alasan apa? ‘Mungkin tangannya pegal,’ batin Naruto berpositif thinking. Sasuke tak mungkin marah padanya hanya karena ia sudah menikah dan punya anak, kan? “Apa dia cantik?” tanya Sasuke lagi membuyarkan lamunan muram Naruto.
Naruto tersentak dari lamunannya. Ia mengalihkan tatapannya dari Sasuke ke Menma dan mulai mengayun-ayun Menma yang menggeliat tidak nyaman dalam gendongannya. “Dia cantik. Sangat cantik. Wanita tercantik no 2 yang pernah ku kenal.”
Lagi-lagi, Naruto melihat sesuatu yang tak masuk akal. Kilatan aneh di oniks Sasuke kembali muncul. Kali ini beberapa detik lebih lama. ‘Sasuke ini kenapa, sih?’ batin Naruto bingung. ‘Ia agak aneh malam ini,’ tambahnya dalam hati.
Alis Sasuke terangkat. “No 2?”
“No 1 nya ibuku.”
Sasuke menarik bibirnya beberapa mili, menyerupai ejekan daripada sebuah senyuman. “Oh,” gumamnya tak jelas. Oniksnya kini menyorot pada Menma yang ada dalam gendongan Naruto. Wajah Menma tidak begitu jelas terlihat karena terhalang oleh topi rajut yang menutupi hampir tiga perempat wajahnya. Tatapan Sasuke agak melembut, tidak tajam seperti di awal.
“Beberapa tahun lagi, kau pun akan memiliki Uchiha-Uchiha kecil berkeliaran di rumahmu.” hibur Naruto.
“Hn,” gumam Sasuke menutupi hatinya yang risau. Entah kenapa, ia memendam perasaan rindu pada Menma. Ia seperti sudah mengenal Menma begitu lama. Ini aneh, mengingat ini kali pertama ia bertemu dengan Menma? “Apa kau akan datang ke pesta pernikahanku?” tanyanya menghiraukan perasaan aneh yang bergejolak dalam hatinya.
Naruto berdiri dengan resah. Ia beberapa kali, memindahkan tumpuan kakinya. Hatinya tercabik oleh peraaan bersalah dan rasa takut yang mencekik lehernya. “Entahlah.”
“Kau harus datang,” perintah Sasuke.
“Aku ingin, tapi..,”
“Harus, Naruto.” Sasuke berjalan terhuyung-huyung menghampiri Naruto.
Naruto mengernyit, curiga. Jangan-jangan Sasuke.. Bukk! Tubuh Sasuke membentur dada Naruto. Perbedaan tinggi badan dan ukuran tubuh membuat Naruto hampir terjengkang ke belakang, jika saja tidak ada tembok di belakangnya. Bau alcohol menguar dari tubuh Sasuke. ‘Jadi benar, dia mabuk. Pantas tingkahnya aneh,’ batin Naruto. Dalam hati, ia bersyukur, Menma tidak terbangun dan lalu menangis gara-gara insiden ini.
“Dengar, kau harus datang untuk berbagi kebahagiaan denganku. Berkat kamu, akhirnya aku mendapatkan seorang wanita terhormat dari keluarga bangsawan. Dan, aku bisa memulihkan kembali nama baik klan Uchiha. Sebagai ucapan terima kasihku, kau harus datang, Naruto. Aku akan memberimu kejutan special di hari itu.” racau Sasuke sambil tertawa aneh. Sangat tidak Uchiha. Mungkin Sasuke bakal bunuh diri jika ia ingat tingkah memalukannya ini.
Naruto diam-diam membuat dua klon. Satu untuk menahan tubuh Sasuke yang sempoyongan dan yang satunya untuk membaringkan Menma di atas kasur bayi. Ia tak berani menidurkan Menma di atas ranjang yang tidak ada penahannya. Kalau jatuh bagaimana?
Naruto berusaha membawa Sasuke keluar kamar, agar Menma tidak terganggu. Sasuke memberontak. Dan terus meracau tidak jelas. Ia membicarakan Hinata, calon istrinya. Naruto tersenyum masam. ‘Sebetulnya ia sedang memuji apa menjelek-jelekkan Hinata, sih.’ Batinnya, setengah hati mendengarkan curhatan Sasuke.
Mungkin, Sasuke sedang tertekan dengan pekerjaannya sebagai hokage. Tugasnya kan berat. Kakashi saja hanya bertahan selama setahun menjabat sebagai hokage pasca perang dunia ninja keempat, sebelum memilih menghadap kamera dan melambaikan tangan, alias mengundurkan diri. Sedangkan Sasuke? Ia hampir menjabat selama 7 tahun. Hebat, kan?
Atau, bisa jadi ia tertekan karena sebentar lagi akan melepas status lajangnya. Mungkin Sasuke bukanlah tipe orang yang ingin berkeluarga dan lebih suka hidup bebas. Tapi, karena ada nama keluarga yang harus dilestarikan, teknik ninjutsu dan doujutsu yang harus diwariskan, mau tak mau Sasuke harus berkeluarga. Mungkin, karena itulah, ia mengalami depresi dan berakhir mabuk di apartemen Naruto. Itu sisi jahat Naruto yang beropini.
“Nn-arrruto, hik, kau terlihat sangat.. menawan.”
“Kau mabuk, Sasuke.” Kata Naruto tenang berusaha memapah Sasuke ke atas tatami yang sudah dipersiapkan klonnya di ruang keluarga. Ia tak menghiraukan pujian Sasuke. Ia tahu Sasuke bukanlah makhluk homo, meski ia jarang menghabiskan malam panjangnya dengan seorang wanita. Menurutnya, Sasuke itu aseksual, sama seperti Gaara. Alcohol dan setreslah yang membuatnya bicara ngaco seperti itu.
Setelah melalui waktu yang panjang, debat kusir, dan omelan, akhirnya Naruto berhasil membaringkan Sasuke ke atas tatami. Naruto hendak beranjak, ketika Sasuke menjambret tangan Naruto dan menariknya dalam pelukannya. “Aku merindukanmu, Dobe.” Katanya sebelum ia tertidur dan mendengkur.
“Aku juga, Teme.” Kata Naruto tulus. Naruto menarik selimut untuk menutupi tubuh Sasuke.
Saat itulah, Gaara muncul diiringi Temari dan Shika di belakangnya. Naruto mengerang dalam hati. ‘Oh, ronde ketiga mulai,’ batinnya gelisah. Ia tahu dari sorot matanya, Gaara sedang marah padanya. “Aku bisa menjelaskan ini.” kata Naruto membela diri.
“Kenapa ia tidur di sini?” desis Gaara. Matanya melotot galak. Terlihat sangat mengerikan sebab ia tidak punya alis. Naruto melihat Gaara seperti Panda yang sedang mengamuk. Naruto bersyukur Gaara belum melihat tumpukan baju Sasuke di atas kasurnya. Jika lihat? Ia mungkin akan mengamuk hebat. Ukh, hanya saat inilah, Naruto bersyukur Gaara bukan lagi jinchuuriki ichibi. Meski jiwa psikopathnya masih ada, setidaknya amukannya tidak lagi seberbahaya dulu.
Begitu pula dengan Shika dan Temari yang mengantar Gaara. Tubuh keduanya mengejang. Mereka tak percaya Gaara bisa bertingkah seajaib itu. Gaara bersikap seperti seorang kekasih yang memergoki pacarnya sedang menyembunyikan pria lain di kamar tidurnya. Aneh, kan? ‘Memangnya mereka pasangan kekasih? Bukannya Gaara itu aseksual?’ batin keduanya heran.
“Jangan keras-keras! Sasuke sedang tidur. Nanti ia terganggu.”
“Aku tak perduli. Dia punya apartemen sendiri. Ia bahkan memiliki koleksi rumah hantu terbesar di dunia. Asset yang dimiliki setara dengan tiga perempat jumlah kekayaan penduduk Suna. Jadi, kenapa ia harus menghabiskan waktu berharganya untuk tidur di sini?” sembur Gaara, marah.
Shika di lain pihak menatap Gaara dengan tatapan aneh. Itu kalimat terpanjang Gaara. Maksudnya, jika Gaara tidak sedang melakukan tugasnya sebagai Kage. Dulu saja,, saat ia melamar Temari, Gaara hanya berkata, “Pastikan ia bahagia.” Sudah begitu saja. Sekarang, ia bicara seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya yang ketahuan melakukan kesalahan, hanya karena memergoki Sasuke yang sedang mabuk tertidur di apartemen Naruto? Itu aneh, coret sangat aneh. Sangat tidak Gaara.
“Gaara, kau mau apa?” tanya Naruto khawatir melihat Gaara menggerakkan pasirnya untuk menyelubungi tubuh Sasuke yang masih mendengkur.
“Aku tak mau melihat ia tidur di ruangan yang sama denganmu. Kalau perlu aku akan melemparnya ke jalanan.” Bentak Gaara memperlihatkan kebenciannya pada Uchiha bungsu.
“Kasihan dia Gaara. Dia sedang mabuk.” Bujuk Naruto
“Astaga, kau kesurupan apa sih Naruto? Dia itu sudah menjahatimu, merebut Hinata darimu…”
“Hinata bukan kekasihku, untuk apa direbut.” Potong Naruto.
Gaara mengertakkan rahangnya kasar. “..merebut impianmu sebagai hokage..” kata Gaara seolah tidak pernah dipotong oleh Naruto.
“Secara teknis, Sasuke terpilih secara mutlak. Tak ada yang mengusulkan aku sebagai hokage kecuali Tsunade baa-chan dan Kakashi-sensei.” Potong Naruto lagi.
Gaara melotot, menyuruh Naruto tutup mulut. Ia tak suka ucapannya dipotong. Terlebih lagi, jika orang itu memotongnya, untuk membela orang yang dibenci Gaara. Gaara sangat tidak suka. “Aku hanya memaparkan faktanya. Sasuke tidak sejelek itu,” dalih Naruto.
Gaara tak habis pikir. Sungguh, ia tak mengerti, cara berfikir Naruto. Ia tidak hanya memaafkan orang yang telah menjahatinya, ia bahkan membelanya. Astaga, ia tak percaya ini. Ini sih sudah kelewatan namanya. Tangan Gaara jadi gatal, ingin mengguncang-guncang tubuh Naruto, agar si Pirang idiot itu sadar dan mau membuka matanya, untuk melihat siapa sebenarnya Sasuke Uchiha itu.  Masak sih ia tidak nyadar juga, meski sudah disakiti seperti ini. “Diamlah! Kau membuat kesabaranku habis.” Bentak Gaara.
“Gaara..!” panggil Naruto lirih. Safirnya mempelihatkan luka yang menggores hatinya.
Gaara mengumpat kasar, marah pada dirinya sendiri karena telah melukai hati Naruto. “Aku tidak marah padamu, tapi pada mantan sahabatmu itu.” Naruto spontan membuka mulut, tapi Gaara sudah menukasnya, “Jangan membelanya! Atau, aku tak mau bicara lagi padamu.”
“Kenapa kau begitu membencinya, Gaara? Dia tak pernah berlaku kasar atau melakukan sesuatu yang menyakitimu.”
“Pikir aja sendiri,” seru Gaara sebal. Ia membuka pintu kamar mandi dengan kasar. Ia mau mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Ia melongokkan kepalanya keluar. “Saat aku keluar nanti, si Brengsek itu tidak boleh ada di sini lagi. Aku tak perduli bagaimana  caranya?” katanya sebelum menutup pintu kamar mandi rapat-rapat.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. SHikalah yang memecah keheningan. “Biar aku yang memindahkan Uchiha,” katanya menawarkan diri.
“Maaf ya. Gaara tidak biasanya seperti itu. Mungkin, ia kesal karena tadi aku paksa untuk menghabiskan waktu seharian penuh dengan putraku. Kau tahu kan? Ia tak begitu suka dengan anak-anak,” kata Temari membuat alasan. Ia jadi tak enak hati pada Naruto yang wajahnya sendu. Jika cewek, mungkin Naruto sudah menangis tersedu-sedu. “Jangan kau masukkan dalam hati! Ia tidak marah padamu. Ia hanya tak ingin kau terluka lagi gara-gara Uchiha itu.” tambahnya sebelum membantu suaminya. Naruto diam seribu bahasa, masih syok dengan kata-kata Gaara. 
Dalam perjalanan, Shika bertanya, “Gaara sepertinya perduli sekali pada Naruto.”
“Memang. Ia sudah bertekad untuk melindungi Naruto.”
“Dari apa?”
“Dari orang yang telah menciptakan neraka dunia untuk Naruto.” kata Temari terdengar getir dan juga iba.
“Neraka dunia?”
“Ya, sebuah lubang neraka yang tak berujung.” Kata Temari sambil menerawang jauh, menatap kegelapan yang mulai menutupi Konoha. Pikirannya melayang pada bulan-bulan pertama Naruto tinggal di Suna.
Temari melihat dengan jelas hari-hari penuh derita yang dialami Naruto. Tiap malam, ia mendengar jeritan dan lolongan kesakitan tanpa suaranya yang menyayat hati. Hati Temari bagai tersayat-sayat oleh sembilu melihatnya. Ia ingin menolong, tapi tak bisa. Untunglah, sekarang Naruto sudah pulih. Mungkin, itu karena Menma.
“Tem..”
Temari menatap Shika tajam dan Shika langsung diam. Ia tahu. Jika Temari sudah memberinya tatapan itu, berarti itu waktunya ia diam. Mungkin, suatu saat nanti, Temari akan buka mulut, tapi yang jelas bukan sekarang.

…………………..*****………………….

“Kau tidak boleh membenci Sasuke, Gaara. Ia bukanlah orang jahat. Dia memang egois, kadang-kadang agak kejam, tapi tidak jahat,” kata Naruto dari balik dinding yang membatasi mereka.
“Huh!” dengus Gaara. Terdengar umpatan lirih dari ruang sebelah.
“Aku sungguh-sungguh Gaara.” Tak ada balasan. Mungkin Gaara sudah tidur, atau pura-pura tidak dengar. “Sasuke bukanlah ayah Menma.” Kata Naruto lirih, tapi masih bisa didengar Gaara.
“Dan, aku percaya babi bisa terbang.”
“Aku jujur,”
“Tidur Naruto. Aku lelah.”
“Aku bicara benar. Aku tidak bohong.”
“Tidur.” Tukas Gaara tidak mau dengar.
“OKe, selamat tidur.” Ujar Naruto pasrah. Mungkin Gaara memang lelah seperti yang dikatakannya. Mereka kan baru saja menempuh perjalanan jauh, dan Gaara nyaris tidak istirahat sesampainya di Konoha. Tapi, Naruto tak bisa memejamkan mata. Matanya menatap nyalang langit-langit kamarnya. Pikirannya kusut, sekusut harinya.
Naruto mendengarkan suara dengkuran halus dari ruang sebelah. Ia tersenyum tipis. Meski menjengkelkan, ia senang Gaara berada di sampingnya. Ia membuatnya nyaman dan sekaligus berani berhadapan dengan Sasuke. Kalau dia tak ada, entah apa yang akan dilakukan Naruto. 
“Aku jujur padamu, Gaara. Menma bukanlah anak Sasuke,” kata Naruto lirih pada angin malam yang berhembus.

………………………****…………………

Sasuke membaca perkamen pemberian Kabuto di kantornya. Lalu, matanya terbelalak lebar. Tangannya mencengkram erat perkamen di tangannya, tak sabar untuk mencabik-cabiknya. Tubuhnya gemetar dilanda amarah yang pekat. Jika kendali emosinya selemah Tsunade, pasti meja di depannya sudah tidak terbentuk lagi.
“Brengsek..!” rutuk Sasuke geram. Uchiha memang brengsek. Pantas saja Gaara membencinya. Pantas saja Danzo ingin melenyapkan klan ini. Dan, pantas saja Tobirama Senju selalu mencurigainya, karena klan ini memang brengsek. Kebrengsekannya sudah mendarah daging. Madara dan Obito hanyalah sebagian kecil contoh nyata, tapi kedalaman kesesatan klan ini mungkin seluas lautan di Amegakure. 
‘Teganya Uchiha keparat itu melakukan ini pada Naruto,’ batin Sasuke geram. Dadanya sesak, turut merasakan penderitaan yang dialami Naruto. Hatinya tercabik-cabik oleh perasaan bersalah.


TBC


Tidak ada komentar:

Posting Komentar