Summary : Bagi Sasuke, Naruto itu oase di tengah padang
pasir. Oksigen di tengah udara kotor. Bagaimana jadinya jika Naruto menghilang
tanpa jejak? Sasuke pun kelimpungan mencarinya. Kemana? Dimana? Ia harus
mencari kemana? Oh Naruto dimanakah kamu? Sekuel Who is she. SasufemNaru.
DISCLAIMER
: Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre
: Friendship dan Hurt/Comfort
Rating
: T
Don't Like Don't Read
Chapter Two
Siapa dia, Inginku mengenalnya
Berkali jumpa ku terpesona
Sungguh ku telah tergoda
Sedangkan cintaku yang luka
Belum sembuh adanya
Sudah
3 bulan lamanya mereka mencari, tapi Naruto tak kunjung ditemukan. Rumor
tentangnya pun tak ada. Mereka sampai ragu, benarkah sosok ini ada dan pernah
hadir dalam hidup mereka?
“Hinata-chan...
Apa kau tak ada petunjuk apapun? Sebelum ia menghilang kan ia bersamamu.” Kata
Neji lelah.
“Tidak
nii-chan. Kami kuliah seperti biasa dan lalu duduk-duduk di taman nonton berita
TV....” Hinata terdiam. “Ah aku ingat sekarang.” Pekiknya riang.
“Apa?”
tanya Sai antusias saat geng Sasuke ngumpul bareng di rumah keluarga Hyuga. Ia sampai melupakan buah apel yang sudah ia kupas dan
siap dimakan di tangannya.
“Waktu
itu ada berita di TV yang membuat
Naruto terkesiap. Matanya terlihat kalut. Setelah itu ia fokus
dengan TV dan mengabaikanku.”
“Berita
tentang apa?” tanya Sai lagi.
“It-itu...”
Hinata menelengkan kepalanya ke samping, menggali
ingatan kembali. “Itu, aku tak ingat. Aku dengerinnya
samar-samar. Soalnya, konsentrasiku tertuju
pada kuis mata kuliahku nanti.”
“Itu
sih bukan petunjuk.” Komentar Sai kecewa.
Hinata meringis. “Maaf.” Gumamnya lirih.
“Sudahlah
itu bukan salahmu.” Kata Sai akhirnya.
Soalnya, di ujung sana, Neji sudah melotot memberinya peringatan karena ia
sudah membuat Hinata bersedih.
Tiba-tiba
dari ruang tamu terdengar suara ribut-ribut. Ada orang yang masuk, tapi
dihalangi oleh Hanabi. Tak berapa lama
kemudian, muncullah
orang tak diundang itu. Tangan Sasuke mengepal tak suka. ‘Apa mau orang ini?’
batinnya.
“Kau
ingin mencari Naruto, kan?” tanya Itachi to the point. Untuk pertama kalinya ia
berpenampilan kusut dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Tangannya
menggenggam kertas putih.
“Memang
kau tahu?” tanya Sasuke tak terlalu tertarik.
Ia
sudah kelabakan mencari
Naruto atau minimal marganya, tapi hasilnya
sia-sia saja. Semua sekolah di Konoha sudah ia cari, tapi
tak ada murid yang tercatat bernama Naruto. Ia sampai mempunyai pemikiran
aneh, bahwa Naruto ini bukan nama
sebenarnya, melainkan nama samaran. Mungkin
saja Naruto ini saksi yang ikut program perlindungan dari pemerintah.
Makanya itu, identitasnya dipalsukan. Atau bisa jadi Naruto ini agen itu sendiri. Yach,
siapa tahu saja. Secara, ia kan tak begitu mengenal Naruto secara pribadi.
“Ini
adalah daftar nama penduduk
Jepang yang bernama Naruto. Sudah aku cek. Tinggal 10 nama yang belum. Mungkin, ini Naruto yang kamu cari.”
“Siapa
saja marganya?” tanya Sasuke
antusias. Akhirnya, usahanya ada kemajuan. ‘Kenapa tidak terpikirkan olehku,’
rutuknya dalam hati,
“Namikaze,
Uzumaki, Yamada, Hanzo,
Doi, Dan, Kamiya, Makabe, Shoji, dan Nakashiro.
“Besok,
aku ada janji dengan seorang direktur pengganti Namikaze, setelah putra
sulungnya minggat dan Minato koma di rumah sakit. Namanya Namikaze Naruto. Aku
tak tahu apa dia yang kau cari. Kau mau....”
“Aku
mau.” Potong Sasuke, menyetujui. Ia tak ambil pusing dengan fakta bahwa mereka masih bermusuhan hingga detik ini.
“Baguslah.
Aku tunggu jam 10.00 di gedung Namikaze corp.”
“Hn.”
“Well, aku akan mengecek nama lainnya yang tercantum dalam daftar,” kata
Sai menawarkan diri diamini teman-temannya yang lain. Sasuke memberi mereka
tatapan terima kasih yang dibalas dengan anggukan.
Keesokannya, Sasuke sudah berdiri
berdampingan dengan Itachi memasuki
gedung Namikaze corp. Mereka masuk ke ruang rapat. Itachi diminta mengikuti audisi untuk membintangi
sebuah iklan produk Namikaze corp.
Sasuke menyamar jadi manager penggantinya.
Matanya dengan cepat dan terlatih langsung menyapu
pada satu per satu orang yang hadir dalam ruangan rapat. Tak ada satupun yang
terlewatkan. Tapi… ‘Tak ada.’ Desah Sasuke. Selanjutnya,
ia berkonsentrasi penuh pada isi rapat karena tak ingin mempermalukan dirinya
dan kakaknya. Di sampingnya, Itachi
membaca isi kontraknya lebih detail.
‘Hm,
citra baru ya?’ batinnya setelah membaca slogan yang akan dipakai di produk terbaru mereka.
Jika ia menyetujui kontrak ini, otomatis citranya juga akan berubah. Ia harus
tampil sebagai sosok yang berbeda, yakni sosok orang dewasa, maskulin, cerdas, dan sangat setia.
Sebenarnya
nilai kontraknya tak begitu besar, di
bawah standarnya, tapi Itachi tertarik. Bukan hanya karena
nama Namikaze Naruto sebagai daya tariknya, tapi juga secara keseluruhan ia
tertarik dengan konsepnya. Ia tertantang untuk bisa memenuhi kriteria sekaligus
uji tes levelnya dia.
Kalo
ia berhasil menyukseskan produk ini, itu berarti popularitasnya di dunia
entertainment masih tinggi. Soalnya meski pernah jadi perusahaan nomor 1 dan
menempatkan Namikaze Minato sebagai konglomerat no 1 di
Jepang, pamor perusahaan ini saat ini sedang jatuh. Jadi kalo iklan ini sukses, ini
semata-mata bukan karena brand image perusahaan, tapi lebih condong ke faktor
‘Itachi’, sang mega bintang.
Itachi
tidaklah membual, tapi fakta. Banyak isu dan skandal yang terkuak hingga
kepercayaan investor berkurang. Terlebih setelah Kyuubi, sang direktur utama yang tak bertanggung jawab
malah kabur membawa uang perusahaan. Jatuhlah perusahaan ini di titik nadir
sekarang, alias terancam bangkrut.
“Aku
setuju. Akan ku tanda tangani setelah pengacaraku mempelajari kontraknya lebih
lanjut. Maaf setelah ini, saya masih ada acara lain lagi. Jadi saya permisi
dulu. Senang bekerja sama dengan anda, Miss Namikaze Na....”
“Maaf
saya bukan Namikaze Naruto. Saya kakak sepupunya, Deidara. Adik saya, Naruto sedang tidak ada di tempat.”
“Oh,
maaf, Miss.” Kata Itachi minta maaf. Matanya mengerling pada Sasuke, sepakat.
‘Masih ada kemungkinan Naruto ini yang mereka cari.
Mereka
berdua lalu menyelidiki nama lainnya. Uzumaki Naruto, putri pemilik Kaguya,
klan yang mengajarkan ilmu upacara minum teh aliran Rikyu, sekaligus masih
memiliki kerabat dengan Pangeran Akihito, alias berdarah bangsawan.
Uzumaki
Naruto ini menurut info akan mengadakan upacara minum teh yang dihadiri
pejabat, pengusaha elit dan beberapa artis papan atas. Kebetulan Itachi
menerima undangan itu karena ia baru saja memboyong piala Oscar untuk kategori
pemain pembantu pria terbaik.
Dalam filmnya, ia berperan sebagai
Samurai Jepang pada era
shogun.
Itachi
duduk dengan tenang bersama Sasuke ala orang Jepang, yakni bersimpuh dengan dua
kaki ditekuk dan dijadikan alas duduk. Ia menunggu dengan sabar persiapan
upacara hingga si empunya muncul. Ia menyajikan racikan teh itu dengan
sempurna.
Semua
orang yang hadir memuji wanita
tersebut. Perpaduan teh dan nilai-nilai spiritual menyatu jadi satu,
menghadirkan harmonisasi yang indah. Ini masih ditambah dengan keelokan keramik
yang mereka gunakan dan tatanan ikebana yang menghiasi ruangan. Dia betul-betul
berbakat.
Sasuke
diam-diam melirik sosok Uzumaki Naruto yang mereka perbincangkan melalui ekor matanya. Ia harus hati-hati agar tidak terpergok karena menurut
adat, selama minum teh, mereka dilarang melihat wajah si penyaji.
Katanya itu akan mengurangi kekhusyukan. Wajahnya tak begitu terlihat dari tempatnya duduk karena
tubuhnya lumayan pendek dan terhalang pejabat keuangan yang bertubuh tambun di
depan Sasuke.
Sampai
waktunya pulang, mereka tak juga berhasil
melihat sosok itu. Tapi hati Sasuke yakin, dialah sosok yang ia cari. Mereka
sepakat untuk menyelidiki si Uzumaki Naruto ini dengan lebih detail.
Mereka
lalu berkumpul lagi di rumah Hyuga.
Masing-masing dari mereka melaporkan
hasil penyelidikan mereka dari daftar nama yang kemarin Itachi berikan. Sai
menyelidiki keluarga Yamada dan Hanzo.
Gaara menyelidiki keluarga Dan serta
Doi. Neji dapat keluarga Kamiya dan Makabe,
sisanya Utakata. Hasilnya,
mereka bilang itu bukan Naruto mereka.
“Jadi
kemungkinannya
Namikaze atau Uzumaki.” Kata Sasuke memutuskan.
“Kok
kemungkinan? Kalian tak bertemu dengannya?”
“Tidak
dan ya. Kami tak bertemu Namikaze, sedangkan Uzumaki ketemu sih, tapi wajahnya
tak bisa kami lihat.”
“Uzumaki
bungsu ini, ku dengar dari ayah
seorang gadis yang sangat cantik dan masih belia, kira-kira umurnya 17-18an. Dia jenius dalam
bidang seni. Ia
mewarisi ketrampilan itu dari neneknya, Uzumaki Mito.” Kata Neji
mengingat-ingat.
“Bagaimana
parasnya?” tanya Itachi.
“Agak
sulit, kan kalo lagi mimpin upacara, ia harus berdandan
dulu, pakai bedak tebal-tebal hingga wajahnya putih pucat. Ia juga pakai wig dan hiasan
rambut yang berat di kepala hingga sulit
mengenali wajah aslinya.”
“Nggak
bisa ya?” gumam Sasuke terdengar lelah.
“Eh
denger-denger. Gosipnya si Uzumaki yang ini tak disukai sebagian besar anggota keluarganya. Katanya, mereka iri
dengan bakatnya. Khususnya kakak tertuanya,
Uzumaki Karin. Trus konon kabarnya dia
sempat menghilang beberapa tahun.
Entah karena alasan apa. Jadi pertemuanmu dengannya itu kemunculan perdana untuknya.” Kata Neji lagi.
“Wah,
ternyata ada untungnya juga punya temen hobi bergosip.” Goda Sai.
“Diam
kau! Aku bukan tukang gosip.” hardik Neji sebal.
“Kalo
Namikaze Naruto, jarang denger sih. Ku kira putra Namikaze Minato itu hanya dua
yaitu Kyuubi dan Deidara.” Kata Neji lebih lanjut. “Aku malah tak tahu kalau Deidara itu hanya keponakan
Minato-san,” tambahnya.
“Wajar
saja jika kau tak tahu. Minato-san dan Kushina-san kan
sudah lama bercerai. Putra pertama mereka ikut Minato-san. Sedangkan, dua
putrinya ikut Kushina-san,” kata Gaara dengan suara ganjil sambil menatap
potret Naruto. “Orang yang bernama
Namikaze Naruto itu ya Uzumaki Naruto.”
“Kamu
yakin, Gaara?” tanya
Sai.
“Denger
dari kasak kusuk keluarga besarku sih. Kau tahu kan kalo keluargaku itu masih
cabangnya keluarga Uzumaki yang mahsyur itu.” kata Gaara malu, mengakui
ternyata ia punya hobi tak beda dengan Neji.
“Itu
bukan gosip, tapi fakta. Aku
dapat berita hotnya dari pacarku yang pernah dekat dengan Uzumaki Naruto. Aku sedang menunggu kiriman fotonya,
nih.” Kata Utakata dengan bangga
memamerkan androidnya. Mereka langsung mengerubungi Utakata, dan
diusir dengan sopan. “Gahhh, syuh syuh jauh sana! Gerah, tahu.”
“Dasar
sok.” Rutuk semua temannya serempak.
Tak
lama kemudian. Kiriman foto itu tiba. Mereka berebut ingin lihat, bikin Utakata
jengkel. “Minggir, aku juga mau lihat. Woy, ati-ati coy. Ntar androidku rusak.” Desis Utakata.
Ia
dengan hati-hati membuka filenya
dan fotonya menunjukkan foto Naruto yang mereka cari, tapi dengan penampilan
yang berbeda. Dia memakai seragam SMU Saint Florina, sekolah putri termahsyur
untuk kaum bangsawan dan pejabat. Roknya selutut dengan boot panjang 3 cm
dibawah lutut. Lengannya hemnya panjang dilapisi rompi. Rambut pirangnya
dikepang ala kepang Perancis. Sungguh Naruto ini begitu manis, anggun, dan
berwibawa. Aura yang memang selalu melekat padanya.
“Dia
beneran Naruto kita.” Gumam Neji
seperti orang linglung.
Sumpah, ia pangling. Penampilan Naruto beda bengat. Ia tak tahu jika baju
anehnya Naruto ternyata menutupi asset-aset menggiurkan seorang Naruto.
“Dimana
dia sekarang?”
“Kata
pacarku, ia sering pindah-pindah karena harus mengurus bisnis Namikaze yang mau
ambruk sekaligus mengelola usaha kesenian upacara minum teh Kaguya. Tapi yang
pasti ia selalu mampir ke rumah sakit, menengok kedua orang tuanya.”
Sasuke
langsung melesat keluar rumah.
Ia mengendarai mobilnya ke rumah sakit, mengabaikan teman-temannya yang
melongo, ditinggalkan. Ia ingin segera bertemu dengan Naruto-nya.
Di
sana ia lihat Naruto berdiri di depan
sebuah ruangan. Tubuhnya terlihat rapuh, memandang
dari lapis kaca. Wajahnya dipenuhi kesedihan mendalam. Sasuke jadi iba. Betapa
tegarnya dia? Dihantam musibah begitu berat seperti ini, tapi masih bisa
bertahan.
“Naruto...”
panggil Sasuke lirih, takut menyakiti Naruto.
Naruto
menolehkan kepalanya. Matanya memerah dan ada aliran air mata bening menghiasi
pipinya. “Sasuke...” balas Naruto lirih. Ada rasa bahagia merayap, membuncah,
menyusup di hatinya dengan kehadiran Sasuke.
Memang
awalnya ia kesal dengan tingkah Sasuke yang terus menempelinya, tapi akhirnya ia menolerirnya. Ia
terlanjur terbiasa dengan kehadirannya. Terus terang, ia juga merasa nyaman
dengan kebersamaan mereka. Hatinya terasa sakit saat tak bisa melihat wajahnya.
Ini saja ia harus mengepalkan tangannya erat agar ia tak berlari, menghambur
dalam pelukan Sasuke
untuk mencurahkan beban hatinya. Mereka lalu duduk berhadap-hadapan depan ruang
ICU.
“Kau
tahu dari mana aku di sini?” kata Naruto tak lagi menggunakan frasa saya-anda, tak seformal saat
awal-awal perkenalan.
“Dari
temanku. Kenapa kau menghilang begitu saja? Aku cemas mencarimu, tahu. Aku bahkan
berfikir yang bukan-bukan tentangmu?” cerocos Sasuke OOC tanpa henti. Ia
tiba-tiba saja jadi cerewet.
“Maaf.
Saat itu aku begitu kalut. Pikiranku buntu. Jadi aku cepat-cepat pergi.”
“Aku
sudah tahu secara garis besarnya. Orang tuamu koma kan?”
“Ya.”
Katanya sedih.
“Ceritakanlah
padaku. Mungkin aku bisa membantumu. Kau sudah tahu aibku, kan?”
“Tapi
Sasuke aku...”
“Please.
Kita ini teman. Aku janji ini akan jadi rahasia.”
Naruto
menimbang-nimbang, haruskah ia cerita pada Sasuke. Dia seorang pria dan dia
wanita, bukan pula muhrim. Tak elok rasanya menceritakan masalahnya pada
seorang pria yang tak ada hubungan darah atau pernikahan. Ia takut ini jadi
fitnah di kemudian hari.
Hidupnya
sudah rumit. Masalah pelik membelenggunya, dan ia tak ingin menambah masalahnya
lagi dengan terlibat kisah percintaan picisan, yang mungkin terjadi.
Bagaimanapun mereka dua lawan jenis normal, masih single, dekat, dan saling
membutuhkan. Bisa saja benih cinta timbul. Itu yang Naruto hindari. Ingat
mereka beda keyakinan.
‘Hahhh...’
Naruto mengambil nafas panjang. Kenapa jadi begini rumit? Dulu ia mungkin bisa
dengan mudah cerita pada Sasuke, satu-satunya sahabatnya kini. Setelah jadi
mualaf, segalanya jadi tak semudah awalnya. Ada koridor agama, garis batas yang
tak bisa dia tabrak, meski ingin. Tapi ia sudah siap menanggung konsekuensi
dari dua kalimat syahadat yang ia ikrarkan di depan seorang Imam masjid tiga
tahun yang lalu.
“Maaf
Sasuke. Aku tak bisa.” Kata Naruto dengan berat hati.
“Apa
kau tak mempercayaiku?”
“Aku
percaya padamu seperti aku mempercayai diriku sendiri.”
“Lalu?”
“Agamaku
melarangku untuk curhat dengan seorang laki-laki yang bukan keluarga
ataupun...”
“Terikat
pernikahan denganmu?” potong Sasuke.
“Ya.
Maaf.”
“Meski
itu seorang pria Muslim?”
“Meski
dia seorang pria Muslim.”
“Kenapa?”
“Karena
Allah ingin menjaga kehormatan dan nama baik seorang muslimah. Ia tak ingin ini
jadi fitnah. Kau sudah tahu sendiri akibatnya, kan? Seperti kasus Sakura dan
Itachi. Aku tak mau itu terjadi padaku.”
“Kita tak akan berakhir seperti mereka. Mereka
melakukannya di dalam rumah yang sepi, di dalam kamar. Kita di tempat umum.
Demi Tuhan, Naruto...” kata Sasuke frustasi dengan sikap teguh Naruto. “Aku
hanya ingin membantumu. Kau sahabatku.” Lanjutnya lirih.
“Aku
tahu. Sekali lagi maaf. Doakan saja aku kuat. Dan terima kasih kau mau
menghiburku.” Kata Naruto masih bisa tersenyum tulus.
Mereka
akhirnya saling diam, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Naruto
sesekali sholat, membaca al Qur’an sesekali waktu, setelah itu mengerjakan
tugas-tugas kantor yang bejibun sambil memonitor kesehatan kedua orang tuanya.
Sasuke ingin membantu, tapi tak bisa karena ditolak Naruto. Jadi ia hanya duduk
manis, menjaga jarak sekitar 3 meteran hanya untuk memastikan Naruto tak
ambruk.
SKIP TIME
Akhirnya
Sasuke mengetahui beban berat yang harus ditanggung pundak sahabatnya itu.
Semua ini berkat Hinata. Naruto sempat cerita padanya, diantara isak tangisnya,
menahan rasa takut, lelah, dan gusar. Hinata waktu itu diam-diam merekam
pembicaraan mereka dan memberikannya
pada Neji. Sekarang ini, Sasuke sedang
mendengarkan
hasil rekamannya.
“Ayahku
kena serangan jantung waktu tahu uangnya dibawa kabur Kyuu-nii. Mana ia
meninggalkan hutang yang sangat besar dan ditinggalkan para investor pula. Ia begitu terpukul,
mendapati ia akan bangkrut.”
“Lalu
kau datang mengambil alih perusahaan yang diambang kebangkrutan itu.” Kata
Hinata berkomentar.
“Ya.
Aku tak ingin Namikaze corp bangkrut, demi para karyawan dan demi Papa. Itu
sandaran hidup mereka, pastion
mereka. Aku berharap Papa akan sadar dari
komanya. Lalu, senyumnya
akan kembali mengembang saat tahu perusahaan tak bangkrut
dan tetap jadi no 1.”
“Bagaimana
caramu mengatasinya? Kau pinjam bank?”
“Tidak.
Bank tak bersedia memberi pinjaman beresiko pada kami. Jadi aku mengambil dana
perwalian yang diberikan kakek nenekku di bank Swis berikut tabunganku selama
ini untuk membayar sebagian tagihan, sisanya akan dilunasi sembari perusahaan
itu berjalan.”
“Tapi
kau berhasil kan? Ku lihat perusahaan itu membaik di pasar saham.”
“Ya.
Itu semua berkat kerja keras dan kekompakan para karyawan.”
“Kalo
Ibumu?”
“Dia
kecelakaan mobil. Ada yang menyabotase mobilnya karena tak ingin Mama memimpin
upacara minum teh tadi siang.”
“Lalu
kau pun menggantikannya?”
“Ya.”
Kata Naruto menumpahkan unek-uneknya.
“Apa
yang akan kau lakukan saat mereka sadar?”
“Pergi
dan menyerahkan kendali pada mereka lagi.”
“Kenapa?
Itu kerja kerasmu, Naruto.
Kau banyak berkorban demi ini.
Kau tak ingin memperlihatkan hasil kerja kerasmu itu pada mereka?”
“Aku
ingin Hinata-chan. Tapi aku tak bisa.”
“Boleh
ku tahu kenapa?”
“Karena
aku mualaf. Jadi aku diusir dari silsilah keluarga di jalanan. Mereka tak lagi
mengakui aku sebagai anak dan melarang aku menggunakan marga mereka.”
“Eh.”
Gumam Sasuke terkejut. Jadi ini alasan kenapa ia tak punya marga.
Rasa
kagumnya pada Naruto semakin bertambah. Ia gadis dengan pendirian kuat. Ia
memiliki segalanya, kecantikan, kepopuleran, harta yang melimpah, bahkan darah
birunya. Demi Islam, ia rela meninggalkan semua itu. Istananya ia tinggalkan
demi Islam dan memilih sebuah kontrakan kumuh. Mana di kampus ia sering dibully
pula. Semua dia terima dengan lapang dada.
Inikah
kekuatan iman? Saat iman bersemi di dada, segala kesulitan dunia seolah tiada
artinya. Ia masih bisa tersenyum, mesku dunia menolaknya, mencaci makinya. Ia
masih bisa optimis saat dunia berniat menenggelamkannya. Itu pasti esensi cinta
sejati, cinta paling suci dan murni yang tumbuh dalam hati. Sasuke iri pada
Naruto.
“Sedang
apa?” tanya Itachi nyelonong masuk kamar Sasuke. “Menguping pembicaraan para
gadis?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Ya.”
Kata Sasuke malas berdebat.
“Kau
tak berhasil membujuknya untuk cerita?”
“Dia
bukan wanita sembarangan, Chi. Dia itu kuat, tak seperti wanita lainnya.” Kata
Sasuke, menerawang jauh. “Meski ada badai menerjang, ia akan tetap bertahan. Ia
rela berkorban, meski yang ditolongnya tak tahu pengorbanannya. Itulah Naruto.”
Lanjutnya penuh rasa bangga.
“Aku
tahu. Ia memang tipe yang teguh pada pendirian. Pantas kau tergila-gila
padanya.” Goda Itachi, sedikit senang. Adiknya tak berkata ketus padanya, meski
ia tak tahu apa ini berarti adiknya sudah memaafkannya.
“Ya.”
Kata Sasuke mengiyakan tanpa sadar.
Ia
akui Naruto sudah mencuri perhatiannya di awal perjumpaan mereka. Selanjutnya
ia mencoba mengenal dan mengulik rahasia hidupnya. Meski kini sudah tahu alasan
ia tak bermarga, tetap saja ia sulit ditebak. Ia tetap jadi misteri untuknya.
Sudah
satu semester berlalu. Kedua orang tua Naruto sudah sembuh dari komanya. Mereka
agak berjengit kaget karena satu ruangan dengan mantan pasangannya. Tapi mereka
tetap tersenyum setelah mendapati kekayaan mereka tak menghilang, malah
berkembang pesat. Mereka pikir Kyuubi untuk Minato atau Karin untuk Kushina,
pandai mengelola bisnis keluarga, sehingga tak hancur berantakan.
Dengan
tanpa malu, kedua orang itu mengakui hasil kerja keras Naruto. Mereka dengan
air mata buaya bilang bahwa mereka harus membagi waktu antara rumah sakit dan
perusahaan. Benar-benar meminggirkan peran adik bungsu mereka.
Naruto
yang melihatnya dari jauh tak marah. Ia hanya tersenyum lega, kedua orang
tuanya sudah sehat. Mereka tersenyum bahagia dan bangga. Itu saja dia sudah
senang.
Lain
halnya dengan Sasuke. Ia begitu jengkel dengan ulah kakak-kakak Naruto yang tak
tahu diri. Seharusnya ia di dalam sana, berada dalam pelukan kedua orang
tuanya. Senyum bangga itu harusnya untuk Naruto, bukan kakak-kakaknya yang
menjijikan, pemalas, dan tukang tipu.
Ia
jadi punya ide untuk memberi Naruto hadiah istimewa. Untuk itulah ia minta
bantuan pada kakaknya, Itachi. Tentu saja Itachi menerimanya, dengan sarat
Sasuke mau memaafkannya. Sasuke sih mengiyakan. Ia sudah tak marah pada
kakaknya. Toh ia juga sadar, ia turut andil dalam konflik perselingkuhan itu.
Seandainya
waktu itu ia dengan tegas minta putus dari Sakura dan bukannya
menunda-nundanya, mungkin Sakura tak curhat pada Itachi. Jika ia tak bersikap
dingin pada Sakura, mungkin Sakura tak akan terlena dalam kehangatan semu yang
tak bisa Sasuke berikan. Intinya ia penyebab perselingkuhan itu. Ia memaafkan kakaknya,
tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dia memang salah, tapi Sasuke juga
salah.
SKIP TIME
Sasuke
dan Naruto duduk di pohon rindang, di sebuah taman milik rumah sakit tempat
kedua orang tua Naruto dirawat. Seperti biasa mereka duduk berjauhan. Awalnya
mereka diam, dan larut dalam keheningan hingga Sasuke memulai percakapan.
“Bagaimana
orang tuamu?”
“Mereka
sudah membaik, sebentar lagi boleh keluar dari rumah sakit.”
“Kau
tak ingin menemui mereka secara langsung?”
Naruto
mendesah panjang. “Tentu saja ingin. Aku ingin merawat mereka secara langsung,
menyuapi, dan membantu mereka berganti baju. Tapi aku tak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku
takut penyakit mereka kambuh setelah
melihatku. Mereka tak suka padaku, Sasuke.”
“Kalo
kau bilang kaulah yang selama ini menjalankan perusahan sehingga perusahaan itu
tak bangkrut, mereka pasti memaafkanmu.” Kata Sasuke.
Naruto
tersenyum. “Bagaimana kalo terjadi sebaliknya? Biarlah semua begini. Aku sudah
senang melihat mereka senang. Kyuu-nii dan Karin-nee sudah cukup membuat mereka
bahagia.”
“Kau
itu bodoh ya? Kau yang telah berkorban banyak? Kau menguras seluruh uangmu
hingga hanya tersisa 0 di buku tabunganmu, tapi kakak-kakakmu yang dapat nama.
Kau dapat apa? Capek.” Tukas Sasuke kesal dengan kebodohan sahabatnya itu.
Kenapa sih ia mau aja dimanfaatin?
“Aku
dapat pahala, Sasuke.”
“Tapi
bagaimana dengan hidupmu? Kau tak memiliki apapun kini? Kau akan tinggal
dimana? Semua asetmu sudah kau berikan untuk mereka. Mereka bahkan tak
berterima kasih padamu.”
“Aku
masih punya Allah, Sasuke. DIA yang akan mencukupkan kebutuhanku. DIA tak akan
salah mengirimkan rezeki ku pada orang lain.”
“Aku
tahu imanmu kuat. Tapi apa kau tak ingin orang tuamu mulai menerimamu? Sudah
banyak yang kau berikan pada mereka, Nar. Bersikap egoislah sedikit.”
“Itu
masih sangat sedikit Sasuke. Apa yang ku berikan untuk mereka masih sangat jauh
dari yang pernah mereka berikan padaku, sebelum aku masuk Islam. Bahkan meski aku berikan matahari dan
bulan di tangan mereka, itu pun tak bisa membalas budi mereka padaku. Mana bisa
aku datang pada mereka mengaku-aku hanya untuk mendapat perhatian mereka.
Pengorbananku masih sangat kurang, Sasuke.”
“Itukah
yang diajarkan Tuhanmu?” kata Sasuke lirih.
“Ya.
Surga di telapak kaki ibu. Restu Allah seiring dengan restu seorang ibu. Murka
Allah bersama dengan murka seorang ibu. Seorang anak diharamkan menyentuh surga
selama dalam hati seorang ibu ada rasa marah, jengkel pada anaknya, meski hanya
karena anaknya bilang ‘Ah’.”
“Tapi
ibumu bukan seagama denganmu.”
“Agama
bukanlah halangan untuk kita berbakti. Selama ia tak menyuruh pada kemaksiatan
dan kekufuran maka lakukan perintah ibumu, meski kamu harus merangkak ke
seluruh bumi.”
“Oh
WOW. Begitu tingginya kedudukan seorang ibu dalam agamamu, Nar.”
“Ya.
Itulah yang pertama membuatku memutuskan mualaf. Ajarannya begitu indah dan
sangat menjunjung tinggi kehormatan seorang wanita, seorang ibu.”
Sasuke
tersenyum. Ia kembali iri pada Naruto. Dia tak ingat, apa yang telah ia lakukan
pada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Mengeluh, merasa kurang diperhatikan,
padahal mereka banyak memberi. Mereka
kerja, banting tulang, kadang lupa waktu demi sang anak. Demi agar anak
mendapat fasilitas hidup yang nyaman dan enak. Tapi apa yang sudah ia berikan
untuk membalas pengorbanan mereka?
Ia
berjanji dalam hati untuk mewujudkan impian orang tuanya. Tou san ingin Sasuke
jadi pengusaha sukses dan tangguh. Ya ia akan mewujudkannya. Ah, ia ingin
sekali bertemu mereka dan memeluk mereka. Akan ia katakan ‘Betapa ia sayang pada
mereka.’ Mungkin setelah itu dilanjutkan dengan minum teh dan ngobrol ringan
seperti dulu. Ia sungguh-sungguh rindu dengan mereka.
Di
saat Sasuke masih terbuai lamunan, keluarlah siluet dua sosok yang ingin Sasuke
pertemukan dengan Naruto. Ia ingin mereka mendengar isi hati putri bungsunya
yang paling dalam. Naruto kaget mendapati kedua orang tuanya muncul.
Wajahnya
menunduk, bingung. Mata ibu dan ayahnya berkaca-kaca, merasa bersalah. Betapa
putrinya ini begitu mencintai mereka dengan tulus, tanpa pamrih, bukan karena
harta. Putrinya hanya ingin orang tuanya tersenyum dan merasa senang dengan
pelayanan putrinya, tak ingin lain. Putrinya rela memberikan seisi dunia, demi
keridhoan orang tuanya. Betapa beruntungnya mereka sebagai orang tua? Apalagi
yang mereka harapkan sebagai orang tua, selain anak yang berbakti?
Tapi
harga diri dan tradisi keluarga mencegah mereka, menghambur dan memeluk putri
mereka yang telah lama hilang. Apa kata dunia jika putri mereka masuk Islam?
Bukankah mereka dari keturunan keluarga pendeta Shinto. Jadi mereka mengepalkan
kedua tangannya, mencegah mereka memeluk putrinya.
“Bagaimana
kabarmu?” tanya Minato dingin.
“Baik,
Pa.”
“Baguslah.
Nanti setelah keuangan perusahaanku membaik, akan ku kembalikan semuanya.”
Katanya dingin.
“Itu
tak perlu, Pa. Itu warisan dari kakek. Sebelum meninggal ia berpesan untuk
memberikannya
pada ayah jika suatu saat perusahaan mengalami kebangkrutan.”
“Baguslah.
Aku pergi.” Kata Minato dingin, lalu pergi.
Kushina
juga bersikap sama. Kepalanya tetap menjulang angkuh, tak sudi memandang
putrinya yang membangkang. Ia pun ikut pergi, mengiringi langkah sang mantan
suami.
Sasuke
yang melihatnya kesal. “Orang tua macam apa kamu? Kalian tak punya hati. Apa
gunanya isi dunia, tradisi, dibanding putri sendiri?” maki Sasuke.
“Sasuke
sudahlah. Cukup.” Kata Naruto menahan kemarahan Sasuke.
“Itu
bukan urusanmu, anak muda. Aku tak punya anak yang bernama Uzumaki Naruto.”
Kata Kushina dingin.
Air
mata Naruto menetes. Hatinya sakit mendengar penolakan ibunya secara langsung.
‘Ya, Allah kuatkanlah hamba. Tegarkanlah hamba untuk berjalan di jalan-Mu ya
Allah.’ Doanya dalam hati.
“Kau??”
Sasuke mengepal marah. Hatinya juga merasa sakit, seolah ia yang dihina seperti
itu.
“Hn.”
Kata Minato pergi. Keduanya lalu menghilang. ‘Maafkan kami, Nak. Maaf.’ Batin
mereka.
“Sudahlah
Sasuke, sudah. Jangan marah!
Aku tak apa-apa. Aku sudah ikhlas dan menyerahkannya pada Allah. Kita pergi saja.”
“Tapi?”
“Besok
kita sudah mulai kuliah lagi, lho.”
Guraunya meski matanya berkaca-kaca, merasakan perih di hatinya.
“Hahhh,
kau benar.” Akhirnya, Sasuke mengalah. Ia
tak mau membebani hati sahabatnya. “BTW kau mau joint bisnis
denganku?”
“Bisnis
apa?”
“Membuat
PH. Kakakku juga mau terlibat lho. Kau kan sudah pengalaman dalam bisnis.”
“Boleh.
Tapi aku tak punya modal.”
“Kau
kan punya modal pikiran. Itu yang terpenting.”
Mereka
lalu berlalu pergi dari tempat yang menimbulkan kepahitan. Tak selamanya
pengorbanan kita untuk orang lain itu berbuah manis. Tak selamanya kita
mendapat balasan baik dari manusia atas kebaikan kita. Ikhlaskanlah segalanya
untuk Allah. Dia-lah yang akan membalasnya.
Hari
ini jalan keimanan dan kekufuran saling berkelindan. Haruskah kita mengabaikan
cahaya iman demi tradisi keluarga, leluhur yang belum tentu menjamin kita masuk
surga? Haruskah kita lari dari kebenaran saat dunia meninggalkan kita? Tapi
percayalah apapun yang terjadi, kita tak sendiri. Ada Allah bersama kita.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar