Summary : “Elo sendiri
gimana, Nar? Apa alasan elo berjilbab?” tanya Sakura. “Gue? Gue nggak usah aja,
ya. Cukup gue sama Allah saja yang tahu.” “Nggak bisa gitu dong, Nar. Itu nggak
fair namanya. Kita semua kan udah buka kartu, masak elo masih nyimpen kartu
truf elo.” Ujar Ino tak terima. “Mending nggak usah dech. Nggak ada yang
menarik, kok. Kalian ntar nyesel dengernya lho.” Ujar Naruto bersikukuh. Fic
Islami.
FemNaru.
DISCLAIMER
: Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship
dan SpiritualRating : T
WARNING : Bertebaran typo, hasil SKS, tak sesuai EYD,
bikin kepala pening, gaje and many mores.
Pair : -
Don't
Like Don't Read
Chapter
one
Di
sebuah emperan mushola sekolah, tampak segerombolan remaja putri berseragam
putih abu-abu sedang duduk-duduk. Mereka tengah asyik ngobrol ngalor ngidul.
Macam-macam yang mereka omongin, dari PR yang menggunung, teman sekelas yang
nyebelin, sampai gosip yang lagi hot ehem
maksudnya tren remaja di sekolah. Sesekali terdengar suara,
‘Ha..ha..ha...’ atau ‘Hi hi hi..’ riuh rendah, jika ada sesuatu yang mereka
anggap lucu. Gumaman seperti ‘Oh, ya?’ atau ‘Masa sih?’ kadang juga ikut
terdengar.
Di
antara remaja putri yang semuanya berjilbab itu, ada yang berwajah muram. Sejak
tadi, ia hanya diam dan sesekali menimpali dengan senyum enggan di wajah
cantiknya. Dia lebih sering termenung dan tatapan matanya seperti orang
linglung. Beberapa kali ia menarik nafas panjang, seolah hendak mengusir beban
berat yang dipikulnya.
“Elo
kenapa, Sak? Dari tadi murung terus.” Tanya cewek yang paling centil diantara mereka, yang
bernama Ino.
Gadis
yang dipanggil Sak
itu tidak langsung menjawabnya. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam, agar tak
ada yang melihat iris matanya yang tadinya jernih
kini mendung. Ia menggigit bibir dalamnya
kuat-kuat mencegah isakan keluar dari bibirnya. Sungguh saat ini bibirnya sudah
bergetar ingin menyuarakan suara lengkingan tangis nan cempreng yang membahana.
Tapi, ia malu. Masak udah gedhe masih cengeng.
“Elo
ada masalah? Cerita dong ama kita. Siapa tahu kita bisa bantu,” bujuk temannya yang beriris lavender.
Tubuh Sakura bergetar, menahan tangis. “Kayaknya mulai besok, gue berhenti berjilbab.” Ujar
Sakura lirih.
“Hahh..!” pekik semua temannya kompak, bak paduan suara.
“Kenapa?” tanya Ino mewakili teman-temannya.
“Gue… gue nggak tahan lagi. Gue berasa jadi orang munafik.”
“Lah, kok bisa.” Cetus Hinata bingung.
“Sebenarnya alasan gue berjilbab itu karena gue ingin dinotice sama
Utakata, senior kita di Rohis. Tapi, Kak Utakatanya malah keluar dari Rohis dan
sekarang pacaran ama teman sekelasnya. Gue jadi kehilangan motivasi sekarang.”
“Gue juga Sak.” Cetus Ino. Wajahnya tampak sayu. “Akhir-akhir ini, gue
juga merasa gerah dengan jilbab gue. Sejak berjilbab, kebebasan gue seperti
dirampas. Pergaulan gue jadi terbatas cuman sekolah, rumah, dan masjid. BETE
kan?” keluh Ino ikut buka suara. “Makanya itu, minggu depan, gue juga mau lepas
jilbab kayak elo. Gue mau jadi Ino yang dulu, yang modis dan gaul.”
“Emang kenapa dulu elo berjilbab, No? Modus buat PDKT sama salah satu senior
kita di Rohis juga?” tanya Naruto ingin tahu. Ia enggan berkomentar dengan niat
temannya itu. Bukannya ranahnya, Bro/Sis.
“Ngikutin idola gue, Marshanda. Tahu, kan doski? Berhubung dia sekarang
udah lepas jilbab, gue jadi ...”
“..punya pembenaran untuk melepas jilbab,” potong Naruto terdengar agak
sinis.
“Ya nggak gitu juga sich. Sekarang idola gue bukan lagi Marshanda,
melainkan Cinta Laura. Dia itu udahlah cantik, popular, bersuara emas, berotak
pula. Multitalenta dech pokoknya. Meski nggak pakai jilbab, ia masih bisa taat
kok sama agamanya.” Bela Ino.
“Tahu darimana? Emang elo stalkernya sampai tahu ia sholat apa enggak?
Rutin apa bolong-bolong?” celetuk Naruto.
“Ya, enggaklah. Gue mana punya modal. Gue tahunya dari media.”
“Aduch, Say. Hari gini masih percaya media? Udah nggak jamannya lagi percaya
ama media, apalagi media gosip. Lebih banyak boongnya daripada benernya.”
Cemooh Naruto.
“Naruto bener, No. Gue pernah lihat artis yang di depan kameranya kesannya
itu baik, kalem, dan dermawan. Padahal aslinya mulutnya nyinyir banget. Mana
songong pula. Itu belum dilist dari kegiatan malamnya. Hadeuh, dijamin nyesel
dech ngidolain mereka.” Tutur Sakura penuh semangat, lupa dengan kegalauannya.
“Terserah gue dong. Elo tuh ikut campur aja.” Rajuk Ino dengan wajah
cemberut. “Keputusan gue udah bulat. Minggu depan gue keluar dari Rohis dan gue
nggak mau lagi berjilbab. Toh, gue bisa kok taat tanpa harus berjilbab. Yang
penting kan isinya bukan kemasannya.” tambahnya bersikukuh.
“Elo, Hin? Elo juga mau lepas jilbab kayak mereka berdua?” tanya Naruto
pada temannya yang paling pendiam.
Hinata menggeleng lemah. “Aku nggak berani. Ayahku pasti membunuhku
kalau aku ketahuan tak berjilbab.” Ujarnya lirih terdengar getir.
“Elo dipaksa berjilbab, Hin?” tanya Sakura terkejut.
“Iya.” Jawab Hinata dengan tubuh lemas, terdengar seperti orang yang tak
berdaya. “Ayahku dari keluarga santri. Karena itu, mereka sangat ketat dalam
urusan agama. Mereka memaksaku berjilbab dengan alasan itu perintah agama.
Titik nggak pakai koma. Aku nggak berani melawan mereka, meski berjilbab bukan
kemauanku.” Jelas Hinata.
“Oh, gitu. Sekarang gue ngerti. Pantas aja elo pinter agama. Udah dari
sononya ya?” kata Ino antara kagum dan iba. Kagum dengan kepiawaian Hinata baca
al qur’an dan iba dengan metode didikan sang ayah yang penuh paksaan.
“Elo sendiri gimana, Nar? Apa
alasan elo berjilbab?” tanya Sakura
“Gue?” tanya Naruto terkejut. Naruto tersenyum canggung, tak siap
disodori pertanyaan yang menurutnya privat banget. “Gue nggak usah aja, ya.
Cukup gue sama Allah saja yang tahu.”
“Nggak bisa gitu dong, Nar. Itu nggak fair namanya. Kita semua kan udah
buka kartu, masak elo masih nyimpen kartu truf elo.” Ujar Ino tak terima.
“Mending nggak usah dech. Nggak ada yang menarik, kok.” Tolak Naruto
halus. Ia mulai berkeringat dingin, ketakutan.
“Elo malah bikin gue makin penasaran aja.” Kata Ino tak ambil pusing.
“Iya, sama. Gue juga.” kata Sakura. “Elo gimana, Hin? Penasaran juga
kan?” tanya Sakura yang lagi-lagi dibalas anggukan lemah oleh Hinata.
“Hadeuh, mending jangan dech! Kalian ntar nyesel dengernya lho.” Rayu Naruto.
“Nyesel enggaknya biar kami putuskan nanti. Sekarang yang penting elo
cerita dulu.” Ujar Ino tak mau kalah
“Gue heran. Kalian kenapa sih? Kok kelihatannya maksa ingin tahu.”
“Habisnya elo kan misterius, salah satu dari tujuh keajaiban di sekolah
ini.” Kata Sakura jujur.
“Huh! Apaan tuch?” pekik Naruto kaget.
“Waktu masih SMP dulu kan style dan gaya hidup elo preman banget. Dandanan
eloe punker abis. Bicara loe kotor. Hobi loe malak orang lewat. Eh, tiba-tiba di SMU elo berubah drastis. Elo mendadak berjilbab.
Masuk ROHIS dan belajar ngaji pula. Kita kan jadi heran. Apa sih alasannya? Elo
habis dapat wangsit atau mengalami peristiwa gaib yang menggetarkan jiwa, ya? Atau,
jangan-jangan elo kesambet jin Muslim? Hayo ngaku! Bagi-bagi dong ceritanya!
Siapa tahu dengan begitu, kita termotivasi lagi untuk terus berjilbab.” Jelas
Sakura.
Naruto nyengir gaje, teringat masa-masa jahiliahnya. Dulu, ia emang
nakal, pakai banget. Yang diceritain Sakura tadi sih baru seperempat dari
kenakalannya. “Gue nggak ada cerita begitu kok. Gue nggak ketiban wangsit
ataupun mengalami peristiwa gaib yang menggetarkan ala sinetron ‘Rahasia Illahi’
gitu.”
“Lalu?” ujar Hinata, Sakura dan
Ino kompak.
“Sebenarnya..”
“Ya..?”
“Gue berjilbab karena..”
“Iya?” (Sakura, Hinata, dan Ino makin penasaran) Ino bahkan sudah
memasang telingan baik-baik, takut pernyataan Naruto ada yang terlewat.
“..karena gue salah pesan no seragam.” Kata Naruto dengan suara yang
lirih dan agak parau, seperti suara orang yang sedang sakit tenggorokan.
“Haahh? Salah pesan?” jerit Sakura, Ino, dan Hinata secara bersamaan. Diantara
semua alasan, ini sama sekali tak pernah terpikirkan oleh mereka. Kok alasannya
jayuz banget, sih.
“Iya gitu dech,” kata Naruto sambil senyum-senyum malu. “Jadi begini
ceritanya. Waktu daftar ulang dulu, sebenarnya gue agak pusing. Gue abis demam
tinggi selama seminggu. Karena itu, gue asal tulis di formulir pemesanan
seragam yang dibagikan sekolah. Gue nggak tahu kalau yang gue pesan bukan seragam
biasa, melainkan seragam untuk yang berjilbab. Gue nyadarnya telat. Pas mau
berangkat sekolah, gue baru tahu bentuk seragam gue.”
“Serius loe?” (Sakura)
“Suer, kesamber geledek kalau gue bohong.”
“Kenapa elo nggak beli aja yang baru? Kan ortu loe tajir.” tanya Sakura
tak habis pikir.
“Udah, tapi ditolak.”
“Emang elo nggak punya simpanan sama sekali buat beli seragam yang baru,
gitu?” tanya Ino masih antara percaya dan tidak percaya.
“Nggak ada. Semuanya abis buat bayar ganti rugi komputer sekolah yang
nggak sengaja gue rusakin plus mobil kepala sekolah yang remuk gara-gara gue seruduk
pakai moge gue. Mana habis itu uang saku gue disunat sama nyokap pula. Hadeuh
nasib-nasib. So, terpaksa dech gue pake baju karung beras ini, daripada masuk
pesantren.”
“Dan sekarang elo udah enjoy berjilbab?” tanya Sakura penuh selidik.
“Ya enggak juga. Gue masih merasa gerah, panas dan nggak nyaman,
terutama saat matahari sedang terik, sama kayak pertama kali gue berjilbab.
Apalagi elo tahu sendiri, gue ke sekolah naik sepeda. Bener-bener penderitaan
lahir batin dech. Tapi, yah itu gue betah-betahin. Gue nyaman-nyamanin.” Tutur
Naruto jujur.
Ia membuka tas sekolahnya, memperlihatkan isinya pada teman-temannya.
“Gue harus selalu membawa alat tempur ini begitu kaki gue keluar dari rumah. Nih,
lihat! Ada bedak bayi, roll on, splash cologn, tisu basah, terus terakhir
facial foam. Ini yang bikin gue betah berjilbab seharian penuh. Terus biar gue
nyaman bersepeda, rok seragam gue, gue modifikasi seperti ini.” kata Naruto
sambil memperlihatkan resleting diantara lipatan roknya. “Kalau ditarik ke atas,
rok gue berubah jadi celana panjang,”
“Uwach, gila loe. Elo prepare banget.” Puji Sakura takjub.
“Harus dong. Gue kan nggak mau
jadi pisang goreng dengan baju ini. Makanya itu gue mikir gimana caranya
biarpun berjilbab, gue tetap nyaman.”
“Terus apa motivasi elo masuk Rohis?”
“Err, itu gue…gue..” Naruto ragu-ragu membuka aibnya yang lain. “…dipaksa
ama ketua kelas gue. Ia bilang, ‘Elo kan satu-satunya yang berjilbab di kelas
ini. Jadi, elo gua angkat jadi seksi agama. Dan sebagai seksi agama, elo mesti
masuk rohis.’ Gitu ceritanya.” Lanjutnya.
“Ya elah gitu doang. Itu mah cemen. Elo kan bisa pura-pura jadi anggota
terus keluar di tengah jalan. Tapi, kenapa elo betah di Rohis? Rajin ngikutin
kegiatannya pula. Jangan-jangan ada yang elo taksir, ya?” goda Ino.
“Kagaklah. Gue mana mikir yang kayak gituan. Gue kan masih di bawah
umur. Belum waktunya” Bela Naruto yang bikin teman-temannya sweatdrop. ‘16
tahun kok masih di bawah umur. Terus gedhenya umur berapa?’ pikir mereka
kompak.
“Lalu, apa alasannya?” tanya Hinata.
“Titik balik gue dimulai, ketika gue dimarahin nyokap ama bokap
gara-gara ada laporan dari sekolah. Itu tuch tentang insiden gue nubruk taman bunga
plus senior kita yang berjaga di sana. Terus gue pandangin ortu gue dengan
seksama. Saat itulah, gue baru nyadar kalau mereka mulai menua. Ada keriput di
sana-sini dan sedikit uban menghiasi rambut nyokap dan bokap.” Naruto berhenti
bercerita karena merasa haus. Ia mengambil air mineral yang selalu ia simpan
dalam tas, dan meneguknya beberapa tegukan.
“Terus?” (Sakura)
“Terus gue mikir, ‘Ortu gue sekarang udah tua, mungkin sebentar lagi
meninggal. Terus siapa dong yang doain mereka kalau gue nggak bisa ngaji? Masak
tetangga. Nggak mungkin, kan? Belum tentu juga mereka ingat doain ortunya
masing-masing.’ Selain itu, gue juga
mikir…”
“Mikir apa?” (Ino)
“Gue kan sekarang udah berjilbab, masak ngaji aja belepotan. Sholatnya
bolong-bolong kayak saringan. Kalau ditanya masalah agama langsung gagap
keringatan. Malu dong gue. Makanya itu gue ngaji. Biar gue bisa doain ortu gue
kalau mereka udah meninggal nanti. Dan juga biar matching ama jilbab gue.”
Jelas Naruto. Wajah Naruto terlihat sendu, dipenuhi rasa sesal akan
kenakalan-kenakalannya di masa silam.
“Gue mau berubah Ra, No, Hin. Gue mau jadi orang yang lebih baik,
minimal demi bokap nyokap yang udah sayang banget sama gue. Jilbab ini berjasa
besar untuk perubahan gue yang sekarang.” kata Naruto sambil mengingat-ingat
masa-masa penuh perjuangan saat ia belajar berjilbab.
“Gue pernah ingin nyontek saat ulangan. Tangan gue udah mau buka
contekan gue, tapi keserimpet ama jilbab gue. Gua pandangin terus jilbab gue.
Gue mikir, ‘Lah, elo kan dah berjilbab masak nyontek,’ Langsung contekannya gue
robek. Terus, gue ngerjain ulangan gue sendiri, meski hasilnya jelek. Habis itu
gue jadi rajin belajar hingga gue bisa dapat nilai bagus tanpa curang. Berkat
siapa? Berkat jilbab ini. Di lain waktu, gue pernah mau malak orang lewat waktu
dompet gue kering kerontang. Lagi-lagi jilbab ini nyegah gue buat malak. Masak
berjilbab jadi tukang palak. Dan masih banyak lagi.” Kata Naruto panjang lebar.
Ia memamerkan senyumannya yang secerah mentari.
Naruto memegang kain kerudung warna putih yang menutupi kepala. “Gue
nggak bisa komentar tentang statemen elo ‘Isi lebih baik dari kemasan’ atau
menjilbabi hati lebih baik daripada fisik. Itu bukan ranah gue. Yang gue tahu,
jilbab ini berjasa besar dalam menuntun gue jadi seorang Muslimah yang lebih
taat, berprestasi, dan bermanfaat. Dan, itu membuat ortu gue bahagia banget,
begitu juga dengan gue.” Lanjutnya.
“Gue tahu perubahan gue belum sempurna. Gue baru bisa baca surat-surat
pendek, belum bisa ngerjain sholat-sholat sunnah, dan gue masih belum ikhlas lahir
batin berjilbab. Tapi, gue belajar untuk ikhlas. Gue belajar memantaskan diri
dengan jilbab gue.” Lanjutnya. “Sekarang terserah elo, mau tetap berjilbab atau
tidak. Gue nggak akan maksa.” Pungkasnya. “Well, udah sore, nih. Gue pulang
dulu ya. Ntar nyokap nyariin. Ijinnya kan cuman sampai jam 4.
Assalammua’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Balas teman-temannya kompak.
“Elo jadi lepas jilbab, Ra?” tanya Ino sambil menyenggol lengannya.
“Enggak ah, malu ama Naruto. Dia yang terkenal dengan segala sifat buruknya
aja bisa isitiqomah berjilbab, masak gue nggak?” (Sakura)
“Well, elo benar. Gue juga malu. Naruto yang gue tahu huruf hijaiyyah
aja nggak hapal. Belajar iqro’ 1 saja sampai 3 bulan, masak kita yang udah
lancar baca al qur’an kalah?” balas Ino. “Elo, Hin.”
“Sama aku juga malu. Dia yang wudhu aja nggak becus belajar ikhlas
berjilbab, masak aku yang didik agama dari kecil ngeluh. Itu memalukan. Rasanya
kayak ditonjok Mike Tyson berkali-kali.”
Ketiganya menatap Naruto dengan sepedanya kagum hingga keduanya hilang
di balik pagar yang berdiri kokoh. Setelah itu, ketiganya bersiap untuk pulang
ke rumah masing-masing. Ketiganya rumahnya lumayan dekat dari sekolah, tinggal
jalan kaki aja. Jadi, bukan masalah bagi mereka jika mereka pulang agak sore.
…………………….******………………
“Nguping pembicaraan orang itu tak baik, akhi.” Tegur pria berambut
merah bata tak beralis pada temannya yang berambut raven di depannya.
“Aku tidak nguping Gaara. Aku mau ke ruang sekret, tapi gadis-gadis itu
menghalangi jalanku.”
“Terus kenapa kau tidak minta ijin untuk lewat, malah asyik berdiri di
sini, mendengarkan percakapan mereka sampai usai?” tanya pria yang dipanggil
Gaara.
“Dan, melewatkan percakapan menarik para jilbaber itu? Oh, itu sudah
pasti tidak akan Sasuke lakukan. Betul bukan?” sindir temannya yang lain.
“Diam kau, Neji.” Tukas Sasuke kesal. “Dan kau juga Gaara. Berhenti
menertawaiku.” Tambahnya sambil mendelik
galak pada dua orang teman baiknya.
Sayangnya kedua temannya malah tertawa lepas mendengar permintaan atau
perintah Sasuke. Hi hi hi… tawa mereka terdengar lepas, menyemarakkan samping
halamann mushola yang mulai sepi karena ditinggal penghuninya.
“Tapi gadis bernama Naruto itu lucu juga. Masak ia berjilbab karena
salah pesan no seragam. Hi hi hi… itu di luar dugaan. BTW, ia gadis yang dulu
menubrukmu dengan sepedanya, hingga kau terjungkal dan memar-memar, kan
Sasuke?”
“Dan dia juga gadis yang sama yang menangis meraung-raung dengan hebohnya,
setelah melihat Sasuke melotot tajam padanya. Gara-gara ulahnya itu sekolah
jadi gempar dan Sasuke mendapat julukan the dead king. Oh, itu peristiwa yang
so sweat, tak akan terlupakan.” Lanjut Neji sambil mengikik geli.
“Hn.” Gumam Sasuke malas menanggapi.
“Dia bener-benar gadis yang menarik, ya.” ujar Gaara beropini.
“Aku tak yakin kau masih berpendapat seperti itu kalau kau jadi
korbannya.” Ujar Sasuke sinis.
“Korban gimana?” (Gaara)
“Korban kejahilannya.”
“Emang apa yang telah ia lakukan padamu? Maksudku, yang selain peristiwa
ditubruk dengan sepeda itu?” (Gaara)
“Banyak sekali. Dan aku malas melistnya.” Kata Sasuke enggan.
Gaara dan Neji saling berpandangan, bingung. Sepertinya, Sasuke memiliki
banyak kisah menarik dengan Naruto. Ah, seandainya mereka tahu, mereka pasti
akan dengan senang hati menulisnya dan membukukannya, agar mereka bisa terbahak-bahak
bersama usai membacanya.
“Setidaknya ia tidak pecicilan dan ganjen. Aku paling malas sama makhluk
jenis itu.” Komentar Gaara merujuk pada jilbaber genit yang ada di Rohis.
“Ya, dia memang nggak ganjen, cuman ndablek. Pusing aku kalau ngadepin
dia.” Gerutu Sasuke.
Hi hi hi.. lagi-lagi Gaara dan Neji tertawa geli, antara iba dan lega.
Iba dengan nasib malang Sasuke yang dapat murid dedelnya minta ampun, seperti
Naruto. Dan, lega karena bukan mereka yang ditunjuk ngajar Naruto. Kalau tidak?
Habis kurus kering mereka hanya gara-gara Naruto.
Naruto itu susah banget diajarinya. Hampir semua pengurus Rohis angkat
tangan ngajar dia termasuk Sasuke. Sasuke sudah hampir nyerah tengah jalan.
Sepertinya, ini orang nggak bakalan bisa ngaji, meski ia jungkir balik
sekalipun. Susahnya minta ampun.
Sasuke berkali-kali nyaris meledak gara-gara Naruto. Padahal dia kan
terkenal paling kalem, emotion less, dan tidak mudah marah diantara para
pengurus Rohis. Tapi, semua itu tak ada artinya di depan Naruto. Naruto benar-benar
menguji kesabaran.
Waktu Sasuke mengomentari kebodohan Naruto, “Kau tuh kenapa sih nggak
bisa-bisa juga? Ngajinya yang konsen, dong. Ini sudah hampir tiga minggu lho,
dan kau masih belum bisa membedakan huruf hijaiyah. Anak TK saja sudah hafal,
masak kamu yang udah SMA kalah.” Ujar Sasuke terdengar ketus.
Naruto dengan santainya bilang eh ia dengan santainya bilang, “Buset
dah. Gitu aja ngamuk. Baru ngajar tiga minggu belum setahun. Gitu aja dah
ngomel. Lagian, Kak, kalau gue ini pinter ngaji, gue nggak bakalan ada di sini.
Harusnya kakak tuh bersyukur punya murid kayak gue, ngajar dari dasarnya. Jadi,
kakak dapat pahala lebih banyak.”
“Grembelll grembelll…” gumam Sasuke tak jelas.
“Daripada kakak marah-marah tidak jelas kayak gitu, lebih baik kakak menghadap
kamera dan lambaikan tangan kakak. Selesai.”
“K-KAU!” raung Sasuke tak terima.
Saking marahnya, ia sampai gagap. Sasuke merasa terhina. Secara tidak langsung,
Naruto telah mencapnya gagal. Kurang ajar, kan?
“Cantik. Iya gue akui gue ini cantik, tapi biasa aja keles. Nggak perlu
terpesona sampai melotot begitu.”
“Grrr…” Geram Sasuke disertai delikan sadis. Tapi, ya itu Naruto yang
super nggak peka, tak ambil pusing.
Uniknya, habis berantem hebat seperti itu, Naruto masih tetap datang ke
mushola keesokannya. Ia tak pernah ngambek dan berhenti ngaji, meski sering
dapat hadiah berupa delikan, gerutuan, dan yang tak pernah alpa teriakan
frustasi Sasuke. Benar-benar cewek baddas, bermental baja. Itu mungkin sisi
baiknya.
Sisi baiknya yang lain, ya itu dia nggak pecicilan. Dia nggak hobi
mengirim kerlingan genit pada pengurus Rohis yang dianggap tampan seperti
Utakata, Gaara, Neji, ataupun Sasuke. Dan, ia mungkin satu-satunya yunior di
Rohis yang niatnya tulus untuk ngaji. Nggak kayak yang lain, yang cuman modus
doang.
Dia tak pernah bertanya, “Siapa yang ngajar gue hari ini?” Dia oke-oke
saja siapapun pengajarnya. Mau cakep, boleh. Mau jelek, nggak masalah. Mau yang
lembut, hayuk. Mau yang galak, silahkan. Baginya, yang penting dia mau ngajarin
dia ngaji. Paling ia nanya, “Hari ini, gue belajar apa?”
Cuman satu kejelekannya, ia itu ndablek dan dedel soal agama. Tapi,
berkat kesabaran Sasuke yang termotivasi untuk membuat Naruto bisa, gadis itu
perlahan-lahan mulai bisa ngaji. Setidaknya, ia sudah bisa khatam Iqro’ 1 dalam
waktu 10 bulan. Dan, ia bisa menghafal 3 surat pendek sebagai amalan untuk
sholat. Itu kemajuan kan? Ya, mereka pikir itu kemajuan untuk seorang Naruto
yang ‘Itu’ jadi Naruto yang lebih baik.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar