Beberapa bulan belakangan ini,
aku menderita gatal-gatal di kepala. Jangan nuduh aku kutuan! Sepanjang umurku,
aku kutuan dua kali. Pertama, saat duduk di bangku SD. Kelas 5. Kedua, sewaktu
kuliah tingkat 3. Penyebabnya sama, ketularan teman yang rambutnya kutuan. Solusinya
sih simple. Nggak perlu pakai obat kutu rambut macam Pe****k buat membasmi kutu
rambut. Cukup diserit. Langsung beres.
Bagi yang nggak tahu, serit
tuch, gambarnya kayak yang dibawah ini!
Dengan menyerit rambut,
kutu-kutu pada rontok. Tapi, harus dilakukan saat awal-awal merasakan gatal di
rambut. Karena, kalau udah kelamaan tuch kutu rambut udah terlanjur bikin
kepompong di rambut cantik kita. Bahasa jawanya liso. Liso ini sama gatalnya dengan kutu rambut yang udah dewasa. Jadi
mesti dibasmi juga. Serit nggak bisa merontokkan liso. Mau tak mau harus diambil
atu-atu. Bahasa Jawanya dipetani. Kayak
gini gambarnya!
Karena nggak mungkin aku
kutuan, option kedua, aku ketombean. Penyakit lama dan susah dibasmi rambut aku
tuch ketombe. Sama gatalnya dengan kutuan. Biasanya dengan rajin mengkeramas
rambut, ketombe berkurang banyak. So, kepala bebas dari gatal. Tapi, ini
enggak. Gatalnya masih tetap bandel menempel di kepalaku dan bikin aku semangat
menggaruknya. Kesiksa banget. Mana nggak tahu solusinya pula.
Lalu, tiba-tiba, anak salah
satu tetanggaku yang sedang main ke rumahku nyeletuk, “Mbak masih muda kok
ubanan, sih?”
“Masa? Salah lihat kali.” Kataku
tak percaya. Masak badan masih kencang. Nggak ada kerutan di kulit kok udah
ubanan.
“Bener, Mbak.”
“Lah, mana buktinya?”
Anak tetanggaku lalu
mencabut yang katanya uban di kepalaku. Prosesnya nggak sakit sama sekali. Ia lalu
ngasih ke aku. (ToT) (>_<) Huweee…! Ternyata ia betul. Aku ubanan. Lebih dari
satu biji pula. Sedihnya.
Sejak itu, aku mulai lebih
care ama rambutku, merawatnya hati-hati. Mengolesi daging lidah buaya ke rambutku
karena katanya lidah buaya bagus buat rambut. Itu rutin tiap pagi dan petang. Selama
sebulan dah nggak ada uban lagi. Terus aku berhenti deh perawatan.
Namun, bulan berikutnya, si
uban yang menyebalkan itu datang lagi. Jumlahnya lebih banyak dari yang
pertama. Bulan berikutnya juga iya. Aku jadi mikir ini kenapa ya? Aku masih
berusia muda, hidup santai, tidak sedang dicekam terror atau tekanan tertentu, tidak
punya riwayat ubanan selama ini dari seluruh keluargaku dari pihak ayah maupun
ibu, makanan yang ku konsumsi juga nggak ada yang aneh-aneh. Masih sama seperti
dulu. Tapi, kok kali ini ubanan. Aku bingung. Super duper bingung.
Sempat juga mikir gara-gara
gonta-ganto shampo. Namun, option ini juga aku coret. Dari dulu aku sering
gonta-ganti shampo dan nggak kenapa-napa tuch. Pahit-pahitnya, ketombeku kian
parah. Tapi, nggak sampai ubanan.
Jadi karena apa?
Lalu, iseng aku baca tulisan
di botol shampoku. Aku baca dari cara pemakaian, ingredients, manfaatnya dll.
Hingga mataku tanpa sengaja menempel pada huruf yang berbeda karena dicetak
dengan tinta yang berbeda. EXP 120418.
Mataku melotot dan ingin
teriak, “Oh, GOD!” Begonya aku. Pantas aku ubanan. Lha wong shampo yang ku
pakai udah expaired alias kadaluarsa. Sayangnya
aku udah terlambat menyadarinya. Ubananku udah terlanjur meraja lela. Sedangkan,
cairan pada shampo kadaluarsaku udah terlanjut mengalir mengenai kulit di
leherku, menimbulkan rasa gatal yang luar biasa dan juga perih. Kesiksa banget.
Hik hik hikszzz.. Gara-gara
teledor, nggak memeriksa tanggal kadaluarsa, aku sendiri yang kesiksa. Untung cuman
shampo yang penggunaannya pada tubuh bagian luar. Kalau makanan gimana? Atau,
obat? Efeknya bagi kesehatan pasti lebih berat lagi. Dan, aku bersyukur, keteledoranku
hanya pada shampo saja. Kalau pelembab wajah? Lipstick? Bedak? Gimana? Iyuhh..
Bisa hancur wajahku. Tambah jelek dech aku.
saya sarankan kalo punya shampo yg udah expose jgn langsung di buang, sayang bs buat cuci kendaraan . . ..😄😄😄
BalasHapusSetuju banget. Buat nyuci2 sandal jepit juga woke tuh. Jadi wangi
Hapuswah saya juga suka teledor begitu
BalasHapusihsg