Shisui menggigit bagian
dalam mulutnya hingga bibirnya terlihat mengerucut. Jika ia tak
menggigit mulutnya, mungkin saat ini ia sudah lepas kendali dan lalu
menangis. Ia laki-laki dan sudah gedhe, sudah tidak pantas di usianya
ini menangis. Meskipun kondisinya saat ini -hatinya ngilu oleh rasa
sakit yang tajam- menuntutnya untuk menangis sambil berguling-guling.
Akan tetapi, ia pria dan ia dituntut dewasa, sehingga ia menekan jiwa
lemahnya itu. Ia menguatkan mentalnya dan berusaha tegar menghadapi
kenyataan pahit ini.
Pufff...
Terdengar
suara kurang ajar menyapa gendang telinga Shisui. Ia tak perlu menoleh.
Ia sudah tahu siapa yang sedang tertawa bahagia di atas penderitaannya .
Siapa lagi kalau bukan kakak sepupunya yang 'Tersayang?' pakai tanda
tanya yang duduk di sampingnya ini. Kakak sepupunya ini memang bastard
tulen, paling demen melihatnya menderita. Alih-alih menghibur adiknya
yang sedang lara, ia justru menaburi lukanya dengan garam dan cuka.
Shisui melirik tajam dan
dengan gerakan cepat menendang kaki Obito. "Adududuh!" Pekik Obito
berusaha menyelamatkan kakinya dari tendangan maut si dedek. Tak sampai
di situ saja, pinggang Obito tak lepas dari sambitan dan cubitan sang
adik. Antara geli dan nyeri bertumpuk jadi satu membuat Uchiha wannabe ini jatuh dari tempat duduknya. "Ampun Shisui-chan. Ampun!" Ratapnya dengan mata yang berkaca-kaca dan innosen, berusaha meniru style Naruto yang imut. Tapi, itu malah membuat Shisui kalap dan kian gencar menyerangnya.
"Sudah Shisui, sudah. Akuhhh menyerahhh." Kata Obito susah payah dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Makanya, jadi orang jangan jahat." Omel Shisui akhirnya melepaskan sang kakak sepupu.
"Mulut ya mulut! Tolong
dong dijaga dikit! Seenaknya saja ngomong. Main fitnah orang. Dari tadi
kan kamu yang melakukan kekerasan, kenapa malah aku yang dicap jahat?
Dasar tak tahu malu!"
"Tawamu itu lebih jahat dari pukulanku."
Sudut mulut Obito
berkedut. Ada rasa bahagia dalam hatinya, karena ia berhasil menggoda
Shisui. Lagi. Biar memar di sana-sini, yang penting hatinya happy. (Di
luar dugaan, Obito ternyata pengidap kelainan psikologis : Masokis.)
"Siapa bilang? Ngawur tuch. Yang benar, senyum itu ibadah."
Katanya sok bijak, padahal tampangnya kelihatan banget antagonisnya.
Katanya sok bijak, padahal tampangnya kelihatan banget antagonisnya.
"Tergantung."
"Tergantung apaan?"
"Sikon. Situasi dan
kondisi. Yang kau lakukan ini, namanya mengejek bukan menghibur.. Orang
lagi berduka, kau malah ketawa-tawa bahagia."
"Berduka? Emang apa yang mau membuatmu sedih? Ngomong dong sama kakak." Ujarnya sok bijak yang justru membuat Shisui jijik.
Shisui melotot kejam.
Tangannya gatal untuk menggeplak kepala kakaknya yang kepekaannya minus
itu. 'Badan aja gedhe. Tapi, mental tempe.' Hinanya dalam hati, jengkel
pada Obito.
"Shisui-chan! Wadow!" Jeritnya merasakan nyeri akibat dianiaya Shisui.
"Jangan tambahkan suffiks 'chan! Jijay dengarnya."
"Ukh oke. So..., apa yang membuat dedekku sayang, Shisui-chan sedih?"
Wajah Shisui kembali murung, dengan sengaja mengabaikan suffiks imut yang diimbuhkan di belakang namanya oleh Obito. "Aku sedih karena sebentar lagi harus berpisah dengan Naru-chan."
Hahhh..., Obito menghela
nafas panjang. Wajahnya ikut muram. Meski Naruto sering menggigiti
kakinya, mengileri bajunya, ngebom pula di bajunya tiap kali mereka
bersama, tak bisa dipungkiri, jika ia pun sangat menyayangi Naruto.
"Yang sabar ajalah. Percayakan semuanya pada Hokage ketiga. Beliau pasti
akan mengambil keputusan yang terbaik untuk Naru-chan." Hiburnya
.
.
"Mudah ngomongnya. Tapi,
kan sulit ngelakuinnya." Nada kekanakan keluar dari bibir Shisui.
Tekadnya untuk jadi pria dewasa dan cool tenggelam di laut.
"Ya mau gimana lagi. Sudah terlanjur."
"Sebenarnya, apa sih rencana Minato-sama? Ia ikhlas nggak sih ngasih Naruto pada kita?" Tanya Shisui curiga.
Wajar jika ia mencurigai
Minato, karena ia lah yang membuat kekacauan di rumahnya kemarin malam.
Kehadiran bayi-bayi sial itu di rumahnya, bukanlah sebuah kebetulan
semata, melainkan bagian dari rencana licik Minato. Jika mereka tidak
mengacau, tragedi itu tak akan terjadi. Rumahnya akan tetap utuh. Tidak
hancur seperti sekarang. Sial. Seandainya saja ia tak terbujuk oleh
mulut manis Minato-sama, ia pasti tak akan berada dalam posisi sulit
seperti ini. Ia akan tetap berbahagia dengan Naruto di sisinya. Tapi..,
terlambat. Nasi sudah jadi bubur, tak mungkin jadi nasi lagi.
"Shisui-kun!"
Shisui tahu siapa yang
memanggilnya, tapi ia tak mau menoleh. Ia justru melengos, acuh tak
acuh. Biar dibilang kekanakan, ia tak perduli. Emang ia masih usia
anak-anak kok. Ia sedang marah dan ia butuh pelampiasan agar tidak
meledak.
"Aku tahu kau marah, tapi ini demi kebaikan Naru-chan."
"Maksud Minato-sama aku
tak cukup baik merawat Naruto? Aku memang masih anak-anak, tapi aku bisa
jadi kakak, ayah, dan sekaligus ibu untuk Naruto." Matanya menatap
nyalang tubuh transparan Minato.
"Aku tidak meragukanmu."
"Lalu... Lalu, kenapa Minato-sama ingin memisahkan aku dengan Naruto?" Teriak Shisui.
"Tidak Shisui-kun. Sebaliknya, aku ingin memberi hak asuh Naruto penuh padamu."
"Omong kosong apalagi
itu?" Tukas Shisui. "Setelah kejadian kemarin malam, tak mungkin mereka
mempercayaiku. Mereka.. hik hik hiks pasti menarik Naruto." Imbuhnya
sambil terisak-isak. Pecah sudah tangisnya.
"Tidak. Itu tak akan terjadi. Percaya padaku." Kata Minato sebelum tubuhnya menghilang.
Shisui menoleh pada Obito yang dibalas dengan gelengan oleh Obito. "Aku sama tidak tahunya denganmu. Wait and see ajalah. Aku pergi dulu. Ada kencan."
Alis Shisui mencuat naik. "Kencan? Gadis sinting mana yang mau kencan denganmu?" Hinanya.
"Jangan menghina Naru-chanku!" Sergah Obito pura-pura marah untuk mengalihkan kesedihan Shisui.
"Naru-chan? K-kau mau kencan dengan Naru chan?"
"Iya. Hari ini kan jadwal posyandunya Naru-chan."
"Oh, God! Aku lupa.
Tunggu aku!" Pekiknya buru-buru pergi ke kamar untuk bersiap-siap. Ia
membuka pintunya sedikit, menyembulkan kepalanya. "Jangan pergi sebelum
aku siap!" Ujarnya kilat.
Obito tertawa
terkekeh-kekeh. Ia senang akhirnya Shisui ceria lagi. Meski sering
mengusili Shisui, Obito sebetulnya sayang banget dengan Shisui. Ia mau
berkorban apa saja demi melihat dedeknya itu tersenyum.
Seharusnya, Shisui bahagia karena bisa melewati quality timenya
dengan Naru-chan tersayang. Tapi, gara-gara para ibu-ibu sialan berotak
dungu bin sempit, mood baiknya hilang sudah. Jadi begini kejadiannya.
Di Posyandu
Shisui datang bersama
Obito sambil menggendong Naruto. Adiknya terlihat senang. Buktinya ia
berceloteh sepanjang jalan. Tangannya ikutan bertepuk tangan dengan
hebohnya. Tapi, begitu sampai di ruang pelayanan posyandu Naruto
mendadak muram. Ia terlihat takut hingga ia menyembunyikan wajahnya ke
dalam dada Shisui, kakaknya. Shisui yang baru pertama kali membawa
Naruto ke posyandu bingung. 'Ada apa dengan Naru-chan?' Batinnya.
Kepala Shisui terangkat.
Ia merajut kedua alisnya. Kerut di dahi menyusul. 'Pantas saja.'
Batinnya. Rupanya, Naruto takut pada tatapan menusuk para ibu yang
tertuju padanya. Sudut mata Shisui menyipit, mengirimkan Deathglear pada ibu-ibu yang sedang membawa balitanya ke Posyandu.
'Huh! Dasar makhluk
dangkal!' Hinanya dalam hati. Hanya karena kesedihan akibat ditinggalkan
orang tersayang, mereka jadi buta. Tidak punya otak. Memang hanya
mereka sendiri yang kehilangan orang tercinta? Memang hanya mereka
sendiri yang dilanda kemalangan dan duka pasca invasi Kyuubi ke Konoha?
Di atas semuanya, Narutolah yang pantas mendapat gelar makhluk paling
malang.
Naruto baru lahir ke
dunia, belum mengerti isi dunia, pada saat kedua orang tuanya tewas jadi
tumbal Kyuubi, rumahnya rata dengan tanah. Tragisnya lagi, ia tak punya
kerabat handai taulan. Betul-betul hidup sendiri di dunia ini. Dan,
kini ia masih harus dihukum menanggung seluruh kebencian para penduduk
desa untuk sesuatu yang bukan kesalahannya? Kau tahu apa itu namanya?
Itu keji. Hanya kegilaan yang menyebut seorang bayi yang innosen sebagai monster. Jika bayi disebut monster, lalu penjahat disebut apa?
Shisui mendesah. Ini
yang tidak disukainya dari para penduduk awam. Mereka mudah disetir
opininya, karena umumnya mereka bertindak berdasarkan emosi bukannya
akal sehat. Jika akal sehat yang jadi tuan mereka, tentu mereka bisa
memisahkan antara Host Kyuubi dengan Kyuubi, karena pada dasarnya mereka subyek yang berbeda.
Shisui larut dalam
lamunannya, menyumpah serapah. Dalam otaknya, ia sudah mengikat para ibu
dangkal itu ke tiang, menyumpal mulut mereka dengan kaos kaki Obito
yang dijamin mutlak super duper bau karena tidak dicuci selama setahun,
dan lalu memarahi mereka dengan ganas. Saking khusyuknya melamun, Shisui
lupa mengambil nomor antrian. Terpaksa, Obito yang mengambil alih
keadaan. Ia mengambil nomor dan melihat saat ini urutan ke berapa.
Setelah tahu, waktu tunggunya masih lama, Obito menarik Shisui ke
ruangan bermain anak sambil untuk istirahat. Ruangan yang awalnya ribut
seperti pasar, langsung senyap hingga suara detak jantung pun terdengar.
Tanpa diusir, para ibu
pergi membawa anaknya masing-masing ke luar ruangan. Shisui dan Obito
mengabaikannya. Obito langsung PW di atas kursi panjang. Tak butuh lima
menit, suara deru nafas teratur pun terdengar. Obito sudah terbang ke
alam kapuk. Shisui hanya geleng-geleng tampan akan kelakuan kakak
sepupunya itu. Ia mengalihkan perhatiannya pada Naruto. Dengan
hati-hati, ia meletakkan Naruto ke atas karpet. Ia mengeluarkan mainan
kesukaan Naruto yang sengaja ia bawa dari rumah.
Begitu melihat
mainan-mainan kesayangannya, ekspresi Naruto langsung berubah baik.
Wajahnya tampak bahagia. Suara celoteh bayinya kembali terdengar. "Mmm
chhhh bububu kkaa.." Shisui tersenyum sambil sesekali mencuri satu dua
kecupan di pipi tembemnya, pura-pura paham akan ucapan adiknya. Padahal
asli, nggak ngerti sama sekali. Menurutnya, untuk memahami bahasa bayi
itu butuh bakat khusus. Tidak sembarang orang memilikinya. Hanya
segelintir orang yang bisa. Dan, Shisui tidak termasuk segelintir orang
yang beruntung itu.
"Wah, Naru-chan juga di sini." Tegur sebuah suara terdengar riang.
"Buuu.... Naaluu" timpal suara imut lainnya.
Kepala Shisui mendongak.
Matanya menangkap siluet tubuh seorang bayi tambun yang tubuhnya penuh
lemak. Ia sedang digendong oleh seorang wanita dewasa yang juga bertubuh
subur, sama seperti anaknya. "Oh, Choji-chan dan Nyonya Akamichi-san!
Selamat datang!" Sapa Shisui ramah. Ia memberi tempat pada ibunya Choji
di sebelahnya. Meskipun keluarga Choji masuk kategori rivalnya, ia tetap
menghargai keluarga yang semuanya bertubuh endut itu. Mereka baik pada
Naruto dan tidak memiliki sentimen negatif padanya, sehingga Naruto dan
Choji bisa berkawan baik.
Lima menit kemudian,
keluarga Kiba menyusul. Ia digendong ibunya. Naruto bertambah bahagia.
Ia tak hanya memiliki dua teman bermain, ia juga bisa berbaring-baring
sembari memainkan bulu lembut Kuro, anjingnya ibunya Kiba. Ketiganya
tampak akur. Bermain dengan damai sampai badai melanda. Bayi Termalas
dan sekaligus Terjahat datang tak diundang. Dengan seenaknya, ia
menyingkirkan Choji dan Kiba. Menganggap keduanya pengganggu
kebersamaannya dengan Naru-chan.
Shikamaru begitu datang
langsung menjejali Choji roti -Shikamaru sedang murah hati- ke mulutnya
agar ia sibuk makan, alih-alih bermain dengan Naruto. Sayang, rotinya
abis diileri Shika, terus jatuh dan guling-guling ke tanah entah sudah
ditempeli partikel jahat apa aja, sukses membuat mulut Choji berlepotan
tanah. Ibunya yang panik langsung membawa Choji pergi entah kemana dan
tidak balik-balik lagi, yang tidak disesali Shikamaru sedikit pun.
Sedangkan Kiba, well
ia pergi dengan kesadaran sendiri. Bukan karena terintimidasi oleh aura
Shikamaru yang suram dan angker, namun karena adanya Sasuke di
belakangnya. Berbeda dengan Shikamaru yang berakting antagonis sejati.
Ekspresi Sasuke tampak lugu penuh cinta. Tapi, saat mulut kecilnya
membuka, Kiba tahu itu hanya kedok. Sejatinya, Sasuke lebih jahat dari
Shikamaru. Ia dengan tega mengubah bulu Kuro jadi keriting dan berwarna
pink norak. Ada bando imut di kepalanya. Sebagai anjing ninja yang penuh
dengan kebanggaan, Kuro jelas merasa terhina.
"Kaingg..! Kainggg... kainggg..." jeritnya sambil berlalu pergi.
"Kaingg..! Kainggg... kainggg..." jeritnya sambil berlalu pergi.
"Pa pa pa..ge
ge..ge....!" Celoteh Sasuke tampak sangat bahagia. Rencana kriminalnya
berjalan sukses. Entah ide murni sendiri atau ada yang ngajarin, hanya
Sasuke, author, dan Kami-sama yang tahu.
Para ibu -Yoshino dan
Tsume- melongo. Ekspresi bodoh tercetak pada wajah mereka, terlalu
tercengang dengan kejadian barusan. Astaga! Itu...itu Sasuke yang buat?
Kok bisa? Ia baru berumur satu tahun kan? Keduanya masih belum percaya
dengan peristiwa yang lalu. Diam-diam, Yoshino menyimpan rasa lega.
Sejahat-jahatnya Shikamaru, setidaknya tingkah lakunya masih normal.
Kejahilannya masih dalam batas-batas wajar untuk ukuran balita. Tidak
seperti Sasuke. Kriminal sejati.
Itachi selaku yang
membawa Sasuke membatu di tempat. Syok berat. Untungnya, ia cepat sadar.
Ia buru-buru membungkuk 90° di hadapan Tsume, ibunya Kiba. "Maafkan
otouto saya, ba san." Katanya penuh sesal. Bocah yang diprediksi akan
jadi pria terganteng se-negara Hi pujaan kaum Hawa ini dipenuhi perasaan
bersalah dan juga malu.
Tsume menanggapinya
dengan acuh tak acuh. "Ah, tak apa-apa. Namanya juga balita." Ujarnya
santai. "Itu tak berarti apa-apa bagi Kuro." Imbuhnya.
Hati Itachi tergores
ngilu. 'Tidak apa-apa gimana?' Batinnya resah. Bulu Kuro sampai keriting
lho setelah disembur dengan bola-bola api oleh Sasuke. Mana warna
bulunya diubah pula. Itachi pun tenggelam dalam emosinya. Di satu sisi,
merasa sedih karena adiknya tidak lagi imut bin polos. Di sisi yang
lain, ada rasa bangga. Masih balita, tapi sudah bisa melakukan katon no jutsu, meskipun ukurannya masih sangat mini. Kalau ayahnya tahu, beliau mungkin bakal kayang semalaman.
Shisui meringis. Iyuh.
Usap-usap dahi. Adiknya Itachi memang 'Sesuatu'. Ia kini melihat Sasuke
dengan cahaya baru. Satu kata untuk menggambarkan Sasuke, jahat. Dua
kata, kamu jahat. Tiga kata, kamu jahat sekali. Otak kriminalnya itu
lho, luar biasa. Sadis. Madara mah lewat
.
.
Tanpa ia sadari, sudut
mata Shisui melirik punggung Shikamaru yang tengah sibuk menemani Naruto
bermain. 'Yang di sana juga berpotensi jadi The King of Devil.'
Pikirnya. Bedanya, si Nara lebih bijaksana untuk tidak memamerkan
kegeniusannya dalam melakukan tindak pidana kejahatan. Ia
mengklamufasekannya dengan tindakan impulsif bin ceroboh ala balita
sehingga orang-orang menganggapnya sebagai kejahilan balita biasa.
Bukannya kriminalitas yang terencana rapi. Satu kata untuk Shika, Licik!
Obito yang tadi
berenang-renang di pulau kapuk mendadak bangun. Dengan mata setengah
terpejam dan tanpa peringatan, ia meraih tubuh mungil Naruto dan
menggendongnya di pinggang seperti menggendong kayu bakar. Shikamaru
bergelantungan di kaki Obito. Ia terbawa karena mengikuti Naruto. Sasuke
tak mau ketinggalan. Ia langsung menaiki kakaknya dan menyeretnya untuk
mengikuti rombongan Naruto. Shisui dan Yoshino yang tertinggal hanya
melongo. Lagi. Astaga! Itu tadi apaan ya? Dunia semakin aneh saja.
Shisui dan Yoshino akhirnya mengikuti Naruto, tak mau ketinggalan momen
berharga.
Di sana, dalam gendongan
Obito, Naruto memberontak. Ia benci orang-orang dewasa berbaju putih
dan berbau obat. Mereka jahat. Suka menyuntik tubuh Naru. Kan sakit.
"Ndak... to to.. ka ka.. nii... nii.." Celotehnya disertai isak tangis.
Shikamaru yang sedang
digendong ibunya mengusap-usap kepala Naruto lembut, agar adiknya
tenang. Ia tahu disuntik itu sakit. Tapi, kata ka sannya, suntikan itu
baik untuk kesehatan agar tidak gampang sakit. Kata ka sannya sakitnya
hanya sebentar, tapi manfaatnya sampai besar. "To to da.. da.."
hiburnya.
Shisui nyengir bingung.
Refleks, ia menoleh pada Itachi menganggapnya pakar bahasa bayi. "Ia
bilang. Jangan nangis! Sakitnya hanya sebentar. Hanya seperti digigit
semut." Jawab Itachi yang menuai pujian setinggi langit oleh Shisui. Ia
bahkan berencana mempekerjakan Itachi sebagai babysister Naruto.
Jika Itachi tahu apa
yang dipikirkan sahabatnya, ia pasti muntah darah karena marah. Apalagi
jika diketahui Fugaku? Beuh..! Shisui bisa diuber-uber keliling kampung.
Masak calon shinobi hebat seperti Itachi turun pangkat jadi babysister?
Itu pemborosan sumber daya namanya. Menjaga Sasuke sih ia nggak
keberatan, karena Sasuke adik kandungnya, tapi Naruto kan orang luar.
Banyak pengasuhnya pula.
"Huwee.. ungg...
Nii..nii.." jerit Naruto meronta-ronta tak mau disuntik hingga Obito
kuwalahan. Pipi tembemnya sudah basah oleh air mata.
Sasuke yang dari tadi
diam melihat tingkah ShikaNaru, tiba-tiba maju. Mata bundarnya menonjol
seolah mau lepas dari soketnya. Ia mamerkan dua pasang giginya yang
kebetulan gigi taring pada Naruto. Niatnya mau melucu untuk membuat
Naruto terhibur. Yang ada, Naruto malah syok, teringat waktu kepalanya
digigit Sasuke. Saking syoknya, ia sampai lupa sedang menangis. Ia
bahkan nggak nyadar sudah disuntik ibu bidan.
'Monster,' batin Shisui dengan hati doki-doki.
'Gigi piranha emang tidak ada duanya. Jaminan mutu." Batin Obito mengejek Sasuke.
'Fiuh! Ku pikir anakku
yang paling seram se-Konoha. Untunglah bukan.' Batin Yoshino sujud
syukur dalam kepalanya. Dibandingkan dengan Sasuke, Shikamaru jelas
kalah saing. Jika Shikamaru titisan setan, Sasuke jelmaan Raja Yama.
Dijamin bikin nangis terkencing-kencing.
'Sasuke...???' Ini pikiran Itachi yang nano-nano. Manis, pedas, asin, asem, dan pahit. Gado-gado rasanya.
Apapun pikiran mereka
tentang Sasuke, faktanya Sasuke sudah membantu para bidan menyelesaikan
tugasnya, yakni menyuntik Naruto, pasien terakhir mereka.
Di waktu yang sama dan
di tempat yang berbeda, jauh di dalam gedung hokage para tetua
berkumpul. Udara berat memenuhi tiap inci ruangan. Keempat para tetua
bersitegang untuk menentukan, siapakah yang akhirnya berhasil
mendapatkan hak asuh Naruto?
TBC
seru deh kak bacanya
BalasHapusal mulk