DISCLAIMER : Naruto
Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran,
bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Don't Like Don't
Read
Chapter Three
Sikap
diam Naruto membuat mereka berfikir, ada yang tidak beres dengan ibu Menma.
Mungkinkah dia..sudah..?? Tenten, Neji, dan, Kiba tersenyum muram, merasa iba
dengan nasib Menma. ‘Padahal ia masih kecil.’ Batin ketiganya. Tapi, tidak
dengan Lee. Ia masih saja memaksa Naruto.
Tenten
yang menyadari ketidak nyamanan Naruto langsung menggeplak kepala Lee. “Dasar
kau ini! Tidak punya sensitifme,” omelnya sok berfilosofi, padahal diksinya ngawur
tuh. “Abaikan Lee, Naruto. Dia itu memang tak pernah bicara dengan otaknya.
Jangan diambil hati!” Naruto tersenyum canggung sebagai balasan dan lalu
menganggukkan kepala, mengiyakan.
Tenten
memasang wajah bersalah. “Aku sebenarnya ingin berbincang denganmu. Ada banyak
hal yang ingin ku tanyakan padamu. Tapi, kami harus segera berangkat untuk misi.”
“Tak
apa aku mengerti. Semoga misinya sukses dan kalian pulang dengan selamat,” kata
Naruto.
“Ya.”/
“Hm,” / “Doakan saja!” jawab mereka serempak.
Naruto
melambaikan tangannya untuk tim Neji hingga sosok mereka hilang dari pandangan.
“Jadi, ibunya Menma sudah tidak ada?” tanya Kiba setelah mereka tinggal berdua.
Naruto
menyipit tajam. “Siapa yang bilang ibunya Menma mati?” katanya, tersinggung.
Kiba
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, salting. “Maaf. Aku tak bermaksud menuduh
Menma anak yatim. Tapi, ku pikir…” Kiba terdiam, bingung dengan
kalimat-kalimatnya sendiri. “Jadi, dimana ibu Menma? Kenapa kau tak mengajaknya
ke sini?” tanyanya kemudian.
“Itu…”
“Oh,
jangan-jangan wanita itu sudah kembali waras. Ia tahu kalau kau ini pria baka,
yang IQ-nya jongkok, karena itu ia memilih untuk berpisah darimu untuk memperbaiki
keturunan?” goda Kiba.
“Seperti
kau pintar saja,” balas Naruto sengit. “Kau pun sama bakanya denganku.” Secara
tidak langsung Naruto mengakui kalau ia memang dobe.
“Setidaknya,
aku tidak membuat misi-misi pentingku gagal seperti kau.” Ada yang sadar? Kiba
pun ternyata mengakui kalau ia tidak begitu pintar.
“Hei,
itu kan dulu, saat aku masih bocah. Setelah remaja, aku tak lagi mengacaukan
misi-misi pentingku. Bahkan, Tsunade baa-chan sering memberiku misi rank S. Kau
lupa? Aku satu-satunya genin yang paling banyak melawan penjahat rank S seperti
anggota Akatsuki.
Kiba
kicep. Ia akui Naruto benar. Naruto bahkan jadi senjata andalan untuk
menyatukan para shinobi dari lima desa besar melawan kelaliman Madara dan
sekutunya. Dan, Naruto pula yang jadi tumpuan harapan mereka saat keputus asaan
mengisi rongga-rongga udara mereka.
Seharusnya,
dengan besarnya peranan Naruto pada perang mengerikan yang pernah dialami umat
manusia ini, Naruto diangkat menjadi hokage. Tapi, sayang Naruto terlalu baik.
Ia diam saja, meski ditikung oleh sahabat baiknya sendiri, Sasuke yang muncul
belakangan. Ia memilih mundur daripada memaksakan hak-haknya demi perdamaian
desa. Naruto memang hebat, pahlawan sejati. Karena itulah, Kiba sangat
mengagumi dan menyayanginya.
“Kalau
ia tidak kabur darimu, kenapa kau tak langsung menjawab pertanyaan Lee?”
“Ceritanya
rumit.” Elak Naruto.
Wajah
Kiba melembut. “Apa ia sedang sakit?”
“Bisa
dibilang begitu,” jawab Naruto ambigu.
“Lalu,
kenapa kau tinggalkan dia? Seharusnya, kau bersamanya, merawatnya.” Tuduhnya
menyalahkan.
“Aku
ada urusan dengan…”
“Sasuke?
Jadi Sasuke lebih penting daripada ibunya Menma?” potong Kiba kesal. Ia
tersenyum masam. Ia termasuk golongan yang tidak setuju Sasuke menjadi hokage,
karena ia masih menganggap Sasuke brengsek, sama seperti saat ia kabur ke
Otogakure dan mengkhianati Konoha.
“Bukan
begitu.” Tukas Naruto terdengar panik.
Lagi-lagi,
ia dituduh Sasuke-seksual. Ups, sorry salah. Lagi-lagi, ia dituduh Sasuke
maniak. Ia memang dulu mengejar Sasuke dan bertekad membawanya pulang ke
Konoha, tapi bukan berarti Sasuke pusat hidupnya. Dan, ia jelas tidak cinta
mati ataupun terobsesi pada Sasuke. Baginya, Sasuke ya Sasuke. Sahabat
pertamanya dan yach soulmatenya. Begitulah kira-kira. Gimana sih rasanya
berteman? Tahu, kan?
“Lalu
apa?”
“Ceritanya
benar-benar rumit. Tidak bisa dijelaskan dalam satu kalimat,”
“Intinya
saja dech,” kata Kiba memaksa.
“Well,
aku bingung bagaimana menjelaskannya. Tapi intinya, ini semua karena Menma. Aku
ke sini karena Menma. Aku berharap orang yang akan ku temui itu bisa menolong
Menma. Dan orang itu bukan Sasuke.”
“Astaga
Menma juga sakit?” Kata Kiba terkejut. Dahinya mengerut tidak setuju. “Tapi, ia
terlihat sehat-sehat saja.” Akunya menilai.
“Iy-iya
begitulah, ah tidak. Well...” Naruto menggigit bibir bagian bawahnya, bingung
bagaimana menjawabnya.
“Tinggal
bilang iya atau tidak. Mudah, kan?”
“Nanti,
di lain waktu dan di lain tempat, aku akan menceritakannya padamu. Sekarang, aku
pergi dulu. Sudah waktunya Menma tidur siang. Bye!” kata Naruto langsung
ngacir, tanpa menunggu jawaban Kiba.
“Ish,
dia itu gimana sih. Tidak solider. Tidak setia kawan.” Gerutu Kiba sebal.
“Tapi, masalah rumit apa ya? Kenapa ia tidak cerita padaku? Aku kan juga ingin
membantunya. Ish, dasar Naruto. Tidak jelas.” Gerutunya.
Di
lain pihak, Naruto sedang menarik nafas lega. Ia berhasil selamat dari
interograsi Kiba. Maniak anjing itu kadang-kadang bisa sangat merepotkan. Sifat
cerewetnya bikin ia kerepotan. Nyaris saja tadi ia keceplosan. Ia harus lebih
berhati-hati. Jangan sampai rahasianya terkuak dan membuat hidup seseorang
berantakan karenanya. Tidak, ia tak mau itu terjadi.
Ia
kembali ke Konoha bukan untuk merusak kehidupan orang lain, atau pun
mengacaukan rencana seseorang. Ia datang dengan maksud baik, untuk menolong
Menma yang tengah dilanda masalah berat. Setelah urusannya selesai, ia akan
pergi lagi dari Konoha. Kali ini, untuk selamanya.
Jika
dengan Kiba saja ia sudah kuwalahan, bagaimana ia bisa membohongi Sasuke? Sasuke
itu jenius. Ia pintar menganalisis dan menghubungkan potongan-potongan puzzle.
Instingnya pun kuat. Ia mungkin bisa menebak rahasianya. Ukh, baru memikirkannya
saja perutnya sudah bergolak mulas. Bagaimana jika bertemu langsung?
Naruto
berhenti di depan sebuah bangunan bercat putih yang sudah agak pudar di makan
usia. Bangunan itu terdiri dari dua lantai dan berisi puluhan
apartemen-apartemen sederhana. Hanya ada satu kamar tidur, dapur, kamar mandi,
ruang tamu sekaligus merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang makan. Di
tempat inilah, Naruto hidup selama belasan tahun. Apartemen Naruto terletak di
sebelah tengah agak ke Timur.
Sebetulnya,
Naruto bisa saja membangun sebuah rumah dua lantai atau bahkan tiga lantai
dengan isinya sekaligus. Ia bukanlah anak kere. Bagaimana pun ayahnya seorang
hokage dan termasuk shinobi dengan prestasi yang mentereng. Simpanan kekayaan
ayahnya lebih dari cukup untuk berfoya-foya. Di tambah dengan peninggalan
ibunya, berikut property Uzumaki, Naruto jelas bukanlah pemuda miskin. Tapi, ia
lebih suka dengan apartemen lamanya. Toh, buat apa ia membangun rumah megah dan
mewah, jika ia jarang tinggal di dalamnya. Ia kan sering mendapat misi keluar
desa.
“Itu
rumah kita, Menma. Ru-mah.” Eja Naruto mengajari Menma kata rumah.
“Umm-ah,”
kata Menma berusaha mengikuti ucapan ayahnya.
“Rumah,
Sayang.” Naruto membetulkan.
“Lllu-mmah,”
ujar Menma lagi yang hampir mendekati kata rumah. Berhubung, Menma masih cadel
—namanya juga balita— huruf r jadi tertukar dengan huruf l, jadinya lumah bukan
rumah.
Naruto
terkekeh. Ia mengacak-acak rambut Menma yang entah kenapa cepat tumbuh
memanjang. Padahal, baru seminggu yang lalu ia memotongnya cepak. Tapi, kini
rambutnya sudah tumbuh sebahu. Kapan tumbuhnya ya?
Naruto
mengecup pipi gembil Menma singkat, sebelum menaiki tangga menuju apartemennya.
Sepanjang jalan, ia mendengarkan celotehan Menma yang rupa-rupanya tengah
bersemangat menceritakan aksi penjelajahannya tadi pada Naruto. Naruto
mengangguk-angguk seolah paham dan kadang-kadang menimpalinya.
Naruto
baru mau membuka pintu ketika ia menyadari kehadiran Shino. “Kau masih di
sini?” tanyanya terkejut. Ia berhasil menahan diri untuk tidak menjerit.
“Aku
menunggui barang-barangmu,” kata Shino lugas dari balik kerah bajunya yang
hampir menutupi separuh badannya.
“Oh,
terima kasih.” Balas Naruto sopan. Ia memutar kunci apartemennya dan mulai
melangkah masuk. “Kalau kau tak sibuk, silahkan mampir. Aku akan membuatkanmu
minuman sebagai tanda terima kasih,”
Biasanya,
Shino akan menolaknya secara halus. Tapi, hari ini tidak biasa. Jadi, ia
mengangguk menyetujui dan mengekor di belakang Naruto. Naruto meletakkan Menma
di lantai dan membiarkan balita itu merangkak, menjelajahi ruangan ditemani
Shino. Ia tak khawatir karena yakin Iruka-sensei sudah membersihkan
apartemennya sebelum ia datang.
Di
dapur, Naruto mulai membuat minuman untuk dua orang dan makanan balita, menu
makan siang sederhana, serta sedikit cemilan di atas piring. Sudah waktunya
Menma makan. Naruto kembali dikejutkan dengan kehadiran Kiba sepaket dengan
Akamaru, anjingnya. “Sorry, aku masuk begitu saja. Soalnya Akamaru rindu berat
padamu,” kata Kiba membuat alasan.
Naruto
berusaha tetap tenang. Ia menggenggam erat pegangan pada nampannya untuk
menutupi kegugupannya. “Tak masalah,” balas Naruto singkat, bergabung dengan
mereka.
Kiba
ikut-ikutan makan cemilan untuk Shino. “Sugoi, kau sekarang pintar masak ya,
Naruto.” Puji atau sindir Kiba.
“Tidak
juga. Hanya masakan sederhana saja yang bisa ku buat.” Kata Naruto rendah hati.
“Aku tak mungkin memberi makan Menma ramen instan, kan?”
Kiba
nyengir. Mulutnya asyik menikmati makan siangnya. Rasanya lebih dari lumayan.
Setidaknya lebih enak daripada masakan kakaknya atau Sakura. Masakan mereka
super duper tidak enak dan masuk dalam kategori tidak layak makan. Karena itu,
ia bersyukur Naruto menawarinya makan siang bersama. Setidaknya, ia selamat
hari ini.
“Naruto…”
kata Kiba memulai percakapan setelah meja makan disingkirkan berikut peralatan
makan di atasnya.
“Hari
ini aku sibuk, Kiba. Aku mau merapikan barang-barangku, lalu menemui
Hokage-sama untuk laporan. Bisakah kau menundanya —apapun yang ingin kau
tanyakan padaku— lain waktu?” kata Naruto memberi alasan
“Well,
aku tidak memaksamu cerita, kok. Aku ke sini hanya ingin mengunjungi kawan
lamaku dan juga keponakan baruku. Boleh aku ajak Menma jalan-jalan? Ia
kelihatannya sudah lengket dengan Akamaru.” Pinta Kiba.
Naruto
menoleh, menatap Menma yang kini menaiki punggung Akamaru. Tangan mungilnya
dengan gemas menarik-narik bulu Akamaru yang panjang, tapi lembut. Kakinya
menendang-nendang perut Akamaru. Bibirnya berceloteh riang, seolah-olah sedang
mengajak Akamaru bercakap-cakap. Akamaru sebaliknya terlihat senang
diperlakukan bayi menggemaskan di atas punggungnya, layaknya kuda tunggangan.
Ia menjawab celotehan Menma dengan salakan ringan. “Guk guk guk…”
“Boleh,
tapi jangan jauh-jauh.”
“Beres,”
jawab Kiba. Ia pun membawa Menma jalan-jalan. Ia turut naik di atas Akamaru,
menjaga Menma agar tidak jatuh. Shino ikut berpamitan, meninggalkan Naruto
seorang diri saja.
Naruto
mulai berbenah. Langkah pertama merapikan baju-bajunya dan baju Menma ke dalam
lemari. Ia membuka lemarinya yang ada di kamar tidur. Ia terkejut mendapati
lemarinya tidak kosong seperti saat ia tinggalkan dulu. Lemarinya berisi
tumpukan baju-baju. Baju itu tidak baru, tapi bersih, wangi, dan dilipat dengan
rapi. “Baju siapa ini?” gumamnya heran.
Naruto
menarik satu helai baju dari tumpukan paling atas. Ia kembali terkejut,
mendapati symbol kipas di bagian punggung. “Apa-apaan ini?” serunya tak habis
pikir. Ia mencium aroma khas milik Sasuke. “Kenapa baju-baju Sasuke bisa ada di
apartemenku?” katanya lagi. “Memangnya, Iruka-sensei pikir aku ini tak punya
koleksi baju, hingga ia berfikir untuk meminta sedekah dari Sasuke,” gerutunya
kesal menduga jika ini ulah senseinya.
Naruto
dengan kasar mengeluarkan baju-baju milik Sasuke dari lemarinya. Awalnya, ia
berniat membuangnya ke lantai, tapi ia urungkan dan lalu meletakkannya di atas
kasurnya yang tertata rapi. Ia agak segan. Bagaimana pun, ia harus menghargai
kebaikan hati senseinya.
Naruto
menata baju-bajunya dengan hati-hati di bagian atas. Bajunya tidak begitu
banyak. Satu tingkat saja lebih dari cukup. Dua tingkat di bawahnya ia gunakan
untuk baju-baju Menma, sedangkan di bagian bawah untuk baju Gaara nanti.
Setelah itu, ia menyimpan tas-tasnya di tempat penyimpanan barang dan
melanjutkan aksi beres-beres rumahnya.
Malam
tiba, baik Gaara maupun Menma belum juga muncul. Padahal, Naruto sudah memasak untuk
makan malam mereka nanti. Gaara mungkin terhalang oleh Temari. Kalau Menma
mungkin tengah asyik bermain-main dengan anjing-anjing milik keluarga Inuzuka.
Selain menyukai rambut panjang yang tergerai, Menma juga sangat suka anjing.
Karena itu, ia lengket dengan Akamaru. Naruto makan malam seorang diri.
Usai
Naruto makan malam, barulah Kiba muncul. Menma berada dalam gendongannya. Naruto
lihat, mata Menma sudah terpejam erat. Dadanya naik turun dengan teratur.
Sesekali, gumamam ringan terucap dari bibir mungilnya. “Maaf, kemalaman.
Soalnya, ibuku ribut ingin memandikan dan mendandani Menma. Katanya ia rindu
dengan para bayi.” Kata Kiba meminta maaf.
“Coba
kau menikah dan beri ia cucu. Ia pasti tak akan seantusias itu pada Menma.”
Usul Naruto.
“Ah,
tidak juga. Meskipun ia ku beri cucu, tetap saja ia akan memuja tanah yang dipijak
Menma. Menma berhasil mencuri hati ibuku,” adu Kiba. Naruto membalas Kiba
dengan senyum lima jarinya. Wajahnya terlihat bangga. Menma tidak bernasib sama
sepertinya. Ia cukup diterima dan disayangi. “Aku pulang dulu, ya.” Pamit Kiba.
“Ya.
Hati-hati di jalan,” balas Naruto.
Naruto
menggendong Menma penuh sayang dan memasuki kamarnya untuk menidurkannya.
Lagi-lagi kejutan menantinya. Kamarnya tidak kosong. Ada Sasuke —orang yang
paling tidak ingin ditemuinya saat ini— di sana. Ia berdiri tegap di dekat
jendela yang terbuka seakan sudah
menunggu Naruto sejak tadi. Oniksnya menatap tajam Naruto. Naruto bersyukur ia
sedang menggendong Menma sehingga rasa takutnya teralihkan oleh kehangatan
tubuh Menma.
“Jadi
benar kau sudah kembali,” kata Sasuke membuka percakapan. “Kenapa tidak segera
menemuiku?”
“Aku
berniat melakukannya, tapi Menma kelelahan dan ia butuh istirahat segera.
Karena itu, aku pikir untuk menemuimu besok saja.” jawab Naruto dengan
hati-hati, berusaha untuk tidak gugup. Ia berdoa dalam hati agar Sasuke tidak
mencium ketakutannya.
“Menma?
Siapa dia?”
“Anakku,”
“Anak?
Jadi kau sudah menikah.” Kata Sasuke. Sekilas, Naruto menangkap seberkas sinar
aneh di oniksnya. Tapi, itu hanya sekejab mata, hingga Naruto mengira ia salah
lihat. “Kau pasti bahagia sekarang. Impianmu untuk memiliki keluarga sendiri
sudah kesampaian,” Lagi-lagi, Naruto mendengar sesuatu yang tak masuk akal.
Sasuke terdengar iri padanya. Aneh kan? Atau, mungkin itu hanya khayalan
indahnya saja?
“Bagaimana
istrimu?” tanya Sasuke datar. Tapi, kedua tangannya tampak mengepal. Entah
untuk alasan apa? ‘Mungkin tangannya pegal,’ batin Naruto berpositif thinking.
Sasuke tak mungkin marah padanya hanya karena ia sudah menikah dan punya anak,
kan? “Apa dia cantik?” tanya Sasuke lagi membuyarkan lamunan muram Naruto.
Naruto
tersentak dari lamunannya. Ia mengalihkan tatapannya dari Sasuke ke Menma dan
mulai mengayun-ayun Menma yang menggeliat tidak nyaman dalam gendongannya. “Dia
cantik. Sangat cantik. Wanita tercantik no 2 yang pernah ku kenal.”
Lagi-lagi,
Naruto melihat sesuatu yang tak masuk akal. Kilatan aneh di oniks Sasuke
kembali muncul. Kali ini beberapa detik lebih lama. ‘Sasuke ini kenapa, sih?’
batin Naruto bingung. ‘Ia agak aneh malam ini,’ tambahnya dalam hati.
Alis
Sasuke terangkat. “No 2?”
“No
1 nya ibuku.”
Sasuke
menarik bibirnya beberapa mili, menyerupai ejekan daripada sebuah senyuman.
“Oh,” gumamnya tak jelas. Oniksnya kini menyorot pada Menma yang ada dalam
gendongan Naruto. Wajah Menma tidak begitu jelas terlihat karena terhalang oleh
topi rajut yang menutupi hampir tiga perempat wajahnya. Tatapan Sasuke agak
melembut, tidak tajam seperti di awal.
“Beberapa
tahun lagi, kau pun akan memiliki Uchiha-Uchiha kecil berkeliaran di rumahmu.”
hibur Naruto.
“Hn,”
gumam Sasuke menutupi hatinya yang risau. Entah kenapa, ia memendam perasaan
rindu pada Menma. Ia seperti sudah mengenal Menma begitu lama. Ini aneh,
mengingat ini kali pertama ia bertemu dengan Menma? “Apa kau akan datang ke
pesta pernikahanku?” tanyanya menghiraukan perasaan aneh yang bergejolak dalam
hatinya.
Naruto
berdiri dengan resah. Ia beberapa kali, memindahkan tumpuan kakinya. Hatinya
tercabik oleh peraaan bersalah dan rasa takut yang mencekik lehernya.
“Entahlah.”
“Kau
harus datang,” perintah Sasuke.
“Aku
ingin, tapi..,”
“Harus,
Naruto.” Sasuke berjalan terhuyung-huyung menghampiri Naruto.
Naruto
mengernyit, curiga. Jangan-jangan Sasuke.. Bukk! Tubuh Sasuke membentur dada
Naruto. Perbedaan tinggi badan dan ukuran tubuh membuat Naruto hampir
terjengkang ke belakang, jika saja tidak ada tembok di belakangnya. Bau alcohol
menguar dari tubuh Sasuke. ‘Jadi benar, dia mabuk. Pantas tingkahnya aneh,’
batin Naruto. Dalam hati, ia bersyukur, Menma tidak terbangun dan lalu menangis
gara-gara insiden ini.
“Dengar,
kau harus datang untuk berbagi kebahagiaan denganku. Berkat kamu, akhirnya aku
mendapatkan seorang wanita terhormat dari keluarga bangsawan. Dan, aku bisa
memulihkan kembali nama baik klan Uchiha. Sebagai ucapan terima kasihku, kau
harus datang, Naruto. Aku akan memberimu kejutan special di hari itu.” racau
Sasuke sambil tertawa aneh. Sangat tidak Uchiha. Mungkin Sasuke bakal bunuh diri
jika ia ingat tingkah memalukannya ini.
Naruto
diam-diam membuat dua klon. Satu untuk menahan tubuh Sasuke yang sempoyongan
dan yang satunya untuk membaringkan Menma di atas kasur bayi. Ia tak berani
menidurkan Menma di atas ranjang yang tidak ada penahannya. Kalau jatuh
bagaimana?
Naruto
berusaha membawa Sasuke keluar kamar, agar Menma tidak terganggu. Sasuke
memberontak. Dan terus meracau tidak jelas. Ia membicarakan Hinata, calon
istrinya. Naruto tersenyum masam. ‘Sebetulnya ia sedang memuji apa menjelek-jelekkan
Hinata, sih.’ Batinnya, setengah hati mendengarkan curhatan Sasuke.
Mungkin,
Sasuke sedang tertekan dengan pekerjaannya sebagai hokage. Tugasnya kan berat.
Kakashi saja hanya bertahan selama setahun menjabat sebagai hokage pasca perang
dunia ninja keempat, sebelum memilih menghadap kamera dan melambaikan tangan,
alias mengundurkan diri. Sedangkan Sasuke? Ia hampir menjabat selama 7 tahun. Hebat,
kan?
Atau,
bisa jadi ia tertekan karena sebentar lagi akan melepas status lajangnya.
Mungkin Sasuke bukanlah tipe orang yang ingin berkeluarga dan lebih suka hidup
bebas. Tapi, karena ada nama keluarga yang harus dilestarikan, teknik ninjutsu
dan doujutsu yang harus diwariskan, mau tak mau Sasuke harus berkeluarga.
Mungkin, karena itulah, ia mengalami depresi dan berakhir mabuk di apartemen
Naruto. Itu sisi jahat Naruto yang beropini.
“Nn-arrruto,
hik, kau terlihat sangat.. menawan.”
“Kau
mabuk, Sasuke.” Kata Naruto tenang berusaha memapah Sasuke ke atas tatami yang
sudah dipersiapkan klonnya di ruang keluarga. Ia tak menghiraukan pujian
Sasuke. Ia tahu Sasuke bukanlah makhluk homo, meski ia jarang menghabiskan
malam panjangnya dengan seorang wanita. Menurutnya, Sasuke itu aseksual, sama
seperti Gaara. Alcohol dan setreslah yang membuatnya bicara ngaco seperti itu.
Setelah
melalui waktu yang panjang, debat kusir, dan omelan, akhirnya Naruto berhasil
membaringkan Sasuke ke atas tatami. Naruto hendak beranjak, ketika Sasuke
menjambret tangan Naruto dan menariknya dalam pelukannya. “Aku merindukanmu,
Dobe.” Katanya sebelum ia tertidur dan mendengkur.
“Aku
juga, Teme.” Kata Naruto tulus. Naruto menarik selimut untuk menutupi tubuh
Sasuke.
Saat
itulah, Gaara muncul diiringi Temari dan Shika di belakangnya. Naruto mengerang
dalam hati. ‘Oh, ronde ketiga mulai,’ batinnya gelisah. Ia tahu dari sorot
matanya, Gaara sedang marah padanya. “Aku bisa menjelaskan ini.” kata Naruto membela
diri.
“Kenapa
ia tidur di sini?” desis Gaara. Matanya melotot galak. Terlihat sangat
mengerikan sebab ia tidak punya alis. Naruto melihat Gaara seperti Panda yang
sedang mengamuk. Naruto bersyukur Gaara belum melihat tumpukan baju Sasuke di
atas kasurnya. Jika lihat? Ia mungkin akan mengamuk hebat. Ukh, hanya saat
inilah, Naruto bersyukur Gaara bukan lagi jinchuuriki ichibi. Meski jiwa
psikopathnya masih ada, setidaknya amukannya tidak lagi seberbahaya dulu.
Begitu
pula dengan Shika dan Temari yang mengantar Gaara. Tubuh keduanya mengejang.
Mereka tak percaya Gaara bisa bertingkah seajaib itu. Gaara bersikap seperti seorang
kekasih yang memergoki pacarnya sedang menyembunyikan pria lain di kamar
tidurnya. Aneh, kan? ‘Memangnya mereka pasangan kekasih? Bukannya Gaara itu
aseksual?’ batin keduanya heran.
“Jangan
keras-keras! Sasuke sedang tidur. Nanti ia terganggu.”
“Aku
tak perduli. Dia punya apartemen sendiri. Ia bahkan memiliki koleksi rumah
hantu terbesar di dunia. Asset yang dimiliki setara dengan tiga perempat jumlah
kekayaan penduduk Suna. Jadi, kenapa ia harus menghabiskan waktu berharganya
untuk tidur di sini?” sembur Gaara, marah.
Shika
di lain pihak menatap Gaara dengan tatapan aneh. Itu kalimat terpanjang Gaara.
Maksudnya, jika Gaara tidak sedang melakukan tugasnya sebagai Kage. Dulu saja,,
saat ia melamar Temari, Gaara hanya berkata, “Pastikan ia bahagia.” Sudah
begitu saja. Sekarang, ia bicara seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya
yang ketahuan melakukan kesalahan, hanya karena memergoki Sasuke yang sedang
mabuk tertidur di apartemen Naruto? Itu aneh, coret sangat aneh. Sangat tidak
Gaara.
“Gaara,
kau mau apa?” tanya Naruto khawatir melihat Gaara menggerakkan pasirnya untuk
menyelubungi tubuh Sasuke yang masih mendengkur.
“Aku
tak mau melihat ia tidur di ruangan yang sama denganmu. Kalau perlu aku akan
melemparnya ke jalanan.” Bentak Gaara memperlihatkan kebenciannya pada Uchiha
bungsu.
“Kasihan
dia Gaara. Dia sedang mabuk.” Bujuk Naruto
“Astaga,
kau kesurupan apa sih Naruto? Dia itu sudah menjahatimu, merebut Hinata
darimu…”
“Hinata
bukan kekasihku, untuk apa direbut.” Potong Naruto.
Gaara
mengertakkan rahangnya kasar. “..merebut impianmu sebagai hokage..” kata Gaara
seolah tidak pernah dipotong oleh Naruto.
“Secara
teknis, Sasuke terpilih secara mutlak. Tak ada yang mengusulkan aku sebagai
hokage kecuali Tsunade baa-chan dan Kakashi-sensei.” Potong Naruto lagi.
Gaara
melotot, menyuruh Naruto tutup mulut. Ia tak suka ucapannya dipotong. Terlebih
lagi, jika orang itu memotongnya, untuk membela orang yang dibenci Gaara. Gaara
sangat tidak suka. “Aku hanya memaparkan faktanya. Sasuke tidak sejelek itu,”
dalih Naruto.
Gaara
tak habis pikir. Sungguh, ia tak mengerti, cara berfikir Naruto. Ia tidak hanya
memaafkan orang yang telah menjahatinya, ia bahkan membelanya. Astaga, ia tak
percaya ini. Ini sih sudah kelewatan namanya. Tangan Gaara jadi gatal, ingin
mengguncang-guncang tubuh Naruto, agar si Pirang idiot itu sadar dan mau
membuka matanya, untuk melihat siapa sebenarnya Sasuke Uchiha itu. Masak sih ia tidak nyadar juga, meski sudah
disakiti seperti ini. “Diamlah! Kau membuat kesabaranku habis.” Bentak Gaara.
“Gaara..!”
panggil Naruto lirih. Safirnya mempelihatkan luka yang menggores hatinya.
Gaara
mengumpat kasar, marah pada dirinya sendiri karena telah melukai hati Naruto. “Aku
tidak marah padamu, tapi pada mantan sahabatmu itu.” Naruto spontan membuka
mulut, tapi Gaara sudah menukasnya, “Jangan membelanya! Atau, aku tak mau
bicara lagi padamu.”
“Kenapa
kau begitu membencinya, Gaara? Dia tak pernah berlaku kasar atau melakukan
sesuatu yang menyakitimu.”
“Pikir
aja sendiri,” seru Gaara sebal. Ia membuka pintu kamar mandi dengan kasar. Ia
mau mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Ia melongokkan kepalanya keluar.
“Saat aku keluar nanti, si Brengsek itu tidak boleh ada di sini lagi. Aku tak
perduli bagaimana caranya?” katanya
sebelum menutup pintu kamar mandi rapat-rapat.
Keheningan
menyelimuti ruangan itu. SHikalah yang memecah keheningan. “Biar aku yang
memindahkan Uchiha,” katanya menawarkan diri.
“Maaf
ya. Gaara tidak biasanya seperti itu. Mungkin, ia kesal karena tadi aku paksa
untuk menghabiskan waktu seharian penuh dengan putraku. Kau tahu kan? Ia tak
begitu suka dengan anak-anak,” kata Temari membuat alasan. Ia jadi tak enak
hati pada Naruto yang wajahnya sendu. Jika cewek, mungkin Naruto sudah menangis
tersedu-sedu. “Jangan kau masukkan dalam hati! Ia tidak marah padamu. Ia hanya
tak ingin kau terluka lagi gara-gara Uchiha itu.” tambahnya sebelum membantu
suaminya. Naruto diam seribu bahasa, masih syok dengan kata-kata Gaara.
Dalam
perjalanan, Shika bertanya, “Gaara sepertinya perduli sekali pada Naruto.”
“Memang.
Ia sudah bertekad untuk melindungi Naruto.”
“Dari
apa?”
“Dari
orang yang telah menciptakan neraka dunia untuk Naruto.” kata Temari terdengar
getir dan juga iba.
“Neraka
dunia?”
“Ya,
sebuah lubang neraka yang tak berujung.” Kata Temari sambil menerawang jauh,
menatap kegelapan yang mulai menutupi Konoha. Pikirannya melayang pada bulan-bulan
pertama Naruto tinggal di Suna.
Temari
melihat dengan jelas hari-hari penuh derita yang dialami Naruto. Tiap malam, ia
mendengar jeritan dan lolongan kesakitan tanpa suaranya yang menyayat hati.
Hati Temari bagai tersayat-sayat oleh sembilu melihatnya. Ia ingin menolong,
tapi tak bisa. Untunglah, sekarang Naruto sudah pulih. Mungkin, itu karena
Menma.
“Tem..”
Temari
menatap Shika tajam dan Shika langsung diam. Ia tahu. Jika Temari sudah
memberinya tatapan itu, berarti itu waktunya ia diam. Mungkin, suatu saat
nanti, Temari akan buka mulut, tapi yang jelas bukan sekarang.
…………………..*****………………….
“Kau
tidak boleh membenci Sasuke, Gaara. Ia bukanlah orang jahat. Dia memang egois,
kadang-kadang agak kejam, tapi tidak jahat,” kata Naruto dari balik dinding
yang membatasi mereka.
“Huh!”
dengus Gaara. Terdengar umpatan lirih dari ruang sebelah.
“Aku
sungguh-sungguh Gaara.” Tak ada balasan. Mungkin Gaara sudah tidur, atau
pura-pura tidak dengar. “Sasuke bukanlah ayah Menma.” Kata Naruto lirih, tapi
masih bisa didengar Gaara.
“Dan,
aku percaya babi bisa terbang.”
“Aku
jujur,”
“Tidur
Naruto. Aku lelah.”
“Aku
bicara benar. Aku tidak bohong.”
“Tidur.”
Tukas Gaara tidak mau dengar.
“OKe,
selamat tidur.” Ujar Naruto pasrah. Mungkin Gaara memang lelah seperti yang
dikatakannya. Mereka kan baru saja menempuh perjalanan jauh, dan Gaara nyaris
tidak istirahat sesampainya di Konoha. Tapi, Naruto tak bisa memejamkan mata.
Matanya menatap nyalang langit-langit kamarnya. Pikirannya kusut, sekusut
harinya.
Naruto
mendengarkan suara dengkuran halus dari ruang sebelah. Ia tersenyum tipis.
Meski menjengkelkan, ia senang Gaara berada di sampingnya. Ia membuatnya nyaman
dan sekaligus berani berhadapan dengan Sasuke. Kalau dia tak ada, entah apa
yang akan dilakukan Naruto.
“Aku
jujur padamu, Gaara. Menma bukanlah anak Sasuke,” kata Naruto lirih pada angin
malam yang berhembus.
………………………****…………………
Sasuke
membaca perkamen pemberian Kabuto di kantornya. Lalu, matanya terbelalak lebar.
Tangannya mencengkram erat perkamen di tangannya, tak sabar untuk
mencabik-cabiknya. Tubuhnya gemetar dilanda amarah yang pekat. Jika kendali
emosinya selemah Tsunade, pasti meja di depannya sudah tidak terbentuk lagi.
“Brengsek..!”
rutuk Sasuke geram. Uchiha memang brengsek. Pantas saja Gaara membencinya.
Pantas saja Danzo ingin melenyapkan klan ini. Dan, pantas saja Tobirama Senju
selalu mencurigainya, karena klan ini memang brengsek. Kebrengsekannya sudah
mendarah daging. Madara dan Obito hanyalah sebagian kecil contoh nyata, tapi
kedalaman kesesatan klan ini mungkin seluas lautan di Amegakure.
‘Teganya
Uchiha keparat itu melakukan ini pada Naruto,’ batin Sasuke geram. Dadanya
sesak, turut merasakan penderitaan yang dialami Naruto. Hatinya tercabik-cabik
oleh perasaan bersalah.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar