Sabtu, 14 Januari 2017

WHERE IS SHE PART TWO



Summary : Bagi Sasuke, Naruto itu oase di tengah padang pasir. Oksigen di tengah udara kotor. Bagaimana jadinya jika Naruto menghilang tanpa jejak? Sasuke pun kelimpungan mencarinya. Kemana? Dimana? Ia harus mencari kemana? Oh Naruto dimanakah kamu? Sekuel Who is she. SasufemNaru.
DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T



Don't Like Don't Read

Chapter Two

Siapa dia, Inginku mengenalnya
Berkali jumpa ku terpesona
Sungguh ku telah tergoda
Sedangkan cintaku yang luka
Belum sembuh adanya



Sudah 3 bulan lamanya mereka mencari, tapi Naruto tak kunjung ditemukan. Rumor tentangnya pun tak ada. Mereka sampai ragu, benarkah sosok ini ada dan pernah hadir dalam hidup mereka?
“Hinata-chan... Apa kau tak ada petunjuk apapun? Sebelum ia menghilang kan ia bersamamu.” Kata Neji lelah.
“Tidak nii-chan. Kami kuliah seperti biasa dan lalu duduk-duduk di taman nonton berita TV....” Hinata terdiam. Ah aku ingat sekarang.” Pekiknya riang.
“Apa?” tanya Sai antusias saat geng Sasuke ngumpul bareng di rumah keluarga Hyuga. Ia sampai melupakan buah apel yang sudah ia kupas dan siap dimakan di tangannya.
“Waktu itu ada berita di TV yang membuat Naruto terkesiap. Matanya terlihat kalut. Setelah itu ia fokus dengan TV dan mengabaikanku.”
“Berita tentang apa?” tanya Sai  lagi.
“It-itu...” Hinata menelengkan kepalanya ke samping, menggali ingatan kembali. “Itu, aku tak ingat. Aku dengerinnya samar-samar. Soalnya, konsentrasiku tertuju pada kuis mata kuliahku nanti.
“Itu sih bukan petunjuk.” Komentar Sai kecewa.
Hinata meringis. “Maaf.” Gumamnya lirih.
“Sudahlah itu bukan salahmu.” Kata Sai akhirnya. Soalnya, di ujung sana, Neji sudah melotot memberinya peringatan karena ia sudah membuat Hinata bersedih.
Tiba-tiba dari ruang tamu terdengar suara ribut-ribut. Ada orang yang masuk, tapi dihalangi oleh Hanabi. Tak berapa lama kemudian, muncullah orang tak diundang itu. Tangan Sasuke mengepal tak suka. ‘Apa mau orang ini?’ batinnya.
“Kau ingin mencari Naruto, kan?” tanya Itachi to the point. Untuk pertama kalinya ia berpenampilan kusut dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Tangannya menggenggam kertas putih.
“Memang kau tahu?” tanya Sasuke tak terlalu tertarik.
Ia sudah kelabakan mencari Naruto atau minimal marganya, tapi hasilnya sia-sia saja. Semua sekolah di Konoha sudah ia cari, tapi tak ada murid yang tercatat bernama Naruto. Ia sampai mempunyai pemikiran aneh, bahwa Naruto ini bukan nama sebenarnya, melainkan nama samaran. Mungkin saja Naruto ini saksi yang ikut program perlindungan dari pemerintah. Makanya itu, identitasnya dipalsukan. Atau bisa jadi Naruto ini agen itu sendiri. Yach, siapa tahu saja. Secara, ia kan tak begitu mengenal Naruto secara pribadi.
“Ini adalah daftar nama penduduk Jepang yang bernama Naruto. Sudah aku cek. Tinggal 10 nama yang belum. Mungkin, ini Naruto yang kamu cari.”
“Siapa saja marganya?” tanya Sasuke antusias. Akhirnya, usahanya ada kemajuan. ‘Kenapa tidak terpikirkan olehku,’ rutuknya dalam hati,
“Namikaze, Uzumaki, Yamada, Hanzo, Doi, Dan, Kamiya, Makabe, Shoji, dan Nakashiro.
“Besok, aku ada janji dengan seorang direktur pengganti Namikaze, setelah putra sulungnya minggat dan Minato koma di rumah sakit. Namanya Namikaze Naruto. Aku tak tahu apa dia yang kau cari. Kau mau....”
“Aku mau.” Potong Sasuke, menyetujui. Ia tak ambil pusing dengan fakta bahwa mereka masih bermusuhan hingga detik ini.
“Baguslah. Aku tunggu jam 10.00 di gedung Namikaze corp.”
“Hn.”
“Well, aku akan mengecek nama lainnya yang tercantum dalam daftar,” kata Sai menawarkan diri diamini teman-temannya yang lain. Sasuke memberi mereka tatapan terima kasih yang dibalas dengan anggukan.
Keesokannya, Sasuke sudah berdiri berdampingan dengan Itachi memasuki gedung Namikaze corp. Mereka masuk ke ruang rapat. Itachi diminta mengikuti audisi untuk membintangi sebuah iklan produk Namikaze corp. Sasuke menyamar jadi manager penggantinya.
Matanya dengan cepat dan terlatih langsung menyapu pada satu per satu orang yang hadir dalam ruangan rapat. Tak ada satupun yang terlewatkan. Tapi… ‘Tak ada.’ Desah Sasuke. Selanjutnya, ia berkonsentrasi penuh pada isi rapat karena tak ingin mempermalukan dirinya dan kakaknya. Di sampingnya, Itachi membaca isi kontraknya lebih detail.
‘Hm, citra baru ya?’ batinnya setelah membaca slogan yang akan dipakai di produk terbaru mereka. Jika ia menyetujui kontrak ini, otomatis citranya juga akan berubah. Ia harus tampil sebagai sosok yang berbeda, yakni sosok orang dewasa, maskulin, cerdas, dan sangat setia.
Sebenarnya nilai kontraknya tak begitu besar, di bawah standarnya, tapi Itachi tertarik. Bukan hanya karena nama Namikaze Naruto sebagai daya tariknya, tapi juga secara keseluruhan ia tertarik dengan konsepnya. Ia tertantang untuk bisa memenuhi kriteria sekaligus uji tes levelnya dia.
Kalo ia berhasil menyukseskan produk ini, itu berarti popularitasnya di dunia entertainment masih tinggi. Soalnya meski pernah jadi perusahaan nomor 1 dan menempatkan Namikaze Minato sebagai konglomerat no 1 di Jepang, pamor perusahaan ini saat ini sedang jatuh. Jadi kalo iklan ini sukses, ini semata-mata bukan karena brand image perusahaan, tapi lebih condong ke faktor ‘Itachi’, sang mega bintang.
Itachi tidaklah membual, tapi fakta. Banyak isu dan skandal yang terkuak hingga kepercayaan investor berkurang. Terlebih setelah Kyuubi, sang direktur utama yang tak bertanggung jawab malah kabur membawa uang perusahaan. Jatuhlah perusahaan ini di titik nadir sekarang, alias terancam bangkrut.
“Aku setuju. Akan ku tanda tangani setelah pengacaraku mempelajari kontraknya lebih lanjut. Maaf setelah ini, saya masih ada acara lain lagi. Jadi saya permisi dulu. Senang bekerja sama dengan anda, Miss Namikaze Na....”
“Maaf saya bukan Namikaze Naruto. Saya kakak sepupunya, Deidara. Adik saya, Naruto sedang tidak ada di tempat.”
“Oh, maaf, Miss.” Kata Itachi minta maaf. Matanya mengerling pada Sasuke, sepakat. ‘Masih ada kemungkinan Naruto ini yang mereka cari.
Mereka berdua lalu menyelidiki nama lainnya. Uzumaki Naruto, putri pemilik Kaguya, klan yang mengajarkan ilmu upacara minum teh aliran Rikyu, sekaligus masih memiliki kerabat dengan Pangeran Akihito, alias berdarah bangsawan.
Uzumaki Naruto ini menurut info akan mengadakan upacara minum teh yang dihadiri pejabat, pengusaha elit dan beberapa artis papan atas. Kebetulan Itachi menerima undangan itu karena ia baru saja memboyong piala Oscar untuk kategori pemain pembantu pria terbaik. Dalam filmnya, ia berperan sebagai Samurai Jepang pada era shogun.
Itachi duduk dengan tenang bersama Sasuke ala orang Jepang, yakni bersimpuh dengan dua kaki ditekuk dan dijadikan alas duduk. Ia menunggu dengan sabar persiapan upacara hingga si empunya muncul. Ia menyajikan racikan teh itu dengan sempurna.
Semua orang yang hadir memuji wanita tersebut. Perpaduan teh dan nilai-nilai spiritual menyatu jadi satu, menghadirkan harmonisasi yang indah. Ini masih ditambah dengan keelokan keramik yang mereka gunakan dan tatanan ikebana yang menghiasi ruangan. Dia betul-betul berbakat.
Sasuke diam-diam melirik sosok Uzumaki Naruto yang mereka perbincangkan melalui ekor matanya. Ia harus hati-hati agar tidak terpergok karena menurut adat, selama minum teh, mereka dilarang melihat wajah si penyaji. Katanya itu akan mengurangi kekhusyukan. Wajahnya tak begitu terlihat dari tempatnya duduk karena tubuhnya lumayan pendek dan terhalang pejabat keuangan yang bertubuh tambun di depan Sasuke.
Sampai waktunya pulang, mereka tak juga berhasil melihat sosok itu. Tapi hati Sasuke yakin, dialah sosok yang ia cari. Mereka sepakat untuk menyelidiki si Uzumaki Naruto ini dengan lebih detail.
Mereka lalu berkumpul lagi di rumah Hyuga. Masing-masing dari mereka melaporkan hasil penyelidikan mereka dari daftar nama yang kemarin Itachi berikan. Sai menyelidiki keluarga Yamada dan Hanzo. Gaara menyelidiki keluarga Dan serta Doi. Neji dapat  keluarga Kamiya dan Makabe, sisanya Utakata. Hasilnya, mereka bilang itu bukan Naruto mereka.
“Jadi kemungkinannya Namikaze atau Uzumaki.” Kata Sasuke memutuskan.
“Kok kemungkinan? Kalian tak bertemu dengannya?”
“Tidak dan ya. Kami tak bertemu Namikaze, sedangkan Uzumaki ketemu sih, tapi wajahnya tak bisa kami lihat.”
“Uzumaki bungsu ini, ku dengar dari ayah seorang gadis yang sangat cantik dan masih belia, kira-kira umurnya 17-18an. Dia jenius dalam bidang seni. Ia mewarisi ketrampilan itu dari neneknya, Uzumaki Mito.” Kata Neji mengingat-ingat.
“Bagaimana parasnya?” tanya Itachi.
“Agak sulit, kan kalo lagi mimpin upacara, ia harus berdandan dulu, pakai bedak tebal-tebal hingga wajahnya putih pucat. Ia juga pakai wig dan hiasan rambut yang berat di kepala hingga sulit mengenali wajah aslinya.”
“Nggak bisa ya?” gumam Sasuke terdengar lelah.
“Eh denger-denger. Gosipnya si Uzumaki yang ini tak disukai sebagian besar anggota keluarganya. Katanya, mereka iri dengan bakatnya. Khususnya kakak tertuanya, Uzumaki Karin. Trus konon kabarnya dia sempat menghilang beberapa tahun. Entah karena alasan apa. Jadi pertemuanmu dengannya itu kemunculan perdana untuknya.” Kata Neji lagi.
“Wah, ternyata ada untungnya juga punya temen hobi bergosip.” Goda Sai.
“Diam kau! Aku bukan tukang gosip.” hardik Neji sebal.
“Kalo Namikaze Naruto, jarang denger sih. Ku kira putra Namikaze Minato itu hanya dua yaitu Kyuubi dan Deidara.” Kata Neji lebih lanjut. “Aku malah tak tahu kalau Deidara itu hanya keponakan Minato-san,” tambahnya.
“Wajar saja jika kau tak tahu. Minato-san dan Kushina-san kan sudah lama bercerai. Putra pertama mereka ikut Minato-san. Sedangkan, dua putrinya ikut Kushina-san,” kata Gaara dengan suara ganjil sambil menatap potret Naruto. “Orang yang bernama Namikaze Naruto itu ya Uzumaki Naruto.”
“Kamu yakin, Gaara?” tanya Sai.
“Denger dari kasak kusuk keluarga besarku sih. Kau tahu kan kalo keluargaku itu masih cabangnya keluarga Uzumaki yang mahsyur itu.” kata Gaara malu, mengakui ternyata ia punya hobi tak beda dengan Neji.
“Itu bukan gosip, tapi fakta. Aku dapat berita hotnya dari pacarku yang pernah dekat dengan Uzumaki Naruto. Aku sedang menunggu kiriman fotonya, nih.” Kata Utakata dengan bangga memamerkan androidnya. Mereka langsung mengerubungi Utakata, dan diusir dengan sopan. “Gahhh, syuh syuh jauh sana! Gerah, tahu.”
“Dasar sok.” Rutuk semua temannya serempak.
Tak lama kemudian. Kiriman foto itu tiba. Mereka berebut ingin lihat, bikin Utakata jengkel. “Minggir, aku juga mau lihat. Woy, ati-ati coy. Ntar androidku rusak.” Desis Utakata.
Ia dengan hati-hati membuka filenya dan fotonya menunjukkan foto Naruto yang mereka cari, tapi dengan penampilan yang berbeda. Dia memakai seragam SMU Saint Florina, sekolah putri termahsyur untuk kaum bangsawan dan pejabat. Roknya selutut dengan boot panjang 3 cm dibawah lutut. Lengannya hemnya panjang dilapisi rompi. Rambut pirangnya dikepang ala kepang Perancis. Sungguh Naruto ini begitu manis, anggun, dan berwibawa. Aura yang memang selalu melekat padanya.
“Dia beneran Naruto kita.” Gumam Neji seperti orang linglung. Sumpah, ia pangling. Penampilan Naruto beda bengat. Ia tak tahu jika baju anehnya Naruto ternyata menutupi asset-aset menggiurkan seorang Naruto.
“Dimana dia sekarang?”
“Kata pacarku, ia sering pindah-pindah karena harus mengurus bisnis Namikaze yang mau ambruk sekaligus mengelola usaha kesenian upacara minum teh Kaguya. Tapi yang pasti ia selalu mampir ke rumah sakit, menengok kedua orang tuanya.”
Sasuke langsung melesat keluar rumah. Ia mengendarai mobilnya ke rumah sakit, mengabaikan teman-temannya yang melongo, ditinggalkan. Ia ingin segera bertemu dengan Naruto-nya.
Di sana ia lihat Naruto berdiri di depan sebuah ruangan. Tubuhnya terlihat rapuh, memandang dari lapis kaca. Wajahnya dipenuhi kesedihan mendalam. Sasuke jadi iba. Betapa tegarnya dia? Dihantam musibah begitu berat seperti ini, tapi masih bisa bertahan.
“Naruto...” panggil Sasuke lirih, takut menyakiti Naruto.
Naruto menolehkan kepalanya. Matanya memerah dan ada aliran air mata bening menghiasi pipinya. “Sasuke...” balas Naruto lirih. Ada rasa bahagia merayap, membuncah, menyusup di hatinya dengan kehadiran Sasuke.
Memang awalnya ia kesal dengan tingkah Sasuke yang terus menempelinya, tapi akhirnya ia menolerirnya. Ia terlanjur terbiasa dengan kehadirannya. Terus terang, ia juga merasa nyaman dengan kebersamaan mereka. Hatinya terasa sakit saat tak bisa melihat wajahnya. Ini saja ia harus mengepalkan tangannya erat agar ia tak berlari, menghambur dalam pelukan Sasuke untuk mencurahkan beban hatinya. Mereka lalu duduk berhadap-hadapan depan ruang ICU.
“Kau tahu dari mana aku di sini?” kata Naruto tak lagi menggunakan frasa saya-anda, tak seformal saat awal-awal perkenalan.
“Dari temanku. Kenapa kau menghilang begitu saja? Aku cemas mencarimu, tahu. Aku bahkan berfikir yang bukan-bukan tentangmu?” cerocos Sasuke OOC tanpa henti. Ia tiba-tiba saja jadi cerewet.
“Maaf. Saat itu aku begitu kalut. Pikiranku buntu. Jadi aku cepat-cepat pergi.”
“Aku sudah tahu secara garis besarnya. Orang tuamu koma kan?”
“Ya.” Katanya sedih.
“Ceritakanlah padaku. Mungkin aku bisa membantumu. Kau sudah tahu aibku, kan?”
“Tapi Sasuke aku...”
“Please. Kita ini teman. Aku janji ini akan jadi rahasia.”
Naruto menimbang-nimbang, haruskah ia cerita pada Sasuke. Dia seorang pria dan dia wanita, bukan pula muhrim. Tak elok rasanya menceritakan masalahnya pada seorang pria yang tak ada hubungan darah atau pernikahan. Ia takut ini jadi fitnah di kemudian hari.
Hidupnya sudah rumit. Masalah pelik membelenggunya, dan ia tak ingin menambah masalahnya lagi dengan terlibat kisah percintaan picisan, yang mungkin terjadi. Bagaimanapun mereka dua lawan jenis normal, masih single, dekat, dan saling membutuhkan. Bisa saja benih cinta timbul. Itu yang Naruto hindari. Ingat mereka beda keyakinan.
‘Hahhh...’ Naruto mengambil nafas panjang. Kenapa jadi begini rumit? Dulu ia mungkin bisa dengan mudah cerita pada Sasuke, satu-satunya sahabatnya kini. Setelah jadi mualaf, segalanya jadi tak semudah awalnya. Ada koridor agama, garis batas yang tak bisa dia tabrak, meski ingin. Tapi ia sudah siap menanggung konsekuensi dari dua kalimat syahadat yang ia ikrarkan di depan seorang Imam masjid tiga tahun yang lalu.
“Maaf Sasuke. Aku tak bisa.” Kata Naruto dengan berat hati.
“Apa kau tak mempercayaiku?”
“Aku percaya padamu seperti aku mempercayai diriku sendiri.”
“Lalu?”
“Agamaku melarangku untuk curhat dengan seorang laki-laki yang bukan keluarga ataupun...”
“Terikat pernikahan denganmu?” potong Sasuke.
“Ya. Maaf.”
“Meski itu seorang pria Muslim?”
“Meski dia seorang pria Muslim.”
“Kenapa?”
“Karena Allah ingin menjaga kehormatan dan nama baik seorang muslimah. Ia tak ingin ini jadi fitnah. Kau sudah tahu sendiri akibatnya, kan? Seperti kasus Sakura dan Itachi. Aku tak mau itu terjadi padaku.”
 “Kita tak akan berakhir seperti mereka. Mereka melakukannya di dalam rumah yang sepi, di dalam kamar. Kita di tempat umum. Demi Tuhan, Naruto...” kata Sasuke frustasi dengan sikap teguh Naruto. “Aku hanya ingin membantumu. Kau sahabatku.” Lanjutnya lirih.
“Aku tahu. Sekali lagi maaf. Doakan saja aku kuat. Dan terima kasih kau mau menghiburku.” Kata Naruto masih bisa tersenyum tulus.
Mereka akhirnya saling diam, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Naruto sesekali sholat, membaca al Qur’an sesekali waktu, setelah itu mengerjakan tugas-tugas kantor yang bejibun sambil memonitor kesehatan kedua orang tuanya. Sasuke ingin membantu, tapi tak bisa karena ditolak Naruto. Jadi ia hanya duduk manis, menjaga jarak sekitar 3 meteran hanya untuk memastikan Naruto tak ambruk.

SKIP TIME

Akhirnya Sasuke mengetahui beban berat yang harus ditanggung pundak sahabatnya itu. Semua ini berkat Hinata. Naruto sempat cerita padanya, diantara isak tangisnya, menahan rasa takut, lelah, dan gusar. Hinata waktu itu diam-diam merekam pembicaraan mereka dan memberikannya pada Neji. Sekarang ini, Sasuke sedang mendengarkan hasil rekamannya.
“Ayahku kena serangan jantung waktu tahu uangnya dibawa kabur Kyuu-nii. Mana ia meninggalkan hutang yang sangat besar dan ditinggalkan para investor pula. Ia begitu terpukul, mendapati ia akan bangkrut.”
“Lalu kau datang mengambil alih perusahaan yang diambang kebangkrutan itu.” Kata Hinata berkomentar.
“Ya. Aku tak ingin Namikaze corp bangkrut, demi para karyawan dan demi Papa. Itu sandaran hidup mereka, pastion mereka. Aku berharap Papa akan sadar dari komanya. Lalu, senyumnya akan kembali mengembang saat tahu perusahaan tak bangkrut dan tetap jadi no 1.”
“Bagaimana caramu mengatasinya? Kau pinjam bank?”
“Tidak. Bank tak bersedia memberi pinjaman beresiko pada kami. Jadi aku mengambil dana perwalian yang diberikan kakek nenekku di bank Swis berikut tabunganku selama ini untuk membayar sebagian tagihan, sisanya akan dilunasi sembari perusahaan itu berjalan.”
“Tapi kau berhasil kan? Ku lihat perusahaan itu membaik di pasar saham.”
“Ya. Itu semua berkat kerja keras dan kekompakan para karyawan.”
“Kalo Ibumu?”
“Dia kecelakaan mobil. Ada yang menyabotase mobilnya karena tak ingin Mama memimpin upacara minum teh tadi siang.”
“Lalu kau pun menggantikannya?”
“Ya.” Kata Naruto menumpahkan unek-uneknya.
“Apa yang akan kau lakukan saat mereka sadar?”
“Pergi dan menyerahkan kendali pada mereka lagi.”
“Kenapa? Itu kerja kerasmu, Naruto. Kau banyak berkorban demi ini. Kau tak ingin memperlihatkan hasil kerja kerasmu itu pada mereka?”
“Aku ingin Hinata-chan. Tapi aku tak bisa.”
“Boleh ku tahu kenapa?”
“Karena aku mualaf. Jadi aku diusir dari silsilah keluarga di jalanan. Mereka tak lagi mengakui aku sebagai anak dan melarang aku menggunakan marga mereka.”
“Eh.” Gumam Sasuke terkejut. Jadi ini alasan kenapa ia tak punya marga.
Rasa kagumnya pada Naruto semakin bertambah. Ia gadis dengan pendirian kuat. Ia memiliki segalanya, kecantikan, kepopuleran, harta yang melimpah, bahkan darah birunya. Demi Islam, ia rela meninggalkan semua itu. Istananya ia tinggalkan demi Islam dan memilih sebuah kontrakan kumuh. Mana di kampus ia sering dibully pula. Semua dia terima dengan lapang dada.
Inikah kekuatan iman? Saat iman bersemi di dada, segala kesulitan dunia seolah tiada artinya. Ia masih bisa tersenyum, mesku dunia menolaknya, mencaci makinya. Ia masih bisa optimis saat dunia berniat menenggelamkannya. Itu pasti esensi cinta sejati, cinta paling suci dan murni yang tumbuh dalam hati. Sasuke iri pada Naruto.
“Sedang apa?” tanya Itachi nyelonong masuk kamar Sasuke. “Menguping pembicaraan para gadis?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Ya.” Kata Sasuke malas berdebat.
“Kau tak berhasil membujuknya untuk cerita?”
“Dia bukan wanita sembarangan, Chi. Dia itu kuat, tak seperti wanita lainnya.” Kata Sasuke, menerawang jauh. “Meski ada badai menerjang, ia akan tetap bertahan. Ia rela berkorban, meski yang ditolongnya tak tahu pengorbanannya. Itulah Naruto.” Lanjutnya penuh rasa bangga.
“Aku tahu. Ia memang tipe yang teguh pada pendirian. Pantas kau tergila-gila padanya.” Goda Itachi, sedikit senang. Adiknya tak berkata ketus padanya, meski ia tak tahu apa ini berarti adiknya sudah memaafkannya.
“Ya.” Kata Sasuke mengiyakan tanpa sadar.
Ia akui Naruto sudah mencuri perhatiannya di awal perjumpaan mereka. Selanjutnya ia mencoba mengenal dan mengulik rahasia hidupnya. Meski kini sudah tahu alasan ia tak bermarga, tetap saja ia sulit ditebak. Ia tetap jadi misteri untuknya.
Sudah satu semester berlalu. Kedua orang tua Naruto sudah sembuh dari komanya. Mereka agak berjengit kaget karena satu ruangan dengan mantan pasangannya. Tapi mereka tetap tersenyum setelah mendapati kekayaan mereka tak menghilang, malah berkembang pesat. Mereka pikir Kyuubi untuk Minato atau Karin untuk Kushina, pandai mengelola bisnis keluarga, sehingga tak hancur berantakan.
Dengan tanpa malu, kedua orang itu mengakui hasil kerja keras Naruto. Mereka dengan air mata buaya bilang bahwa mereka harus membagi waktu antara rumah sakit dan perusahaan. Benar-benar meminggirkan peran adik bungsu mereka.
Naruto yang melihatnya dari jauh tak marah. Ia hanya tersenyum lega, kedua orang tuanya sudah sehat. Mereka tersenyum bahagia dan bangga. Itu saja dia sudah senang.
Lain halnya dengan Sasuke. Ia begitu jengkel dengan ulah kakak-kakak Naruto yang tak tahu diri. Seharusnya ia di dalam sana, berada dalam pelukan kedua orang tuanya. Senyum bangga itu harusnya untuk Naruto, bukan kakak-kakaknya yang menjijikan, pemalas, dan tukang tipu.
Ia jadi punya ide untuk memberi Naruto hadiah istimewa. Untuk itulah ia minta bantuan pada kakaknya, Itachi. Tentu saja Itachi menerimanya, dengan sarat Sasuke mau memaafkannya. Sasuke sih mengiyakan. Ia sudah tak marah pada kakaknya. Toh ia juga sadar, ia turut andil dalam konflik perselingkuhan itu.
Seandainya waktu itu ia dengan tegas minta putus dari Sakura dan bukannya menunda-nundanya, mungkin Sakura tak curhat pada Itachi. Jika ia tak bersikap dingin pada Sakura, mungkin Sakura tak akan terlena dalam kehangatan semu yang tak bisa Sasuke berikan. Intinya ia penyebab perselingkuhan itu. Ia memaafkan kakaknya, tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dia memang salah, tapi Sasuke juga salah.

SKIP TIME 

Sasuke dan Naruto duduk di pohon rindang, di sebuah taman milik rumah sakit tempat kedua orang tua Naruto dirawat. Seperti biasa mereka duduk berjauhan. Awalnya mereka diam, dan larut dalam keheningan hingga Sasuke memulai percakapan.
“Bagaimana orang tuamu?”
“Mereka sudah membaik, sebentar lagi boleh keluar dari rumah sakit.”
“Kau tak ingin menemui mereka secara langsung?”
Naruto mendesah panjang. “Tentu saja ingin. Aku ingin merawat mereka secara langsung, menyuapi, dan membantu mereka berganti baju. Tapi aku tak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku takut penyakit mereka kambuh setelah melihatku. Mereka tak suka padaku, Sasuke.”
“Kalo kau bilang kaulah yang selama ini menjalankan perusahan sehingga perusahaan itu tak bangkrut, mereka pasti memaafkanmu.” Kata Sasuke.
Naruto tersenyum. “Bagaimana kalo terjadi sebaliknya? Biarlah semua begini. Aku sudah senang melihat mereka senang. Kyuu-nii dan Karin-nee sudah cukup membuat mereka bahagia.”
“Kau itu bodoh ya? Kau yang telah berkorban banyak? Kau menguras seluruh uangmu hingga hanya tersisa 0 di buku tabunganmu, tapi kakak-kakakmu yang dapat nama. Kau dapat apa? Capek.” Tukas Sasuke kesal dengan kebodohan sahabatnya itu. Kenapa sih ia mau aja dimanfaatin?
“Aku dapat pahala, Sasuke.”
“Tapi bagaimana dengan hidupmu? Kau tak memiliki apapun kini? Kau akan tinggal dimana? Semua asetmu sudah kau berikan untuk mereka. Mereka bahkan tak berterima kasih padamu.”
“Aku masih punya Allah, Sasuke. DIA yang akan mencukupkan kebutuhanku. DIA tak akan salah mengirimkan rezeki ku pada orang lain.”
“Aku tahu imanmu kuat. Tapi apa kau tak ingin orang tuamu mulai menerimamu? Sudah banyak yang kau berikan pada mereka, Nar. Bersikap egoislah sedikit.”
“Itu masih sangat sedikit Sasuke. Apa yang ku berikan untuk mereka masih sangat jauh dari yang pernah mereka berikan padaku, sebelum aku masuk Islam. Bahkan meski aku berikan matahari dan bulan di tangan mereka, itu pun tak bisa membalas budi mereka padaku. Mana bisa aku datang pada mereka mengaku-aku hanya untuk mendapat perhatian mereka. Pengorbananku masih sangat kurang, Sasuke.”
“Itukah yang diajarkan Tuhanmu?” kata Sasuke lirih.
“Ya. Surga di telapak kaki ibu. Restu Allah seiring dengan restu seorang ibu. Murka Allah bersama dengan murka seorang ibu. Seorang anak diharamkan menyentuh surga selama dalam hati seorang ibu ada rasa marah, jengkel pada anaknya, meski hanya karena anaknya bilang ‘Ah’.”
“Tapi ibumu bukan seagama denganmu.”
“Agama bukanlah halangan untuk kita berbakti. Selama ia tak menyuruh pada kemaksiatan dan kekufuran maka lakukan perintah ibumu, meski kamu harus merangkak ke seluruh bumi.”
“Oh WOW. Begitu tingginya kedudukan seorang ibu dalam agamamu, Nar.”
“Ya. Itulah yang pertama membuatku memutuskan mualaf. Ajarannya begitu indah dan sangat menjunjung tinggi kehormatan seorang wanita, seorang ibu.”
Sasuke tersenyum. Ia kembali iri pada Naruto. Dia tak ingat, apa yang telah ia lakukan pada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Mengeluh, merasa kurang diperhatikan, padahal mereka banyak memberi. Mereka kerja, banting tulang, kadang lupa waktu demi sang anak. Demi agar anak mendapat fasilitas hidup yang nyaman dan enak. Tapi apa yang sudah ia berikan untuk membalas pengorbanan mereka?
Ia berjanji dalam hati untuk mewujudkan impian orang tuanya. Tou san ingin Sasuke jadi pengusaha sukses dan tangguh. Ya ia akan mewujudkannya. Ah, ia ingin sekali bertemu mereka dan memeluk mereka. Akan ia katakan ‘Betapa ia sayang pada mereka.’ Mungkin setelah itu dilanjutkan dengan minum teh dan ngobrol ringan seperti dulu. Ia sungguh-sungguh rindu dengan mereka.
Di saat Sasuke masih terbuai lamunan, keluarlah siluet dua sosok yang ingin Sasuke pertemukan dengan Naruto. Ia ingin mereka mendengar isi hati putri bungsunya yang paling dalam. Naruto kaget mendapati kedua orang tuanya muncul.
Wajahnya menunduk, bingung. Mata ibu dan ayahnya berkaca-kaca, merasa bersalah. Betapa putrinya ini begitu mencintai mereka dengan tulus, tanpa pamrih, bukan karena harta. Putrinya hanya ingin orang tuanya tersenyum dan merasa senang dengan pelayanan putrinya, tak ingin lain. Putrinya rela memberikan seisi dunia, demi keridhoan orang tuanya. Betapa beruntungnya mereka sebagai orang tua? Apalagi yang mereka harapkan sebagai orang tua, selain anak yang berbakti?
Tapi harga diri dan tradisi keluarga mencegah mereka, menghambur dan memeluk putri mereka yang telah lama hilang. Apa kata dunia jika putri mereka masuk Islam? Bukankah mereka dari keturunan keluarga pendeta Shinto. Jadi mereka mengepalkan kedua tangannya, mencegah mereka memeluk putrinya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Minato dingin.
“Baik, Pa.”
“Baguslah. Nanti setelah keuangan perusahaanku membaik, akan ku kembalikan semuanya.” Katanya dingin.
“Itu tak perlu, Pa. Itu warisan dari kakek. Sebelum meninggal ia berpesan untuk memberikannya pada ayah jika suatu saat perusahaan mengalami kebangkrutan.”
“Baguslah. Aku pergi.” Kata Minato dingin, lalu pergi.
Kushina juga bersikap sama. Kepalanya tetap menjulang angkuh, tak sudi memandang putrinya yang membangkang. Ia pun ikut pergi, mengiringi langkah sang mantan suami.
Sasuke yang melihatnya kesal. “Orang tua macam apa kamu? Kalian tak punya hati. Apa gunanya isi dunia, tradisi, dibanding putri sendiri?” maki Sasuke.
“Sasuke sudahlah. Cukup.” Kata Naruto menahan kemarahan Sasuke.
“Itu bukan urusanmu, anak muda. Aku tak punya anak yang bernama Uzumaki Naruto.” Kata Kushina dingin.
Air mata Naruto menetes. Hatinya sakit mendengar penolakan ibunya secara langsung. ‘Ya, Allah kuatkanlah hamba. Tegarkanlah hamba untuk berjalan di jalan-Mu ya Allah.’ Doanya dalam hati.
“Kau??” Sasuke mengepal marah. Hatinya juga merasa sakit, seolah ia yang dihina seperti itu.
“Hn.” Kata Minato pergi. Keduanya lalu menghilang. ‘Maafkan kami, Nak. Maaf.’ Batin mereka.
“Sudahlah Sasuke, sudah. Jangan marah! Aku tak apa-apa. Aku sudah ikhlas dan menyerahkannya pada Allah. Kita pergi saja.”
“Tapi?”
“Besok kita sudah mulai kuliah lagi, lho.” Guraunya meski matanya berkaca-kaca, merasakan perih di hatinya.
“Hahhh, kau benar.” Akhirnya, Sasuke mengalah. Ia tak mau membebani hati sahabatnya. BTW kau mau joint bisnis denganku?”
“Bisnis apa?”
“Membuat PH. Kakakku juga mau terlibat lho. Kau kan sudah pengalaman dalam bisnis.”
“Boleh. Tapi aku tak punya modal.”
“Kau kan punya modal pikiran. Itu yang terpenting.”
Mereka lalu berlalu pergi dari tempat yang menimbulkan kepahitan. Tak selamanya pengorbanan kita untuk orang lain itu berbuah manis. Tak selamanya kita mendapat balasan baik dari manusia atas kebaikan kita. Ikhlaskanlah segalanya untuk Allah. Dia-lah yang akan membalasnya.
Hari ini jalan keimanan dan kekufuran saling berkelindan. Haruskah kita mengabaikan cahaya iman demi tradisi keluarga, leluhur yang belum tentu menjamin kita masuk surga? Haruskah kita lari dari kebenaran saat dunia meninggalkan kita? Tapi percayalah apapun yang terjadi, kita tak sendiri. Ada Allah bersama kita.

END



Tidak ada komentar:

Posting Komentar