Summary : Bagi Sasuke, Naruto itu oase di tengah padang
pasir. Oksigen di tengah udara kotor. Bagaimana jadinya jika Naruto menghilang
tanpa jejak? Sasuke pun kelimpungan mencarinya. Kemana? Dimana? Ia harus
mencari kemana? Oh Naruto dimanakah kamu? Sekuel Who is she. SasufemNaru.
DISCLAIMER
: Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre
: Friendship dan Hurt/Comfort
Rating
: T
WARNING
: Bertebaran typo, hasil SKS, tak sesuai EYD, bikin kepala pening, gaje and
many mores.
Pair
: SasufemNaru just friend slight ItafemNaru
Don't Like Don't Read
Chapter one
Siapa dia, Inginku mengenalnya
Berkali jumpa ku terpesona
Sungguh ku telah tergoda
Sedangkan cintaku yang luka
Belum sembuh adanya
Sasuke berlari terburu-buru di koridor kampus. Beberapa
orang disenggol dan beberapa lagi tertubruk tubuhnya yang menjulang tinggi,
sepanjang jalan. Ia hanya bergumam maaf, tapi tak berhenti. Ia baru berhenti
setelah tiba di tempat tujuan, yakni ruang administrasi.
"Permisi. Saya mau tanya apa Naruto mengajukan cuti
kuliah? Beberapa hari ini,
saya tak melihatnya kuliah?" tanya Sasuke
sopan pada pegawai administrasi. Seorang wanita setengah baya.
Wanita bernama Artiga-san itu menatap Sasuke tak
percaya. Ia terkejut dengan kesopanan Sasuke. Baru pertama kali dalam hidupnya, ia
disapa dengan sopan oleh anak seorang konglomerat. Biasanya, mereka kan bersikap arrogan
dan main perintah seenaknya sendiri, berlagak sok kuasa. Tapi ia segera
menguasai keadaan dan kembali bersikap profesional. "Dia jurusan apa?"
katanya dengan nada resmi.
"Jurusan ilmu komunikasi dan teknologi tingkat 2.
Namanya Naruto."
"Sebentar saya cari dulu datanya." Tangannya
dengan terampil mengetikkan beberapa huruf di keyboard. Tak lama kemudian layar
monitor menunjukkan data yang diinginkan. Ia baca sebentar.
"Benar. Ia mengajukan cuti selama satu semester
seminggu yang lalu."
"Maaf kalo saya boleh tahu apa alasannya? Apa karena
kurang biaya?"
"Di sini tercatat ada kepentingan keluarga."
"Begitu. Apa saya boleh minta alamat rumahnya? Saya
temannya, tapi seminggu yang lalu saya melakukan kunjungan ke daerah Shibuya, sehingga saya tidak tahu
jika ia sudah pindah kos dan saya kehilangan
kontak dengannya. Padahal, ada hal penting yang harus saya bicarakan
dengannya."
"Wah, dia tidak mencantumkan alamat rumahnya, hanya
kosan di jalan Kampus street."
"Tak adakah keterangan lain? Nama keluarga atau
sebagainya begitu?"
"Maaf, tidak Uchiha-san. Sekali lagi maaf saya tak
bisa membantu banyak."
"Tidak Artiga-san.
Anda sudah banyak membantu saya. Permisi." Kata Sasuke pamitan dengan
sopan.
"Sama-sama." Mrs. Artiga.
Sasuke keluar ruangan dengan tubuh lunglai. Ia merasa
harapannya pupus sudah. Kemana lagi ia harus mencarinya? Di kosan tak ada. Malah
kata induk semangnya, Naruto tak memperpanjang sewanya. Di tempat ia kerja
sambilan pun tak ada. Sekarang di kampus pun ia tak ada, juga. Ia sudah
menyusuri jalanan di kota Konoha, tapi itu pun sia-sia. Naruto tak kelihatan
batang hidungnya. Ia seperti hilang di telan bumi.
"Naruto sebenarnya kamu dimana?" desahnya pada
angin yang lewat.
Sasuke merasa sangat kehilangan sosok Naruto. Ia masih
alergi wanita, tapi Naruto itu pengecualian. Hanya Naruto yang bisa membuat
Sasuke merasa begitu dekat. Sasuke selalu menikmati kebersamaan mereka yang di
mata orang terasa aneh, tiap detiknya. Mereka biasa menghabiskan waktu bersama,
dengan jarak 3 meteran. Itu pun Sasuke sudah senang. Tapi kini, sosok itu bahkan tak lagi ada
dalam jangkauan matanya. She is gone.
"Kau kenapa, Bro? Loyo gitu." Tegur Neji heran
sambil menghampiri Sasuke yang tengah berdiri termenung di koridor. Tangannya
mencengkeram pagar besi yang membatasi koridor dengan taman.
Sasuke mendesah lagi. Tanpa menoleh, ia berkata, "Dia menghilang Ji," dengan suara
yang lirih.
"Eh.." Gumam Neji. Ia mengira-ngira siapa 'Dia'
yang dimaksud Sasuke. "Naruto?"
"Ya."
Neji tersenyum miris. Dalam hati bertanya-tanya,
'Sebenarnya apa sih hubungan keduanya? Sasuke kayak orang yang ditinggal mati
kekasihnya saja. Masak
baru seminggu sudah kuyu gitu?' Neji menatap langit biru di atas sana. "Boleh ku tanya satu hal?"
"Apa?" kata Sasuke tetap lirih, seolah dunia
akan hancur kalo ia bersuara sedikit lebih keras.
"Di matamu,
Naruto itu apa?"
Sasuke terdiam, berfikir. "Apa itu penting?"
"Menurutku begitu." Kata Neji. 'Kalo dia memang sangat berharga untukmu, pasti
aku
akan membantumu untuk menemukannya —dengan
cara apapun—. Demi kebahagiaan sahabatku, aku rela.' Tambahnya dalam hati.
Sasuke menimbang-nimbang, haruskah ia menjawabnya?
Sebenarnya tak terlalu penting, sih. Tapi kalo Neji ikutan membantu, mungkin
menemukan Naruto akan jadi lebih
mudah. Dia kan punya banyak kenalan. Mungkin ada baiknya juga cerita? Tapi, ia sendiri juga masih bingung tentang
perasaannya.
Sasuke
mengalihkan
pandangannya, menengadah ke atas.
Matanya menerawang menatap langit biru nan
cerah, warna yang mengingatkan padanya, pada sosok Naruto. "Aku tak tahu,
Ji. Aku hanya tahu, aku harus mencarinya." Katanya kemudian.
"Kenapa?"
"Setelah ia menghilang, aku baru sadar, jika aku tak bisa jauh darinya. Seperti ada yang hilang dalam
hidupku. Di sini." Sasuke menunjuk dadanya. "Rasanya sakit, Ji."
Neji menatap Sasuke dengan pandangan yang sulit
diartikan. Emosinya campur aduk. Sekian lama mereka bersahabat, baru kali ini
ia mendengar pernyataan ajaib itu. Sasuke yang dikenalnya, orang yang dingin,
nyaris tak berperasaan. Ia tergolong makhluk emotione less. Sekarang ia merasa
hidupnya hampa? Itu keajaiban. Lebih-lebih, jika itu dikarenakan seorang cewek.
"Apa kau
mencintainya?" Suara Neji terdengar ganjil bahkan di telinganya
sendiri.
Sasuke diam. Ia baru mau buka mulut setelah lima belas
menit lewat. "Entah."
Jawabnya muram.
Apa itu cinta? Sasuke tak tahu. Itu frasa yang sulit dipahami Sasuke. Dulu, saat
bersama Sakura, ia pikir ia sedang jatuh cinta. Tapi.., entah kenapa sudut dalam hatinya yang keras
kepala meragukannya. Kemudian, Sakura mengkhianatinya, dan ia tak ingin lagi mengenal kata
itu. Kata itu ia coret dari daftar hal-hal yang harus ia pikirkan dan ia
renungkan. Ia tak mau merasakan sakit lagi. Dan, lalu yach terlupakan begitu
saja.
Neji diam mendengarkan. Sasuke buka suara lagi. "Aku tak tahu, Ji. Aku
hanya tahu, aku ingin di dekatnya." Katanya berusaha menjelaskan apa yang
dirasakannya saat bersama Naruto.
"Itu cinta, Sasuke." Cetus Neji.
Sasuke menatap Neji sengit. "Mana mungkin?" sergah
Sasuke.
"Terserah kau mau mengelaknya seperti apa, sobat.
Tapi, jika kau
tak cepat-cepat menyadari perasaanmu, kau akan kehilangan dirinya. Atau sudah? Bukankah ia
sudah menghilang saat ini?"
Sasuke dengan gusar,
memalingkan mukanya.
Ia tak bisa membalasnya. Neji benar. Bagaimana kalo Naruto benar-benar
menghilang dari hidupnya, selamanya? Bagaimana kalo Naruto menemukan tambatan
hatinya? Lalu bagaimana dengan Sasuke? Hanya Naruto, cewek yang dikenalnya
kini, yang bisa membuat hatinya tentram.
"Pikirkan itu baik-baik!” nasehat
Neji bijak. “Akan ku coba mencari tahu tentangnya dari kenalanku."
"Trims, Ji." Sasuke mengucapkannya
dengan tulus. Ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Neji yang selalu
berada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Di saat Sasuke terpuruk pun,
Neji selalu ada di sampingnya, menyokongnya.
"Tak masalah. Itulah gunanya teman."
Seminggu berlalu tanpa berita apa-apa. Sasuke tetap tak
menemukan jejaknya. Teman-temannya yang lain pun ikut membantu, tapi semua
dengan hasil yang sama, nihil. Sasuke memang diam, tak berkomentar, tapi semua
temannya tahu Sasuke gelisah. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi, sehingga emosinya
tidak stabil, mudah meletup oleh persoalan-persoalan sepele.
Meski demikian, Sasuke tidak menelantarkan kuliahnya. Bagian dirinya yang
bertanggung jawab, tetap memaksakan
diri kuliah, makan dan segudang kesehariannya, di samping usahanya mencari Naruto. Ia tahu
Naruto tak akan senang jika kuliahnya berantakan. Lagipula bukankah itu agak
aneh? Memang Naruto itu apanya? Ia bukan istri, anak, ataupun kekasihnya.
Kenapa ia harus merasa hidupnya hancur saat ia tak ada?
Tapi Sasuke memang sangat kehilangan. Semakin hari ia
semakin gelisah. Naruto sudah menjadi heroinnya dan ia kecanduan karenanya. Karena itulah, ia berubah jadi seperti orang yang lagi sakaw saat Naruto
tak ada. Ia
menjalani harinya tanpa semangat, apalagi bahagia.
"Sas..., aku dapat kabar penting." Kata Gaara suatu hari
saat Sasuke baru saja memasuki ruang kuliah.
"Apa?" tanya Sasuke antusias buru-buru
menghampiri Gaara.
"Kata Hinata teman dekatnya Naruto, sehari sebelum ia menghilang, Itachi menemuinya."
"Apa" teriak Sasuke marah. 'Apalagi yang
dilakukan si brengsek itu? Belum puas apa ia menghancurkan hidupnya selama
ini?' batinnya.
"Sas... Sas...Sasss... kau mau kemana?"
"Hn." Gumam Sasuke sama sekali tak menjawab
pertanyaan Gaara. Ia
berlalu pergi begitu saja.
Sasuke bergegas, baca berlari ke tempat parkir. Ia
mengendarai mobilnya ugal-ugalan. Tempat yang ia tuju kali ini mansion Itachi.
Ia mengepalkan tangannya marah. 'Si brengsek itu harus membayarnya, mahal.'
Batinnya.
Ia masuk apartemen itu secara brutal, meski pintunya sama
sekali tak dikunci. Matanya menatap nyalang, marah. Ia mengabaikan posisi
Itachi yang tak pantas. Ia sedang bertelanjang bulat, sedang menindih seorang
artis yang Sasuke ketahui seorang artis pendatang baru yang juga selama telanjangnya dengan
kakaknya. Mereka
bahkan sudah menyatukan tubuhnya. Sasuke mendengus jijik. 'Tak pernah berubah.
Si brengsek ini.' batinnya. "Keluar
kau." hardik
Sasuke pada wanita itu.
"Kau tak berhak mengusirku." Kata wanita itu dengan mata menantang. Memang siapa dia?
Pemilik apartemen? Seenaknya saja datang dengan cara yang tidak sopan dan lalu mengusirnya seenak
udelnya.
"Apa perlu ku panggil wartawan ke sini?" kata
Sasuke dingin.
Wajah wanita itu langsung pias. Meski menyukai
Itachi, actor kenamaan di Jepang, ia tak mau mempertaruhkan karir yang sudah
dirintisnya susah payah. Ia
dengan berat hati melepaskan dirinya dari Itachi, lalu memungut bajunya yang
berserakan di lantai. Ia biarkan orang asing itu bersama Itachi berdua dalam
kamar.
"My otouto... Ada apa ke sini? Kau juga mau bermain
dengannya?" katanya cuek, tak mau memakai pakaiannya. Ia terlalu percaya
diri dengan tubuhnya. Ia ingin menggoda adiknya, untuk menutupi kepedihan
hatinya. Lebih baik ia terlihat memuakkan daripada terlihat rapuh.
"Hentikan. Itu menjijikkan." Dengus Sasuke.
Ha ha haaa... Itachi bukannya takut malah geli. "Kau
memang masih ingusan. Pantas Sakura lebih memilihku." Katanya mengejek. Ia ingat alasan kenapa Sakura
mau dengannya, karena ia jago di ranjang. Sedang adiknya itu payah di ranjang,
tak sesuai dengan penampilannya. Itu kata Sakura, saat ia curhat dulu hingga
akhirnya mereka berakhir di atas ranjang.
"Jangan pikir, aku marah padamu karena itu. Malah aku mau mengucapkan selamat padamu. Selamat menikmati
bekasku." Balas Sasuke tak kalah dinginnya.
“Oh, ya?” Itachi duduk
di atas ranjangnya dengan gayanya yang anggun, masih bertelanjang bulat.
Ia menopangkan satu tangannya ke atas dagunya. “Aku meragukannya karena Sakura
datang padaku dengan kondisi perawan.”
Sasuke memang makhluk yang ingin. Meski sudah
dipancing dengan sedemikian rupa, ia masih tetap tenang. Wajahnya tetap datar
tanpa emosi, seolah mengetahui perselingkuhan tunangannya dengan kakak kandungnya
sendiri adalah hal yang biasa dan remeh seremeh melihat matahari terbit dari
timur saat pagi hari.
“Apa kau lupa? Aku ini hanya mau memakai barang
branded dan berkualitas. Tubuhku alergi dengan barang-barang murahan.” Sasuke
memamerkan senyum jumawanya, merasa menang. “Aku tak mau menyentuh wanita
jahanam itu, bukan karena aku tak bisa, tapi karena aku tahu ia murahan.”
“TUTUP MULUTMU..!” betnak Itachi dengan oniks menyala-nyala.
“Itu kenyataannya. Hanya wanita murahan yang dengan
mudahnya menyerahkan tubuhnya pada laki-laki yang bukan suaminya. Asal kau tahu
saja, hari itu, saat aku memergoki pengkhianatan kalian, sebetulnya aku berniat
membatalkan pertunangan kami. Aku tak tahan bertunangan dengannya, membuat
tubuhku gatal-gatal,” balas Sasuke dengan senyum mengejek.
Itachi
mengertakkan giginya kesal. Meski menyayangi adiknya, dari dulu ia selalu iri
pada Sasuke. Sasuke lebih tampan, lebih menawan, dan tak gampang marah. Semua
sifat yang tak pernah ada padanya. Ia bahkan bisa membuat orang lain siapapun
itu terpesona olehnya, meski hanya dengan tatapan mata.
Awalnya, Itachi tak memperdulikan semua itu, sampai akhirnya ia bertemu
Sakura. Itachi iri pada
adiknya karena
Sakura yang juga diincarnya lebih memilih Sasuke. Perlu sedikit trik dan
manipulasi hingga akhirnya Sakura berhasil ia takhlukkan. "Mau apa kau
kemari?" tanyanya sengit.
Sasuke menatap tajam kakaknya. "Apa yang kau katakan pada
Naruto?" katanya tajam menusuk.
'Naruto? Siapa dia?' pikir Itachi bingung. Bayangan gadis
berpakaian seperti kurungan ayam melintas dalam otaknya. "Apa urusanmu?
Kau itu mau tahu saja?" katanya mempermainkan.
Sasuke mendesis. Ia mendekatkan wajahnya pada Itachi.
"Jika sampai aku menemukan Naruto dan ia terluka karenamu. Aku bersumpah,
kau akan membayarnya sangat mahal." Desisnya lalu
berlalu pergi.
Itachi tertegun. Baru kali ini ia lihat emosi yang amat
pekat membayangi onix adiknya. Itu bukan hanya wujud rasa amarah, tapi juga
frustasi. Itu sesuatu yang baru untuk Itachi.
Sasuke selama ini terkenal dengan pengendalian emosinya.
Ia bersikap sangat dingin. Bahkan saat memergoki Sakura di atas ranjangnya pun,
Sasuke tak banyak bicara. Tanpa adegan caci
maki. Tanpa teriakan. Dan, tanpa emosi berlebih, ia meletakkan cincin pertunangannya di
atas meja begitu saja dan lalu meninggalkan dua makhluk pengkhianat itu. Malah Itachi menangkap rasa
lega menghiasi oniks Sasuke. Kenapa sekarang
reaksinya pada Naruto berbeda?
Jadi siapa sebenarnya Naruto itu? Apa hubungannya dengan
Sasuke? Pasangan kekasihkah? Atau soulmate yang selama ini dicari Sasuke?
Itachi membayangkan pertemuan pertama mereka. Gadis itu duduk di taman sedang
membaca buku. Bagitu berbicara dengannya, Itachi langsung merasa betapa
miripnya gadis itu dengan Sasuke.
Mereka memang terlihat berbeda, tapi di satu sisi
terlihat sama. Gadis itu memiliki pengendalian emosi yang sama kuatnya dengan
Sasuke. Bedanya, gadis
itu dalam kondisi emosi seperti apapun selalu tersenyum, sedangkan Sasuke memilih
diam. Ia juga terang-terangan tak
nyaman di dekat lawan jenis, seperti yang dilakukan Sasuke. Sorot matanya pun sama tajamnya dengan Sasuke. Bedanya, ia seperti bisa membelah isi
pikiranmu. Bukankah mereka mirip?
Itachi pergi menemui Naruto, wanita
yang dikabarkan saat ini dekat dengan Sasuke. Ia ingin menemui gadis itu. Jika
benar ia dekat dengan adiknya, ia mungkin bisa membantunya. Teman-teman Sasuke
menolak membantunya. Malah mereka tak segan, memberinya tanda mata. Padahal, ia ingin berdamai dengan
adiknya. Ia sudah lelah dengan perseteruan mereka.
Itachi
mengedarkan pandangannya, mencari sosok Naruto. Kata orang, Naruto biasanya di
jam-jam seperti ini selalu menghabiskan waktunya dengan duduk di taman. ‘Ah,
itu dia,’ batinnya setelah ia menemukan sosok dengan baju yang membalut sekuju
tubuhnya, hanya menyisakan wajah dan telapak tangannya.
Itachi
melangkah, menghampiri Naruto. "Apa
kau yang namanya Naruto?" tanya Itachi to the point.
"Ya.
Anda siapa?" tanya Naruto dengan nada formal.
"Aku
kakaknya."
"Sasuke
sedang kuliah di ruang RK Sakura II no 3 lantai 4."
Itachi mengedipkan matanya. Baru kali
ia bertemu dengan seorang gadis yang tak terpesona oleh ketampanannya. Sakura
aja yang sempat menolaknya pun sempat tersipu malu. Kalo saja Sasuke tak
muncul, mungkin ia sudah bersama dengan Sakura. "Aku ingin bicara denganmu."
"Tentang?"
"Aku
ingin minta bantuanmu."
Naruto tertegun. Ia seperti melihat
ada pergulatan batin di mata pria yang menjulang tinggi di depannya itu. Bibirnya yang penuh dan
keras itu bergetar, seolah tak sabar mencurahkan isi hatinya. Naruto sebenarnya
ingin membantu, tapi ia juga tak ingin terlibat urusan pribadi, apalagi dengan
seorang cowok. Itu sangat tidak 'Ahsan'. “Maaf saya bukan psikiater. Saya tak bisa menampung keluh
kesah anda.” Tolak Naruto halus.
“Tolong
aku. Aku ingin menebus dosa-dosaku." Desak Itachi. Tanpa
permisi ia duduk di samping Naruto.
Naruto terlonjak kaget dan memilih
berdiri menjaga jarak dari pria yang usianya 5-7 tahun lebih tua darinya.
"Maaf saya bukan pendeta. Saya tak punya kuasa memberi ampunan dosa. Cari
saja yang lain!"
"Aku
mohon." Kata Itachi resah. Matanya memancarkan rasa bersalah. "Apa
kau jijik padaku? Yah pantas saja. Adikku pun begitu." Katanya, lelah.
Matanya menerawang putus asa.
"Jangan
salah paham. Saya melakukannya karena ini aturan agama saya. Jika ada laki-laki
dan perempuan berdua-duaan dalam satu tempat maka ketiganya setan. Saya tak
ingin terjadi fitnah."
"Kalo
ada orang lain bisa, kan?" kata Itachi antusias.
"Eh,
itu... hei..." teriak Naruto tak bisa menghentikan Itachi meminta orang
untuk menemani mereka bicara. Lima menit Itachi sudah datang bersama Hinata,
teman kuliah Naruto juga.
"Nah
sekarang bisa, kan?" tanyanya penuh harap.
Naruto tersenyum ragu. "Ku
mohon." Kata Itachi menghapus keraguan Itachi. Terpaksa Naruto
menganggukkan kepala.
Itachi lalu menceritakan aibnya, tanpa
malu karena ia cukup yakin Naruto tak akan ember dan Hinata bukan tipa ember
bolong. Ia yakin rahasianya aman tak akan bocor di media. Ia ceritakan semuanya secara
gamblang, tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi.
"Aku
selalu dihimpit perasaan bersalah. Aku menyayangi adikku, tapi aku juga iri
padanya. Aku begitu mencintai Sakura dan menginginkan
dirinya untukku sendiri,
meski aku tahu dia kekasih adikku. Aku tak kuasa menahannya hingga akhirnya aku
nekat merebutnya dari tangan Sasuke." Katanya, bergetar.
Ia mengingat masa-masa saat ia mengancam Sakura untuk
terus mau tidur dengannya. Jika tidak, ia akan memberikan foto saat mereka
berhubungan intim pertama kali. Sakura awalnya menerimanya dengan penuh
keterpaksaan, tapi akhirnya ia menikmatinya. Mereka semakin liar dan di luar
batas, ketagihan. Akhirnya pengkhianatan mereka ketahuan oleh Sasuke.
Wajah Hinata memucat, tak percaya
mendengar cerita ini. 'Pantas Sasuke-kun begitu membenci wanita.' Batin Hinata.
Raut wajah Naruto sulit dibaca. Tapi
Itachi bisa melihat pantulan kebencian dan jijik dari bola mata safirnya.
Bibirnya lebih kaku dan senyumnya menunjukkan ketidak sukaan. Saat itulah,
Itachi menyadari kesalahan terbesarnya. Kedua wanita di depannya ini tipe
wanita alim yang menjunjung tinggi norma. Itachi yakin, mereka pasti belum
pernah melihat ataupun mendengar hal-hal cabul yang dilakukannya. Dan, ia
bersalah karena menodai keluguan mereka.
"Kini
semua sia-sia. Sakura mati bunuh diri dan menderita karenaku. Sasuke tak
bahagia juga karena aku. Aku bersalah. Aku berdosa. Tapi..."
"Tapi
kau tak menyesalinya jika hal itu terulang lagi." Kata Naruto melanjutkan.
Rasa jijiknya pada perbuatan maksiat Itachi dan kekejian itu membuat sikap
ingin berramah tamahnya terkikis. Ia tak lagi menyebut anda-saya dengan penuh
rasa sopan dan hormat. Ada kemarahan tersimpan dalam nada dinginnya, meski ia
tetap berusaha sopan. Bukankah seorang pendosa masih punya kesempatan untuk
bertaubat?
"Ya.
Aku merasa sangat bahagia dan utuh saat kami..." Itachi lega,
karena ia berhasil menelan kembali kosa kata cabul yang sudah ada di ujung
lidahnya. Ia tak mau mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
"Tentu
saja. Rasa nikmat yang tiada tara, efek dari buah terlarang."
Itachi menganggukkan kepalanya. Ya itu
juga. Efek hubungan terlarang terasa lebih menggairahkan saat mereka berdua
bercinta. Itu pula yang mungkin dirasakan Sakura. Mereka berdua hanyut dalam kenikmatan
duniawi hingga lupa diri.
"Kau
tahu kenapa buah terlarang begitu nikmat seperti candu?"
Itachi memilih menggelengkan kepala.
"Karena
ada setan diantara hubungan itu. Sebenarnya itu biasa saja, seperti hubungan
yang lainnya, tapi setan memberi nilai tambahan kenikmatan, hingga kalian
terperdaya olehnya. Lalu lupa diri." Katanya sinis.
Itachi tetap bungkam. Itu sesuatu yang
baru untuknya. Bercinta ya bercinta. Kenapa gadis ini menghubungkannya dengan
setan?
"Kau
pasti heran, kenapa aku menghubungkannya dengan setan?" kata Naruto.
Tatapan Itachi sudah cukup jadi jawaban bahwa tebakan Naruto benar.
"Nafsu
dari setan, hanya memberi nikmat luar biasa di awal, dan berakhir dengan
penyesalan dan penderitaan yang tak berkesudahan. Kau akan selalu merasa kurang, kurang, dan
kurang. Seperti ada lubang yang sangat besar di
sini!" Kata Naruto menjelaskan sambil menunjuk dadanya.
"Kau akan terus mencari-cari,
untuk menambal lubang itu, apa yang kurang dari dirimu, tapi tak kunjung
ketemu, hingga tanpa kau sadari kau semakin terperosok semakin dalam. Kau akan
merasa putus asa, tak bahagia, lalu mencurahkan ketidak bahagiaan itu dengan
menenggelamkan diri dengan seks, minuman keras, dan narkoba. Seperti lingkaran
setan." tambahnya.
'Sepertiku,
kan?' batin Itachi. Ia tahu. Sakura pun tahu, ini salah. Tapi
mereka tak bisa melepaskan diri dari jeratan ini, hingga membiarkan diri mereka
dalam jalinan cinta terlarang. Lagi-lagi dan lagi dan semakin liar, hingga lupa
diri. Hanya kematian yang bisa menghentikannya.
Benarkah jalinan asmaranya dengan
Sakura tak lebih dari pelampiasan nafsu, dan bukan cinta yang sebenarnya?
Itachi tak pernah memikirkannya. Ia sudah terlanjur hancur dan otaknya tak bisa
lagi diajak berfikir jernih. Antara cinta, nafsu dan obsesi tak lagi bisa ia
bedakan. Di matanya semua sama.
"Sedang
cinta dari Kami-sama akan membuat kita selalu bahagia, bahkan di saat kita tak
memiliki apa-apa dan hanya seorang diri." Lanjut Naruto.
Mereka lalu sama-sama terdiam.
Masing-masing saling berfikir.
"Kini
aku ingin berdamai dengan adikku. Melupakan semua yang telah lalu."
katanya mengakhiri cerita.
"Jika
Sasuke melakukan hal yang sama denganmu, apa kau akan memaafkannya?"
'Aku
akan membunuhnya.' Jawab Itachi dalam hati. "Tidak." Katanya
memutuskan pada akhirnya.
"Lalu
kenapa kau berharap Sasuke bisa memaafkanmu?"
"Aku..."
Itachi tak bisa membalas. Ya, dia memang egois. Kenapa Sasuke harus
memaafkannya?
"Kau
bahkan tak menyesalinya. Lalu kenapa Sasuke harus melupakannya,
pengkhianatanmu?"
"A-a-aku..."
Itachi kehilangan kata-kata. Ia yang pintar bersilat lidah, mati kutu di
hadapan gadis itu.
"Berzina
itu salah, apalagi dengan calon istri adikmu? Kau pun tak menyesalinya. Lalu
kenapa kau inginkan ampunan dosa? Pengampunan dan kata maaf hanya akan terwujud
jika ada penyesalan mendalam dan janji tak akan mengulanginya lagi. Renungkan
hal itu." Kata Naruto bijak.
"Nar...
apa menurutmu suatu saat ia akan memaafkanku?" tanya Itachi lirih. Kali
ini ada raut sesal di sudut iris onixnya.
"Saya
tak tahu. Itu tergantung Sasuke. Apa ia bisa sembuh dari luka itu?" Kini
ia bisa mengendalikan diri, setelah melihat ada rasa sesal di diri Itachi dan
ada niat untuk memperbaiki kerusakan yang telah diakibatkan olehnya.
"Ternyata
sulit ya?"
"Waktu
memang bisa menyembuhkan luka, tapi kita tak akan pernah lupa sakitnya. Karena
itulah harga 'Maaf' mahal. Karena tak semua orang bisa sembuh dari trauma rasa
sakit dari luka itu, meski luka itu sendiri sudah lama hilang, tak
berbekas."
End Flashback
Itu percakapan terakhir mereka. Lalu Naruto
meninggalkannya. Ia tak mengerti kenapa setelah itu Naruto menghilang?
Mungkinkah ia tersinggung dengan cerita Itachi? Atau mungkin ia begitu jijiknya
hingga menganggap Sasuke pun sama sepertinya?
Pikiran terakhir itu membuat Itachi cepat-cepat bangun
dan mencari pakaiannya yang berserakan. Sedikit banyak kalimat terakhir Naruto
mempengaruhi opininya. Tadi ia sengaja ingin bercinta untuk membuktikan
kata-kata Naruto.
Benar nafsu itu dari setan. Memang memberi nikmat
sementara, tapi tak bisa memberi rasa hangat dan rasa utuh di dada. Hatinya
akan tetap kosong, tak berisi. Hanya kata maaf Sasuke yang akan membuatnya
utuh. Hanya cinta sejati yang akan membuatnya tersenyum bahagia.
"Aku harus membantu menemukannya. Dengan itu Sasuke
mungkin akan sedikit memaafkannya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar