Summary : “Apa kau tahu
siapa ibu kandung Menma?” tanya Gaara mengalihkan topic. Sasuke tak menjawab.
Ia memalingkan wajahnya. “Jadi, benar kau tahu.” Kata Gaara sambil tertawa
getir. “Aku bukan ayah Menma,” kata Sasuke. Gaara mendengus. “Kau pikir aku
percaya? Hanya kau seorang Uchiha yang tersisa di dunia ini,” “Kalau kau
berkata seperti itu, berarti Naruto tidak menceritakan semuanya padamu,” Not Yaoi.
DISCLAIMER : Naruto
Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran,
bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Author
Note : Ada sedikit penyimpangan seksual dalam cerita ini. Tapi bukan yaoi,
melainkan aseksual artinya seseorang yang tidak begitu tertarik pada kehidupan
seksual.
Percakapan antara manusia dengan
bijuu Ai tulis dengan huruf dibold, biar jelas.
“blablabla..” percakapan biasa.
“blablabla..” percakapan dengan bijuu
Don't Like Don't
Read
Chapter Five
part One
Naruto sekarat.
Berita itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Hinata tertegun,
terlalu terkejut mendengar kabar ini hingga otaknya blank, tidak bisa berfikir.
Tubuhnya kaku dengan mata terbelalak lebar. Tapi, untunglah ia tengah
menundukkan kepala, sehingga ekspresinya saat ini tak bisa dilihat oleh lawan
bicaranya.
Hinata mengepalkan
tangannya kuat-kuat hingga jari-jarinya memutih di atas kimono putih, gaun
pengantinnya yang ia warisi dari mendiang ibunya. Ia menahan emosi yang
menggelegak dalam dirinya. Tubuhnya saat ini seperti lahar yang mendidih dan
siap meletus kapan saja. ‘Sial. Ini bisa merusak rencanaku,’ pikirnya geram.
Ia menarik nafas
panjang dan menghembuskannya secara perlahan untuk melarutkan kegalauannya. Lalu,
ia menengadahkan kepalanya, memamerkan senyum yang menawan yang mampu membuat sebagian besar
laki-laki bertekuk lutut di depannya. Dengan suaranya yang lembut dan manis, ia
berkata, “Jika memang itu keputusan Sasuke-kun, aku terima. Tapi, aku tak
setuju jika pertunangan kita dibatalkan.”
“Hinata, aku..”
“Ssst…, aku tahu
apa yang mau kau katakan, Sasuke-kun…” Diam sejenak. “..dan aku tak
mempersalahkannya. Aku sama seperti Sasuke kun, turut bersedih dengan kabar
sakitnya Naruto. Aku pun ingin melihatnya sembuh. Karena itu, aku setuju jika
Sasuke-kun ingin menunda acara pernikahan kita. Aku tak keberatan. Tapi…,
bolehkan aku ikut Sasuke-kun ke Suna? Aku juga ingin membantu, meski aku
bukanlah master dalam bidang medic nin seperti Sakura-san.” Jelas Hinata terdengar
penuh simpatik.
Sasuke diam,
berfikir. Oniksnya menatap menyelidik, berusaha membaca isi pikiran calon
istrinya ini. Lalu, ia mengangguk samar. “Kita berangkat besok. Bersiaplah.”
Kata Sasuke singkat, padat, dan jelas. Setelah itu, ia berpamitan dengan sopan.
Hinata mengantar
tunangannya yang seharusnya hari ini menjadi suaminya dengan senyuman. Akan tetapi,
saat Sasuke sudah membalikkan punggungnya, senyumnya menghilang dari wajah
cantiknya. Bibirnya yang tadi bicara manis, semanis madu kini mendesis seperti
ular berbisa. Sorot matanya tak lagi lembut, melainkan penuh amarah dan
kebencian. Tak ada belas kasih terpancar dari iris lavendernya.
SKIP TIME
Di pintu gerbang
Konoha, berdiri berjajar Sasuke, Hinata, Kakashi, Gaara yang tengah menggendong
Menma di punggungnya, dan jangan lupa tim Hebi. Tim Hebi dan Sasuke itu seperti
saudara kembar yang tak terpisahkan. Mereka memaksa ikut, meski tidak diajak.
“Hati-hati di
jalan,” kata Kakashi melepas rombongan Sasuke.
Sasuke mengangguk
mewakili rombongannya. Ia baru berjalan tiga langkah, ketika ia menangkap
rombongan lain beberapa langkah di depannya. “Sedang apa kalian?” katanya tajam
menusuk.
Temari salah
tingkah dan menutupinya dengan berpura-pura membetulkan tutup kepala Shikadai
anaknya. Kiba pura-pura menatap langit yang hari ini biru cerah, malas
menjawab. Shika? Ia cemberut karena teman-teman seperjalanannya dengan teganya
melemparkan tanggung jawab padanya. Shika bergumam dan menggerutu lirih.
“Aku menunggu,”
kata Sasuke terdengar tidak sabar. Matanya berkilau aneh membuat bulu-bulu
halus di tengkuk Temari, Shika dan Kiba meremang. Tubuh ketiganya bergidik
samar.
Shikamaru tertawa
kecil, untuk menutupi ketegangannya. “Well, beberapa minggu ini, Temari terus
menerus mengeluh, menderita homesick. Jadi, aku berpikir untuk mengajaknya ke
Suna. Hitung-hitung memperkenalkan desa kelahiran Temari pada Shikadai,” kata Shikamaru beralasan. Temari mengangguk untuk memperkuat alasan
suaminya. Tangan kanannya dengan setiap menggandeng tangan putranya Shikadai
yang baru berumur 5 tahun 4 bulan.
‘Huh, alasan.’ Batin Sasuke
tak percaya. Mana ada orang baru merasakan homesick setelah 6 tahun berlalu?
“Anakmu masih terlalu kecil untuk bepergian jauh. Kasihan dia. Nanti kelelahan,”
Secara halus, Sasuke menyuruh rombongan keluarga kecil Nara ini kembali ke
rumah.
“Kami bisa bergantian
menggendongnya,” kata Temari dan disambung Shikamaru, “Menma masih balita, tapi
ia tak masalah bepergian dari Suna-Konoha.”
“Menma berbeda. Ia Uchiha,”
Kata Sasuke yang dengan angkuhnya mengagungkan klannya. ‘Dan ia memiliki cakra
Kyuubi,’ tambah Sasuke dalam hati. Kiba yang duduk di atas Akamaru di samping
kanan Shikamaru mendengus keras yang untunglah berhasil ia samarkan menjadi
bersin kuat. Sasuke berpaling padanya. Matanya melotot galak. “Dan kau, apa
alasanmu? Homesick juga?”
“Tidak. Aku hanya ingin
berlibur ke Suna, menikmati waktu cuti panjangku. Kata Gaara, di Suna ada
banyak mawar hitam —salah satu jenis tanaman yang sangat langka— yang tumbuh
secara liar. Aku ingin memberikannya pada ibuku sebagai hadiah.” Kata Kiba.
Sebuah alasan yang sangat mengada-ada. Tapi, Sasuke tidak akan tahu karena ia
tak pernah pergi ke Suna. “Guk..gukk..gukk..!” Akamaru menyalak, secara tidak
langsung membenarkan ucapan tuannya.
Mata Sasuke menyipit curiga.
Meski tak tahu benar tidaknya di Suna ada mawar hitam, tapi ia bisa mencium bau
kebohongan dari rombongan Kiba, Shikamaru, Temari, dan Shikadai ini. “Batalkan
saja!” kata Sasuke memberi perintah.
“Tidak mau. Memangnya kau
siapa? Seenaknya saja menyuruh-nyuruhku. Kau ini sudah bukan hokage, Sasuke.”
Balas Kiba sengit sambil menggerutu.
“Balik!” hardik Sasuke galak.
“Ogah,” balas Kiba menantang.
“Balik!”
“Ogah,”
“Balik atau..”
“Sudahlah Sasuke, biarkan Kiba
ikut.” Potong Gaara lelah dengan perdebatan yang mungkin tak ada akhirnya ini.
Watak Kiba hampir mirip dengan Naruto. Sama-sama keras kepala. Sasuke menoleh
dan mendelik pada Gaara, tidak terima keputusannya digugat. “Memangnya kau bisa
memisahkan mereka?” dalihnya. Gaara menunjuk Menma yang sudah lepas dari
gendongan Gaara dan kini menaiki punggung Akamaru bersama Kiba dengan dagunya.
Sasuke mendesah. ‘Seperti rombongan
badut saja,’ batinnya jengkel. Dengan kemarahan tertahan, ia terpaksa menerima
rombongan Kiba-Shika-Tema-dan-Shikadai. “Jangan macam-macam di jalan. Jangan
bicara sembarangan. Jangan pergi seenaknya. Jangan membuat masalah. Jangan..”
“Sasuke, aku ini sudah dewasa.
Sudah bisa jaga diri. Aku tahu apa yang harus dan tidak boleh ku lakukan,”
Bentak Kiba tersinggung.
“Oh, ya?” pekik Sasuke
pura-pura terkejut. “Maaf aku lupa. Ku pikir tadi aku sedang bicara dengan
genin menjengkelkan yang hobinya membantah sensei pembimbingnya,” sindirnya.
“Grrrr…” Kiba menggeram tidak
terima dengan sindiran kasar Sasuke. ‘Si bedebah itu memang minta dihajar,’
pikirnya geram. Matanya melotot galak. Sasuke yang digalaki memprovokasinya
dengan memberinya tatapan meremehkan. Geraman Kiba semakin nyaring. Jika bukan
karena ada Menma dan Shikadai di dekatnya, ia pasti sudah menempeleng wajah
menyebalkan Sasuke itu.
Shikamaru menggeleng-gelengkan
kepala, prihatin dengan tingkah laku kekanak-kanakan teman-teman seangkatannya.
“Mendokusai,” gumamnya ketika istrinya menyenggol lengannya, menyuruhnya dengan
isyarat mata untuk menghentikan pertengkaran SasuKiba. “Kapan kita berangkat?
Matahari sudah mulai terik, nih.”
“Hn,” gumam Sasuke.
“Yup, sekarang ayo berangkat!”
kata Kiba yang diamini dengan salakan Akamaru.
“Kau bukan pimpinan rombongan
ini, Kiba.” Kata Shuigetsu mengingatkan sambil berjalan santai di samping Karin.
“Jadi jangan main perintah saja,” sambungnya.
“Aish. Sudahlah jangan dibahas
lagi. Aku capek mendengar pertengkaran tidak bermutu kalian.” Omel satu-satunya
gadis Uzumaki dalam rombongan ini. Ia memelototi Kiba yang sudah buku mulut
lagi, berniat membantah dan menyuruhnya diam. Dan, Kiba yang untungnya cukup
cerdas, memilih bungkam daripada adu mulut dengan Karin. Yakin, jika sampai
kiamat pun ia tak akan menang.
Ternyata, perjalanan ke Suna
kali ini memakan waktu yang cukup lama. Ada sekitar sebulan lebih. Tak sesuai
dengan rencana Sasuke semula. Ini karena mereka terlalu sering beristirahat. Mereka
terpaksa melakukannya karena mempertimbangkan kesehatan Menma dan Shikadai.
Demi keduanya, mereka harus rela mengalah.
Sesampainya di Suna, Kankurou
menyambut mereka di pintu gerbang dengan wajah panik. “Gaara, syukurlah kau
sudah pulang.” Kelegaan menghiasi wajahnya yang mulai dihiasi guratan-guratan
samar.
“Ada apa? Apa Suna baik-baik
saja?” tanya Gaara ikut cemas. Dadanya berdegup kencang, merasakan firasat buruk.
“Suna baik-baik saja. Tapi,
Naruto tidak. Kondisinya semakin parah.”
“Parah bagaimana?” Ini bukan
Gaara yang bertanya, melainkan Sasuke yang dengan tidak sabarannya mencengkeram
kerah baju Kankurou, melupakan sopan santun dan etika yang sudah ditanamkan
kedua orang tuanya sejak usia dini.
“Aku..aku juga tidak tahu.
Tapi.., Ichibi meracau. Wajahnya terlihat ketakutan dan panic. Belum pernah ia
begini. Ia bahkan memanggil saudara-saudaranya ke Suna. Sekarang, mereka berkumpul
dan mengerahkan segenap cakra mereka untuk menolong Naruto.”
“SIAL!” umpat Sasuke kasar. Ia
mengangkat tangan. “Jangan menceramahiku soal language. Ini tak akan terulang
lagi,” katanya pada Gaara tahu diri. Ia bergegas mengikuti Kankurou dan Gaara
yang berjalan cepat di deretan paling depan. Punggungnya terlihat kaku dan
tegang. Ia tidak menoleh ke belakang satu kali pun untuk melihat apakah
rombongannya mengikutinya atau memilih istirahat di penginapan. Ia bahkan
mengabaikan Menma yang masih digendong Akamaru-Kiba.
Sasuke terkesiap menatap sosok
yang dikenalinya sekaligus yang tidak dikenalinya yang sedang berbaring di atas
ranjang. Fisik Naruto dalam waktu beberapa tahun belakangan ini banyak berubah.
Klon Naruto yang datang ke Konoha tempo hari pastilah sangat special karena ia
bisa bertindak dan berfikir sendiri, seolah-olah terpisah dari jiwa Naruto. Bahkan
bentuk fisiknya pun berbeda dengan fisik Naruto yang sekarang. Air matanya
mengalir tanpa ia sadari. Kedukaan dan kesedihan mengisi rongga-rongga dadanya.
‘Oh, ya Tuhan. Naruto,’ katanya dalam hati.
Tubuh Naruto sangatlah kurus,
hingga hanya tersisa tulang dan sedikit daging yang menghiasainya. Wajahnya
tirus dengan tulang pipi yang menonjol. Rambutnya kusut masai dan tak bercahaya
menunjukkan jika ia pasti sudah lama sekali tak merasakan sentuhan matahari.
Matanya terpejam erat. Jika tidak melihat dadanya yang naik turun secara
teratur meski lemah, Sasuke pasti berfikir jika Naruto sudah meninggal.
“Kenapa bisa jadi begini?”
tanya Sasuke lirih, entah pada siapa.
“Cakra Kyuubi memakan hampir sebagian besar tubuhnya, karena itu ia seperti
ini.” jawab Yonbi, bijuu yang paling bijak diantara
mereka bersembilan.
“Bukannya Naruto dan Kyuubi
sudah berteman. Kenapa sekarang ia menyakiti Naruto?” tanya Karin yang rupanya
ikut menyertai Sasuke. Tangannya memegang data rekam medis Naruto yang
diberikan tim medis Suna. Ia dengan telaten memeriksa tubuh Naruto, lalu
menggeleng muram. Para bijuu itu benar. ‘Naruto mungkin sudah tak tertolong
lagi.’ Batinnya sedih.
“Itu di luar keinginannya. Kyuubi mulai berubah dan mengarah pada kegilaan.
Naruto berusaha menolong Kyuubi. Ia meminjamkan cakranya untuk menetralisir kebencian
Kyuubi. Dan, beginilah akibatnya sekarang.” celetuk
Hachibi. Wajahnya terlihat penuh sesal.
“Jika kami tidak menyalurkan cakra kami pada Naruto dan andai Naruto bukan
seorang Uzumaki, ia pasti sudah tewas dari kemarin-kemarin. Tapi, mungkin ini
sudah penghabisan. Jiwa Naruto sudah pergi terlalu jauh. Aku hampir tak bisa
merasakan hawa kehidupannya,” Ganti Yonbi yang buka mulut.
Wajahnya memperlihatkan keprihatinan yang mendalam. Naruto satu-satunya orang
yang ia kenal begitu perduli pada sesama. Ia bahkan perduli pada nasib para
bijuu yang selama ini dianggap monster oleh sebagian besar orang.
Sasuke mengepalkan kedua
tangannya, tahu kira-kira siapa si brengsek yang paling pantas disalahkan untuk
kegilaan Kyuubi dan juga sekaligus penderitaan Naruto. “Aku akan coba bicara
dengan Kyuubi. Kalian lakukan apa yang bisa kalian lakukan untuk menolong Naruto,”
katanya kemudian.
Sasuke memejamkan matanya, tak
menunggu apakah intruksinya dipatuhi ataukah tidak. Baginya itu tidak penting.
Yang terpenting dan mendesak saat ini adalah bicara dengan Kyuubi.
“Uchiha,” desis sebuah suara dari balik
dinding-dinding kegelapan.
Sasuke pikir ia akan menemukan
seekor rubah berwarna oranye berukuran gigan di dalam sebuah kerangkeng besar,
seperti pada pertemuan pertamanya dengan Kyuubi yakni ketika Naruto muncul di
salah satu markas Orochimaru untuk membawanya pulang ke Konoha. Ia salah. Salah
besar.
Bentuk Kyuubi masih sama,
masih seekor rubah berukuran besar. Tapi, warna bulunya berbeda, jauh lebih
gelap dari yang terakhir diingatnya. Begitu pula dengan auranya. Aroma
kemarahan, kebencian dan dendam terasa pekat menyebar menyelubungi seisi
ruangan. “Astaga, apa yang telah terjadi,” katanya pada dirinya sendiri.
Makhluk yang Sasuke yakini
Kyuubi menjulurkan cakar besarnya dari balik celah jeruji, berniat mencakar
Sasuke. Namun apa daya, tangan tak sampai. Jeruji-jeruji itu dengan efektif
menahannya. “Uchiha! Kesini kau! Akan ku
koyak tubuhmu hingga tak berbentuk,” geramnya. Matanya menyala berpendar
berwarna kemerah-merahan dari balik tirai kegelapan kerangkengnya.
“Kita bisa membahas ini lain
waktu,” kata Sasuke berusaha untuk tidak terdengar dingin. Kyuubi punya alasan
yang sangat bagus untuk membencinya. Secara tidak langsung, ia terlibat pada
kekacauan ini.
“Aku tak punya waktu bercakap-cakap dengan makhluk rendahan sepertimu,” raung Kyuubi.
Sasuke menghela nafas panjang.
Ia mendekati, menyentuh ujung cakar Kyuubi yang membuat Kyuubi bergerak liar
mencakari tangan Sasuke. Sasuke tak menghindar, ia membiarkan Kyuubi
melampiaskan kemarahannya pada tangannya. “Aku minta maaf atas kelakuan kakakku
yang telah membuatmu jadi begini.” Katanya penuh simpatik.
Kyuubi tertegun. Cakarnya
terhenti di udara. “Aku tahu aku bersalah. Secara tidak langsung, aku
terlibat.” Kata Sasuke lagi. Kyuubi menggeram sebagai balasan. “Semua ini
karena aku. Aniki melakukan ini karena aku. Seandainya saja aku tidak menggila,
aniki tidak akan melakukan hal serendah ini padamu. Semua ini karena besarnya
cintanya padaku. Ia ingin aku tidak semakin jatuh dalam kegelapan. Ia ingin
memberiku cahaya, seutas tali penyelamat. Karena itulah ia…” Sasuke terdiam,
menggeleng penuh sesal. “Sekali lagi, maaf.”
Grrr…! “Apa kau pikir maafmu berarti, Haah? Tidak. Hatiku tidak akan puas
sebelum memutilasimu dan memakan tubuhmu hingga tak bersisa.”
“Aku tahu. Sekali lagi, aku
tahu.” Ujar Sasuke tenang. “Kau boleh membunuhku nanti. Tapi, beri aku waktu
untuk menyelamatkan nyawa Naruto.” Kyuubi tersentak, menatap Sasuke nanar.
Sasuke seperti melihat kesedihan membayangi irisnya. “Aku tahu, kau tak perduli
pada apapun dan siapapun di dunia ini. Bahkan tidak pada darah dagingmu
sendiri, Menma. Tapi, bagaimana dengan Naruto?” ujar Sasuke membujuk.
Kyuubi menatap Sasuke, membaca
raut wajahnya. Meski wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, akan tetapi ia bisa
melihat kesungguhan tekadnya. “Apa yang
kau inginkan, Uchiha?”
“Bantu aku. Beri tahu aku,
bagaimana caranya menolongnya?”
Kyuubi diam. Matanya masih
menatap Sasuke tak berkedip, mengawasi setiap gerak-gerik Sasuke, seolah-olah
menunggu Sasuke membuat kesalahan. Tapi, Sasuke sama diamnya dengan Kyuubi.
Akhirnya Kyuubi mengalah. Ia menggelengkan kepalanya dan tertunduk lesu, “Jika aku tahu caranya, apa kau pikir aku
akan diam saja? Lebih dari siapapun, aku ingin ia selamat. Tapi…” Kyuubi
kembali menggeleng.
“Apa memang sudah tidak ada
jalan?” ujar Sasuke serak, menyerupai suara orang yang sedang tercekik. Ia pernah melihat
berbagai hal di dunia ini. Saat klannya dibantai, ia jatuh dalam kebencian,
kemarahan. Saat ia berhasil membunuh kakaknya, ia mati rasa. Bukan kelegaan
atau kebanggaan seperti harapannya. Saat berhadapan dengan Kagura, rasa takut
menghimpit dadanya. Tapi, baru kali ia merasa luar biasa takut. Lehernya
seperti dicekik oleh keputus asaan.
Kyuubi berfikir. Ia teringat
jutsu rahasia Rikudou sennin, tapi ia ragu apa itu bisa menolong Naruto. ‘Lebih baik mencoba dan gagal daripada
menyesal karena tidak melakukan apapun,’ pikirnya. “Cara ini mungkin bisa,
namun harga yang harus kau bayar sangatlah mahal.”
“Aku siap menerima resikonya,”
“Hm. Kemarilah!” panggil Kyuubi. Ia berbisik
pada Sasuke.
Sasuke tercengang. “Haruskah?”
tanyanya. Kyuubi mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan mengurusnya,” kata Sasuke
berpamitan.
Kyuubi di kandangnya menatap Sasuke
dengan pandangan yang sulit diartikan. Hatinya berkecamuk, tercabik antara
kebenciannya pada klan Uchiha dan kepeduliannya pada Naruto. Di satu sisi ia
ingin membunuh Sasuke. Lalu, Menma. Tapi, di sisi lain, ia juga sangat berharap
Uchiha brengsek itu bisa menolong Naruto, satu-satunya cahaya, pengikat
terakhirnya agar tetap waras. Hanya Kami-sama yang tahu apa yang akan terjadi
pada Kyuubi dan para bijuu di dunia ini jika Naruto mati. “Semoga kau berhasil Uchiha. Semoga!” doanya.
“Aku sudah tahu caranya
menyelamatkan Naruto,” kata Sasuke begitu matanya terbuka.
“Apa?” tanya Hachibi.
“Kita bicarakan ini di tempat
lain.” Kata Sasuke. Ia menoleh pada rombongannya minus keluarga Nara dan Menma
yang memilih istirahat di kediaman Sabaku khususnya tim Hebi. “Shui, panggil
Nara kemari!”
“Nara yang mana?” tanya Shuigetsu.
Sasuke hampir menyumpah
serapah, lalu ia teringat jika ia yang salah. Keluarga Nara di Suna sekarang
ada tiga orang. Wajar jika Shuigetsu bertanya, ‘Nara yang mana?’ “Shikamaru dan
Temari.” Kata Sasuke kemudian. Shuigetsu pun menghilang dalam sekejab mata
dengan shunsin no jutsunya.
“Boleh aku di sini?” pinta
Hinata. “Aku ingin menemani Naruto-kun.” Dalihnya.
Sasuke menyipit curiga. Tapi
iris lavender di depannya tak terbaca. Ia sangat pandai menyimpan emosinya
sesuatu yang diharapkan ada pada diri tiap keturunan Souke. “Baiklah!” Sasuke
mengiyakan karena tak punya alasan untuk melarang.
Setelahnya, Gaara mengajak
rombongan Sasuke ke ruang kerjanya untuk membahas rencana penyelamatan Naruto.
Sasuke menceritakan isi percakapan dengan Kyuubi.
“Jadi, tugas kita sekarang
adalah mencari perjaka ting-ting nih.” kata Shuigetsu menyimpulkan, sambil
manggut-manggut. Meski sangsi, ia tetap mengedarkan pandangannya, menelisik
pada para shinobi pria yang mengikuti rapat khusus ini. “Apa..?” Shuigetsu
sudah hampir buka mulut, tapi Shikamaru menukasnya tajam.
“Jangan melihatku! Aku ini
sudah menikah. Mana mungkin masih perjaka,” tukas Shikamaru secara spontan.
Mungkin, ia tersinggung soalnya Shuigetsu menatap Shikamaru lebih lama
dibanding yang lainnya. Mungkin, ia lupa jika posisi duduknya memang berhadapan
langsung dengan Shuigetsu, karena itu intensitas tatapan Shuigetsu secara
otomatis memang paling besar padanya.
“Aku juga tahu. Dasar payah!”
sahut Shuigetsu merengut masam. “Maksudku selain kau yang sudah menikah dan
punya anak. Dan aku tentu saja, karena aku sudah menikah dengan Karin beberapa
bulan yang lalu,” Katanya lagi.
“Aku ini perantara ritualnya. Hanya
yang berdarah Uchiha yang bisa.” Kata Sasuke yang membuat semua orang curiga
jika Sasuke sebetulnya sudah tidak perjaka. Menurut mereka itu hanya dalihnya.
“Apa?” bentaknya kasar menatap tajam semua orang yang melihatnya dengan tatapan
curiga.
“Bagaimana dengan Jugo?” tanya
Kiba mengalihkan topik, tak ingin memperparah kemarahan Sasuke.
“Lupakan saja. Dia sudah
menikah.” Bukan Jugo yang menjawab, melainkan Shuigetsu.
“Menikah?” beo Kiba terkejut.
Benar ya kata pepatah, air yang tenang itu menghanyutkan. Jugo kelihatannya
pendiam, anti social, dan acuh, namun untuk urusan cewek, tangannya cepat juga.
Ia bahkan mendahului Kiba yang masih lajang hingga kini.
“Iya. Jangan tanya kapan,
karena ini menyangkut privasi,” kata Shuigetsu ketus menusuk, menggantikan Jugo.
“Kau sendiri?” todong Shuigetsu tiba-tiba.
Kiba gelagapan, tak siap.
“Well, maaf. Aku..”
“Sudah tidak perjaka? Cih,
sudah ku duga. Kelihatan dari tampangmu yang mesum itu. Kau pasti minimal
sering masturbasi.” Ledek Shuigetsu dengan entengnya mengumbar sisi lain dunia
pria. Tak perduli jika yang ada di ruangan ini tidak semuanya kaum Adam.
“Memangnya kenapa? Aku ini
pria muda yang sehat dengan hormon yang bergejolak. Apa salahnya jika
melakukan..,” Kiba refleks menggigit bibirnya biar tidak keceplosan. Ia nyaris
saja bilang sesuatu yang tidak pantas di ruang rapat. Di depan kage pula. Fiuh
malunya. Kiba berdehem kecil untuk mengembalikan wibawanya yang tersisa.
“Bagaimana denganmu Gaara?” tanyanya spontan menembak korban lainnya.
Gaara tidak langsung menjawab.
Ia justru larut dalam pikirannya sendiri. Satu-satunya suara yang keluar
darinya adalah ketukan jemari tangannya di atas meja. Setengah jam berlalu dan
semua orang masih menunggu satu dua patah kata darinya. “Syarat pertama sih aku
tak masalah.” Ujar Gaara akhirnya keluar dari dunia autisnya.
Semua orang di ruangan itu
diam-diam nyengir gaje, berusaha menahan tawa, hinggu perut mereka sakit. Gaara
jujur banget. Ia dengan santainya mengumbar aib terbesarnya di hadapan banyak
orang. Masak udah seusia gini masih perjaka ting-ting. Alamak! Malu dong.
“Tapi, yang kedua…?” katanya
lagi tak menyadari tatapan kasihan dari rekan-rekannya. Bahkan, dari para
bijuu. Ichibi sendiri saking malunya sampai menenggelamkan kepalanya pada
lipatan tangannya yang besar, malu dengan status perjaka ting-ting mantan
jinchuurikinya ini. Gaara menggelengkan kepalanya, muram. “Itu tak mungkin
aku,” tambah Gaara lagi. Dan, semua orang tersenyum maklum.
Memang sekarang Gaara sudah
jadi orang baik, pintar dan gemar menabung. Tapi, dulunya ia mantan psikopat
yang hobi membunuh orang sebagai sarapannya. Tak mungkin ia yang diutus
menolong Naruto. Sebab, syaratnya harus perjaka ting-ting yang berhati suci.
Gaara jelas masuk daftar backlist.
Sekarang tinggal satu orang
pria yang tersisa di ruangan itu. Kankurou yang ditatap intens banyak orang
jadi merinding disko. “Oke, aku ngaku. Aku juga sudah tidak perjaka.”
“Sudah tahu,” komentar semua
orang yang hadir. Mereka juga tak terlalu berharap banyak pada status Kankurou.
Hanya ingin kepastian saja dari yang bersangkutan.
Suasananya kembali hening.
Semua orang larut dengan pikirannya masing-masing. “Bagaimana dengan Menma?”
celetuk Temari.
Sasuke menoleh pada Temari.
“Kau mau mengirim Menma langsung menghadap Dewa Kematian? Kyuubi benci setengah
mati pada semua orang yang bermarga Uchiha. Tak perduli siapapun dia,”
“Sasuke benar. Aku pun menolak
melibatkan balita dalam misi berbahaya ini,” Gaara menambahkan.
“Lalu siapa? Kau mau
mengumpulkan para shinobi Suna dan menanyai mereka satu per satu, apa mereka
masih perjaka atau tidak? Itu gila namanya. Aku yakin mereka tak akan mau
mengaku. Kalau pun bisa, itu makan waktu banyak. Sedangkan, waktu kita tinggal
sedikit.” cerocos Temari tanpa jeda.
“Kau lupa? Masih ada Shikadai.
Dia itu sudah genin. Ia memenuhi syarat untuk ritual itu,” celetuk Shikamaru.
“Ah, kau benar juga. Kita
mulai sa..” Sasuke terdiam. Ia menatap dari balik dinding. Firasatnya
mengatakan jika Naruto dalam bahaya besar. Sasuke tanpa segel menghilang dari
ruang rapat. Ia muncul di ruangan Naruto memegang tangan orang itu erat. “Apa
yang mau kau lakukan?” katanya dingin.
SKIP TIME
Ia menghampiri Naruto yang
tergolek lemah di atas ranjang. Wajahnya terlihat datarm tanpa emosi, menatap
lurus wajah Naruto. Ia terus-menerus seperti itu sejak setengah jam yang lalu
sepeninggal Sasuke dkk, tak berubah. Ia hanya menatap datar Naruto tanpa
melakukan apapun. Hanya menatap, menatap, dan menatap.
Lalu, setelah sejam berlalu,
ada sebuah perubahan di sana. Tangannya terangkat ke udara, menyentuh wajah Naruto dari dahi, pelipis, pipi, mata,
hidung, hingga berakhir di dagu secara perlahan. Itu bukanlah sebuah sentuhan
sensual, melainkan seperti sentuhan orang buta yang ingin mengenali bentuk
wajah lawan bicaranya.
“Naruto,” katanya lirih.
Kemudian, ia tersenyum tipis. “Naruto Uzumaki. Salah satu dari pahlawan dalam
perang dunia keempat, penyelamat dunia.” Katanya bermonolog, seperti sedang
membacakan naskah pidato.
Tiba-tiba, ia mendekatkan
wajahnya hingga matanya hanya berjarak 5 cm dengan Naruto, membaui Naruto dan
lalu mendengus jijik. “Betapa menyedihkannya dirimu, sekarang Naruto. Sekarat
di negeri orang dan sendirian.” ujarnya sambil mendesis menyerupai desisan
ular.
Ia menegakkan tubuhnya
kembali, berdecak ringan, dan lalu tertawa kecil. “Kau memang payah, Naruto. Pecundang
sejati. Seharusnya kau tetap hidup agar aku bisa puas membencimu dan juga
menyiksamu. Tapi…,” Ia tersenyum sinis.
“..itu keputusan yang bijak. Sangat bijak.” Ujarnya tepat saat berkas-berkas
cahaya sang rembulan di atas sana berhasil memasuki celah-celah kamar, menimpa
wajahnya, memperlihatkan kilau matanya yang asing dan tidak sesuai dengan
wajahnya yang cantik jelita.
“Pergilah ke alam baka dengan
damai Naruto, agar kau tak perlu melihat….” katanya. Dari telapak tangannya
keluarlah berkas cahaya berwarna biru atau yang bisa kita sebut cakra. “…aku
membunuh dan menyiksa Sasukemu, Kakashimu, Sakuramu, penduduk Konoha dan juga
Menma.” Sambungnya mengakhiri kalimatnya.
Deg! Jantung Naruto yang
tadinya lemah tampak berdetak kencang. Mulai ada pergerakan dari tubuhnya.
Sifat protektifnya sebagai orang tua bangkit hingga ia berhasil mengeliminiasi
sekat-sekat keterbatasan. Tapi, gerakannya masih sangat lemah dan sangat
lamban. Itu tidak berarti apa-apa baginya. Naruto sudah pasti mati sebelum
Naruto berhasil mengelaknya.
Tepat ketika cakra itu sudah
berada sangat dekat dengan urat nadinya, sebuah tangan menggenggamnya,
mencegahnya memutus urat nadi Naruto. “Apa yang mau kau lakukan?” desisnya
dingin, tajam menusuk.
TBC