Selasa, 06 Desember 2016

MISTERI GADIS BERPAYUNG MERAH



Malam itu begitu sunyi. Lain dari biasanya. Fatich hendak pulang ke rumah setelah seharian bekerja menyusuri jalan, membawa penumpang sebagai sopir taksi. Pada saat melewati sebuah jalan yang sepi dan redup, Fatich melihat seorang gadis berpayung merah sedang berdiri sendirian di bawah pohon asem.
Fatich mengernyitkan dahi. Tampak jelas kerut-kerut masam menghiasi wajah yang kata ibunya handsome. ‘Tu orang sinting kali, ya. Masak malam-malam begini keluyuran sendirian. Nggak takut rampok apa, ya?’ pikirnya setengah ill feel. ‘Jangan-jangan ia…PSK yang lagi nyari pelanggan lagi, hiiyyy…” batin Fatich semakin ill feel. Ia paling benci jenis wanita macam itu, karena itu Fatich berniat mengacuhkan si gadis dan menggas poll taksinya.
Tapi, niat tinggallah niat. Si gadis sudah terlanjur melihat keberadaan Fatich. Entah bagaimana ceritanya, ia sudah berada di depan mobil Fatich. Dengan nekat, ia meminta tumpangan. “Bang, tolong anterin saya pulang,” pintanya dengan suara serak-serak basah menggoda.
Fatich memamerkan senyum profesionalnya, “Maaf, Mbak. Saya mau pulang, jadi Mbak nyari taksi yang lain saja,” tolaknya halus.
“Di sini tidak ada kendaraan yang lewat selain Abang. Masak Abang tega ninggalin saya di sini. Kalau terjadi apa-apa pada saya bagaimana?” balas si gadis.
‘Ya, itu resiko.’ Batin Fatich jengkel. Sebenarnya, Fatich enggan memberinya tumpangan. Ia merasa gadis itu sangatlah aneh. Masih mending kalau ia hantu, makhluk jejadian dan sebangsanya. Kalau komplotan rampok taksi gimana, coba? Dan, yang terburuk lagi, gimana kalau ia beneran PSK? Dapat uang haram dong. Hii, jijai bajai. Tapi, mengingat sepinya tempat ini dan waktu sudah sangat larut, hatinya pun tak tega. Dengan berat hati, ia berkata “Baiklah. Silakan Mbak!”dan mempersilakan gadis itu memasuki mobilnya. Gadis itu melipat payung merahnya dan lalu masuk ke dalam mobil.
“Alamat rumah Mbak mana?” tanya Fatich setelah ia menyalakan mesin mobilnya.
“Di jalan Ampera no 36 Karangayu.”
“Oh, itu? Aku tahu tempat itu. Tak jauh dari tempat tinggalku.” Kata Fatich lega, karena ia tak perlu memutar jauh. Dengan demikian ia bisa segera istirahat. Badannya sudah capek sekali.
Sepanjang perjalanan, taksi itu diisi oleh keheningan yang ganjil. Fatich bukanlah orang yang kepo dan demen mengajak penumpangnya ngobrol. Ia bahkan lebih senang jika penumpangnya tidak cerewet. Tapi, kediaman gadis itu membuatnya tidak nyaman. Ia merasa gelisah. Entah apa yang ditakutinya. Dan, samar-samar ia mencium bau tak sedap, seperti campuran bau mayat yang sudah membusuk selama berhari-hari. Demi kesopanan, Fatich menahan diri. Ia berharap ia tidak muntah di tempat karena baunya.
Saat melintas di jalan sepi, Fatich tak sengaja melihat spion untuk melihat kalau-kalau ada kendaraan lain yang melintas. Sepintas, ia melihat bayangan sesosok wanita yang mengerikan. Akan tetapi, setelah ia menoleh  ke belakang, Fatich hanya melihat gadis itu saja. “Ada apa, Bang?” tanya gadis itu.
Fatich tersenyum canggung. Ia agak jeri melihat senyum gadis itu. Kesannya agak mistis begitu, seperti senyum kuntilanak yang diperankan dengan apik oleh Suzanna. “Ah, tidak apa-apa, Mbak. Hanya salah lihat.” Jawab Fatich akhirnya. Dalam hati, ia komat-kamit berdoa memohon keselamatan pada Allah SWT.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, yang Fatich rasakan seperti seharian penuh, mereka pun sampai di alamat gadis itu. Fatich baru saja menghentikan taksinya dan mempersilakan dengan sopan itu turun, tapi pintu taksinya sudah terbuka dan gadis itu sudah lenyap. “Lho, kemana gadis itu?” tanyanya pada dirinya sendiri kebingungan.
Tak lama kemudian, muncullah seorang pria paruh baya dari depan rumah alamat itu, sambil menyodorkan uang. “Ini Nak ongkos taksinya,”
“Bapak siapa, ya?” tanya Fatich sopan.
“Saya ayah dari gadis yang tadi kau antar dengan taksimu.”
“Oh,” gumam Fatich kemudian. “Tolong Pak. Kalau bisa jangan biarkan anak gadis Bapak keluar tengah malam seorang diri. Bahaya. Nanti, kalau diserang penjahat bagaimana?” kata Fatich tak tahan lagi untuk mengeluarkan unek-uneknya.
Raut wajah Bapak itu tampak muram. Wajahnya tertunduk sedih. “Anak saya sudah lama meninggal, Nak. Ini tahun kelimananya.” Katanya dengan mata menerawang. Ia lalu menceritakan kisah sedih gadis itu yang bernama Rani.
Katanya, Rani meninggal karena menjadi korban perampokan saat pulang kerja. Hari itu ia baru saja mendapat gaji pertamanya. Katanya, gaji itu mau ia berikan pada orang tuanya. Di tengah jalan saat ia mau mencegat taksi, ia dikejar perampok. Perampok itu membunuh Rani dengan sadis dan merampas seluruh uang dan perhiasannya. Setelah itu, ia selalu pulang pada hari dan jam yang sama di hari itu.
Fatich jadi merinding. Ia sudah menduga gadis itu memang aneh. Tidak ada gadis normal yang mau keluyuran di tengah malam buta di tempat yang begitu sepi jikalau ia bukanlah kawanan rampok, hantu, atau PSK. Setelah itu, dengan sopan Fatich pun pamitan. Di tengah jalan, saat ia melirik spion, sekilas ia melihat wajah Rani yang sedang tersenyum misterius dan melambaikan tangan padanya. Tubuh fatich merinding seketika. Dengan cepat, ia segera membawa lari taksinya, menjauh dari tempat seram itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar