Yoshino seorang ibu muda
yang beruntung. Ia baru saja dianugerahi seorang anak laki-laki yang ia
beri nama Shikamaru. Bayinya cukup tampan dan sudah memiliki ciri-ciri
seorang Nara yakni wajah yang maskulin, janggut yang runcing, mata yang
agak sipit sayu mirip mata orang ngantuk namun cerdas, dan model rambut
yang menyerupai ayahnya. Sungguh, Shikamaru seorang Nara sejati. Hanya
satu kekurangan Shikamaru, yakni... Shikamaru memiliki wajah yang tidak
imut.
Wajah Si kecil Shikamaru
seperti wajah orang dewasa yang terjebak dalam wujud bayi. Ekspresinya
itu lho, selalu saja muram, sinis, dan tidak ada imut-imutnya. Apalagi
menggemaskan ala-ala bayi. It' so far. Itu membuat siapapun yang melihat
Shikamaru tidak akan menjerit jingkrak-jingkrak karena gemas. Yang ada,
mereka malah menjauhi karena tak ingin tertular aura kelam Shikamaru.
'Masih bayi kok udah suram. Gimana gedhenya,' batin mereka sambil
bergidik, iba pada anak pasangan Shikaku-Yoshino.
Selain kekurangan dalam
hal wajah, Shikamaru juga mewarisi watak pemalas ayahnya. Haaahh....
Yoshino menghela nafas. Ia juga bisa mati bosan jika harus menunggui
babynya yang sepanjang waktu tidur terus. Malam hari tidur. Bangun
sebentar, mandi lalu tidur. Agak siang, bangun karena BAB, ganti popok,
tidur lagi. Begitu seterusnya. Pekerjaan Shikamaru adalah tidur, tidur,
dan tidur. Mimik susunya pun sambil tidur. Itu pun harus dipaksa ibunya.
Haahhh..., sungguh bayi yang pemalas.
Di samping sifat malas,
Shikamaru juga memiliki karakter yang unik. Shikamaru tidak seperti bayi
normal lainnya yang gemar menangis jika menginginkan sesuatu atau
lapar. Shikamaru mengekspresikannya dengan aksi diam. Ngompol hingga
popoknya tembus, diam. BAB diam. Lapar diam. Mau susu diam. Tidak suka
pakaian yang dikenakan diam. Air mandinya kurang hangat, diam. Diciluk
bak sampai bibir jontor pun Shikamaru tak bergeming, tetap saja diam.
Dikelitikin pun tidak mempan, masih saja diam. Bahkan sampai jatuh sakit
pun, Shikamaru masih memilih diam. Hadeuh. Entah karena dia ini bayi
tipe pendiam atau bayi pemalas tingkat dewa yang saking malasnya,
bersuara pun malas.
Ibunya jelas khawatir
bukan kepalang dengan keunikan bayinya itu. Takut macam-macam. Takut
anaknya bisu. Takut anaknya autis. Takut anaknya idiot. Takut mental
anaknya terganggu dan berbagai ketakutan lainnya, membuat ibu muda satu
anak ini tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Selalu saja gelisah
memikirkan ketidak normalan putranya.
Berbagai cara sudah
Yoshino lakukan untuk menormalkan perilaku anaknya, dari yang wajar
sampai yang gila. Mengajak bayi bicara sudah. Bukannya berhasil, Yoshino
malah dicap gila karena bicara sendiri. Mana dikacangin dan ditinggal
tidur anaknya pula. Iyuh... ngenesnya.
Tak putus asa. Yoshino
memancing kecerdasan language anaknya dan jiwa sosialnya dengan cara
mengakrabkanya dengan sesama balita anak temannya. Dan hasilnya
kwak...kwak.... sangatlah mengecewakan.
Waktu dideketin dengan
Ino anak Inoichi rekan setim suaminya, Shikamaru menjejalkan kedua kaki
gemuknya ke mulut Ino hanya karena ia terganggu oleh suara tangisan Ino
yang melengking tinggi. Kasihan bayi cantik malang itu. Ino sampai
tersedak, kehabisan nafas gara-gara ulah Shikamaru. Sejak itulah, pintu
rumah Inoichi tertutup untuk Shikamaru. Di mata Inoichi, Shikamaru tak
ubahnya bayi monster yang mau merenggut nyawa putri kesayangannya.
Lain Ino, lain pula
Choji, putra Chouza yang juga masih rekan setim suaminya. Choji
sebetulnya bukanlah bayi cengeng yang gampang menangis seperti Ino.
Choji cukup anteng selama ada makanan di mulutnya. Saking hobinya makan,
tangan si bayi nyaris tak pernah kosong. Itu bukan masalah sebetulnya.
Sampai suatu hari Choji kehabisan stok makanan, sedangkan ibunya belum
juga datang memberinya camilan.
Choji yang kelaparan
resah, bergulung-guling hingga tidak sengaja mengganggu tidur cantik ah
salah tidur gantengnya Shikamaru. Shikamaru yang marah, entah bagaimana
berhasil melepas popoknya yang penuh ompolnya ke mulut Choji. Gilanya,
Choji bukannya melepasnya malah dikunyah-kunyah layaknya kudapan. Euy..,
sungguh pemandangan yang menjijikan. Untung isinya hanya ompol. Bisa
gawat kan kalau ada bekas BAB nya pula. Please jangan dibayangin ya!
Njijiki.
Karena strategi berteman
gagal, Yoshino mencoba cara gila. Yoshino melempar balitanya dari
lantai dua agar putranya menangis layaknya bayi normal. Tapi, Shikamaru
masih juga tidak menjerit ataupun menangis. Bersuara aja enggak. Ia
hanya menatap sayu ibunya yang menjerit-jerit panik. Untunglah, Shikaku
datang tepat waktu. Shikamaru berhasil diselamatkan dengan Kagemane no
jutsunya. Kalau tidak entah apa yang terjadi.
Semenjak itu, Yoshino
menyerah. Ia kapok. Ia membiarkan saja perilaku aneh anaknya. 'Nanti
juga sembuh sendiri,' pikirnya karena menurut psikiater, Shikamaru
termasuk bayi yang normal. Ia hanya pemalas yang saking malasnya,
bersuara pun ia tidak mau.
Lalu sesuatu berubah.
Kyuubi tiba-tiba mengamuk, menyerang desa secara membabi buta, memaksa
sebagian besar penduduk sipil Konoha mengungsi. Untuk pertama kalinya
Shikamaru menangis ketakutan. Yoshino yang melihatnya bukannya
menenangkan anaknya malah tertawa girang sambil joget-joget ababil. Ia
bahkan bersiap mau masak banyak untuk syukuran, sebelum dibentak
suaminya yang menyuruhnya bergegas mengungsi.
Namun, kebahagiaannya
tidak berlangsung lama. Sahabat baiknya, calon besannya, dinyatakan
gugur dalam medan pertempuran dan meninggalkan anak mereka yang baru
lahir untuk selamanya. Yoshino berduka pakai sangat. Ia ingat, ia
menangis seharian penuh hingga matanya sembab. "Kushina," gumamnya lirih
diantara isak tangisnya membelai batu peringatan yang tertulis nama
Kushina di dekat kuil dengan tangan gemetaran. Karena satu lain hal,
makam Kushina dan Minato terpisah jauh.
"Relakanlah dia, anata. Ia sudah damai di alam sana," hibur Shikaku.
"Aku tahu, tapi..."
Yoshino menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "....dadaku rasanya sesak.
Aku masih tak percaya, ia sudah pergi. Rasanya baru kemarin kami masih
ngobrol seru. Ketawa-ketiwi bersama sambil membicarakan perjodohan anak
kita jika anak yang dikandung Kushina perempuan. Tapi, kini... Ia
terbaring di dalam tanah, di ranjang terakhirnya yang dingin dan beku,"
Shikaku menghela nafas
muram. Bukan hanya Yoshino yang kehilangan, tapi ia juga. Ia telah
kehilangan rekan, pemimpin, dan sahabat yang baik seperti Minato.
"Jangan tangisi yang sudah mati, tapi kasihanilah yang hidup. Mereka
jauh lebih berhak menyita perhatianmu daripada yang sudah tenang di alam
sana,"
Yoshino diam menyimak.
Benaknya mencerna nasehat suaminya. Lalu, ia teringat pada anak Kushina.
Wajahnya pias. "Bagaimana dengan anaknya Kushina? Apa d-dia...?"
"Dia selamat."
"Lalu dimana dia? Siapa
yang akan merawat..." Yoshino menutup mulutnya dengan nata terbelalak.
"J-jangan bilang k-kalau Naru-chan akan diserahkan ke..." Bulir air mata
itu kembali menetes membasahi pipinya. Yoshino menggigit bibir bagian
bawahnya. "...panti," imbuhnya lirih.
"Mungkin,"
Yoshino menarik lengan
baju suaminya. "Tidak. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku tidak
rela anak Kushina di panti, sedangkan aku masih hidup." Kata Yoshino
berapi-api. "Lakukan sesuatu Shika-kun! Ku mohon!"
"Memangnya, apa yang kau inginkan? Kau ingin merawatnya?"
"Kenapa tidak? Kushina
sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Anata..." Sorot mata Yoshino
melembut, menatap suaminya penuh harap.
"Iya-iya. Aku akan mengajukan permintaan orang tua asuh pada Hokage-sama,"
"Terima kasih, Anata.
Kau memang selalu bisa diandalkan." Kata Yoshino sambil memeluk suaminya
erat, membuat Shikamaru yang ada dalam gendongannya terbangun. Mata
kuacinya menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi bosan, lalu tidur
lagi.
Sepulang dari acara
pemakaman, Shikaku mengajukan surat permintaan secara resmi. Ia tidak
sendiri. Shisui mewakili ibunya, Chouza, dan Hana yang mewakili ibunya
juga melakukan hal yang serupa. Mereka berminat merawat Naru-chan.
Khususnya Shisui yang sangat berharap membawa Naruto yang sudah diklaim
sebagai adik bayinya hari itu juga. Melihat binar di mata kelamnya,
Shikaku jadi tak tega melihat wajah kecewanya saat permintaan Shisui
ditolak.
Mereka menunggu
pengumuman sehari setelahnya. Hokage-sama memberikan mereka
masing-masing satu kesempatan untuk merawat Naruto selama sebulan. Yang
terbaiklah yang nantinya akan mendapat hak asuh Naruto sampai Naruto
cukup umur untuk hidup mandiri. Shikakulah yang mendapat giliran
pertama.
Yoshino senang bukan
kepalang saat Shikaku datang dengan membawa Naruto dalam gendongannya.
Ia segera mengambil buntalan kain yang berisi bayi dari gendongan
suaminya. Ia ciumi pipi gembil bayi berambut pirang yang diberi nama
Naruto dengan penuh sayang. Ia menciuminya bertubi-tubi hingga tubuh
mungil Naruto menggeliat tidak nyaman. Naruto pun membuka mata bulatnya,
memandang sosok wanita dewasa yang tengah menggendongnya. Mulut
mungilnya terbuka lebar, mencari sesuatu. Air liurnya keluar membasahi
baju Yoshino.
"Kau lapar, ya?" Godanya
sambil membuka kancing bajunya dan mengarahkan Naruto pada dadanya.
Naruto dengan rakus langsung menyedot susunya karena lapar. Setelah
kenyang, Naruto muntah, mengeluarkan sebagian susunya. Yoshino
membersihkan bekas muntahan itu dengan telaten.
"Kita mandi dulu ya.
Kamu bau. Bau asem dan ompol," kata Yoshino bermonolog sambil
menggendong Naruto ke kamar mandi. "Anata tolong bawa barang-barang
Naru-chan ke kamar. Aku mau memandikan Naru-chan dulu. Sudah waktunya ia
mandi,"
"Iya." Balas suaminya nurut.
"Ayo mandi," katanya
seraya membuka kain bedong yang membungkus Naruto. Ia bersenandung
sambil memandikan. Naruto kelihatan senang. Ia menendang-nendang kedua
kaki mungilnya. Air berkecipak membuat Naruto semakin girang. Yoshino
tersenyum melihatnya. 'Ini baru bayi. Nggak seperti yang ono,' batinnya
melirik putra kandungnya sendiri.
Selesai dimandikan,
Naruto dibawa ke kamar untuk Naruto dan Shikamaru. Shikamaru tampak
tidur pulas di atas futonnya. Yoshino tersenyum tipis. Ia meletakkan
Naruto yang terbungkus handuk di atas futon. Ia menggeledah tas Naruto
mencari pakaian yang cocok. "Kushina memang pintar. Bajunya lucu-lucu.
Naru-chan pasti akan tambah imut mengenakan baju-baju ini," gumamnya.
Selesai berpakaian dan
mimik susu lagi, mata Naruto sudah mulai sayu. Ia mengantuk. Bayi seusia
Naruto memang mudah ngantuk, meski tidurnya -saat siang hari- jarang
lelap. Yoshino lalu menidurkannya di samping Shikamaru. Setelahnya ia
keluar kamar untuk mengurus suaminya.
Shikamaru terbangun.
Mata kuacinya melihat sekelilingnya. 'Ada yang beda,' batinnya. Ia lalu
menangkap si pirang mungil tengah tidur di sampingnya. Shika menggeram
kesal, mengira ia si pirang yang sama yang mulutnya ia sumpal dengan
kakinya. Shika bangun dari tidurnya lalu duduk.
Mata kuacinya tak lepas dari Naruto. Kakinya menyenggol baca menyepak tubuh mungil Naruto dan membuat Naruto terbangun. Kelopak matanya membuka secara perlahan dalam gerak lambat, memperlihatkan iris bundar berwarna biru langit pada Shika. Safirnya yang bundar menatap lucu mata kuachi Shika. 'Indah,' batinnya sambil bersemu merah. Itu sesuatu paling indah yang pernah dilihatnya.
Mata kuacinya tak lepas dari Naruto. Kakinya menyenggol baca menyepak tubuh mungil Naruto dan membuat Naruto terbangun. Kelopak matanya membuka secara perlahan dalam gerak lambat, memperlihatkan iris bundar berwarna biru langit pada Shika. Safirnya yang bundar menatap lucu mata kuachi Shika. 'Indah,' batinnya sambil bersemu merah. Itu sesuatu paling indah yang pernah dilihatnya.
Mulut Naruto membuka.
Bibirnya bergetar. Sepertinya ia akan menangis. Berbeda dengan bayi
pirang sebelumnya yang suaranya cempreng menyakitkan telinga. Suara
tangisan Naruto terdengar merdu di telinga, seperti sedang menyanyi.
Shikamaru sampai terpesona.
Puk puk puk... Shikamaru
menepuk paha Naruto lembut, berusaha menenangkan Naruto. Tangannya yang
lain membelainya. Naruto merasa nyaman dan ia pun tidur lagi. Shikamaru
ikut rebahan di sebelahnya. Tangannya memeluk Naruto seolah-olah ingin
melindunginya.
Yoshino yang melihatnya
tersenyum. Tadinya ia cemas Shikamaru akan menjahati Naruto seperti ia
menjahati Ino dan Choji. Dugaannya salah. Shikamaru malah bersikap baik
dan melindungi layaknya kakak pada adiknya.
Sejak hari itu, Shika
mulai mengurangi aktivitas tidurnya. Ia bangun paling awal hanya untuk
melihat Naru-chan menggeliat-geliat lucu, menendang-nendang selimutnya,
sebelum menangis minta susu. Habis minum susu, Naruto biasanya
dimandikan. Shika akan merangkak ke kamar mandi, mengikuti ibunya untuk
melihat acara mandi Naruto. Ia akan anteng duduk di lantai kamar mandi,
bertepuk tangan dengan hebohnya dan lalu berceloteh dengan bahasa bayi,
memberi semangat pada Naruto yang tengah meronta-ronta karena tak suka
mandi.
Namun yang paling Shikamaru sukai itu setelah Naruto didandani pakai baju bayi warna oranye. Ia suka banget. Itu tontonan favoritnya. Khususnya saat rambut Naruto sudah memanjang dan bisa diikat. Naruto sungguh menggemaskan, menggoda iman untuk menowel-nowel pipinya yang gembil seperti bakpao atau menggesek-gesekkan pipinya dengan pipi Naruto.
Namun yang paling Shikamaru sukai itu setelah Naruto didandani pakai baju bayi warna oranye. Ia suka banget. Itu tontonan favoritnya. Khususnya saat rambut Naruto sudah memanjang dan bisa diikat. Naruto sungguh menggemaskan, menggoda iman untuk menowel-nowel pipinya yang gembil seperti bakpao atau menggesek-gesekkan pipinya dengan pipi Naruto.
Shika yang biasanya
tidak perduli dengan sekitar dan lebih suka tidur, berubah sikap. Ia
rela kehilangan waktu tidurnya yang berharga demi menjaga Naruto saat
ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia juga bersedia sesekali
menyanyi, menghibur Naruto saat Naruto mau menangis.
Seperti hari ini. Shika
tengah menyanyi untuk Naruto. "Nana...na.. ca..ng... mammm mamm pap
pa..." Suara Shika yang diragukan tingkat kemerduannya dan tidak jelas
terdengar memenuhi ruangan.
"Gaga..jaja...dada..." celoteh Naruto senang mendengar nyanyian kakaknya.
Kelelahan berceloteh
membuat Naruto haus. Ia tengok kanan kiri mencari wanita berbau campuran
bunga melati dan bawang yang biasanya menyusuinya saat Naruto haus.
Naruto memasukkan tiga jari tangannya ke dalam mulutnya dan mengenyotnya
layaknya mengenyot dot. Akibatnya, air liur Naruto menetes deras
membasahi bajunya. Namun, Naruto bayi tidak perduli karena ia lapar.
Sangat lapar.
Shika merangkak
menghampiri Naruto. Ia mengusap air liur Naruto dengan lengan bajunya.
"Ja naannn....." katanya lembut sambil menarik jari Naruto keluar. "Na..
nan.. mii..mii.." balas Naruto dengan bahasa bayinya. "Ja naann..."
kata Shika tegas melarang. Ia mem puk-puk puncak kepala Naruto saat
bibirnya mulai bergetar. Naruto yang senang di puk-puk tidak jadi
menangis yang dibalas Shika dengan senyuman. Shika tampak dewasa saat
melakukannya.
Shika juga tak keberatan
menyuapi Naruto dengan buburnya, meski tak ada satupun yang masuk ke
mulut Naruto dan lebih banyak yang jatuh ke lantai. Biasanya bubur yang
jatuh dijadiin mainan Naruto, diremat- remat hingga tangannya kotor.
Shikalah yang membersihkannya yang lalu dihadiahi Naruto tawa. Pipi
Shikamaru jadi bersemu merah, mengedip genit pada Naruto. Naruto yang
tak mengerti hanya tertawa-tawa saja. Shika semakin suka menyuapi Naruto
demi melihatnya bahagia.
Seperti itulah Shika
sekarang. Ia berubah banyak semenjak Naruto tinggal di rumahnya. Ia tak
lagi sejutek dulu, seacuh dulu, dan lebih banyak tersenyum, walaupun itu
hanya dilakukannya di depan Naruto. Itu saja Yoshino, ibunya sudah
bahagia. Akhirnya anaknya jadi anak yang normal berkat Naruto. Baginya,
Naruto seperti malaikat kecil kiriman Kami-sama. Kehadirannya membawa
kebahagiaan pada keluarga kecil Yoshino Nara.
Sayangnya, kebersamaan
mereka harus diakhiri. Tak terasa sudah empat bulan Naruto tinggal
bersama keluarga Nara. Yoshino pun dengan berat hati harus melepasnya
karena ia sudah diberi tenggang waktu yang cukup lama. Itu pun setelah
ia menghiba memohon pengertian keluarga Chouza, Tsume Inuzuka, dan
istrinya Kagami Uchiha. Istrinya Chouza dan Tsume tidak keberatan karena
kebetulan keluarga mereka sedang repot membenahi rumah mereka yang
hancur akibat serangan Kyuubi. Kalau istrinya Kagami membolehkan dengan
catatan ia boleh memberikan air susunya pada Naruto untuk mengurangi
nyeri di dada pasca ditinggal mati anaknya. Tapi semua itu sudah
berakhir. Kini giliran keluarga Chouza untuk merawatnya.
Sebelum berpisah, mereka
foto sekeluarga. Naruto mengenakan baju orange. Rambutnya diikat,
sesuai ciri khas keluarga Nara. Karena rambutnya Naruto pendek hanya
sebagian kecil yang terikat. Shikamaru pakai baju hijau dengan rambut
diikat menyerupai model rambut ayahnya. Kalau seperti ini, Shikamaru
jadi foto copy ayahnya.
"Senyum," kata Yoshino
memberi arahan pada Shikaku yang tengah duduk sambil memangku Naruto dan
Shikamaru di kedua pahanya. Shikaku dan Naruto tersenyum lebar menatap
kamera. Beda dengan Shikamaru. Ia tampak cemberut dengan sorot mata
tidak suka. Sifat juteknya belum hilang ternyata.
Dua hari kemudian,
Shikaku menyerahkan Naruto pada Chouza. Tampak Shikamaru meronta-ronta
tak rela. Bibirnya mencebik lalu menangis memanggil Naruto. "Na..Na.. "
"Maaf sayang. Naru-chan
tidak bisa tinggal bersama kita untuk sementara waktu. Tapi ibu janji
akan membawa Naruto pulang ke rumah kita, menjadikannya adikmu," hibur
Yoshino yang sedih melihat anak terus-menerus menangis.
Semenjak itu hobi Shikamaru bertambah. Ia kini hobi melihat langit biru yang mengingatkannya pada warna mata Naruto.
SKIP TIME
"Bagaimana menurutmu dengan keluarga Nara?" Tanya Hiruzen.
"Aku kurang sreg." Aku Koharu jujur.
"Kenapa?" Tanya Homura.
"Yoshino mendadani
Naruto seperti cewek, mentang-mentang Naruto manis. Memangnya kau ingin
Naruto tumbuh menjadi maho?" Koharu menunjuk foto terakhir Naruto dengan
keluarga Nara.
"Tentu tidak," gumam Homura bergidik samar.
"Koharu ada benarnya."
Kata Hiruzen dengan berat hati memberi nilai 5. Homura 4. Sedangkan
Danzo dan Koharu masing-masing 2. Jadi total yang dikumpulkan keluarga
Nara 13 dari 40. Uuh, jauh ya. Kayaknya kecil kemungkinan mereka
mendapat hak asuh Naruto.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar