Sabtu, 31 Desember 2016

BUNGA TERAKHIR PART ONE



DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Supernatural dan Horor
Rating T aja deh.
WARNING
Banyak OC dan bertebaran typo di sana-sini, OOC, banyak bahasa Arab, lagu Jawa, seting Indonesia, kata-kata tak baku, FEM NARU
Pair : No Pair

Don't Like Don't Read

Naruto merasa aneh. Ia bingung berada di mana dia sekarang? Ia merasa asing dengan tempat ini. Tempat ini begitu sepi seolah tak berpenghuni. Ya, Naruto saat ini menginjakkan kaki di sebuah kampong yang mirip di Bali. Tapi lebih kuno. Banyak rumah dibangun ukuran kecil di sekitar kompleks yang dibatasi pagar. Di tiap kompleks ada bangunan mirip pura kecil warna hitam dari batu. Aroma dupa bercampur kembang kemenyan menyeruak di indera penciumannya. "Kalau ada dupa mengepul, berarti ada orang yang melakukan sesaji." Katanya lirih.


Naruto berjalan ekstra hati-hati. Kenapa? Banyak sesajen di sepanjang jalan yang dilaluinya. Ia berjalan semakin masuk ke dalam perkampungan, mencari seseorang untuk ditanyai. Tapi sejauh mata memandang tak ada orang sama sekali. "Hallo, ada orang di sini?" Katanya bergema, karena sepinya, hanya ada suara gemirisik daun kering yang terinjak olehnya. "Permisi! Adakah orang di sini?" tanyanya lagi. Tetap tak ada sahutan sama sekali.
Brrrrrrr, ia bergidik kedinginan. Ia pun merapatkan jaketnya karena merasakan hawa dingin dan kembali berjalan. Kali ini ia memasuki sebuah rumah yang terletak paling besar dan paling bagus. Bentuk atapnya menyerupai joglo susun 3 dan mirip dengan komplek perumahan bangsawan Jawa tempo dulu. Ada pendoponya, Bro.
Srekkk srekkk srekkk… Kakinya menginjak dedaunan kering yang terserak di halaman, memberi suasana bising di telinga. Pendopo nan mewah itu ia lewati begitu saja, karena sama sekali tak ada orang. Ia masuk ke dalam bangunan utama. Kalo tak salah denger, kata guru sosiologinya dulu, di belakang pendopo itu bangunan tempat tinggal sang bangsawan. Pasti di situ ada orangnya.


Naruto POV
Kriet… pintu berengsel itu ku buka perlahan, menimbulkan derit memekakkan telinga. 'Tak apalah berisik. Siapa tahu gara-gara itu ada orang yang nongol.' Batinku. Bau apek menyambut indra penciumanku. Aku menebaskan tanganku ke atas, menghalau debu yang berhamburan dan sarang laba-laba. "Sepertinya tempat ini sudah lama ditinggalkan orang." Kataku, sambil menutup hidung dan mulut dengan sebelah tangan.
 Aku memberanikan diri masuk ke dalam rumah, meneliti bangunan tua tak berpenghuni ini. Tak banyak yang bisa ku lihat. Hanya ada meja kursi dari kayu yang diukir dan sebuah lukisan yang sangat besar terpampang. Lukisan seorang wanita bangsawan yang sangat cantik sedang berdiri dengan latar hutan.
Wanita itu mengenakan gaun ala Jawa dengan kemben warna putih disulam benang emas. Berbeda dengan lukisan wanita bangsawan Jawa lainnya, lukisan wanita ini tidak mengenakan jarit motif parang, melainkan kain warna putih, membuatnya terlihat sangat anggun. Rambutnya sangat panjang  hingga tak terlihat ujungnya dalam lukisan berhiaskan mahkota berwarna emas. Di pergelangan tangan dan lengan atas, ada hiasan berupa gelang dengan motif ular disepuh emas. Ia sungguh cantik, anggun dan berwibawa. Yang membuatku takjub adalah matanya. Matanya tampak hidup. Sorot matanya tajam seakan-akan menembus jiwanya.

Aku merasa seakan terhipnotis lukisan itu hingga tak sadar dengan sekelilingku. Aku bahkan tak sadar saat sebuah tangan nan dingin dengan kukunya yang panjang mencengkeram pundakku erat dari arah belakang. Hipnotis nan magis itu pun terlepas, saat ku rasakan pundakku nyeri. Rasanya sakit sekali seperti menembus tulang. Aku pun menoleh ke belakang dan ku lihat.
Aku nyaris kesulitan bernafas, seakan-akan aku terperangkap di ruang hampa udara. Mataku terbelalak ngeri. Seorang nenek bermuka angker dengan rambut berantakan berwarna abu-abu, berdiri tepat di belakangku. Sorot matanya tajam dan sangat bengis. Ku tolehkan kepalaku ke bagian pundak yang makin terasa nyeri dan perih. Kuku nan panjang warna putih tulang mencengkeram kuat bahuku, kuku-kukunya yang tajam mengoyak daging merah di sana seakan tak ada lapisan baju dan jaket. Ini membuat bahuku berdarah. Spontan aku menjerit "Aaaaaaa…."
End Naruto POV
"Aaaaa…." Teriak Naruto keras, terbangun dari mimpinya. Naruto terbangun dengan nafas terengah-engah. Keringat membanjiri tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang, berlomba dengan deru nafasnya. 'Untung hanya mimpi. Itu mengerikan sekali.' Batinnya, sambil mengusap wajahnya yang ayu dengan kedua tangannya. Ia berusaha bangun dari tempat tidur dengan susah payah karena masih lemas. Tangannya meraih sebotol air minum yang selalu ia letakkan di meja kecil, sebagai persiapan jika tengah malam ia terbangun karena haus.
Baru saja ia meneguk beberapa tetes air minum, ia mendengar deru nafas begitu kencang dari samping tempat duduknya. Ia jadi merinding terpengaruh oleh mimpi buruknya. Dengan gerakan patah-patah, ia menoleh ke samping kanan. Dan… "Aaaaa…" teriaknya tak kalah kencang lagi.
Tek tek tek byar… Semua lampu di kostannya menyala semua. Semua penghuninya berhamburan masuk ke dalam kamar Naruto, untuk melihat apa yang terjadi. Mereka melihat Naruto meringkuk ketakutan di ujung kasur.
"Ada apa?" tanya Tenten.
"Ada maling?" tanya Karin yang berdiri paling belakang. Tangannya dengan sigap menggenggam sapu ijuk sebagai senjata.
"A-a-a-ada ha-ha-ha-hantu." Kata Naruto tergagap, ketakutan mirip cara bicaranya Hinata.
Semua langsung terlonjak kaget, spontan saling merapatkan diri. Matanya jelalatan melihat seisi kamar Naruto.
"Mana? Mana? Mana? Mana hantunya?" tanya Sakura yang paling berani diantara mereka.
"I-i-i-i-itu." tunjuk Naruto dengan mata masih tertutup karena takut.
"Mana?" tanya Sakura bingung sendiri. Padahal semua temannya sudah lihat sosok hantu yang dilihat Naru-chan.
Hinata lalu mengarahkan pandangan Sakura. "I-i-itu Sa-sa-sakura-chan." Kata Hinata tergagap, antara malu dan takut.
Kali ini Sakura juga melihatnya, persis di samping kanan mereka. Sesosok bergaun putih panjang dengan rambut panjang berombak terurai, berdiri dan bergumam sesuatu tak jelas.
"Mana? Itu? Ha ha ha.." Sakura tertawa geli setelah melihat siapa sosok hantu itu. "Itu mah bukan hantu. Itu Ino yang lagi pake masker." Kata Sakura masih ketawa ngakak.
"Ino?" gumam Tenten heran. Ia perhatikan lagi sosok hantu bergaun putih itu.
"Iya ini gue." Kata Ino kesal. Masa ia yang kece membahana badai ini dibilang hantu. "Rusak deh masker gue." Gerutunya. Maskernya rusak gara-gara dipake ngomong.
"Beneran Ino? Hi hi hi...lucu juga." Kata Tenten akhirnya tertawa geli, menertawakan kebodohannya.
"Salah elo sendiri nakutin kita. Ngapain elo pake masker tengah malam buta? Pake gaun putih lagi. Pasti semua orang juga ngiranya elo sundel bolong." Kata Karin ketus, menyalahkan Ino.
"Gue tiap malam pake, tahu. Kecantikan kan wajib dijaga, Sis. Nggak kayak elo. Entar elo keriputan lho." Kata Ino membela diri.
"Tapi nggak gitu juga kale. Dasar centil lho. Elo bikin Naru-chan sampai histeris. Kasihan kan dia." Kata Karin nggak mau kalah.
"Bukan salah guelah. Naru-chan dari tadi juga udah ketakutan, sebelum gue masuk. Pas gue mau nanya, eh dia-nya malah teriak lebih kenceng lagi." Kata Ino menjelaskan.
"Bener, itu Nar?" tanya Temari, penghuni yang lebih tua umurnya diantara penghuni kostan lainnya. Ia duduk menenangkan Naruto dan memberi Naruto air minum. Naruto menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia masih merasa lemas karena mimpi buruk dan insiden dengan Ino.
"Elo tidur lagi aja, baru jam 3 pagi ini. Jangan lupa baca doa tidur." Kata Temari yang diberi anggukan lemah Naruto. Ia kembali berbaring. Temari menyelimutinya dengan lembut. Ia memang yang paling dewasa dan keibuan dibandingkan penghuni lainnya yang terkadang sifatnya rada absurd.
"Huahhh, tidur lagi, ah. Masih ngantuk." Kata Karin sambil menguap lebar yang diamini yang lainnya.
"Tidur aja di pikiran kalian. Sholat tahajud dulu, gih. Trus tadarus! Bentar lagi shubuh tuh." Kata Temari.
"Kok perintahnya beda dengan Naru-chan. Ini nggak adil." Protes Ino yang lagi-lagi diamini penghuni lainnya.
"Naru-chan kan lagi halangan. Nah kalian? Apa alasannnya? Tahajud itu banyak pahalanya lho. Udah sana ambil wudhu. Ntar juga kantuknya hilang." Kata Temari sabar dengan ulah junior-juniornya yang manja itu.
Dengan segala gumaman dan runtukan kesal, mereka dengan berat hati menyeret kaki-kaki mereka ke kamar mandi. Air nan dingin mengguyur wajah mereka, sukses mengenyahkan kantuk yang menyerang.

SKIP TIME
Naruto mengikuti kuliah dengan malas. Bukannya dia nggak suka mata kuliahnya. Hanya saja dosennya nerangin nggak enak. Persis kayak ibu-ibu yang menina bobokkan anaknya. Tuh lihat aja! Banyak kok deretan mahasiswa yang sukses diantar kea lam mimpi oleh dosen itu. Ia berusaha bertahan, mengusir rasa kantuk yang menyerang. Meski matanya sudah merah, ia tak mau menyerah.
Ia mencorat-coret bukunya sesuai dengan penjelasan dosen yang ia anggap penting. Kalo otaknya sibuk gini kan ia jadi nggak ngantuk. Tak cukup itu saja. Diam-diam, ia ngemut permen kopiko sebagai senjata andalan pengusir ngantuk. Ia kan nggak mau dijuluki ratu tidur juga kayak Nao, teman kuliahnya yang lain. Tapi entah bagaimana, ia tak sadar. Kepalanya tertunduk ke bawah.
Naruto POV
Aku mengerjabkan bulu mataku, bingung. 'Perasaan tadi aku masih dengerin kuliah. Kenapa sekarang aku berada di rumah ini lagi.' Batinnya. Tempat ini masih rumah yang sama yang pernah ia masuki di mimpinya semalam. Bau apek dan sarang laba-laba di mana-mana, kembali menyapanya. Hatinya menjerit ingin keluar, tapi kakinya malah membawa masuk lebih ke dalam lagi. Ia buka satu-per satu kamar di rumah ini.
Sayup-sayup, aku mendenger suara seorang wanita sedang menyanyi. Aku merasa penasaran siapa gerangan? Aku pun mencari arah suara itu berasal. Semakin lama suaranya semakin terdengar jelas di gendang telinganya. Suaranya berasal dari dari kamar di depannya. Ia semakin bersemangat dan membuka pintunya perlahan karena meski diketuk beberapa kali, tak ada sahutan.
Krietttt, pintu engsel tua kamar itu berderit kencang, tapi tak cukup menarik perhatian si empu kamar. Terbukti ia masih asyik berdendang dengan bayi di tangan kanannya. Ia berdiri di dekat jendela, menunjukkan anaknya sang Bulan Purnama. Gaun putih nan panjangnya hampir tertutupi oleh rambutnya yang hitam legam, berombak dan panjang hingga kaki. Wajahnya tertutupi oleh rambutnya.

tak lelo lelo lelo ledung
cup menenga aja pijer nangis
anakku sing ayu rupane
nek nangis ndak ilang ayune
"Maaf permisi. Boleh tanya sebentar?" sapa ku sopan, berusaha menarik perhatian sosok tersebut, meski jujur ia takut. Bagaimana tidak? Sosoknya mirip dengan gambaran sundel bolong kayak di film-film Suzana. Iya kalo dugaannya salah, kalo bener gimana? Kakinya gemetaran dan giginya gemeletuk, ngeri. Ia masih berdendang, mengacuhkanku.
tak gadang bisa urip mulyo
dadiyo wanito utomo
ngluhurke asmanewong tua
dadiyo pendekaring bangsa
"Permisi, Mbak! Maaf mengganggu sebentar. Boleh saya tanya sesuatu?" Kata ku kembali mengusik ketenangannya. OK aku memang ingin pergi dari sini dengan segera, tapi hanya dia yang bisa ia tanyai di tempat nan asing ini. Ia tetap tak perduli dan tetap mendendangkan lagu yang semakin lama terasa menyeramkan. Auranya itu lho. Bulu kuduk ku sampai merinding.
cup menenga anakku
kae bulane ndadari
kaya ndasbuthonggilani
lagi nggoleti cah nangis
tak lelo lelo lelo ledung
"Maaf, Mbak. Boleh minta waktunya sebentar saja. Ini rumah siapa?" tanya ku lagi berusaha menguatkan nyalinya.
Kali ini ia mau menjawab, meski tak menoleh ke arahku. "Rumah Kanjeng Ratu." Jawabnya pelan. Suaranya terdengar sedikit melengking di telingaku. Lalu ia kembali bersenandung lirih.
cup menenga anakku cah ayu
tak emban slendang batik kawung
yen nangis mudak gawe bingung
tak lelo lelo ledung
Benar dugaan awalku. Ini rumah milik seorang bangsawan. "Boleh saya tanya jalan keluar dari desa ini? Saya tersesat ke sini." Kata ku lagi sopan.
"Tak ada yang bisa meninggalkan kediaman Kanjeng Ratu. Sekali masuk tak bisa keluar." Katanya dengan nada mengancam.
"Eh.." pekik ku pelan. Kali ini ia benar-benar ketakutan. Kakinya melemah solah tak sanggup menahan tubuhnya. Sosok itu menoleh ke arahnya menunjukkan wajah tepat padanya. "Aaaaaa…" aku menjerit sekuat tenaga.
Sosok itu berwajah putih, sangat putih hingga tak ada warna apapun menodainya. Tapi putihnya putih pucat dengan mata yang bundar dan besar. Warna hitam di sekeliling mata membuatnya terlihat tambah mengerikan, mengesankan sosok itu sedang marah padanya.
End Naruto POV
Hah hah hah… Naruto bernafas terengah-engah. Lagi-lagi ia mimpi buruk, di tengah kuliah pula. Ia memegangi dadanya untuk mengurangi rasa sesak di dada. Itu mengerikan sekali. Lebih seram dibandingkan mimpi sebelumnya. Lagu itu terasa tak asing. Ia sering mendengar ibunya berdendang saat ia masih kecil dulu. Ibunya sudah lama meninggal seusai melahirkan adik laki-lakinya yang hanya berusia 3 jam.
"Ukhti tidak apa-apa?" sapa Sasuke, teman seorganisasi dan teman kuliahnya juga, hanya beda angkatan. Ia angkatan dua tahun di bawah Sasuke.
"Tidak apa-apa." Kata Naruto berusaha menyunggingkan senyum.
Naruto lihat sekelilingnya sudah sepi. Teman-teman kuliahnya sudah berhamburan keluar menyisakan dia duduk di bangku kuliah dan Sasuke yang ada di depan pintu. Oh ya, ia lupa ia kan dimusuhi teman sekelasnya karena ia golput waktu pemilu kemarin. Makanya tak ada yang berniat membangunkannya. Untung ia segera terbangun. Bisa-bisa ia menginap dalam kelas ini lagi.

Selasa, 27 Desember 2016

CINTA SEINDAH KAKTUS



Summary : Semua orang tahu kemesraan yang terjalin antara Uzumaki dan Uchiha itu seakur kucing dan anjing. Tapi kenapa Kakashi-sensei malah memaksa Naruto membuat surat cinta pada Sasuke, sang seteru abadinya, dengan alasan tugas sekolah? Akan jadi apa surat cintanya ya? SasufemNaru, One shoot.
DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Romance dan Friendship
Rating : T
WARNING : Bertebaran typo, FemNaru, hasil SKS, tak sesuai EYD, bikin kepala pening dan muntah-muntah, gaje and many more. 
Ps : Sebelum baca, lihat warning. Pairing SasufemNaru. Jangan tertipu ya.
Chekidot.

Don't Like Don't Read

                                                                Chapter one

Naruto menatap marah lembaran kertas di atas mejanya. “Ini mengerikan.” Gumamnya tak percaya. Kertas itu direnggut paksa, diremas-remas hingga jadi bola lalu berakhir di keranjang sampah, bersama kertas-kertas sebelumnya. 



Ia kembali mencoret-coretkan penanya di atas lembaran putih, sebelum berhenti. ‘Buruk.’ Pikirnya. Lagi-lagi kertas itu berakhir di keranjang sampah yang sudah penuh dengan gumpalan-gumpalan kertas tak berbentuk. Tak putus asa, ia mencoba mengguriskan beberapa kata dan lagi-lagi seperti sebelumnya. Kertas itu pun ia lemparkan serampangan ke sudut ruangan.
“Arrrggghhh...” Naruto mengerang panjang. Ini mengerikan, tidak sangat mengerikan. Tugas ini terlalu berat untuknya. Tugas yang mustahil berhasil ia selesaikan, meski ia bukanlah tipe orang yang gampang menyerah. Tapi sungguh kali ini, jujur ia menyerah. Ia sudah mengibarkan bendera putih.
“Fuhhh...” Naruto menghela nafas panjang. Tarik dalam-dalam lalu lepaskan. Tarik lagi lepas. Tarikkkk lepas. Persis seperti ibu hamil yang sedang berlatih saat akan melahirkan.
Bosan dengan semuanya, kini perhatiannya teralih pada poni panjangnya. Ia meniup poni yang menutupi dahinya lembut, membuat poninya naik turun seperti ombak. Ini lebih baik dan lebih menenangkan perasaannya yang kacau balau daripada latihan pernafasan macam ibu-ibu hamil.
Ia menghela nafas lagi. Sadar, ia tak bisa selamanya melarikan diri. Besok suka tak suka, ia harus sudah menyelesaikan tugas sialan dari Kakashi-sensei, guru baddas di sekolahnya. Jadi perhatiannya kembali ia curahkan pada lembaran kertas putih dan pena yang terselip diantara jari-jemarinya.
Meski demikian tangannya tak kunjung juga menodai kertas bersih itu dengan noda hitam. Pikirannya buntu. Tak ada satupun kata-kata menarik yang ia pelajari selama ini, muncul dalam benaknya. Kosong, hampa, dan tak ada greget sama sekali. Dipaksakan seperti apapun juga tak bisa.
Ia menyerah kalah, mencoba merangkai untaian kata nan indah untuk tugasnya. Ia menyamankan diri, menyandar pada punggung kursi. Kepalanya menengadah, menatap langit malam tanpa hiasan bintang satu pun. Hanya sinar temaram lampu kota yang jadi penghiasnya.
Kelamnya langit malam yang tersaji ini, mengingatkan Naruto pada sosoknya. Sosok itu juga memiliki iris sekelam malam. Onixnya yang dengan kejam menjelajahi tiap mata yang dipandangnya, seolah meneriakkan ‘Aku tahu rahasiamu’. Ditambah dengan seringai menyebalkan itu, sungguh ia layak untuk dibenci.
Hanya dalam satu kali pandangan, Naruto sudah langsung memutuskan untuk membencinya. Tapi ia juga menerima lawan yang sepadan dalam urusan membenci. Lawannya itu juga tak kalah bencinya padanya. Jalinan kebencian dan permusuhan diantara mereka begitu erat dari awal masuk SD hingga kini.
MUSUH BAIKNYA ini sering terlibat gesekan dengannya. Konfrontasi diantara mereka sering terjadi, baik ringan maupun berat, baik yang hanya sekedar bertukar sindiran, cacian, hingga perkelahian. Yup mereka sering terlibat baku hantam juga yang berakhir di UKS dengan lebam-lebam dan luka di sekujur tubuhnya dan musuh baiknya itu.
Kalo dipikir-pikir, ia nyaris tak pernah melewatkan sedikitpun pertemuan mereka berakhir damai. Kata ‘damai’ ini jauh sekali dari mereka seperti bumi dan langit. Mereka secara tak tertulis, seolah setuju untuk tidak pernah setuju dalam hal apapun.
Tapi kini ia harus menulis surat pada-NYA. Bukan sepucuk surat tantangan, apalagi surat biasa, tapi SURAT CINTA. Surat cinta saudara-saudara. Surat cinta untuk Sasuke? HELL, NO. Itu tak akan pernah terjadi sepanjang ia masih bisa bernafas. Sayangnya semua tak segampang itu.
Dan itu membuat Naruto menyumpah serapahi gurunya aka Kakashi sensei dan melemparkan beberapa kutukan untuknya juga. Dia tidak memberinya banyak pilihan. “PILIH! Bikin surat cinta untuk Sasuke, atau nilai nol di pelajaranku.” Katanya, menghiraukan segala protes yang Naruto layangkan.
Naruto menghela nafas panjang, lelah. Ia tentu saja tak sebodoh itu memilih pilihan kedua sebesar apapun kebenciannya pada Sasuke-Teme itu. Tidak, terima kasih. Ia masih waras. Dan itulah yang membuat Naruto terjebak di depan meja belajar dengan selembar kertas dan pena.
“Aaarrrrggghhh...” Erangnya lagi.
Kenapa sih Kakashi-si-guru-maniak-terlambat itu harus memberi tugas ini? Kenapa harus surat cinta sih? Kenapa ia tak disuruh membuat surat duka cita saja untuknya? Ia pasti akan melakukannya dengan senang hati dan pasti sudah menyelesaikannya dari beberapa hari yang lalu.
Otaknya kembali mengingat tepatnya percakapannya dengan sang sensei.

Flashback

“Sensei. Bolehkan saya membuat surat selain surat cinta?” kata Naruto penuh harap mengejar sang sensei di koridor.
“Tidak bisa. Materi pelajaran kita kan tentang surat cinta. Ingat?” tolak Kakashi-sensei.
“Ingat.” Kata Naruto lirih, tapi tak menyerah dan masih berusaha protes. “Tapi.. bisakah saya mengganti partner saya? Orang yang harus saya kirimi surat cinta itu?”
“Tak bisa. Ini kan sudah jadi kesepakatan kita bersama.” Kata Kakashi sensei lelah. Ia memandang Naruto tajam. “Kalian kan teman sebangku, tak bisakah kalian setidaknya berdamai? Kalian tak bosan bertengkar terus?”
Dalam hati Naruto melayang sumpah serapah pada orang gila yang dengan lancangnya, selalu menempatkan mereka berdua sekelas, bahkan sebangku. Wajah Naruto tertekuk ke dalam, masam. “Katakan itu padanya juga. Dia yang memprovokasiku duluan.”
“Kau juga kan punya andil.” Tegur Kakashi. Ia menghela nafas panjang lelah, meski tak selelah Yamato sang guru BP dan Iruka  sang wali kelas, yang selalu mengurus dua orang musuh bebuyutan itu.
“Anggap saja ini latihan agar kalian bisa bersikap lebih dewasa. Bermusuhan itu melelahkan lho. Waktu itu lebih indah dan berharga untuk disia-siakan dengan permusuhan tak penting.” Ujarnya mengakhiri pembicaraan.

End Flashback

Naruto mendengus. ‘Sensei gampang ngomong seperti itu.’ batinnya dongkol. ‘Bukan Sensei yang diejek, diremehkan, dan dipandang sebelah mata. Tapi aku.’ Tambahnya dalam hati.
Naruto mengalihkan pandangannya. Kini ia menangkupkan kedua tangannya di atas meja dan membiarkan kepalanya tergeletak di atasnya. Kepalanya dimiringkan, memandang bunga kaktus di atas pot hadiah Kyuu-nii yang ia letakkan di atas meja belajar. Sungguh bukan pemandangan indah yang ingin dilihatnya.

Meski sudah dirawat Naruto sekian lama, tapi kaktus itu tak kunjung berbunga. Ia masih berupa batangan nan gemuk berwarna hijau dan berduri tajam. Mungkin hal istimewa dari bunga ini hanya terletak pada durinya yang berwarna kuning, memberi sentuhan indah pada bunga membosankan itu.
Naruto lebih detail lagi mengamati sang kaktus. Kalo dipikir-pikir sejarah Sasuke dan Naruto seindah kaktus, penuh duri, dan bukan hal yang menyenangkan untuk dibicarakan. Mereka menyadari 100% kalo mereka saling membenci, tak segan saling menjatuhkan satu sama lain di setiap kesempatan. Kalo perlu DO. Ya, kaktus bisa menggambarkan hubungan keduanya.
Tunggu kaktus? Mendadak ia mendapat ilham. Mungkin ini bukan surat cinta yang indah seperti yang dibuat Sakura, FG-nya Utakata, atau secantik untaian kata dari Hinata-si-ahli-seni. Tapi bolehlah. Terserah Sasuke menanggapinya seperti apa. Ini hal terbaik yang ia pikirkan daripada ia mengirim surat berisi kutukan dan sumpah serapah, atau kata-kata alay sok romantis yang malah akan membuat Naruto muntah darah.
..............................*****....................................

Sasuke amplop warna biru dongker berisi surat cinta yang Naruto buat untuk tugas mata pelajaran sastra. Wajahnya datar sehingga sulit menebak apa yang sedang dipikirkannya dan apa yang dirasakannya. Tapi jika dilihat dari sorot matanya yang tenang, sepertinya ia tak benci juga menerima amplop itu. ‘Setidaknya bukan pink seperti yang diterima teman-temannya yang lain.’ Pikirnya.
Ia bisa melihat dari sudut matanya Neji, Shika, Gaara, dan Utakata mengerang panjang. Mereka menatap jijik amplop yang ada di tangan mereka. Mereka tak bosan-bosannya mengeluh ‘Kenapa sih para cewek itu selalu mengasosiasikan surat cinta dengan yang berbau pink dan love?’ Itu benda-benda mengerikan bagi sebagian besar cowok.
Mereka dengan enggan membaca surat dari partner masing-masing karena mereka mendapat tugas membuat surat balasan. Eoh, belum apa-apa aja mereka sudah diserang rasa enggan dan malas. Tapi demi dapat lulus mta pelajaran Kakashi-sensei, terpaksa mereka membacanya juga.
Shika tertawa kencang sampai berguncang-guncang. “Ha ha ha...”
“Apa yang lucu? Temari menggombalimu?” tanya Gaara yang adik sepupunya Temari. Bibirnya ditarik sedikit mengindikasikan ia sedang tersenyum.
“Bukan. Ia malah cerita tentang pupuk tanaman. Sungguh surat yang sangat romantis dan simpatik.” Jawabnya geli. Yah setidaknya tak semenjijikan yang dipikirkannya.
“Itu lebih baik. Tenten malah cerita tentang senjata dari jaman edo sampai yang mutakhir. Memangnya aku ini punya tampang yakuza atau pembunuh bayaran?” gumam Neji muram.
Mereka semua melirik Neji iba. Yah tak sulit memperkirakannya sih. Memang apa yang bisa diharapkan dari seorang Tenten-si-cewek-tomboi-maniak-senjata-tajam? Gadis itu mana bisa memahami seni halus merangkai kata-kata nan indah?
“Setidaknya Tenten dan Temari menulisnya dengan lancar. Hinata malah terus-menerus mengulang-ulang dan terkadang gagap seperti cara bicaranya. Capek tahu bacanya.” Keluh Gaara.
‘Kasihan.” Batin mereka kompak, memandang iba Gaara.
Mereka kini beralih pada Utakata yang masih asyik membaca surat cinta dari Sakura. “Kau gimana?” tanya Neji ingin tahu, menyenggol bahu Utakata.
“Lebih baik dari kalian. Dia kan sudah veteran soal surat cinta.” Katanya datar menunjukkan surat cinta yang penuh dengan taburan kata-kata romantis yang Sakura copot dari berbagai sumber. Yah kalo serasi sih bagus, tapi masalahnya ia asal comot dan terkesan sangat alay, khas remaja masa kini.
“Huekkk.” Mereka muntah masal, membaca surat dari Sakura. Ini lebih mengerikan dari surat yang mereka terima.
“Hm amplopnya menarik. Biru dongker polos. Tidak pink. Tidak ada love-love. Tidak ada pita. Beruntungnya kamu.” Komentar Shika sedikit tertarik, merasa itu tak biasa, di luar keumuman. “Tapi gimana dengan isinya?” katanya jahil ingin tahu. Teman-temannya yang lain juga ingin tahu isi surat Naruto.
Mereka kan tahu seberapa dalam permusuhan diantara keduanya. Mereka juga beberapa kali jadi korban salah sasaran saat pertengkaran itu meletus lho, karena nggak sengaja terjebak di tengah-tengah mereka. Jadi wajarlah jika mereka ingin tahu apa yang bisa dihasilkan dari seorang Naruto, musuh bebuyutan Sasuke.
Sasuke dengan enggan membuka amplopnya dan mengeluarkan isinya. Ia menggenggam kertas putih polos itu erat. Soalnya teman-temannya sudah berebut ingin merebutnya dari tangan Sasuke. Meski gagal merebutnya, mereka masih bisa membacanya kok. Sasuke kan meletakkannya di atas meja jadi bisa dilihat semua temannya.
Dear, Bungsu Uchiha-kun
Sapaan yang lain dari yang lain lagi. Naruto jelas menghindari menyebut nama Sasuke. Sasuke malah curiga gadis itu sudah melupakan nama aslinya karena keseringan memanggilnya Teme atau Chicken But. ‘Tapi, tak apalah, masih sopan ini.’ Pikir Sasuke.
Dear, Bungsu Uchiha-kun
Kaktus, itulah gambaran tentang kita berdua. Sejarah kita penuh duri. Tak ada kata ‘damai’ dan ‘setuju’ dalam kamus hidup kita. Kau dengan bakat mata penuh racun dan aku yang lidahnya semanis keripik singkong berlumur cabai level sepuluh. Sungguh kombinasi yang indah dalam jalinan hidup kita, seindah duri-duri kaktus.
Sasuke mengernyitkan dahinya. ‘Ni orang niat mau muji nggak sih?’ gerutu Sasuke dalam hati, jengkel. Kalimat-kalimatnya begitu sarkastik dan menyebalkan di tiap katanya mirip dengan penulisnya. Tapi Sasuke tetap bertahan melanjutkan acara bacanya.
Aku tak akan minta maaf untuk semuanya dan aku pun yakin kau pun tak akan sudi minta maaf padaku. Biarlah seperti itu apa adanya. Tetap menjadi kaktus hingga kita lulus atau mungkin sampai akhir hayat kita.
Ttd
Naruto-si-rubah

Sasuke mengerti maksud gadis itu. Memang bukan surat cinta seperti yang diajarkan Kakashi-sensei. Tak ada kata-kata romantis, pujian yang membuat tubuh melayang hingga ke langit ke tujuh, apalagi rayuan. Itu sih jauh panggang dari api. Sama saja dengan mengharapkan babi bisa terbang.
Tapi, Sasuke cukup puas. Menurutnya malah itu surat cinta paling mengesankan dan romantis dalam arti yang berbeda. Ia bisa menangkap kejujuran yang dirasakan sang penulis padanya. Ia sama sekali tak menutup-nutupi ketidak sukaannya padanya, meski ini hanya tugas sekolah. Yah gadis itu memang tipe blak-blakan, jauh dari kepura-puraan seperti gadis-gadis yang mengejar-ngejarnya di sekolah.
‘Hmm, kaktus ya?’ pikir Sasuke. Kali ini pertama dalam sejarah mereka, ia sepakat dengan ungkapan Naruto. Mereka memang mirip kaktus.
Sasuke mengangsurkan suratnya pada temannya yang lain yang memandang iri. Mereka pundung dan nangis dalam hati. Diantara semua cewek di kelas, kenapa harus Naruto yang normal? Seperti Sasuke, mereka juga mengakui, itu surat cinta paling baik dan menarik yang mereka terima.
Sasuke mengacuhkan teman-temannya. Ia mengayunkan penanya mengguriskan beberapa kalimat pada kertas putih bergaris. Ia menuliskan apa yang melintas di otaknya, mulai membalas surat cinta dari Naruto sang musuh baiknya.
Dan cerita ini kita akhiri dengan kata ...

THE END