Jumat, 13 Januari 2017

WHERE IS SHE Part One



Summary : Bagi Sasuke, Naruto itu oase di tengah padang pasir. Oksigen di tengah udara kotor. Bagaimana jadinya jika Naruto menghilang tanpa jejak? Sasuke pun kelimpungan mencarinya. Kemana? Dimana? Ia harus mencari kemana? Oh Naruto dimanakah kamu? Sekuel Who is she. SasufemNaru.
DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Bertebaran typo, hasil SKS, tak sesuai EYD, bikin kepala pening, gaje and many mores.
Pair : SasufemNaru just friend slight ItafemNaru


Don't Like Don't Read

Chapter one

Siapa dia, Inginku mengenalnya
Berkali jumpa ku terpesona
Sungguh ku telah tergoda
Sedangkan cintaku yang luka
Belum sembuh adanya

Sasuke berlari terburu-buru di koridor kampus. Beberapa orang disenggol dan beberapa lagi tertubruk tubuhnya yang menjulang tinggi, sepanjang jalan. Ia hanya bergumam maaf, tapi tak berhenti. Ia baru berhenti setelah tiba di tempat tujuan, yakni ruang administrasi.
"Permisi. Saya mau tanya apa Naruto mengajukan cuti kuliah? Beberapa hari ini, saya tak melihatnya kuliah?" tanya Sasuke sopan pada pegawai administrasi. Seorang wanita setengah baya.
Wanita bernama Artiga-san itu menatap Sasuke tak percaya. Ia terkejut dengan kesopanan Sasuke. Baru pertama kali dalam hidupnya, ia disapa dengan sopan oleh anak seorang konglomerat. Biasanya, mereka kan bersikap arrogan dan main perintah seenaknya sendiri, berlagak sok kuasa. Tapi ia segera menguasai keadaan dan kembali bersikap profesional. "Dia jurusan apa?" katanya dengan nada resmi.
"Jurusan ilmu komunikasi dan teknologi tingkat 2. Namanya Naruto."
"Sebentar saya cari dulu datanya." Tangannya dengan terampil mengetikkan beberapa huruf di keyboard. Tak lama kemudian layar monitor menunjukkan data yang diinginkan. Ia baca sebentar.
"Benar. Ia mengajukan cuti selama satu semester seminggu yang lalu."
"Maaf kalo saya boleh tahu apa alasannya? Apa karena kurang biaya?"
"Di sini tercatat ada kepentingan keluarga."
"Begitu. Apa saya boleh minta alamat rumahnya? Saya temannya, tapi seminggu yang lalu saya melakukan kunjungan ke daerah Shibuya, sehingga saya tidak tahu jika ia sudah pindah kos dan saya kehilangan kontak dengannya. Padahal, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengannya."
"Wah, dia tidak mencantumkan alamat rumahnya, hanya kosan di jalan Kampus street."
"Tak adakah keterangan lain? Nama keluarga atau sebagainya begitu?"
"Maaf, tidak Uchiha-san. Sekali lagi maaf saya tak bisa membantu banyak."
"Tidak Artiga-san. Anda sudah banyak membantu saya. Permisi." Kata Sasuke pamitan dengan sopan.
"Sama-sama." Mrs. Artiga.
Sasuke keluar ruangan dengan tubuh lunglai. Ia merasa harapannya pupus sudah. Kemana lagi ia harus mencarinya? Di kosan tak ada. Malah kata induk semangnya, Naruto tak memperpanjang sewanya. Di tempat ia kerja sambilan pun tak ada. Sekarang di kampus pun ia tak ada, juga. Ia sudah menyusuri jalanan di kota Konoha, tapi itu pun sia-sia. Naruto tak kelihatan batang hidungnya. Ia seperti hilang di telan bumi.
"Naruto sebenarnya kamu dimana?" desahnya pada angin yang lewat.
Sasuke merasa sangat kehilangan sosok Naruto. Ia masih alergi wanita, tapi Naruto itu pengecualian. Hanya Naruto yang bisa membuat Sasuke merasa begitu dekat. Sasuke selalu menikmati kebersamaan mereka yang di mata orang terasa aneh, tiap detiknya. Mereka biasa menghabiskan waktu bersama, dengan jarak 3 meteran. Itu pun Sasuke sudah senang. Tapi kini, sosok itu bahkan tak lagi ada dalam jangkauan matanya. She is gone.
"Kau kenapa, Bro? Loyo gitu." Tegur Neji heran sambil menghampiri Sasuke yang tengah berdiri termenung di koridor. Tangannya mencengkeram pagar besi yang membatasi koridor dengan taman.
Sasuke mendesah lagi. Tanpa menoleh, ia berkata, "Dia menghilang Ji," dengan suara yang lirih.
"Eh.." Gumam Neji. Ia mengira-ngira siapa 'Dia' yang dimaksud Sasuke. "Naruto?"
"Ya."
Neji tersenyum miris. Dalam hati bertanya-tanya, 'Sebenarnya apa sih hubungan keduanya? Sasuke kayak orang yang ditinggal mati kekasihnya saja. Masak baru seminggu sudah kuyu gitu?' Neji menatap langit biru di atas sana. "Boleh ku tanya satu hal?"
"Apa?" kata Sasuke tetap lirih, seolah dunia akan hancur kalo ia bersuara sedikit lebih keras.
"Di matamu, Naruto itu apa?"
Sasuke terdiam, berfikir. "Apa itu penting?"
"Menurutku begitu." Kata Neji. 'Kalo dia memang sangat berharga untukmu, pasti aku akan membantumu untuk menemukannya —dengan cara apapun—. Demi kebahagiaan sahabatku, aku rela.' Tambahnya dalam hati.
Sasuke menimbang-nimbang, haruskah ia menjawabnya? Sebenarnya tak terlalu penting, sih. Tapi kalo Neji ikutan membantu, mungkin menemukan Naruto akan jadi lebih mudah. Dia kan punya banyak kenalan. Mungkin ada baiknya juga cerita? Tapi, ia sendiri juga masih bingung tentang perasaannya.
Sasuke mengalihkan pandangannya, menengadah ke atas. Matanya menerawang menatap langit biru nan cerah, warna yang mengingatkan padanya, pada sosok Naruto. "Aku tak tahu, Ji. Aku hanya tahu, aku harus mencarinya." Katanya kemudian.
"Kenapa?"
"Setelah ia menghilang, aku baru sadar, jika aku tak bisa jauh darinya. Seperti ada yang hilang dalam hidupku. Di sini." Sasuke menunjuk dadanya. "Rasanya sakit, Ji."
Neji menatap Sasuke dengan pandangan yang sulit diartikan. Emosinya campur aduk. Sekian lama mereka bersahabat, baru kali ini ia mendengar pernyataan ajaib itu. Sasuke yang dikenalnya, orang yang dingin, nyaris tak berperasaan. Ia tergolong makhluk emotione less. Sekarang ia merasa hidupnya hampa? Itu keajaiban. Lebih-lebih, jika itu dikarenakan seorang cewek. "Apa kau mencintainya?" Suara Neji terdengar ganjil bahkan di telinganya sendiri.
Sasuke diam. Ia baru mau buka mulut setelah lima belas menit lewat. "Entah." Jawabnya muram.
Apa itu cinta? Sasuke tak tahu. Itu frasa yang sulit dipahami Sasuke. Dulu, saat bersama Sakura, ia pikir ia sedang jatuh cinta. Tapi..,  entah kenapa sudut dalam hatinya yang keras kepala meragukannya. Kemudian, Sakura mengkhianatinya, dan ia tak ingin lagi mengenal kata itu. Kata itu ia coret dari daftar hal-hal yang harus ia pikirkan dan ia renungkan. Ia tak mau merasakan sakit lagi. Dan, lalu yach terlupakan begitu saja.
Neji diam mendengarkan. Sasuke buka suara lagi. "Aku tak tahu, Ji. Aku hanya tahu, aku ingin di dekatnya." Katanya berusaha menjelaskan apa yang dirasakannya saat bersama Naruto.
"Itu cinta, Sasuke." Cetus Neji.
Sasuke menatap Neji sengit. "Mana mungkin?" sergah Sasuke.
"Terserah kau mau mengelaknya seperti apa, sobat. Tapi, jika kau tak cepat-cepat menyadari perasaanmu, kau akan kehilangan dirinya. Atau sudah? Bukankah ia sudah menghilang saat ini?"
Sasuke dengan gusar, memalingkan mukanya. Ia tak bisa membalasnya. Neji benar. Bagaimana kalo Naruto benar-benar menghilang dari hidupnya, selamanya? Bagaimana kalo Naruto menemukan tambatan hatinya? Lalu bagaimana dengan Sasuke? Hanya Naruto, cewek yang dikenalnya kini, yang bisa membuat hatinya tentram.
"Pikirkan itu baik-baik!” nasehat Neji bijak. Akan ku coba mencari tahu tentangnya dari kenalanku."
"Trims, Ji." Sasuke mengucapkannya dengan tulus. Ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Neji yang selalu berada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Di saat Sasuke terpuruk pun, Neji selalu ada di sampingnya, menyokongnya.
"Tak masalah. Itulah gunanya teman."
Seminggu berlalu tanpa berita apa-apa. Sasuke tetap tak menemukan jejaknya. Teman-temannya yang lain pun ikut membantu, tapi semua dengan hasil yang sama, nihil. Sasuke memang diam, tak berkomentar, tapi semua temannya tahu Sasuke gelisah. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi, sehingga emosinya tidak stabil, mudah meletup oleh persoalan-persoalan sepele.
Meski demikian, Sasuke tidak menelantarkan kuliahnya. Bagian dirinya yang bertanggung jawab, tetap memaksakan diri kuliah, makan dan segudang kesehariannya, di samping usahanya mencari Naruto. Ia tahu Naruto tak akan senang jika kuliahnya berantakan. Lagipula bukankah itu agak aneh? Memang Naruto itu apanya? Ia bukan istri, anak, ataupun kekasihnya. Kenapa ia harus merasa hidupnya hancur saat ia tak ada?
Tapi Sasuke memang sangat kehilangan. Semakin hari ia semakin gelisah. Naruto sudah menjadi heroinnya dan ia kecanduan karenanya. Karena itulah, ia berubah jadi seperti orang yang lagi sakaw saat Naruto tak ada. Ia menjalani harinya tanpa semangat, apalagi bahagia.
"Sas..., aku dapat kabar penting." Kata Gaara suatu hari saat Sasuke baru saja memasuki ruang kuliah.
"Apa?" tanya Sasuke antusias buru-buru menghampiri Gaara.
"Kata Hinata teman dekatnya Naruto, sehari sebelum ia menghilang, Itachi  menemuinya."
"Apa" teriak Sasuke marah. 'Apalagi yang dilakukan si brengsek itu? Belum puas apa ia menghancurkan hidupnya selama ini?' batinnya.
"Sas... Sas...Sasss... kau mau kemana?"
"Hn." Gumam Sasuke sama sekali tak menjawab pertanyaan Gaara. Ia berlalu pergi begitu saja.
Sasuke bergegas, baca berlari ke tempat parkir. Ia mengendarai mobilnya ugal-ugalan. Tempat yang ia tuju kali ini mansion Itachi. Ia mengepalkan tangannya marah. 'Si brengsek itu harus membayarnya, mahal.' Batinnya.
Ia masuk apartemen itu secara brutal, meski pintunya sama sekali tak dikunci. Matanya menatap nyalang, marah. Ia mengabaikan posisi Itachi yang tak pantas. Ia sedang bertelanjang bulat, sedang menindih seorang artis yang Sasuke ketahui seorang artis pendatang baru yang juga selama telanjangnya dengan kakaknya. Mereka bahkan sudah menyatukan tubuhnya. Sasuke mendengus jijik. 'Tak pernah berubah. Si brengsek ini.' batinnya. "Keluar kau." hardik Sasuke pada wanita itu.
"Kau tak berhak mengusirku." Kata wanita itu dengan mata menantang. Memang siapa dia? Pemilik apartemen? Seenaknya saja datang dengan cara yang tidak sopan dan lalu mengusirnya seenak udelnya.
"Apa perlu ku panggil wartawan ke sini?" kata Sasuke dingin.
Wajah wanita itu langsung pias. Meski menyukai Itachi, actor kenamaan di Jepang, ia tak mau mempertaruhkan karir yang sudah dirintisnya susah payah. Ia dengan berat hati melepaskan dirinya dari Itachi, lalu memungut bajunya yang berserakan di lantai. Ia biarkan orang asing itu bersama Itachi berdua dalam kamar.
"My otouto... Ada apa ke sini? Kau juga mau bermain dengannya?" katanya cuek, tak mau memakai pakaiannya. Ia terlalu percaya diri dengan tubuhnya. Ia ingin menggoda adiknya, untuk menutupi kepedihan hatinya. Lebih baik ia terlihat memuakkan daripada terlihat rapuh.
"Hentikan. Itu menjijikkan." Dengus Sasuke.
Ha ha haaa... Itachi bukannya takut malah geli. "Kau memang masih ingusan. Pantas Sakura lebih memilihku." Katanya mengejek. Ia ingat alasan kenapa Sakura mau dengannya, karena ia jago di ranjang. Sedang adiknya itu payah di ranjang, tak sesuai dengan penampilannya. Itu kata Sakura, saat ia curhat dulu hingga akhirnya mereka berakhir di atas ranjang.
"Jangan pikir, aku marah padamu karena itu. Malah aku mau mengucapkan selamat padamu. Selamat menikmati bekasku." Balas Sasuke tak kalah dinginnya.
“Oh, ya?” Itachi duduk  di atas ranjangnya dengan gayanya yang anggun, masih bertelanjang bulat. Ia menopangkan satu tangannya ke atas dagunya. “Aku meragukannya karena Sakura datang padaku dengan kondisi perawan.”
Sasuke memang makhluk yang ingin. Meski sudah dipancing dengan sedemikian rupa, ia masih tetap tenang. Wajahnya tetap datar tanpa emosi, seolah mengetahui perselingkuhan tunangannya dengan kakak kandungnya sendiri adalah hal yang biasa dan remeh seremeh melihat matahari terbit dari timur saat pagi hari.
“Apa kau lupa? Aku ini hanya mau memakai barang branded dan berkualitas. Tubuhku alergi dengan barang-barang murahan.” Sasuke memamerkan senyum jumawanya, merasa menang. “Aku tak mau menyentuh wanita jahanam itu, bukan karena aku tak bisa, tapi karena aku tahu ia murahan.”    
“TUTUP MULUTMU..!” betnak Itachi dengan oniks menyala-nyala.
“Itu kenyataannya. Hanya wanita murahan yang dengan mudahnya menyerahkan tubuhnya pada laki-laki yang bukan suaminya. Asal kau tahu saja, hari itu, saat aku memergoki pengkhianatan kalian, sebetulnya aku berniat membatalkan pertunangan kami. Aku tak tahan bertunangan dengannya, membuat tubuhku gatal-gatal,” balas Sasuke dengan senyum mengejek.
Itachi mengertakkan giginya kesal. Meski menyayangi adiknya, dari dulu ia selalu iri pada Sasuke. Sasuke lebih tampan, lebih menawan, dan tak gampang marah. Semua sifat yang tak pernah ada padanya. Ia bahkan bisa membuat orang lain siapapun itu terpesona olehnya, meski hanya dengan tatapan mata.
Awalnya, Itachi tak memperdulikan semua itu, sampai akhirnya ia bertemu Sakura. Itachi iri pada adiknya karena Sakura yang juga diincarnya lebih memilih Sasuke. Perlu sedikit trik dan manipulasi hingga akhirnya Sakura berhasil ia takhlukkan. "Mau apa kau kemari?" tanyanya sengit.
Sasuke menatap tajam kakaknya. "Apa yang kau katakan pada Naruto?" katanya tajam menusuk.
'Naruto? Siapa dia?' pikir Itachi bingung. Bayangan gadis berpakaian seperti kurungan ayam melintas dalam otaknya. "Apa urusanmu? Kau itu mau tahu saja?" katanya mempermainkan.
Sasuke mendesis. Ia mendekatkan wajahnya pada Itachi. "Jika sampai aku menemukan Naruto dan ia terluka karenamu. Aku bersumpah, kau akan membayarnya sangat mahal." Desisnya lalu berlalu pergi.
Itachi tertegun. Baru kali ini ia lihat emosi yang amat pekat membayangi onix adiknya. Itu bukan hanya wujud rasa amarah, tapi juga frustasi. Itu sesuatu yang baru untuk Itachi.
Sasuke selama ini terkenal dengan pengendalian emosinya. Ia bersikap sangat dingin. Bahkan saat memergoki Sakura di atas ranjangnya pun, Sasuke tak banyak bicara. Tanpa adegan caci maki. Tanpa teriakan. Dan, tanpa  emosi berlebih, ia meletakkan cincin pertunangannya di atas meja begitu saja dan lalu meninggalkan dua makhluk pengkhianat itu. Malah Itachi menangkap rasa lega menghiasi oniks Sasuke. Kenapa sekarang reaksinya pada Naruto berbeda?
Jadi siapa sebenarnya Naruto itu? Apa hubungannya dengan Sasuke? Pasangan kekasihkah? Atau soulmate yang selama ini dicari Sasuke? Itachi membayangkan pertemuan pertama mereka. Gadis itu duduk di taman sedang membaca buku. Bagitu berbicara dengannya, Itachi langsung merasa betapa miripnya gadis itu dengan Sasuke.
Mereka memang terlihat berbeda, tapi di satu sisi terlihat sama. Gadis itu memiliki pengendalian emosi yang sama kuatnya dengan Sasuke. Bedanya, gadis itu dalam kondisi emosi seperti apapun selalu tersenyum, sedangkan Sasuke memilih diam. Ia juga terang-terangan tak nyaman di dekat lawan jenis, seperti yang dilakukan Sasuke. Sorot matanya pun sama tajamnya dengan Sasuke. Bedanya, ia seperti bisa membelah isi pikiranmu. Bukankah mereka mirip?

Flashback
Itachi pergi menemui Naruto, wanita yang dikabarkan saat ini dekat dengan Sasuke. Ia ingin menemui gadis itu. Jika benar ia dekat dengan adiknya, ia mungkin bisa membantunya. Teman-teman Sasuke menolak membantunya. Malah mereka tak segan, memberinya tanda mata. Padahal, ia ingin berdamai dengan adiknya. Ia sudah lelah dengan perseteruan mereka.
Itachi mengedarkan pandangannya, mencari sosok Naruto. Kata orang, Naruto biasanya di jam-jam seperti ini selalu menghabiskan waktunya dengan duduk di taman. ‘Ah, itu dia,’ batinnya setelah ia menemukan sosok dengan baju yang membalut sekuju tubuhnya, hanya menyisakan wajah dan telapak tangannya.
Itachi melangkah, menghampiri Naruto. "Apa kau yang namanya Naruto?" tanya Itachi to the point.
"Ya. Anda siapa?" tanya Naruto dengan nada formal.
"Aku kakaknya."
"Sasuke sedang kuliah di ruang RK Sakura II no 3 lantai 4."
Itachi mengedipkan matanya. Baru kali ia bertemu dengan seorang gadis yang tak terpesona oleh ketampanannya. Sakura aja yang sempat menolaknya pun sempat tersipu malu. Kalo saja Sasuke tak muncul, mungkin ia sudah bersama dengan Sakura. "Aku ingin bicara denganmu."
"Tentang?"
"Aku ingin minta bantuanmu."
Naruto tertegun. Ia seperti melihat ada pergulatan batin di mata pria yang menjulang tinggi di depannya itu. Bibirnya yang penuh dan keras itu bergetar, seolah tak sabar mencurahkan isi hatinya. Naruto sebenarnya ingin membantu, tapi ia juga tak ingin terlibat urusan pribadi, apalagi dengan seorang cowok. Itu sangat tidak 'Ahsan'. Maaf saya bukan psikiater. Saya tak bisa menampung keluh kesah anda.” Tolak Naruto halus.
Tolong aku. Aku ingin menebus dosa-dosaku." Desak Itachi. Tanpa permisi ia duduk di samping Naruto.
Naruto terlonjak kaget dan memilih berdiri menjaga jarak dari pria yang usianya 5-7 tahun lebih tua darinya. "Maaf saya bukan pendeta. Saya tak punya kuasa memberi ampunan dosa. Cari saja yang lain!"
"Aku mohon." Kata Itachi resah. Matanya memancarkan rasa bersalah. "Apa kau jijik padaku? Yah pantas saja. Adikku pun begitu." Katanya, lelah. Matanya menerawang putus asa.
"Jangan salah paham. Saya melakukannya karena ini aturan agama saya. Jika ada laki-laki dan perempuan berdua-duaan dalam satu tempat maka ketiganya setan. Saya tak ingin terjadi fitnah."
"Kalo ada orang lain bisa, kan?" kata Itachi antusias.
"Eh, itu... hei..." teriak Naruto tak bisa menghentikan Itachi meminta orang untuk menemani mereka bicara. Lima menit Itachi sudah datang bersama Hinata, teman kuliah Naruto juga.
"Nah sekarang bisa, kan?" tanyanya penuh harap.
Naruto tersenyum ragu. "Ku mohon." Kata Itachi menghapus keraguan Itachi. Terpaksa Naruto menganggukkan kepala.
Itachi lalu menceritakan aibnya, tanpa malu karena ia cukup yakin Naruto tak akan ember dan Hinata bukan tipa ember bolong. Ia yakin rahasianya aman tak akan bocor di media. Ia ceritakan semuanya secara gamblang, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi.
"Aku selalu dihimpit perasaan bersalah. Aku menyayangi adikku, tapi aku juga iri padanya. Aku begitu mencintai Sakura dan menginginkan dirinya untukku sendiri, meski aku tahu dia kekasih adikku. Aku tak kuasa menahannya hingga akhirnya aku nekat merebutnya dari tangan Sasuke." Katanya, bergetar.
Ia mengingat masa-masa saat ia mengancam Sakura untuk terus mau tidur dengannya. Jika tidak, ia akan memberikan foto saat mereka berhubungan intim pertama kali. Sakura awalnya menerimanya dengan penuh keterpaksaan, tapi akhirnya ia menikmatinya. Mereka semakin liar dan di luar batas, ketagihan. Akhirnya pengkhianatan mereka ketahuan oleh Sasuke.
Wajah Hinata memucat, tak percaya mendengar cerita ini. 'Pantas Sasuke-kun begitu membenci wanita.' Batin Hinata.
Raut wajah Naruto sulit dibaca. Tapi Itachi bisa melihat pantulan kebencian dan jijik dari bola mata safirnya. Bibirnya lebih kaku dan senyumnya menunjukkan ketidak sukaan. Saat itulah, Itachi menyadari kesalahan terbesarnya. Kedua wanita di depannya ini tipe wanita alim yang menjunjung tinggi norma. Itachi yakin, mereka pasti belum pernah melihat ataupun mendengar hal-hal cabul yang dilakukannya. Dan, ia bersalah karena menodai keluguan mereka.
"Kini semua sia-sia. Sakura mati bunuh diri dan menderita karenaku. Sasuke tak bahagia juga karena aku. Aku bersalah. Aku berdosa. Tapi..."
"Tapi kau tak menyesalinya jika hal itu terulang lagi." Kata Naruto melanjutkan. Rasa jijiknya pada perbuatan maksiat Itachi dan kekejian itu membuat sikap ingin berramah tamahnya terkikis. Ia tak lagi menyebut anda-saya dengan penuh rasa sopan dan hormat. Ada kemarahan tersimpan dalam nada dinginnya, meski ia tetap berusaha sopan. Bukankah seorang pendosa masih punya kesempatan untuk bertaubat?
"Ya. Aku merasa sangat bahagia dan utuh saat kami..." Itachi lega, karena ia berhasil menelan kembali kosa kata cabul yang sudah ada di ujung lidahnya. Ia tak mau mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
"Tentu saja. Rasa nikmat yang tiada tara, efek dari buah terlarang."
Itachi menganggukkan kepalanya. Ya itu juga. Efek hubungan terlarang terasa lebih menggairahkan saat mereka berdua bercinta. Itu pula yang mungkin dirasakan Sakura. Mereka berdua hanyut dalam kenikmatan duniawi hingga lupa diri.
"Kau tahu kenapa buah terlarang begitu nikmat seperti candu?"
Itachi memilih menggelengkan kepala.
"Karena ada setan diantara hubungan itu. Sebenarnya itu biasa saja, seperti hubungan yang lainnya, tapi setan memberi nilai tambahan kenikmatan, hingga kalian terperdaya olehnya. Lalu lupa diri." Katanya sinis.
Itachi tetap bungkam. Itu sesuatu yang baru untuknya. Bercinta ya bercinta. Kenapa gadis ini menghubungkannya dengan setan?
"Kau pasti heran, kenapa aku menghubungkannya dengan setan?" kata Naruto. Tatapan Itachi sudah cukup jadi jawaban bahwa tebakan Naruto benar.
"Nafsu dari setan, hanya memberi nikmat luar biasa di awal, dan berakhir dengan penyesalan dan penderitaan yang tak berkesudahan. Kau akan selalu merasa kurang, kurang, dan kurang. Seperti ada lubang yang sangat besar di sini!" Kata Naruto menjelaskan sambil menunjuk dadanya.
"Kau akan terus mencari-cari, untuk menambal lubang itu, apa yang kurang dari dirimu, tapi tak kunjung ketemu, hingga tanpa kau sadari kau semakin terperosok semakin dalam. Kau akan merasa putus asa, tak bahagia, lalu mencurahkan ketidak bahagiaan itu dengan menenggelamkan diri dengan seks, minuman keras, dan narkoba. Seperti lingkaran setan." tambahnya.
'Sepertiku, kan?' batin Itachi. Ia tahu. Sakura pun tahu, ini salah. Tapi mereka tak bisa melepaskan diri dari jeratan ini, hingga membiarkan diri mereka dalam jalinan cinta terlarang. Lagi-lagi dan lagi dan semakin liar, hingga lupa diri. Hanya kematian yang bisa menghentikannya.
Benarkah jalinan asmaranya dengan Sakura tak lebih dari pelampiasan nafsu, dan bukan cinta yang sebenarnya? Itachi tak pernah memikirkannya. Ia sudah terlanjur hancur dan otaknya tak bisa lagi diajak berfikir jernih. Antara cinta, nafsu dan obsesi tak lagi bisa ia bedakan. Di matanya semua sama.
"Sedang cinta dari Kami-sama akan membuat kita selalu bahagia, bahkan di saat kita tak memiliki apa-apa dan hanya seorang diri." Lanjut Naruto.
Mereka lalu sama-sama terdiam. Masing-masing saling berfikir.
"Kini aku ingin berdamai dengan adikku. Melupakan semua yang telah lalu." katanya mengakhiri cerita.
"Jika Sasuke melakukan hal yang sama denganmu, apa kau akan memaafkannya?"
'Aku akan membunuhnya.' Jawab Itachi dalam hati. "Tidak." Katanya memutuskan pada akhirnya.
"Lalu kenapa kau berharap Sasuke bisa memaafkanmu?"
"Aku..." Itachi tak bisa membalas. Ya, dia memang egois. Kenapa Sasuke harus memaafkannya?
"Kau bahkan tak menyesalinya. Lalu kenapa Sasuke harus melupakannya, pengkhianatanmu?"
"A-a-aku..." Itachi kehilangan kata-kata. Ia yang pintar bersilat lidah, mati kutu di hadapan gadis itu.
"Berzina itu salah, apalagi dengan calon istri adikmu? Kau pun tak menyesalinya. Lalu kenapa kau inginkan ampunan dosa? Pengampunan dan kata maaf hanya akan terwujud jika ada penyesalan mendalam dan janji tak akan mengulanginya lagi. Renungkan hal itu." Kata Naruto bijak.
"Nar... apa menurutmu suatu saat ia akan memaafkanku?" tanya Itachi lirih. Kali ini ada raut sesal di sudut iris onixnya.
"Saya tak tahu. Itu tergantung Sasuke. Apa ia bisa sembuh dari luka itu?" Kini ia bisa mengendalikan diri, setelah melihat ada rasa sesal di diri Itachi dan ada niat untuk memperbaiki kerusakan yang telah diakibatkan olehnya.
"Ternyata sulit ya?"
"Waktu memang bisa menyembuhkan luka, tapi kita tak akan pernah lupa sakitnya. Karena itulah harga 'Maaf' mahal. Karena tak semua orang bisa sembuh dari trauma rasa sakit dari luka itu, meski luka itu sendiri sudah lama hilang, tak berbekas."
End Flashback
Itu percakapan terakhir mereka. Lalu Naruto meninggalkannya. Ia tak mengerti kenapa setelah itu Naruto menghilang? Mungkinkah ia tersinggung dengan cerita Itachi? Atau mungkin ia begitu jijiknya hingga menganggap Sasuke pun sama sepertinya?
Pikiran terakhir itu membuat Itachi cepat-cepat bangun dan mencari pakaiannya yang berserakan. Sedikit banyak kalimat terakhir Naruto mempengaruhi opininya. Tadi ia sengaja ingin bercinta untuk membuktikan kata-kata Naruto.
Benar nafsu itu dari setan. Memang memberi nikmat sementara, tapi tak bisa memberi rasa hangat dan rasa utuh di dada. Hatinya akan tetap kosong, tak berisi. Hanya kata maaf Sasuke yang akan membuatnya utuh. Hanya cinta sejati yang akan membuatnya tersenyum bahagia.
"Aku harus membantu menemukannya. Dengan itu Sasuke mungkin akan sedikit memaafkannya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar