Jumat, 20 Januari 2017

The Secret Part Lima



Summary : “Apa kau tahu siapa ibu kandung Menma?” tanya Gaara mengalihkan topic. Sasuke tak menjawab. Ia memalingkan wajahnya. “Jadi, benar kau tahu.” Kata Gaara sambil tertawa getir. “Aku bukan ayah Menma,” kata Sasuke. Gaara mendengus. “Kau pikir aku percaya? Hanya kau seorang Uchiha yang tersisa di dunia ini,” “Kalau kau berkata seperti itu, berarti Naruto tidak menceritakan semuanya padamu,” Not Yaoi.
DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Author Note : Ada sedikit penyimpangan seksual dalam cerita ini. Tapi bukan yaoi, melainkan aseksual artinya seseorang yang tidak begitu tertarik pada kehidupan seksual.
Percakapan antara manusia dengan bijuu Ai tulis dengan huruf dibold, biar jelas.
“blablabla..” percakapan biasa.
“blablabla..” percakapan dengan bijuu


Don't Like Don't Read

Chapter Five part One

Naruto sekarat. Berita itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Hinata tertegun, terlalu terkejut mendengar kabar ini hingga otaknya blank, tidak bisa berfikir. Tubuhnya kaku dengan mata terbelalak lebar. Tapi, untunglah ia tengah menundukkan kepala, sehingga ekspresinya saat ini tak bisa dilihat oleh lawan bicaranya.
Hinata mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga jari-jarinya memutih di atas kimono putih, gaun pengantinnya yang ia warisi dari mendiang ibunya. Ia menahan emosi yang menggelegak dalam dirinya. Tubuhnya saat ini seperti lahar yang mendidih dan siap meletus kapan saja. ‘Sial. Ini bisa merusak rencanaku,’ pikirnya geram.
Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan untuk melarutkan kegalauannya. Lalu, ia menengadahkan kepalanya, memamerkan senyum  yang menawan yang mampu membuat sebagian besar laki-laki bertekuk lutut di depannya. Dengan suaranya yang lembut dan manis, ia berkata, “Jika memang itu keputusan Sasuke-kun, aku terima. Tapi, aku tak setuju jika pertunangan kita dibatalkan.”
“Hinata, aku..”
“Ssst…, aku tahu apa yang mau kau katakan, Sasuke-kun…” Diam sejenak. “..dan aku tak mempersalahkannya. Aku sama seperti Sasuke kun, turut bersedih dengan kabar sakitnya Naruto. Aku pun ingin melihatnya sembuh. Karena itu, aku setuju jika Sasuke-kun ingin menunda acara pernikahan kita. Aku tak keberatan. Tapi…, bolehkan aku ikut Sasuke-kun ke Suna? Aku juga ingin membantu, meski aku bukanlah master dalam bidang medic nin seperti Sakura-san.” Jelas Hinata terdengar penuh simpatik.
Sasuke diam, berfikir. Oniksnya menatap menyelidik, berusaha membaca isi pikiran calon istrinya ini. Lalu, ia mengangguk samar. “Kita berangkat besok. Bersiaplah.” Kata Sasuke singkat, padat, dan jelas. Setelah itu, ia berpamitan dengan sopan.
Hinata mengantar tunangannya yang seharusnya hari ini menjadi suaminya dengan senyuman. Akan tetapi, saat Sasuke sudah membalikkan punggungnya, senyumnya menghilang dari wajah cantiknya. Bibirnya yang tadi bicara manis, semanis madu kini mendesis seperti ular berbisa. Sorot matanya tak lagi lembut, melainkan penuh amarah dan kebencian. Tak ada belas kasih terpancar dari iris lavendernya.

SKIP TIME

Di pintu gerbang Konoha, berdiri berjajar Sasuke, Hinata, Kakashi, Gaara yang tengah menggendong Menma di punggungnya, dan jangan lupa tim Hebi. Tim Hebi dan Sasuke itu seperti saudara kembar yang tak terpisahkan.  Mereka memaksa ikut, meski tidak diajak.
“Hati-hati di jalan,” kata Kakashi melepas rombongan Sasuke.
Sasuke mengangguk mewakili rombongannya. Ia baru berjalan tiga langkah, ketika ia menangkap rombongan lain beberapa langkah di depannya. “Sedang apa kalian?” katanya tajam menusuk.
Temari salah tingkah dan menutupinya dengan berpura-pura membetulkan tutup kepala Shikadai anaknya. Kiba pura-pura menatap langit yang hari ini biru cerah, malas menjawab. Shika? Ia cemberut karena teman-teman seperjalanannya dengan teganya melemparkan tanggung jawab padanya. Shika bergumam dan menggerutu lirih.
“Aku menunggu,” kata Sasuke terdengar tidak sabar. Matanya berkilau aneh membuat bulu-bulu halus di tengkuk Temari, Shika dan Kiba meremang. Tubuh ketiganya bergidik samar.
Shikamaru tertawa kecil, untuk menutupi ketegangannya. “Well, beberapa minggu ini, Temari terus menerus mengeluh, menderita homesick. Jadi, aku berpikir untuk mengajaknya ke Suna. Hitung-hitung memperkenalkan desa kelahiran Temari pada Shikadai,” kata Shikamaru beralasan. Temari mengangguk untuk memperkuat alasan suaminya. Tangan kanannya dengan setiap menggandeng tangan putranya Shikadai yang baru berumur 5 tahun 4 bulan.
‘Huh, alasan.’ Batin Sasuke tak percaya. Mana ada orang baru merasakan homesick setelah 6 tahun berlalu? “Anakmu masih terlalu kecil untuk bepergian jauh. Kasihan dia. Nanti kelelahan,” Secara halus, Sasuke menyuruh rombongan keluarga kecil Nara ini kembali ke rumah.
“Kami bisa bergantian menggendongnya,” kata Temari dan disambung Shikamaru, “Menma masih balita, tapi ia tak masalah bepergian dari Suna-Konoha.”
“Menma berbeda. Ia Uchiha,” Kata Sasuke yang dengan angkuhnya mengagungkan klannya. ‘Dan ia memiliki cakra Kyuubi,’ tambah Sasuke dalam hati. Kiba yang duduk di atas Akamaru di samping kanan Shikamaru mendengus keras yang untunglah berhasil ia samarkan menjadi bersin kuat. Sasuke berpaling padanya. Matanya melotot galak. “Dan kau, apa alasanmu? Homesick juga?”
“Tidak. Aku hanya ingin berlibur ke Suna, menikmati waktu cuti panjangku. Kata Gaara, di Suna ada banyak mawar hitam —salah satu jenis tanaman yang sangat langka— yang tumbuh secara liar. Aku ingin memberikannya pada ibuku sebagai hadiah.” Kata Kiba. Sebuah alasan yang sangat mengada-ada. Tapi, Sasuke tidak akan tahu karena ia tak pernah pergi ke Suna. “Guk..gukk..gukk..!” Akamaru menyalak, secara tidak langsung membenarkan ucapan tuannya.
Mata Sasuke menyipit curiga. Meski tak tahu benar tidaknya di Suna ada mawar hitam, tapi ia bisa mencium bau kebohongan dari rombongan Kiba, Shikamaru, Temari, dan Shikadai ini. “Batalkan saja!” kata Sasuke memberi perintah.
“Tidak mau. Memangnya kau siapa? Seenaknya saja menyuruh-nyuruhku. Kau ini sudah bukan hokage, Sasuke.” Balas Kiba sengit sambil menggerutu.
“Balik!” hardik Sasuke galak.
“Ogah,” balas Kiba menantang.
“Balik!”
“Ogah,”
“Balik atau..”
“Sudahlah Sasuke, biarkan Kiba ikut.” Potong Gaara lelah dengan perdebatan yang mungkin tak ada akhirnya ini. Watak Kiba hampir mirip dengan Naruto. Sama-sama keras kepala. Sasuke menoleh dan mendelik pada Gaara, tidak terima keputusannya digugat. “Memangnya kau bisa memisahkan mereka?” dalihnya. Gaara menunjuk Menma yang sudah lepas dari gendongan Gaara dan kini menaiki punggung Akamaru bersama Kiba dengan dagunya.
Sasuke mendesah. ‘Seperti rombongan badut saja,’ batinnya jengkel. Dengan kemarahan tertahan, ia terpaksa menerima rombongan Kiba-Shika-Tema-dan-Shikadai. “Jangan macam-macam di jalan. Jangan bicara sembarangan. Jangan pergi seenaknya. Jangan membuat masalah. Jangan..”
“Sasuke, aku ini sudah dewasa. Sudah bisa jaga diri. Aku tahu apa yang harus dan tidak boleh ku lakukan,” Bentak Kiba tersinggung.
“Oh, ya?” pekik Sasuke pura-pura terkejut. “Maaf aku lupa. Ku pikir tadi aku sedang bicara dengan genin menjengkelkan yang hobinya membantah sensei pembimbingnya,” sindirnya.
“Grrrr…” Kiba menggeram tidak terima dengan sindiran kasar Sasuke. ‘Si bedebah itu memang minta dihajar,’ pikirnya geram. Matanya melotot galak. Sasuke yang digalaki memprovokasinya dengan memberinya tatapan meremehkan. Geraman Kiba semakin nyaring. Jika bukan karena ada Menma dan Shikadai di dekatnya, ia pasti sudah menempeleng wajah menyebalkan Sasuke itu.
Shikamaru menggeleng-gelengkan kepala, prihatin dengan tingkah laku kekanak-kanakan teman-teman seangkatannya. “Mendokusai,” gumamnya ketika istrinya menyenggol lengannya, menyuruhnya dengan isyarat mata untuk menghentikan pertengkaran SasuKiba. “Kapan kita berangkat? Matahari sudah mulai terik, nih.”
“Hn,” gumam Sasuke.
“Yup, sekarang ayo berangkat!” kata Kiba yang diamini dengan salakan Akamaru.
“Kau bukan pimpinan rombongan ini, Kiba.” Kata Shuigetsu mengingatkan sambil berjalan santai di samping Karin. “Jadi jangan main perintah saja,” sambungnya.
“Aish. Sudahlah jangan dibahas lagi. Aku capek mendengar pertengkaran tidak bermutu kalian.” Omel satu-satunya gadis Uzumaki dalam rombongan ini. Ia memelototi Kiba yang sudah buku mulut lagi, berniat membantah dan menyuruhnya diam. Dan, Kiba yang untungnya cukup cerdas, memilih bungkam daripada adu mulut dengan Karin. Yakin, jika sampai kiamat pun ia tak akan menang.
Ternyata, perjalanan ke Suna kali ini memakan waktu yang cukup lama. Ada sekitar sebulan lebih. Tak sesuai dengan rencana Sasuke semula. Ini karena mereka terlalu sering beristirahat. Mereka terpaksa melakukannya karena mempertimbangkan kesehatan Menma dan Shikadai. Demi keduanya, mereka harus rela mengalah.
Sesampainya di Suna, Kankurou menyambut mereka di pintu gerbang dengan wajah panik. “Gaara, syukurlah kau sudah pulang.” Kelegaan menghiasi wajahnya yang mulai dihiasi guratan-guratan samar.
“Ada apa? Apa Suna baik-baik saja?” tanya Gaara ikut cemas. Dadanya berdegup kencang,  merasakan firasat buruk.
“Suna baik-baik saja. Tapi, Naruto tidak. Kondisinya semakin parah.”
“Parah bagaimana?” Ini bukan Gaara yang bertanya, melainkan Sasuke yang dengan tidak sabarannya mencengkeram kerah baju Kankurou, melupakan sopan santun dan etika yang sudah ditanamkan kedua orang tuanya sejak usia dini.
“Aku..aku juga tidak tahu. Tapi.., Ichibi meracau. Wajahnya terlihat ketakutan dan panic. Belum pernah ia begini. Ia bahkan memanggil saudara-saudaranya ke Suna. Sekarang, mereka berkumpul dan mengerahkan segenap cakra mereka untuk menolong Naruto.”
“SIAL!” umpat Sasuke kasar. Ia mengangkat tangan. “Jangan menceramahiku soal language. Ini tak akan terulang lagi,” katanya pada Gaara tahu diri. Ia bergegas mengikuti Kankurou dan Gaara yang berjalan cepat di deretan paling depan. Punggungnya terlihat kaku dan tegang. Ia tidak menoleh ke belakang satu kali pun untuk melihat apakah rombongannya mengikutinya atau memilih istirahat di penginapan. Ia bahkan mengabaikan Menma yang masih digendong Akamaru-Kiba.
Sasuke terkesiap menatap sosok yang dikenalinya sekaligus yang tidak dikenalinya yang sedang berbaring di atas ranjang. Fisik Naruto dalam waktu beberapa tahun belakangan ini banyak berubah. Klon Naruto yang datang ke Konoha tempo hari pastilah sangat special karena ia bisa bertindak dan berfikir sendiri, seolah-olah terpisah dari jiwa Naruto. Bahkan bentuk fisiknya pun berbeda dengan fisik Naruto yang sekarang. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Kedukaan dan kesedihan mengisi rongga-rongga dadanya. ‘Oh, ya Tuhan. Naruto,’ katanya dalam hati.
Tubuh Naruto sangatlah kurus, hingga hanya tersisa tulang dan sedikit daging yang menghiasainya. Wajahnya tirus dengan tulang pipi yang menonjol. Rambutnya kusut masai dan tak bercahaya menunjukkan jika ia pasti sudah lama sekali tak merasakan sentuhan matahari. Matanya terpejam erat. Jika tidak melihat dadanya yang naik turun secara teratur meski lemah, Sasuke pasti berfikir jika Naruto sudah meninggal.
“Kenapa bisa jadi begini?” tanya Sasuke lirih, entah pada siapa.
“Cakra Kyuubi memakan hampir sebagian besar tubuhnya, karena itu ia seperti ini.” jawab Yonbi, bijuu yang paling bijak diantara mereka bersembilan.
“Bukannya Naruto dan Kyuubi sudah berteman. Kenapa sekarang ia menyakiti Naruto?” tanya Karin yang rupanya ikut menyertai Sasuke. Tangannya memegang data rekam medis Naruto yang diberikan tim medis Suna. Ia dengan telaten memeriksa tubuh Naruto, lalu menggeleng muram. Para bijuu itu benar. ‘Naruto mungkin sudah tak tertolong lagi.’ Batinnya sedih.
“Itu di luar keinginannya. Kyuubi mulai berubah dan mengarah pada kegilaan. Naruto berusaha menolong Kyuubi. Ia meminjamkan cakranya untuk menetralisir kebencian Kyuubi. Dan, beginilah akibatnya sekarang.” celetuk Hachibi. Wajahnya terlihat penuh sesal.
“Jika kami tidak menyalurkan cakra kami pada Naruto dan andai Naruto bukan seorang Uzumaki, ia pasti sudah tewas dari kemarin-kemarin. Tapi, mungkin ini sudah penghabisan. Jiwa Naruto sudah pergi terlalu jauh. Aku hampir tak bisa merasakan hawa kehidupannya,” Ganti Yonbi yang buka mulut. Wajahnya memperlihatkan keprihatinan yang mendalam. Naruto satu-satunya orang yang ia kenal begitu perduli pada sesama. Ia bahkan perduli pada nasib para bijuu yang selama ini dianggap monster oleh sebagian  besar orang.
Sasuke mengepalkan kedua tangannya, tahu kira-kira siapa si brengsek yang paling pantas disalahkan untuk kegilaan Kyuubi dan juga sekaligus penderitaan Naruto. “Aku akan coba bicara dengan Kyuubi. Kalian lakukan apa yang bisa kalian lakukan untuk menolong Naruto,” katanya kemudian.
Sasuke memejamkan matanya, tak menunggu apakah intruksinya dipatuhi ataukah tidak. Baginya itu tidak penting. Yang terpenting dan mendesak saat ini adalah bicara dengan Kyuubi.
“Uchiha,” desis sebuah suara dari balik dinding-dinding kegelapan.
Sasuke pikir ia akan menemukan seekor rubah berwarna oranye berukuran gigan di dalam sebuah kerangkeng besar, seperti pada pertemuan pertamanya dengan Kyuubi yakni ketika Naruto muncul di salah satu markas Orochimaru untuk membawanya pulang ke Konoha. Ia salah. Salah besar.
Bentuk Kyuubi masih sama, masih seekor rubah berukuran besar. Tapi, warna bulunya berbeda, jauh lebih gelap dari yang terakhir diingatnya. Begitu pula dengan auranya. Aroma kemarahan, kebencian dan dendam terasa pekat menyebar menyelubungi seisi ruangan. “Astaga, apa yang telah terjadi,” katanya pada dirinya sendiri.
Makhluk yang Sasuke yakini Kyuubi menjulurkan cakar besarnya dari balik celah jeruji, berniat mencakar Sasuke. Namun apa daya, tangan tak sampai. Jeruji-jeruji itu dengan efektif menahannya. “Uchiha! Kesini kau! Akan ku koyak tubuhmu hingga tak berbentuk,” geramnya. Matanya menyala berpendar berwarna kemerah-merahan dari balik tirai kegelapan kerangkengnya.
“Kita bisa membahas ini lain waktu,” kata Sasuke berusaha untuk tidak terdengar dingin. Kyuubi punya alasan yang sangat bagus untuk membencinya. Secara tidak langsung, ia terlibat pada kekacauan ini.
“Aku tak punya waktu bercakap-cakap dengan makhluk rendahan sepertimu,” raung Kyuubi.
Sasuke menghela nafas panjang. Ia mendekati, menyentuh ujung cakar Kyuubi yang membuat Kyuubi bergerak liar mencakari tangan Sasuke. Sasuke tak menghindar, ia membiarkan Kyuubi melampiaskan kemarahannya pada tangannya. “Aku minta maaf atas kelakuan kakakku yang telah membuatmu jadi begini.” Katanya penuh simpatik.
Kyuubi tertegun. Cakarnya terhenti di udara. “Aku tahu aku bersalah. Secara tidak langsung, aku terlibat.” Kata Sasuke lagi. Kyuubi menggeram sebagai balasan. “Semua ini karena aku. Aniki melakukan ini karena aku. Seandainya saja aku tidak menggila, aniki tidak akan melakukan hal serendah ini padamu. Semua ini karena besarnya cintanya padaku. Ia ingin aku tidak semakin jatuh dalam kegelapan. Ia ingin memberiku cahaya, seutas tali penyelamat. Karena itulah ia…” Sasuke terdiam, menggeleng penuh sesal. “Sekali lagi, maaf.”
Grrr…! “Apa kau pikir maafmu berarti, Haah? Tidak. Hatiku tidak akan puas sebelum memutilasimu dan memakan tubuhmu hingga tak bersisa.”
“Aku tahu. Sekali lagi, aku tahu.” Ujar Sasuke tenang. “Kau boleh membunuhku nanti. Tapi, beri aku waktu untuk menyelamatkan nyawa Naruto.” Kyuubi tersentak, menatap Sasuke nanar. Sasuke seperti melihat kesedihan membayangi irisnya. “Aku tahu, kau tak perduli pada apapun dan siapapun di dunia ini. Bahkan tidak pada darah dagingmu sendiri, Menma. Tapi, bagaimana dengan Naruto?” ujar Sasuke membujuk.
Kyuubi menatap Sasuke, membaca raut wajahnya. Meski wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, akan tetapi ia bisa melihat kesungguhan tekadnya. “Apa yang kau inginkan, Uchiha?”
“Bantu aku. Beri tahu aku, bagaimana caranya menolongnya?”
Kyuubi diam. Matanya masih menatap Sasuke tak berkedip, mengawasi setiap gerak-gerik Sasuke, seolah-olah menunggu Sasuke membuat kesalahan. Tapi, Sasuke sama diamnya dengan Kyuubi. Akhirnya Kyuubi mengalah. Ia menggelengkan kepalanya dan tertunduk lesu, “Jika aku tahu caranya, apa kau pikir aku akan diam saja? Lebih dari siapapun, aku ingin ia selamat. Tapi…” Kyuubi kembali menggeleng.
“Apa memang sudah tidak ada jalan?” ujar Sasuke serak, menyerupai suara orang  yang sedang tercekik. Ia pernah melihat berbagai hal di dunia ini. Saat klannya dibantai, ia jatuh dalam kebencian, kemarahan. Saat ia berhasil membunuh kakaknya, ia mati rasa. Bukan kelegaan atau kebanggaan seperti harapannya. Saat berhadapan dengan Kagura, rasa takut menghimpit dadanya. Tapi, baru kali ia merasa luar biasa takut. Lehernya seperti dicekik oleh keputus asaan.
Kyuubi berfikir. Ia teringat jutsu rahasia Rikudou sennin, tapi ia ragu apa itu bisa menolong Naruto. ‘Lebih baik mencoba dan gagal daripada menyesal karena tidak melakukan apapun,’ pikirnya. “Cara ini mungkin bisa, namun harga yang harus kau bayar sangatlah mahal.”
“Aku siap menerima resikonya,”
“Hm. Kemarilah!” panggil Kyuubi. Ia berbisik pada Sasuke.
Sasuke tercengang. “Haruskah?” tanyanya. Kyuubi mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan mengurusnya,” kata Sasuke berpamitan.
Kyuubi di kandangnya menatap Sasuke dengan pandangan yang sulit diartikan. Hatinya berkecamuk, tercabik antara kebenciannya pada klan Uchiha dan kepeduliannya pada Naruto. Di satu sisi ia ingin membunuh Sasuke. Lalu, Menma. Tapi, di sisi lain, ia juga sangat berharap Uchiha brengsek itu bisa menolong Naruto, satu-satunya cahaya, pengikat terakhirnya agar tetap waras. Hanya Kami-sama yang tahu apa yang akan terjadi pada Kyuubi dan para bijuu di dunia ini jika Naruto mati. “Semoga kau berhasil Uchiha. Semoga!” doanya.
“Aku sudah tahu caranya menyelamatkan Naruto,” kata Sasuke begitu matanya terbuka.
“Apa?” tanya Hachibi.
“Kita bicarakan ini di tempat lain.” Kata Sasuke. Ia menoleh pada rombongannya minus keluarga Nara dan Menma yang memilih istirahat di kediaman Sabaku khususnya tim Hebi. “Shui, panggil Nara kemari!”
“Nara yang mana?” tanya Shuigetsu.
Sasuke hampir menyumpah serapah, lalu ia teringat jika ia yang salah. Keluarga Nara di Suna sekarang ada tiga orang. Wajar jika Shuigetsu bertanya, ‘Nara yang mana?’ “Shikamaru dan Temari.” Kata Sasuke kemudian. Shuigetsu pun menghilang dalam sekejab mata dengan shunsin no jutsunya.
“Boleh aku di sini?” pinta Hinata. “Aku ingin menemani Naruto-kun.” Dalihnya.
Sasuke menyipit curiga. Tapi iris lavender di depannya tak terbaca. Ia sangat pandai menyimpan emosinya sesuatu yang diharapkan ada pada diri tiap keturunan Souke. “Baiklah!” Sasuke mengiyakan karena tak punya alasan untuk melarang.
Setelahnya, Gaara mengajak rombongan Sasuke ke ruang kerjanya untuk membahas rencana penyelamatan Naruto. Sasuke menceritakan isi percakapan dengan Kyuubi.
“Jadi, tugas kita sekarang adalah mencari perjaka ting-ting nih.” kata Shuigetsu menyimpulkan, sambil manggut-manggut. Meski sangsi, ia tetap mengedarkan pandangannya, menelisik pada para shinobi pria yang mengikuti rapat khusus ini. “Apa..?” Shuigetsu sudah hampir buka mulut, tapi Shikamaru menukasnya tajam.
“Jangan melihatku! Aku ini sudah menikah. Mana mungkin masih perjaka,” tukas Shikamaru secara spontan. Mungkin, ia tersinggung soalnya Shuigetsu menatap Shikamaru lebih lama dibanding yang lainnya. Mungkin, ia lupa jika posisi duduknya memang berhadapan langsung dengan Shuigetsu, karena itu intensitas tatapan Shuigetsu secara otomatis memang paling besar padanya.
“Aku juga tahu. Dasar payah!” sahut Shuigetsu merengut masam. “Maksudku selain kau yang sudah menikah dan punya anak. Dan aku tentu saja, karena aku sudah menikah dengan Karin beberapa bulan yang lalu,” Katanya lagi.
“Aku ini perantara ritualnya. Hanya yang berdarah Uchiha yang bisa.” Kata Sasuke yang membuat semua orang curiga jika Sasuke sebetulnya sudah tidak perjaka. Menurut mereka itu hanya dalihnya. “Apa?” bentaknya kasar menatap tajam semua orang yang melihatnya dengan tatapan curiga.
“Bagaimana dengan Jugo?” tanya Kiba mengalihkan topik, tak ingin memperparah kemarahan Sasuke.
“Lupakan saja. Dia sudah menikah.” Bukan Jugo yang menjawab, melainkan Shuigetsu.
“Menikah?” beo Kiba terkejut. Benar ya kata pepatah, air yang tenang itu menghanyutkan. Jugo kelihatannya pendiam, anti social, dan acuh, namun untuk urusan cewek, tangannya cepat juga. Ia bahkan mendahului Kiba yang masih lajang hingga kini.
“Iya. Jangan tanya kapan, karena ini menyangkut privasi,” kata Shuigetsu ketus menusuk, menggantikan Jugo. “Kau sendiri?” todong Shuigetsu tiba-tiba.
Kiba gelagapan, tak siap. “Well, maaf. Aku..”
“Sudah tidak perjaka? Cih, sudah ku duga. Kelihatan dari tampangmu yang mesum itu. Kau pasti minimal sering masturbasi.” Ledek Shuigetsu dengan entengnya mengumbar sisi lain dunia pria. Tak perduli jika yang ada di ruangan ini tidak semuanya kaum Adam.
“Memangnya kenapa? Aku ini pria muda yang sehat dengan hormon yang bergejolak. Apa salahnya jika melakukan..,” Kiba refleks menggigit bibirnya biar tidak keceplosan. Ia nyaris saja bilang sesuatu yang tidak pantas di ruang rapat. Di depan kage pula. Fiuh malunya. Kiba berdehem kecil untuk mengembalikan wibawanya yang tersisa. “Bagaimana denganmu Gaara?” tanyanya spontan menembak korban lainnya.
Gaara tidak langsung menjawab. Ia justru larut dalam pikirannya sendiri. Satu-satunya suara yang keluar darinya adalah ketukan jemari tangannya di atas meja. Setengah jam berlalu dan semua orang masih menunggu satu dua patah kata darinya. “Syarat pertama sih aku tak masalah.” Ujar Gaara akhirnya keluar dari dunia autisnya.
Semua orang di ruangan itu diam-diam nyengir gaje, berusaha menahan tawa, hinggu perut mereka sakit. Gaara jujur banget. Ia dengan santainya mengumbar aib terbesarnya di hadapan banyak orang. Masak udah seusia gini masih perjaka ting-ting. Alamak! Malu dong.
“Tapi, yang kedua…?” katanya lagi tak menyadari tatapan kasihan dari rekan-rekannya. Bahkan, dari para bijuu. Ichibi sendiri saking malunya sampai menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya yang besar, malu dengan status perjaka ting-ting mantan jinchuurikinya ini. Gaara menggelengkan kepalanya, muram. “Itu tak mungkin aku,” tambah Gaara lagi. Dan, semua orang tersenyum maklum.
Memang sekarang Gaara sudah jadi orang baik, pintar dan gemar menabung. Tapi, dulunya ia mantan psikopat yang hobi membunuh orang sebagai sarapannya. Tak mungkin ia yang diutus menolong Naruto. Sebab, syaratnya harus perjaka ting-ting yang berhati suci. Gaara jelas masuk daftar backlist.
Sekarang tinggal satu orang pria yang tersisa di ruangan itu. Kankurou yang ditatap intens banyak orang jadi merinding disko. “Oke, aku ngaku. Aku juga sudah tidak perjaka.”
“Sudah tahu,” komentar semua orang yang hadir. Mereka juga tak terlalu berharap banyak pada status Kankurou. Hanya ingin kepastian saja dari yang bersangkutan.
Suasananya kembali hening. Semua orang larut dengan pikirannya masing-masing. “Bagaimana dengan Menma?” celetuk Temari.
Sasuke menoleh pada Temari. “Kau mau mengirim Menma langsung menghadap Dewa Kematian? Kyuubi benci setengah mati pada semua orang yang bermarga Uchiha. Tak perduli siapapun dia,” 
“Sasuke benar. Aku pun menolak melibatkan balita dalam misi berbahaya ini,” Gaara menambahkan.
“Lalu siapa? Kau mau mengumpulkan para shinobi Suna dan menanyai mereka satu per satu, apa mereka masih perjaka atau tidak? Itu gila namanya. Aku yakin mereka tak akan mau mengaku. Kalau pun bisa, itu makan waktu banyak. Sedangkan, waktu kita tinggal sedikit.” cerocos Temari tanpa jeda.
“Kau lupa? Masih ada Shikadai. Dia itu sudah genin. Ia memenuhi syarat untuk ritual itu,” celetuk Shikamaru.
“Ah, kau benar juga. Kita mulai sa..” Sasuke terdiam. Ia menatap dari balik dinding. Firasatnya mengatakan jika Naruto dalam bahaya besar. Sasuke tanpa segel menghilang dari ruang rapat. Ia muncul di ruangan Naruto memegang tangan orang itu erat. “Apa yang mau kau lakukan?” katanya dingin.

SKIP TIME

Ia menghampiri Naruto yang tergolek lemah di atas ranjang. Wajahnya terlihat datarm tanpa emosi, menatap lurus wajah Naruto. Ia terus-menerus seperti itu sejak setengah jam yang lalu sepeninggal Sasuke dkk, tak berubah. Ia hanya menatap datar Naruto tanpa melakukan apapun. Hanya menatap, menatap, dan menatap.
Lalu, setelah sejam berlalu, ada sebuah perubahan di sana. Tangannya terangkat ke udara, menyentuh  wajah Naruto dari dahi, pelipis, pipi, mata, hidung, hingga berakhir di dagu secara perlahan. Itu bukanlah sebuah sentuhan sensual, melainkan seperti sentuhan orang buta yang ingin mengenali bentuk wajah lawan bicaranya.
“Naruto,” katanya lirih. Kemudian, ia tersenyum tipis. “Naruto Uzumaki. Salah satu dari pahlawan dalam perang dunia keempat, penyelamat dunia.” Katanya bermonolog, seperti sedang membacakan naskah pidato.
Tiba-tiba, ia mendekatkan wajahnya hingga matanya hanya berjarak 5 cm dengan Naruto, membaui Naruto dan lalu mendengus jijik. “Betapa menyedihkannya dirimu, sekarang Naruto. Sekarat di negeri orang dan sendirian.” ujarnya sambil mendesis menyerupai desisan ular.
Ia menegakkan tubuhnya kembali, berdecak ringan, dan lalu tertawa kecil. “Kau memang payah, Naruto. Pecundang sejati. Seharusnya kau tetap hidup agar aku bisa puas membencimu dan juga menyiksamu.  Tapi…,” Ia tersenyum sinis. “..itu keputusan yang bijak. Sangat bijak.” Ujarnya tepat saat berkas-berkas cahaya sang rembulan di atas sana berhasil memasuki celah-celah kamar, menimpa wajahnya, memperlihatkan kilau matanya yang asing dan tidak sesuai dengan wajahnya yang cantik jelita.
“Pergilah ke alam baka dengan damai Naruto, agar kau tak perlu melihat….” katanya. Dari telapak tangannya keluarlah berkas cahaya berwarna biru atau yang bisa kita sebut cakra. “…aku membunuh dan menyiksa Sasukemu, Kakashimu, Sakuramu, penduduk Konoha dan juga Menma.” Sambungnya mengakhiri kalimatnya.
Deg! Jantung Naruto yang tadinya lemah tampak berdetak kencang. Mulai ada pergerakan dari tubuhnya. Sifat protektifnya sebagai orang tua bangkit hingga ia berhasil mengeliminiasi sekat-sekat keterbatasan. Tapi, gerakannya masih sangat lemah dan sangat lamban. Itu tidak berarti apa-apa baginya. Naruto sudah pasti mati sebelum Naruto berhasil mengelaknya.
Tepat ketika cakra itu sudah berada sangat dekat dengan urat nadinya, sebuah tangan menggenggamnya, mencegahnya memutus urat nadi Naruto. “Apa yang mau kau lakukan?” desisnya dingin, tajam menusuk.
TBC




Tidak ada komentar:

Posting Komentar