Jumat, 19 April 2019

NARU BABY : NARUTO DAN OBITO

Obito sudah yatim piatu sejak bayi. Ayahnya tewas saat beliau terlibat misi penyelamatan, sedangkan ibunya meninggal karena pendarahan setelah melahirkannya. Namun, ia cukup beruntung karena Kagami, pamannya dari pihak ibu, bersedia mengasuh dan merawatnya.
Selama tinggal bersama, Kagami memperlakukan Obito dengan baik. Ia mencurahkan segenap kasih sayangnya pada Obito. Bahkan meski akhirnya anak kandungnya telah lahir, kasih sayangnya pada Obito tidaklah berkurang. Ia tidak membeda-bedakan antara Obito dan Shisui, sehingga keduanya tumbuh bersama layaknya adik-kakak kandung.
Bukan berarti rasa sepi itu tak ada dalam dirinya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa hidupnya kosong. Hidupnya tidak lengkap tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Kadang, ia sering berfikir, 'Seandainya ayah dan ibu masih hidup.' Atau lebih baik lagi, seandainya ayahnya bukan Shinobi, mungkin ayahnya masih hidup saat ini dan ia bisa berkumpul dengan kedua orang tuanya.
"Ji-san, kenapa sih ji-san menjadi seorang shinobi?" Tanya Obito pada satu waktu.
Kagami yang tengah bermain-main dengan Shisui, bayi gembul berusia 8 bulan, kini menoleh menatap Obito. Ia berfikir sejenak dan berkata. "Karena Ji-san menyayangi keluarga ji-san, yakni kau, Shisui dan ibu Shisui, klan kita, dan juga warga Konaha."
Kerutan menghiasi bocah tampan itu. (Semua anggota klan Uchiha terlahir tampan. Begitu pula Obito. Cuman tingkahnya agak annoying membuat banyak cewek ill feel padanya.) Ia menelengkan kepalanya ke kanan. "Aku tak mengerti."
Kagami mengulum senyum tipis. "Begini. Paman jadi shinobi agar Konoha, desa kita aman dan jauh dari bencana perang. Jika desa aman, kalian juga aman. Kalian bisa tumbuh secara normal dan mulai bisa berbicara tentang mimpi-mimpi."
Obito diam menyimak. Kedua alisnya saling bertautan, pertanda jika ia tengah berfikir. "Yang salah berarti Konoha. Gara-gara ada Konoha, kita terus-menerus terseret perang." Kerutan di dahinya semakin dalam. Dengan nada suara tinggi, ia berkata, "Aku benci Kono..."
Kagami menaruh jarinya ke bibir Obito. "Stt...jangan bilang seperti itu!" Katanya lembut. "Sebelum ada Konoha, keadaan jauh lebih buruk lagi. Persaingan antar klan shinobi sangat tinggi hingga perang antar klan berlangsung lebih dari belasan tahun lamanya. Saat itu tak ada hukum. Satu-satunya hukum yang berlaku hanya hukum rimba. Hanya yang kuat yang bisa bertahan. Isak tangis, kekerasan, dan kematian jadi pemandangan sehari-hari. Pagi hidup sore mati, itu sudah biasa. Diantara semuanya, anak-anaklah yang paling banyak jadi korban. Mereka banyak yang meregang nyawa karena terlibat perang. Tak ada canda apalagi tawa. Tak ada sorot kehidupan apalagi mimpi di mata anak-anak. Yang ada hanya keputus asaan."
Jeda sejenak. Obito berfikir. Ia mulai membayangkan cerita pamannya dan ia langsung menggigil ketakutan.
"Lalu, keadaan berubah. Hashirama-sama dan Madara-sama, berhasil menyatukan dua klan -Senju dan Uchiha- yang saling bermusuhan itu dan membangun satu desa shinobi. Klan-klan lain seperti Nara, Hyuga, dlll ikut menggabungkan diri dan jadilah Desa Konoha."
Obito dengan keras kepala masih ingin membantah, tapi Kagami meneruskan narasinya. "Memang perang antar shinobi, kali ini antar desa masih sering terjadi, tapi setidaknya tidak sampai menyentuh hidup para bocah karena hukum Konoha dengan tegas melarang menyertakan Genin dalam perang. Para Genin yang umumnya anak-anak hanya boleh mengambil misi rank D dan yang lumayan berat rank C. Karena itulah, kita harus menjaga agar Konoha tetap ada, untuk kita dan masa depan keluarga kita nantinya. Itulah yang jadi motif ji-san untuk menjadi shinobi yang tangguh."
"Tapi..tapi.." Obito menggigit bibirnya. "Tapi, karena tou-san jadi shinobi, tou-san pergi dan meninggalkanku seorang diri di dunia ini."
"Setiap yang hidup pasti mati. Mau shinobi mau enggak, di medan perang atau di atas kasur kalau sudah waktunya mati ya mati saja. Jika pada akhirnya akan sama-sama mati, lalu kenapa kita harus takut mati?"
Obito melengos. Pamannya ada benarnya, tapi tetap saja ia belum menerima.
"Aku tahu, kehilangan itu menyakitkan. Rasanya perih dan pedih, hingga seolah-olah kita terjatuh dalam kegelapan yang tak berujung. Tapi, ingatlah ini Obito. Terkadang untuk melindungi yang kita sayangi, kita harus berkorban apa saja, termasuk berkorban untuk tidak melihat kehidupan masa depan yang kita cintai. Itu yang dilakukan ayah dan ibumu. Pengorbanan mereka adalah bentuk kecintaan mereka padamu."
"Aku tahu. Aku mengerti. Tapi, bagaimana caranya agar hati ini tidak gelap?"
"Bukalah hatimu untuk yang lain! Suatu saat kau akan menemukan cahaya untuk menambal hatimu yang berlubang. Banyak-banyaklah tersenyum! Carilah teman! Itu kuncinya." Kagami menasehati dengan lembut dan dengan bahasa yang mudah dicerna anak kecil.
Semenjak hari itu, Obito berubah dari seorang anak yang suram dan pendiam, menjadi anak yang ceria, suka senyum, dan setia kawan. Mungkin, terlewat ceria hingga ia terlihat sangat annoying dan tidak Uchiha sekali, yang tentu saja membuat ill feel banyak orang. Ia selalu datang terlambat ke pertemuan dengan alasan aneh-aneh, dari tersesat di jalan kehidupanlah, menolong nenek-nenek menyeberang jalanlah, padahal aslinya karena ia sibuk membantu bibinya. Dan kenapa, ia nggak mau jujur, karena takut dicap kayak cewek.
Selain berubah jadi annoying,  Obito menggeluti hobi baru. Sebagai kakak, Obito suka sekali menjahili Shisui -mumpung masih balita- dan menjadikannya mainan. Ia suka menggelitikinya, mendadaninya dengan baju yang mencolok mata, hingga makan makanan Shisui hanya untuk menggoda. Ia baru berhenti jika Shisui sudah nangis terisak-isak atau tertawa terpingkal-pingkal. Yang tak Obito sadari, gara-gara ulahnya, Shisui tumbuh menjadi si Maniak Kemeriahan.
Di luar keluarga Kagami, hanya ada dua orang yang Obito sayangi di dunia ini. Pertama Rin, wanita pertama yang mencuri hatinya. Meskipun tahu, jika Rin menaruh hati pada cowok yang mengidap penyakit penuaan dini karena masih bocah, tapi sudah ubanan yang kebetulan anggota timnya sendiri, aka Kakashi, cintanya pada Rin tidak berubah. Ia bertekad akan terus mencintai dan melindunginya, walaupun Rin sampai akhir tetap tidak menerima cintanya.
Dan, itu membawanya pada orang kedua, yakni Minato jounin pembimbingnya saat masih Genin. Awalnya, ia sekedar kagum pada gurunya karena ia terkenal dengan kehebatan dan kegeniusanya. Rasa kagum itu berubah jadi sayang, ketika Minato berhasil mencegah tragedi berdarah dalam hidupnya.
Minato datang tepat waktu untuk menghentikan Kakashi membunuh Rin yang itu atas permintaan Rin dengan alasan tak ingin membahayakan desa. Ia berhasil memecahkan penyebab masalahnya dengan memperbaiki segel Rin yang sekaligus menjadikannya jinchuuriki Sanbi pertama dari Konoha. Minato tak tahu kalau tindakannya itu juga menyelamatkan Obito dari kegelapan. Sejak itu, ia bertekad untuk melindungi Minato dan keluarganya.
Tekad itu ia wujudkan saat Madara kembali menyerang Konoha dengan memanfaatkan Kyuubi yang ia keluarkan secara paksa dari tubuh Kushina, istri Minato-sensei dan sekaligus jinchuuriki Kyuubi tepat ketika segelnya melemah karena melahirkan. Ia berdiri dengan tegar di samping gurunya, melindunginya berikut keluarga kecilnya dari amukan Kyuubi dan Madara, walaupun itu menyebabkan ia hampir meregang nyawa. Ia cukup beruntung berhasil selamat, meskipun ia harus tergolek lemah di ranjang rumah sakit berminggu-minggu lamanya.
Saat sadar dari koma itulah, ia baru tahu jika, dua orang terpenting dalam hidupnya yakni Minato dan Kagami telah pergi meninggal dunia untuk selama-lamanya. Ia berduka, namun tidak larut dalam kesedihan, karena ia sadar jika masih ada orang lain yang jadi tanggung jawabnya, yakni Shisui, bibinya, dan Naruto yang masih bayi.
Hari-hari selanjutnya, Obito lalui dengan mengikuti serangkaian pengobatan dan terapi yang menyiksa. Ia menjalani semuanya dengan tabah dan disiplin karena ingin segera sembuh dan secepatnya keluar dari rumah sakit. Itu adalah hari-hari yang melelahkan, namun semuanya terbayar lunas setelah ia dinyatakan sembuh dan bisa check out dari rumah sakit.
Ketika pulang ke rumah, ia disambut gelak tawa dan bukan suasana suram, ciri khas keluarga di klan Uchiha. Rupa-rupanya, Shisui tengah bermain dengan balita Ndut berambut pirang. "Itu bayi siapa yang kau culik, Shi?" Tanyanya atau dalam hal ini tuduhnya.
Shisui memicingkan matanya. "Aku tidak menculiknya." Tukasnya tajam menusuk. Lalu wajahnya melembut, saat ia memandang balita dalam pangkuannya. "Ini adikku." Shisui dengan bangga memperkenalkan adik barunya.
Diam-diam, Obito ketawa dalam hati. Ia berhasil menggoda Shisui. Lagi. "Boong. Mana ada ceritanya Uchiha berambut pirang? Pasti kamu nyulik anaknya klan Yamanaka. Iya, kan? Hayo ngaku!"
Kedua pipi Shisui memerah. Bukan karena malu, tapi karena kesal pada sepupunya itu. "Kau pikir aku serendah itu? Ini anaknya Minato-sama, gurumu. Lihat wajahnya! Mirip Kushina ba-san kan?"
"Ah!" pekik Obito seolah baru sadar, dengan gaya yang dibuat-buat lugu, yang tidak pas dengan wajah pendosanya. "Iya, kau benar. Mirip banget ya. Sama-sama punya dua mata, dua alis, satu hidung, satu mulut, ..."
"Kau itu sudah bosan hidup, ya?" Sergah Shisui.
"Loh aku benar, kan? Mereka memang mirip kok ..." Obito dalam hati sudah tertawa terguling-guling. "...sebagai manusia." imbuhnya.
"MATAMU ITU YANG RABUN. DASAR MANUSIA CHILDISH TIDAK LAKU! JELAS-JELAS WAJAHNYA MIRIP KUSHINA-SAMA, MASIH SAJA NGEYEL." Teriak Shisui dalam satu napas. Suaranya menggelegar hingga terdengar ke rumah tetangga. "DAN YA DIA ADIKKU KARENA MINATO-SAMA SUDAH MEMBERIKAN HAK ASUHNYA PADAKU." Tambahnya masih dengan berteriak. Fugaku yang sedang minum teh dengan damai di rumahnya sampai tersedak, karena kaget.
Naruto yang belum pernah diteriaki, ikut-ikutan terkejut. Bibirnya mencebik dan lalu menangis. Tanpa pemanasan. "Huwee...!"
Shisui panik. "Cup cup cup sayang. Nii-chan nggak marah sama Naru-chan kok." ujarnya lembut dan secara refleks langsung mengayun-ayun Naruto hingga dedeknya berhenti nangis. Ia melotot galak pada Obito. "Lihat! Gara-gara kamu, dedekku nangis."
"Lah kok aku? Yang teriak siapa, yang dimarahi siapa. Aneh. Dasar Jaka Sembung naik ojek, nggak nyambung Jack."
"Kalau kau tidak memprovokasiku, aku tak akan berteriak." Nada bicaranya sih lembut. Tapi, sayang dengan mata melotot.
"Yach, itu sich salahmu sendiri. Cowok kok sensi. Lagi PMS ya Bro?"
Shisui yang jengkel langsung menendang tulang kering Obito dan memukulnya bertubi-tubi, membuatnya mengaduh kesakitan. Tentu saja setelah mengamankan Naruto ke tempat lain. Ia tidak ingin kepolosan Naruto ternodai oleh makhluk ababil super menyebalkan yang sialnya sepupunya sendiri.
"Ini ada apa sich?" Lerai ibunya Shisui. "Pasti kamu godain Shisui lagi? Hayo ngaku! Dasar kau ini. Tak pernah kapok ya?" Imbuhnya sambil geleng-geleng kepala.
"He he he... Bercanda kok, ba-san. Biar akrab. Kan, kami udah lama nggak ketemu."
Shisui menjitak kepala Obito. Matanya memicing galak. "Lama nggak ketemu, dengkulmu!" Rutuknya. "Terus kemarin yang jagain kamu di rumah sakit seharian siapa? Patungku?"
"Oh, Shisui!" Pekik Obito sambil memutar-mutar tubuh Shisui gemas. "Jadi itu kau? Ku pikir aku sedang bermimpi."
"Grrr..." geram Shisui. Ia baru nyadar kalau ia baru saja jadi korban kejahilan Obito, untuk? Yach, ia tidak ingat. Hitungannya sudah terhenti berbulan-bulan yang lalu karena ia ogah mengingat-ingat tiap momen menyebalkan bin memalukan dalam hidupnya.
Ibunya Shisui tersenyum tipis, maklum dengan sifat usil Obito. "Sudah jangan bertengkar lagi. Ayo baikan!" Ujarnya setengah memerintah. Shisui dan Obito pun berbaikan. Mereka memang sering bertengkar, tapi tidak pernah bertahan lama. Beberapa menit kemudian mereka sudah akrab lagi.
"Wah, sudah sore. Shisui, sana mandiin Naruto! Sudah waktunya ia mandi."
Shisui nurut. Dengan cekatan, ia menelanjangi Naruto dan membawanya ke kamar mandi. Ia mengecek suhunya terlebih dahulu, setelah pas baru memasukkan Naruto ke dalam ember. Tak lupa, ia cemplungkan pula bebek karet Naruto agar ia bisa bermain-main dengannya. Kata Yoshino ba-san, Naruto suka bermain saat dimandikan.
Sambil memandikan, ia bersenandung kecil, "Anak pandai. Anak ganteng. Anak mbarik. Adiknya Shisui," Naruto terkekeh senang. Kakinya ia ayun-ayunkan dalam air membuat air terciprat keluar, membasahi baju Shisui.
Selesai mandi, Shisui mendandani Naruto dengan baju hangat motif sapi. Ia kelihatan lucu dan imut dalam balutan baju itu. Itachi pasti iri jika melihatnya. Adiknya yang bernama Sasuke kan suram. Tidak ada imut-imutnya. Selesai berpakaian, Shisui memberi Naruto susu karena ini waktunya ia bobok.
"Iyyuh," gumam Obito jijik. Rupanya, ia mengekor Shisui sejak tadi. "Nggak di sini nggak di sana," Obito merujuk pada Itachi. "...sama aja. Ada aja bocah laki-laki yang  berbakat jadi banci. Cowok kok ngurusin pekerjaan cewek. Malu, dong." ejeknya.
"Pantesan aja Rin nee-san nggak mau sama kamu. Kamu egois sih." balas Shisui.
"Apa maksudmu, Bocah?"
"Hei, jadi cowok jangan malas belajar pekerjaan rumah tangga. Kan nggak semuanya harus diserahin ke istri. Sekali-kali bantu, biar istri senang. Dan lagi, ada kalanya istri nggak bisa ngurus rumah, seperti saat ia sakit, hamil tua, atau saat ia habis melahirkan. Masak kau tega nyuruh istri yang sedang sakit masak, nyuci, ngepel... Hiiy! Itu namanya suami raja tega."
"Gaya. Kayak udah gedhe aja. Tinggiin dulu tuh badannya, baru ngoceh. Dasar bocah!"
"Itu namanya dewasa. Nggak kayak situ. Bocah yang terjebak di tubuh orang dewasa."
"DIAM KAU!" Hardiknya. Untuk pertama kalinya, Shisui berhasil membuat Obito gusar. Karena itu, Shisui tertawa bahagia, merayakan kemenangan pertamanya.
Dengan jengkel, Obito pun membalikkan badan dan pergi. Meski kesal, pada akhirnya, ia kepikiran juga. Makanya itu, pas Shisui ada misi keluar desa, Obito minta ijin untuk mengurus Naruto. Anggap saja ia sedang latihan jadi seorang ayah.
Ia mandiin Naruto dengan susah payah cos Naruto gerak mulu. Nggak mau anteng. Naruto meski bayi, tenaganya gedhe, membuat Obito kuwalahan. Setelah itu, ia bingung gimana caranya memakaikan baju pada bayi? Apa yang pertama kali harus ia lakukan? 'Pakai bedak dulu atau minyak telon dulu?' Pikirnya kebingungan.
Ah, terserah. 'Yang penting Naruto tidak telanjang.' Pikirnya. Ia langsung menaburi tubuh Naruto dengan bedak banyak-banyak, membuat tubuh Naruto putih oleh bedak. Lalu, di atasnya ia tuangkan botol minyak kayu putih dioleskan tidak pakai tangan, melainkan langsung dengan mulut botolnya. Untung isinya sudah hampir habis. Jadi tidak tumpah kemana-mana. Namun, Naruto merasa tidak nyaman, karena tutup botol itu menyakiti kulitnya yang lembut. Kemudian, meledaklah tangis Naruto. "Huwee...!"
Obito bergerak panik. 'Jangan-jangan ia kedinginan. Karena panik dan tidak sabaran, ia langsung aja mengambil kain lebar warna oranye yang biasa dipakai alas tidur Naruto dan selanjutnya membedong tubuh Naruto seperti bayi yang baru lahir.
Naruto jelas tidak terima, karena tidak bisa bergerak bebas. Ia menyuarakan protesnya dengan mengeraskan tangisannya. Ia menjerit-jerit, menendang-nendang sekuat tenaga agar terbebas dari baju terkutuk itu. Akan tetapi, entah bagaimana caranya Obito mengikat, kain bedong itu tidak terlepas, melekat erat seperti kulit kedua. "Huwee..! Huwee.." tangisnya tak berhenti-henti.
Kebingungan melanda diri Obito karena di rumah ia seorang diri. Bibinya sedang melakukan check up medis secara rutin. Di waktu yang sama Kakashi datang berkunjung. "Kakashi..!" Pekik Obito lega. 'Akhirnya, bantuan tiba,' batinnya. "Bagaimana ini? Ia nangis terus." Lapor Obito sambil menyorongkan tubuh Naruto yang sudah dibedong pada Kakashi.
Kakashi tak kalah bingungnya. "Mana ku tahu." jawabnya ketus. Soalnya, ia ini anak tunggal. Seumur-umur, ia belum pernah berurusan dengan yang namanya bayi. Jadi, mana tahu dia tentang tetek bengek ngurus bayi.
Tiba-tiba, terdengar suara, "Broot!" Refleks, Kakashi menutup hidungnya. Habisnya bau. Pakai banget.
"Gawat! Dia ngeboom!" pekik Obito makin kacau. Ia menjauhkan Naruto darinya sejauh-jauhnya karena tak tahan dengan bau 'Pup' nya, membuat tangis bayi pirang itu kian menjadi -jadi.  "Huweee... Huwee..."
"Aku juga tahu, itu." Suara Kakashi tidak begitu jelas terdengar, teredam oleh masker dan karena hidungnya ia pencet.
"Sekarang gimana?"
"Pakai nanya lagi. Ya, kau cebokin dialah."
Obito pucat pasi. "Pakai tangan?"
"Nggak, pakai kaki." tukas Kakashi kesal. Hidung Obito langsung mengerut jijik. "Ya elah. Biasa aja kali. Kayak kau nggak pernah pup aja." tegur Kakashi.
"Beda dong. Itu kan pup ku sendiri. Ini kan enggak." elak Obito.
"Masih mending pupnya Naruto, daripada pupmu. Naruto kan cuman mengkonsumsi susu. Nggak seperti kamu, pemakan segala. Udah sana cebokin, gih! Kasihan Naruto, kebauan."
Dengan malas dan ogah-ogahan, Obito membawa Naruto ke kamar mandi. Ia main ngguyur aja tubuh Naruto pakai air dingin -karena jijik- membuat Naruto mendengking-dengking. Tubuh mungilnya menggigil kedinginan "Unggg... Huwee..!"
"ASTAGA OBITO!" Teriak Kakashi geram. Ia dengan cekatan merebut Naruto dari Obito yang kini bergelar Si Penyiksa Bayi. "Kau mau membunuhnya?" Tuduhnya.
"Aku tidak..."
"Tidak apa? Tidak mau ngaku? Tidak bersalah? Lihat! Dia itu bayi. Ia pasti kedinginan kalau kau guyur pakai air dingin. Dan bukan seperti itu caranya nyebokin bayi." omel Kakashi. "Pakai air hangat." imbuhnya. Ia menyelimuti tubuh Naruto bagian atas dengan handuk kecil dan menyuruh Obito menyiapkan air hangat.
Kakashi duduk di kursi kecil dan memangku Naruto dengan lembut. Hangat tubuh Kakashi membuat Naruto nyaman dan tangisnya mereda. Kakashi mengajak Naruto bercanda dengan membuat mimik lucu hingga Naruto tertawa kecil dan berceloteh lucu. Bayi itu sepertinya sudah lupa dengan pengalaman buruknya bersama Obito. Kakashi lalu membersihkan pup Naruto dengan tisu basah hingga pantat Naruto bersih.
"Ini airnya." Sela Obito saat Kakashi sedang menyabuni daerah sekitar anus Naruto dengan sabun bayi.
"Taruh, sini!" Kata Kakashi sambil memberi isyarat. "Tolong bantu aku. Guyur dengan air bagian ini, tapi sedikit-sedikit saja biar Naruto nyaman!" Obito menurutinya. Sekarang, Naruto sudah bersih dan wangi sabun. "Sekarang, tugasmu membereskan kekacauan ini, termasuk cuci kain bedong yang kena pup."
"Aku?"
"Kau mau dandani Naruto?"
"Ah, enggak. Aku di sini saja."
Itu pengalaman pertama Obito ngurus bayi. Kacau balau semuanya. Untung ada Kakashi yang membantunya. Dan, lebih untung lagi Shisui tidak ada di rumah. Jika Shisui di rumah dan melihat buruknya perlakuan Obito pada Naruto? Kelar hidupnya.
Kali kedua ngurus Naruto, Obito sedikit lebih baik. Ia berhasil memakaikan Naruto baju. Baca, Rin yang makai-in dan Obito tinggal narik reletingnya doang. Tapi bagi Obito, itu kemajuan. "Boleh aku menggendongnya?" Pintanya sopan. Ia ingin pamer pada Rin, kalau ia juga bisa gendong bayi.
Tapi, baru digendong sebentar, Naruto sudah menangis menjerit- jarit dengan tangan terkepal ke atas "Huweee...huwee.." jeritnya. Ia masih dendam pada Obito. (Catat ya, bayi itu ingatannya kuat. Sekali bikin ia jengkel, jangan harap ia mau kau gendong.)
"D-dia kenapa?" Tanya Obito panik.
"Haus kali." Sahut Kakashi yang baru datang.
Obito menyerahkan Naruto pada Rin. Niatnya bikin susu. Tapi, ia malah -karena panik- menjatuhkan barang-barang di dapur. Grompyang.. Duk.. Ctar.. Ribut sekali suaranya. Entah barang apa saja yang sudah dirusaknya. "Kakashi, bantuin aku." Pinta atau perintah Obito terdengar agak putus asa.
"Iya-iya." jawab Kakashi pasrah. Ia menyusul Obito ke dapur. Ia tertegun melihat dapur yang super berantakan seperti habis diterjang tornado. 'Astaga!' Pekiknya dalam hati. 'Ingatkan aku Kami-sama agar jangan pernah mengijinkan Obito menginjak dapur rumahku,' doanya khusyuk dalam hati.ia melangkah hati-hati meloncati pecahan entah gelas, entah piring, entah cangkir. Tangannya mengambil botol susu di satu tangan dan termos di tangan yang lain. Ia hanya berharap botol susunya sudah dicuci dan diautoklaf Obito agar steril.

 Ia hanya berharap botol susunya sudah dicuci dan diautoklaf Obito agar steril
"Cepat, Kakashi! Jangan diam aja! Naruto dah kelaparan, tuch." kata Obito mengabaikan Kakashi yang tengah kerepotan, kini berkutat antara bubuk susu dengan botol. Ia bingung, berapa takarannya. Obito bukannya membantu, ia malah menarik-narik baju Kakashi bikin Kakashi tambah bingung. "Cepat! Naruto semakin kencang nangisnya."
"Kau tidak lihat aku sedang berusaha!" Dumel Kakashi. "Lagian dia kan adikmu, kenapa malah aku yang ngurusin, sih?" imbuhnya menggerutu.
"Ia kan anak gurumu juga. So, secara teknis, kau juga kakaknya Naruto." Sergah Obito.
Kakashi memutar bola matanya, malas menanggapi. Akhirnya, ia berhasil membuat susu. Ia sudah menempelkan dot di bibir Naruto tapi, "Naruto nggak minum susu kemasan. Ia hanya minum ASI," Itachi yang datang bertamu sambil menggendong adiknya, mencegahnya.
Itachi membuka kulkas dan berkata, "Ba-san pasti sudah menyiapkan ASI untuk Naruto di kulkas sebelum pergi." Itachi mengeluarkan botol bening berisi cairan berwarna putih keruh. "Ini dia. Hangatkan dulu susunya, sebelum diberikan."
Kakashi mengambil botol berisi ASIP (Air Susu Ibu Perah) dari Itachi berniat merebusnya, namun lagi-lagi Itachi mencegahnya. "Bukan seperti itu caranya. Tolong gendong Sasuke dulu!" katanya sambil memberikan Sasuke pada Kakashi. Ia mengambil panci dan menaruh botol ASIP. Ia menuang air dingin terlebih dahulu, lalu air agak panas ditambahkan sedikit demi sedikit hingga airnya jadi hangat. Begitu pula susu dalam botol. Ia mengocoknya dan mengetesnya dengan meneteskannya di punggung tangannya. Setelah siap, ia menaruhnya di atas gelas khusus bayi. "Nah, sekarang baru siap."
"Loh, tidak pakai botol susu?" Gumam Rin terkejut.
"Tidak. Kata ba-san nanti Naruto 'bingung puting' dan lalu lama kelamaan tidak mau menyusu langsung."
"Oh, begitu. Kok kamu tahu, sih?"
"Tahulah. Kan aku yang ngasuh Sasuke dari orok."
"Wah Itachi pintar. Calon suami idaman," puji Rin membuat Obito panas dingin karena cemburu. Tambah lagi saingannya.
Itachi tersenyum tipis. "Naru-chan ayo buka mulutmu. Aam..."
Naruto sebetulnya tidak lapar. Ia hanya kesal pada Obito. Menurut Naruto, Obito itu pengasuh dari neraka. Semua yang dilakukan Obito ke Naruto ia nilai sangat-sangat buruk. Berita buruknya ia melakukannya secara tidak sengaja. Ia hanya orang yang tak tahu bagaimana caranya mengurus dan memperlakukan bayi. Karena itulah ia menangis. Tapi, ia juga tidak akan menolak jika diberi mimik. Naruto pun membuka mulutnya. Itachi. menyuapinya.
Sasuke meronta dari gendongan Kakashi. "Aa.. Cacu aa.." celotehnya sambil buka mulut lebar-lebar.
"Ini susunya Naru-chan, Suke. Lagipula kau kan sudah makan dan mimik susu. Kalau minta lagi, nanti perutmu meletus karena kekenyangan. Jadi kakak yang baik, ya." Tutur Itachi lembut.
"Huwaaa..." jerit tangis Sasuke tidak terima.
"Biar Sasuke, aku bawa ke halaman depan." Tawar Obito. "Kakashi, tolong beresin dapurnya ya?"
Niat hati ingin menolak, tapi jika diserahkan pada Obito kayaknya sampai tahun depan juga nggak bakal selesai. Dia hanya akan memperburuk keadaan. Dan pastinya ia bakal kena omel juga karena dianggap sepaket dengan Obito. "Hn." Gumam Kakashi mengiyakan.
"Aku bantu, biar cepat selesai." Rin menawarkan bantuan yang diterima Kakashi dengan senang hati.
Berbanding terbalik denga Obito yang cemberut. Rencana pamernya gagal total. Gebetan asyik dengan cowok lain dan ia ketiban sial ngurus bayi yang nggak ada imut-imutnya seperti Sasuke. Itu kesialan combo. "Kenapa aku harus ngurus monster ngeces ini, sich." Gerutunya tidak ikhlas.
Sasuke yang sadar sedang dihina, balas menggigit tangan Obito. Itung-itung pelampiasan kemarahannya. Obito menjerit dalam hati menangisi kesialannya. Sekarang bukan combo lagi, tapi sudah triple X sialnya. Nasib-nasib. Niatnya jelek sich, makanya ketiban sial.
Kali ketiga, Obito ngurus Naruto. Ia sudah lebih baik lagi. Dengan bantuan ba-sannya tentu saja sebelum periksa ke dokter. Awalnya, ia senang. Tapi, lama kelamaan ia bosen nungguin bayi yang kerjaannya ngoceh dan ngiler, meski nggak separah Sasuke. Obito menyebut Sasuke,  Monster Ngeces. Timbul ide iseng dalam otaknya.
Obito buru-buru memangku Naruto. "Begini caranya mengeluarkan cakra," katanya. Ia membuat gerakan segel sapi-kuda-monyet dan entah apalagi author nggak tahu. "Nah, sekarang kamu coba." Perintahnya. Ia menggerakkan tangan mungil Naruto mengikuti gerakan Obito membuat segel.
"OBITO..!" Raung Shisui.
"Ups, ketahuan." Katanya sambil nyengir dan lalu mendudukkan Naruto di karpet. "Coba ulangi lagi," ujarnya untuk menggoda Shisui.
"K-kau.. Minta dihajar rupanya." raungnya. Tanpa basa- basi menyeret Obito dan melakukan penganiayaan di ruangan sebelah. Biar Naruto nggak lihat. "Jangan ngajarin yang aneh-aneh! Dia itu hanya bayi. Umurnya baru enam bulan lewat dua minggu." Omelnya.
"Ampun...!" teriak Obito merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Shisui itu memang masih Genin, tapi ia sudah layak dipromosikan menjadi Chuunin. Tenaganya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di lain tempat, di waktu yang sama, Fugaku hanya bisa geleng-geleng kepala, sudah biasa dengan kegaduhan tetangganya. 'Yang satu annoying. Yang satunya lagi maniak kemeriahan. Kalau disatukan pasti rusuh, dech.' gerutunya dalam hati. Shisui sebetulnya orangnya kalem dan irit kata. Tapi, jika didekat Obito, ia berubah jadi kompor meleduk. Ada aja yang bikin ia berteriak gaje seperti chearleader, mengganggu indra pendengaran tetangganya.
'Gini nih akibatnya kalau dekat dengan Minato. Jadi ketularan aneh,' tuduhnya dalam hati. Bayangkan! Ia baru sebentar menjabat sebagai hokage, tapi Konoha sudah panen besar-besaran shinobi ajaib bin ababil yang kewarasannya patut dipertanyakan. Maito Guy adalah produk terbaiknya. Nomor duanya Obito. Dan, ia telah menularkan ajaran sesatnya pada Shisui membuat Shisui ikut-ikutan aneh.
'Untung Itachi tidak ikut-ikutan gila.' Puji syukurnya dalam hati. Meskipun berteman dengan Shisui dan Obito, ia tidak ketularan sinting seperti mereka Ia Uchiha sejati, yang tetap kalem dan pantang berteriak ababil seperti Shi...' Tiba-tiba terdengar suara,"GYAaa...!" menggelegar hingga dinding rumahnya bergetar.
"Uhuk!" Fugaku tersedak oleh minumannya. Tehnya tumpah hingga mengotori hakamanya. 'Astaga! Itachi.. Kenapa kau ikut-ikutan ketularan?' Sesalnya dalam hati.
"SASUKE!" Kembali terdengar teriakan.
Fugaku yang jengkel langsung bangkit dari duduknya dan mendatangi asal suara. Suara langkah kakinya terdengar berat dan lebar. Suaranya agak kasar, saat ia berkata, "Ada apa Itachi? Kenapa kamu teriak tidak jel.. as. Astaga! Sasuke..." Fugaku terkejut, mendapati anak bungsunya sedang duduk di atas pagar rumah sambil mengayun-ayunkan kaki mungil gemuknya."Kenapa Sasuke bisa ada di situ?" Nada suaranya cukup tinggi, tapi tidak setinggi sebuah jeritan.
Itachi yang sedang setengah memanjat, menoleh ke belakang. "Tidak tahu otou-san. Tadi, aku pergi sebentar karena kebelet. Sampai sini, Sasu sudah ada di sana."
"Haah.." gumam Fugaku terheran-heran. Sasuke itu masih bayi, kan? Umurnya baru 9 bulan, kan? Lalu kenapa ia bisa memanjat dinding pagar setinggi orang dewasa? Gimana caranya coba? Ia geleng-geleng kepala, tak habis pikir. Sasuke itu memang badung bin ajaib. Ada aja ulahnya yang bikin orang jadi nano-nano. Manis, pedas, asam, dan asin, campur aduk.
"Otou san. Lihat!" Pekik Itachi membuyarkan lamunan muram Fugaku. Ia menunjuk pada Sasuke yang kini tubuhnya oleng ke kiri, seperti mau jatuh ke halaman sebelah.
Fugaku bergegas meloncat ke atas pagar dengan lincah dan keeleganan yang patut dipuji. Ia  meraih Sasuke dalam gendongannya. "Sasu-chan mau ngapain di sini?" Tanyanya dengan suara lembut pada Sasuke.
Sasuke meronta-ronta, menolak digendong. "Tou tou. As as as. Att... Na.. Na.. atit." Celotehnya tidak jelas.
Fugaku menatap anaknya bingung. Ia memang tak pernah ngerti bahasa bayi. Ia menoleh pada Itachi. "Dia ngomong apaan, sih?"
"Ia bilang, 'Tou san lepas. Naru-chan sakit.' Begitu."
"Eh," Lagi-lagi Fugaku dibuat terkejut. Putra bungsunya walau masih bayi, ternyata ia sudah mengerti tentang perasaan melindungi. Btw, Sasuke tahu nggak ya kalau Naruto itu laki-laki. Kalau nggak tahu bisa bahaya nih... Bisa jadi LGBT. 'Ah, ia pasti tahu. Mereka kan sering mandi bareng.' Pikirnya PD, seakan-akan ia sudah ngajarin anaknya tentang gender, padahal enggak pernah.
"Baiklah, otou-san akan bawa kamu ke sana! Tapi janji..."
Sasuke menatap ayahnya dengan wajah polosnya. "Nji?"
"Janji itu artinya kau akan melakukan apa yang kau janjikan walau apapun yang terjadi. Otou-san mau Sasu-chan berjanji."
Sasuke tak mengerti ucapan ayahnya. Ia menelengkan kepalanya bingung.
"Tou-san ingin kamu tidak naik pagar ini tanpa orang dewasa seperti aku, ibumu, atau anikimu di sisimu. Jangan ngelakuin kayak gini lagi! Ngerti!"
Sasuke belum ngerti, tapi jika dengan berjanji ia akan diajak ketemu Naru-chan, ia setuju. "Nji."
"Bagus. Nah, sekarang kita ke sana." Fugaku membetulkan gendongannya lalu meloncat turun dari atas pagar, diikuti Itachi yang turun dengan susah payah. Bajunya sedikit sobek karenanya.
Dengan sopan, ia mengetuk pintu rumah Shisui. Tok... tok.. tok...! "Permisi."
"Masuk saja, nggak dikunci ji-san." Seru Shisui dari dalam rumah. "Ada apa ini? Tumben ji-san datang berkunjung jam segini.
Bukan Fugaku yang menjawab, namun Sasuke. Ia meronta minta turun. Dengan penuh semangat, ia merangkak menghampiri Naruto. "Na..atit?" Tanyanya. Tangan mungilnya meraba-raba kepala, kaki, dan tangan, memeriksa mana yang sakit.
Naruto yang matanya sayu karena kantuk kini terjaga. Safir membola cerah karena ada teman mainnya. "Da da bu bu augh..." balas Naruto.
"Na ngan .. Cuke," kata Sasuke penuh sayang sambil mengusap kepala Naruto membuat bayi pirang itu tertawa terkekeh-kekeh. Pipi Sasuke merona tidak jelas.
Tiga orang penonton facepalm. Itu duo bayi lagi ngapain ya? Melakukan konferensi? Konsultasi? Atau, interograsi? Fugaku melihat Shisui, bertanya dengan bahasa isyarat. Shisui menowel Itachi. Itachi melihat keduanya. "Apa?"
"Kau ngerti mereka lagi ngomong apa?" Bukan Fugaku dan Shisui yang bertanya, melainkan Obito yang gabung belakangan. Tadi saat Fugaku dan Itachi datang, ia sedang di kamar mandi.
"Oh, itu." Gumam Itachi. "Naru-chan lagi cerita, kalau Obito menjahatinya. Lagi. Dan, Sasuke bilang, tenang ada aku. Aku akan menjagamu dari cengkraman monster jahat itu."
"Siapa yang kau sebut monster,Bocah." Geram Obito. Matanya. Melotot galak pada Sasuke. Dan,  Sasuke yang tidak terima balas menggigit kaki Obito sekuat-kuatnya hingga memar dan sedikit berdarah.
'Ni orang kapan insyafnya. Bayi kok diajak musuhan. Dasar sinting.' pikir Fugaku.
'Bagus Sasuke. Gigit saja dia. Biar tahu rasa.' Batin Shisui.
Itachi nggak mikir apa-apa. Namun, wajahnya tampak prihatin dengan kelakuan adiknya.
Di tengah malam buta, Obito merenungi nasib sialnya. Apa aku memang dikutuk untuk selalu tidak beruntung jika berhubungan dengan bayi? Itu pikirannya jeleknya yang bicara. Jika ia bisa berfikir jernih, ia pasti tahu kenapa ia selalu gagal dengan SasuNaru baby. Niatnya aja udah jelek, tidak tulus. Bayi juga tahu mana yang tulus sama dia dan mana yang punya maksud tertentu yang tidak baik.
"Tapi, kenapa aku merasakan cakra asing yang keluar dari tubuh Naruto saat aku mengajarinya membuat segel, ya? Itu jelas bukan cakra Kyuubi dan bukan pula cakra Naruto. Itu cakra..." Obito mendadak merasa kerongkongannya kering. "Itu cakra... Tapi, itu tidak mungkin. Dia kan.. sudah..." gumamya tidak karuan. Matanya terbelalak ngeri. Tiba-tiba, ia merasakan bulu romanya meremang. Ia merasakan cakra asing dari kamar Naruto. Dengan langkah halus dan senyap, ia pun ke kamar Naruto.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar