Rabu, 01 Maret 2017

The Secret part Two



Summary : “Apa kau tahu siapa ibu kandung Menma?” tanya Gaara mengalihkan topic. Sasuke tak menjawab. Ia memalingkan wajahnya. “Jadi, benar kau tahu.” Kata Gaara sambil tertawa getir. “Aku bukan ayah Menma,” kata Sasuke. Gaara mendengus. “Kau pikir aku percaya? Hanya kau seorang Uchiha yang tersisa di dunia ini,” “Kalau kau berkata seperti itu, berarti Naruto tidak menceritakan semuanya padamu,” Not Yaoi.
DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Author Note :
Di alam bawah sadar, Ai menyebutnya kesadaran. Wujud awalnya berbentuk cahaya. Setelah jaraknya dekat, cahaya itu berubah menjadi sosok manusia dari kesadaran itu.
Percakapan antara manusia dengan bijuu Ai tulis dengan huruf dibold, biar jelas.
“blablabla..” percakapan biasa.
“blablabla..” percakapan dengan bijuu


Don't Like Don't Read

Chapter Five part Two

“Kau mau membunuhnya?” Nada bicara Sasuke dingin dan mengancam.
Hinata terperanjat karena aksinya terpergok oleh Sasuke, tapi ia berhasil menguasai diri. “Mana mungkin,” elaknya. “Aku hanya membantunya agar ia..,” Hinata tersenyum manis penuh simpati. “..tidak perlu menderita lagi. Kematian adalah solusi tepat untuk mengakhiri penderitaan Naruto-kun. Bukan begitu Sasuke-kun?” Suara Hinata terdengar manis merayu, tapi itu tidak berpengaruh pada Sasuke.
Cengkeraman Sasuke menguat. Oniksnya berkilau asing. Tubuh Hinata menggigil samar. Firasatnya mengatakan itu buruk. Tapi, sudah terlambat bagi Hinata untuk menyadarinya, ketika oniks Sasuke berubah menjadi sharingan berputar-putar dan memerangkap Hinata dalam dunia genjutsu Sasuke. Ia hanya bisa mendecih sial dalam hati. Saat matanya terbuka, ia sudah terikat pada pancang tiang bersama ratusan Hinata lainnya.
Lalu, perlahan ia merasakan sayatan demi sayatan benda tajam melukai kulit mulusnya. Tidak mengenai organ-organ vitalnya secara langsung. Sayatannya hanya beberapa inci jaraknya dari organ-organ vitalnya. Dengan demikian, Hinata tidak akan langsung mati. Tapi, Hinata tidak bisa menghela nafas lega. Sebaliknya, ia justru dicekam rasa takut, karena ia tahu Sasuke sengaja melakukannya.
Sasuke tidak berniat membunuhnya secara cepat dan tanpa sakit. Ia ingin berlama-lama menyiksa Hinata hingga rasa sakit itu mencengkram otaknya dengan erat bagai kulit yang membungkus tubuhnya. Sangat erat hingga jika pun ia selamat, rasa sakit itu akan terus mengikutinya, mengkungkungnya dan menghantuinya seumur hidupnya. Hanya satu orang di dunia ini yang bisa menyembuhkannya dari trauma itu, yakni Tsunada-sama yang ia yakini tak akan pernah mau menolongnya setelah semua yang ia lakukan pada Naruto.
Hinata megap-megap, tersedak oleh air ludahnya sendiri. Ia mengerang panjang, merasakan nyeri dan perih di tempat-tempat bekas Sasuke menggoresnya dengan kunainya. Ia tahu ini hanya ilusi, tapi ia tak berdaya melawannya. Rasanya begitu nyata. Kepalanya pusing. Pandangannya nanar. Tubuhnya serasa melayang-layang, tapi benaknya tetap sadar dan tahu apa saja yang dilakukan Sasuke pada tubuhnya.
“A-ampun, S-sasuke, am-ampun.” Kata Hinata memohon ampun menghiba diantara deru nafasnya yang tidak beraturan. Namun, Sasuke tidak mengubrisnya.
“Siapa yang memberimu hak membunuh Naruto, Hah?” bentak Sasuke kasar.
“A-aku…” Hinata tergagap, menelan ludah yang menyumbat pita suaranya. “Para tetua.” Jawabnya tanpa pikir panjang. “Mereka menganggap Naruto adalah ancaman karena itu ia memberiku misi ini,”
“DUSTA!” teriak Sasuke menggema, menyelebungi dunia genjutsu yang memerangkap Hinata. Tiba-tiba saja ia sudah berada tepat di depan Hinata dengan jarak yang terpaut 5 cm. Hinata refleks memejamkan mata, terlalu takut melihat sharingan Sasuke.
“A-aku t-tidak..”
“Kau bohong, Hinata.” Potong Sasuke. Suaranya berhembus membelai kulit Hinata yang terbuka. Hinata memejamkan matanya rapat-rapat, merasakan melalui indera perabanya dinginnya kunai Sasuke pada kulit di lehernya. Sasuke membelai kulit lehernya dengan kunainya, seolah mencari tempat mana yang akan memberinya kepuasan tak terhingga jika kunai itu menggores kulit Hinata.
“Akhkkhff…” rintih Hinata merasakan kunai Sasuke membuat jejak goresan panjang pada lehernya. Darah segar mengalir dari kulit lehernya yang terbuka. Jantung Hinata kebat-kebit mengingat betapa dekatnya goresan kunai Sasuke pada pembuluh nadinya. Darahnya berdesir menunggu dengan was-was kapan kunai itu memotong pembuluh nadi utamanya.
Tapi, Sasuke tidak melakukannya. Ia hanya membuat sayatan demi sayatan pada tiap inci kulit leher Hinata, mencongkelnya agar lubangnya lebih lebar, dan menikmati tiap goresan plus rintihan kesakitan Hinata. Kesadaran Hinata sudah hampir pada ujungnya, ketika Sasuke berkata. “Para tetua tidak akan memberimu misi seperti itu karena..”
Mata Hinata terbuka secara mendadak, menatap Sasuke. Ada kengerian mengintip pada irisnya. ‘Tidak mungkin ia tahu,’ pikirnya kalut. “K-karena…?” tanyanya takut-takut.
“Karena jika Naruto mati dengan cara yang tidak wajar, maka aku akan memusnahkan Konoha,” desis Sasuke lirih sambil menghujamkan ujung kunainya pada leher Hinata dalam-dalam.
Ketakutannya mengalahkan rasa sakitnya. “TIDAK MUNGKIN!” jerit Hinata panik. Tali tipis yang jadi harapan hidupnya hampir putus. Ia tak mungkin bisa selamat dari ini. Ia ceroboh. Ia pikir rencananya untuk memisahkan SasuNaru sudah sempurna. Jurang yang ia ciptakan diantara SasuNaru tak mungkin bisa diseberangi. Jadi, tak mungkin keduanya akan saling menolong jika ia melukai dan membunuh salah satunya. Tapi, ia salah.
Hinata bertanya-tanya dalam hati. Seerat itukah hubungan Sasuke dan Naruto hingga keduanya bisa merasakan bahaya yang mengancam satu sama lainnya? Bukannya Sasuke membenci Naruto? Dan, begitu pula dengan yang sebaliknya? Tapi..tapi.., kenapa Sasuke mengancamnya karena ia mau membunuh Naruto? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa yang sudah ia lewatkan? Otak Hinata macet.
“Asal kau tahu saja, selama ini aku tak pernah berniat menyelamatkan dunia shinobi. Itu keinginan Naruto. Aku mau bertarung dengan Kagura bukan untuk Konoha ataupun dunia shinobi, melainkan untuk diriku sendiri. Jika Naruto mati, kau pikir ada lagi yang bisa menghentikanku…”  Sasuke tersenyum bengis. “..memusnahkan dunia shinobi ini?” tanya Sasuke sambil menyeringai kejam.
“Tidak. Kau tidak mungkin melakukannya. Kau ini hokage, kage paling kuat dan paling disegani di dunia elemental.” Isak Hinata putus asa.
“Si Dobe yang bercita-cita jadi hokage. Bukan aku.” Sasuke melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulainya, yaitu menyiksa Hinata.
“A-ampun S-Sasuke, ampun.” Jerit Hinata diantara lolongannya.
“Katakan yang sebenarnya! Kenapa kau ingin membunuh Naruto?”
“Aku tidak.. Arhlhg@#$..” Lolongan Hinata terdengar melengking, menyayat hati. Saat penyiksaannya berhenti sejenak, ia mengambil nafas dengan rakus, mengumpulkan setiap atom kekuatannya. Ia membutuhkannya untuk lepas dari genjutsu Sasuke, meski ia tak yakin berhasil selamat. Klan Uchiha terkenal sebagai ahli genjutsu dan Sasuke masternya.
Mata Hinata membelalak, saat kunai Sasuke bergerak ke area matanya, menggoresnya perlahan, meninggalkan belahan kulit yang lebar layaknya sungai. Darah mengalir deras dari celahnya. Hinata hanya bisa melolong tanpa suara ketika Sasuke mencukil bola matanya yang sebelah kiri. Rasa sakitnya mengelenyar menyebar ke seluruh tubuhnya, mengambil hampir semua persediaan energinya.
Dan, ketika Sasuke hendak melakukan hal yang sama pada sebelah matanya lagi, Hinata tak sanggup lagi bertahan. Ia pun buka suara. “Semua ini salah Naruto,” raung Hinata memuntahkan kebencian yang sudah dipendamnya sekian lamanya. “Gara-gara dia aku jadi begini.” Isaknya seperti orang gila, tertawa histeris.
“Akulah yang pertama mengakui keberadaannya, mengaguminya, dan mencintainya, tapi dia…” Hinata mendesis, meluapkan kedengkian dan kebenciannnya. “..tidak menoleh padaku sedikitpun. Selalu saja Sasuke, Sasuke, dan Sasuke. Hanya itu yang ada di otaknya. Aku benci. Aku membencinya dengan segenap jiwa ragaku,” Ujarnya.
Mata Hinata mengeras. “Karena itulah, aku mengadu domba kalian, mempengaruhi para penduduk desa untuk membenci Naruto dan juga membuatmu terpilih sebagai hokage. Puncaknya, aku akan menikahimu dan lalu membunuhmu pada malam pengantin kita. Aku ingin Naruto merasakan sakitnya kehilangan orang yang disayanginya. Itu akan jadi balas dendamku yang paling sempurna. Ha ha  ha…” Hinata tertawa jahat, menertawakan aksi balas dendamnya yang hampir rampung.
Sasuke diam mendengarkan. ‘Sakit jiwa,’ batinnya. Bahkan, para anggota Akatsuki yang paling jahat pun kalah jahat dari Hinata. Cinta obsesif memang mengerikan. Ia jadi kagum pada Sakura yang meski tergila-gila padanya dan sering Sasuke acuhkan, tapi tidak berubah jadi makhluk mengerikan seperti yang ada di depannya ini. Sakura tetap waras.
“Tapi.. si brengsek ini malah sekarat. Ha ha ha…ia terlalu pengecut untuk bertahan hidup. Ia…”
“Kau salah lagi, Hinata. Sekaratnya Naruto adalah bukti betapa kuatnya dia. Tekadnya  untuk tetap hidup sangat kuat agar orang-orang tercintanya tidak terkena dampak buruk Kyuubi yang menggila, khususnya kau.”
Hinata untuk pertama kalinya merasa waras. Otaknya bisa berfikir jernih setelah ia ditolak mentah-mentah Naruto. Ia mendongak. Lavendernya menatap lurus Sasuke. “Apa maksudmu?” tanyanya dipenuhi rasa ingin tahu.
“Naruto menolakmu bukan karena tidak menyuaimu apalagi membencimu, tapi untuk menjauhkanmu dari masalah yang membelenggunya.” Kata Sasuke.
“Kau bohong!” tukas Hinata.
“Naruto hamil.” Bagai disambar petir, tubuh Hinata membeku di tempat. Matanya membelalak menatap Sasuke ngeri. “Ah bukan. Tepatnya, Kyuubi yang hamil. Karena perkosaaan. Setelahnya, Kyuubi jadi gila.” Potongan demi potongan informasi mengerikan itu meluncur dengan lancarnya dari bibir Sasuke. Hinata menyimak. “Ia tak mau kau terseret masalah pelik ini, karena itu ia tak mau menjawab pernyataan cintamu. Ia ingin menanggungnya sendiri. Itu adalah bukti betapa ia menyayangimu.”
“Tidak,” isak Hinata dengan tubuh lemah lunglai. Ia baru menyadari betapa buruknya dia. Betapa jahatnya dia. Ia memandang hina dirinya karena telah menyakiti Naruto sangat dalam. ‘Naruto,’ panggilnya dalam hati. Tubuhnya terguncang-guncang, larut dalam kesedihan. Ia terduduk di lantai, apatis setelah Sasuke melepaskan genjutsunya. “Itu tidak mungkin,” racaunya diantara siak tangisnya.
Sasuke menatap Hinata penuh perhitungan. Ia tak tahu apa yang dikatakannya. Itu meluncur begitu saja. “Kau masih bisa memperbaikinya, Hinata. Bantu Naruto. Tebus dosamu pada Naruto,”
Hinata mendongak, menatap Sasuke. Matanya sembab oleh air mata. “Apa?”
Saat itulah, Sasuke tahu apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Ia lalu membeberkan rencananya pada Hinata dan disetujui Hinata dengan anggukan.

SKIP TIME

Bulan bergerak di atas langit bersinar terang diantara bintang yang berkerlap-kerlip. Beberapa shinobi yang terdiri dari gabungan shinobi Konoha dan Suna duduk melingkar di atas diagram khusus yang dibuat oleh Yonbi dengan Sasuke sebagai pusatnya. Suasana malam ini begitu hening, syahdu, seolah tahu akan adanya peristiwa besar hari ini. Angin malam yang berasal dari gurun pun tidak berhembus sama sekali malam ini, seolah takut merusak hari ini.
Mereka semua berkonsentrasi penuh pada tugasnya masing-masing. Para bijuu mengalirkan cakranya masing-masing pada aliran garis yang menuju pusat diagram tempat dimana Naruto berbaring lemah. Gaara, Temari, Shikamaru, Shuigetsu, Kiba, Kankurou, dan Jugo berjaga di posnya masing-masing melakukan hal yang sama seperti para bijuu yakni mengalirkan cakra mereka pada diagram. Sasuke dan Hinata, sebagai pewaris darah Ootsuki membuka segel yang menghubungkan antara kesadaran Naruto dengan Shikadai yang duduk di dekat Naruto.
Ritual ini berlangsung singkat, sangat singkat, hanya dalam hitungan detik dan menit. Akan tetapi, keheningan yang ganjil dan ketegangan yang dirasakan masing-masing pihak, membuat mereka merasa ini berjalan selama berjam-jam lamanya.
Setelah mendapat isyarat dari Sasuke, perlahan-lahan kesadaran Shikadai meninggalkan kesadarannya dan memasuki alam bawah sadar Naruto. Saat ia membuka mata, ia berada dalam sebuah ruangan yang gelap. Begitu gelapnya hingga ia bahkan tak bisa melihat dirinya sendiri.
Reaksi awalnya, Shikadai panik. Ia dilanda ketakutan. Padahal selama ini, ia yakin, ia tidak takut gelap. Tapi, khusus tempat ini, ia ngeri. Ia merasakan aura tak wajar dari kegelapan ini. Ia seperti tercekik oleh hawa kejahatan yang menyedot semua kebahagiaannya.
Ia bernafas tersengal-sengal seolah pasokan udara bersih sudah dicabut dari paru-parunya secara mendadak. Otaknya memerintahkan lari dari tempat terkutuk ini. Tapi, kakinya tak mau diajak bekerja sama. Ia hanya terpaku di tempat karena ia tak tahu kemana harus lari. Di sekelilingnya, hanya ada kegelapan, kegelapan dan kegelapan. Kegelapan itu mengepungnya dari berbagai sisi.
Lalu, ia mendengar suara Sasuke berkomunikasi melalui benaknya. “Abaikan! Itu aura Kyuubi. Panggillah nama Naruto! Jika ia mendengarmu, ia akan menuntunmu ke tempatnya.” Berkat itulah, Shikadai berhasil mengatasi ketakutannya dan tekadnya untuk menuntaskan misinya semakin teguh.
“Naruto-san! Naruto-san!” panggilnya.  Mungkin kurang keras karena tak ada sahutan sama sekali. Justru bulu kuduknya yang semakin meremang yang menjawabnya. Shikadai menggeleng-glengkan kepalanya mengusir ketakutannya. Ia menguatkan perisai mentalnya (jika ada) dan mulai memanggil Naruto lagi. “Naruto-san!” Masih tidak ada sahutan, meski panggilannya yang kedua lebih keras dari yang pertama.
Rasa cemas itu kembali. “NARUTO! NARUTO!” Kali ini, Shikadai berteriak sekeras-kerasnya berharap Naruto mendengarnya. Lalu, tiba-tiba muncul sebuah kesadaran lain menuju Shikadai berada. Ia bertanya-tanya dalam hati, ‘Siapa itu? Naruto kah?’ Kesadaran itu lalu memperlihatkan cahayanya dan juga wujudnya. Ternyata itu… “Menma!” pekik Shikadai senang. “Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” tanyanya lagi bingung.
Khlhayh baba dada..jaja…” celoteh Menma yang tentu saja tidak dimengerti Shikadai.
Shikadai menepuk jidatnya, menyadari kebodohannya. Bisa-bisanya ia bertanya pada balita yang bahkan tak bisa mengucapkan kosa kata dengan benar. “Aku tidak mengerti ucapanmu, Menma, tapi.. sudahlah. Lupakan saja. Tidak penting ini. Aku senang kau di sini. Kita pergi mencari Naruto-san bersama-sama, ya?” Ajaknya sambil menggendong tubuh Menma. Bersama Menma, kegelapan itu tidak lagi menerornya. Ia merasa yakin bahwa ia akan berhasil.
“Lalu, ia melihat kesadaran yang bersinar terang tak jauh dari tempatnya. Shikadai bergegas hampir berlari mendekatinya. Ia melihat kesadaran itu berubah bentuk menjadi sesosok pemuda yang indah yang tengah berbaring di atas ranjang di depan sana. Shikadai tidak bisa menyebutnya tampan ataupun cantik karena ia perpaduan dari dua hal itu. Yang jelas, ia sangat indah menawan, sesuatu yang belum pernah dilihatnya di dunia ini. Dan, yang terutama Shikadai merasa damai di dekatnya. Jika angel itu ada, mungkin orang inilah angel itu.
“Dada!” teriak Menma memberontak dari gendongan Shikadai. Dengan penuh semangat ia merangkak dan memanjat dalam ranjang orang tersebut. Tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi orang itu dan berceloteh riang. Perlahan, kedua mata orang itu terbuka memperlihatkan safirnya yang mempesona. “Kau siapa?” tanyanya dengan suara yang jernih memikat.
“Anda Naruto-san?” tanya Shikadai yang kini berdiri di samping kanan orang tersebut.
“Aku mengenalmu?” tanya orang itu balik.
“Namaku Shikadai, putra Shikamaru Nara dan Temari Nara. Kita tidak pernah bertemu, tapi kedua orang tuaku sering bercerita tentangmu,”
“Oh ya?” pekiknya lalu tertawa geli. Ia berusaha bangun dengan susah payah dan lalu membawa Menma dalam pangkuannya. “Jadi, Shika sudah menikah dan punya anak? Wah, berarti sudah lama sekali aku tidur. Aku hanya ingat, aku tertidur usai berduel dengan Sasuke. Sesudahnya, aku tak ingat lagi.”
“Anda koma sesudah itu.” kata Shikadai meniru apa yang diajarkan Sasuke, berjaga-jaga jika Naruto bertanya. “Dan anak ini, anaknya Sasuke-jisan.”
“Sasuke pun sudah menikah? Dengan siapa?”
“Segeralah sadar! Kami semua merindukan anda. Dunia ini tidak lengkap tanpa anda.” Elak Shikadai. Ia sudah diperingatkan Sasuke dengan sangat-sangat keras, untuk memberi sesedikit mungkin informasi pada Naruto. Dan, informasi soal orang tua Menma masuk dalam daftar terlarang, tidak boleh diketahui Naruto secara mutlak. Ia hanya boleh tahu jika Sasuke adalah ayahnya Menma. Titik tidak pakai koma.
Orang itu tersenyum lalu mengangguk. Sesudahnya, kesadaran Menma menghilang. Shikadai menyusul beberapa detik kemudian. Shikadai bangun dengan nafas terengah-engah. Ia tidak sendiri. Beberapa shinobi yang senior pun kondisinya sama sepertinya. Sasuke, mantan hokagenya bahkan sudah pucat pasi seperti mayat, tergolek lemah.
Karin dan tim medis Suna bergerak cepat, menolong para shinobi di ruangan itu. Shikadai ingat. Matsuri-basan meraihnya dan lalu menyembuhkannya. Selama proses itu, ia diam saja. Setelah keadaannya tenang, para tim medis sudah meninggalkan tempat itu dan sekaligus memindahkan tubuh Naruto ke ruang perawatan selanjutnya, barulah ia buka suara. “Naruto-jisan kehilangan ingatannya.” Kata Shikadai.
Semua kepala menoleh pada Shikadai. Mantan hokagenya bergumam lirih yang berhasil ditangkap Shikadai hanya kalimat, ‘Kyuubi benar,’.  Mungkin mantan hokagenya ini sudah diberitahu oleh Kyuubi, jika Naruto akan mengalami amnesia. Shikadai membuka mulut lagi. “Ia hanya ingat peristiwa sebelum duel Sasuke-sama dengan Naruto-san usai mengalahkan Kau-Tahu-Siapa.”
Shikadai menolak menyebut nama Kaguya, Madara dll yang jadi pencetus perang mengerikan dalam peradaban shinobi. Nama itu jadi mimpi paling buruk dalam ingatan para shinobi, seolah-olah dengan menyebut namanya akan membuat mimpi buruk itu hadir lagi dalam kehidupan mereka.
Ayahnya diam terpekur menatap lantai. Ibunya mengelus kepala Shikadai, enggan menatap mata Shikadai secara langsung. Sedangkan, shinobi dewasa lainnya hanya menatap muram tembok, lantai atau langit-langit ruang ini. “Aku juga melihat Menma muncul dalam kesadaran Naruto-san.” Kata Shikadai lagi. Ia mendapat atensi semua orang kembali. “Aku bilang pada Naruto-san, jika ia anak Sasuke-sama.” Lanjutnya.
“Kau tidak mengatakan nama ibunya, kan?” tanya Sasuke.
“Tidak.”
“Kerja bagus, Shikadai. Kau hebat. Persis seperti ayah, ibu, kakek, dan paman-pamanmu,” puji Sasuke membuat pipi Shikadai merona.
Ia menundukkan kepalanya untuk menutupi pipinya yang merah sempurna. “T-terima kasih,” ujarnya tergagap.
Semua orang yang hadir hanya tertawa menertawakan tingkah Shikadai yang menurut mereka lucu.
“Boleh minta waktunya sebentar?” Kata Hinata. Semua shinobi kini beralih menatap Hinata ingin tahu. Sasuke diam, tapi matanya menatap tajam, memberi Hinata peringatan agar tidak macam-macam. “Aku ingin mengumumkan jika pertunanganku dengan Sasuke dibatalkan, karena aku..aku..” Hinata menghirup nafas panjang. “..akan masuk biara. Aku ingin menjadi biksuni,”
Suasananya hening. Masing-masing dari mereka sibuk mencerna isi pengumuman Hinata. “Apa kau yakin, Hinata?” Kiba yang bertanya, mewakili semuanya.
“Ya. Aku akui, semua yang telah ku lakukan pada Naruto-kun selama ini sangatlah jahat. Aku menyesal. Aku ingin menebusnya dengan mengabdikan sisa hidupku hanya pada Kami-sama. Maaf,” katanya dengan suara bergetar, menahan emosi yang menyesakkan dadanya.
Semua orang saling lirik. Mata mereka saling bertanya. Lalu mengangguk secara serempak. Secara tidak langsung, mereka sudah memaafkan Hinata. Sebetulnya, mereka ingin Hinata membuat pengakuan dosanya pada Naruto. Tapi, itu tidak mungkin karena itu berarti membongkar kisah kelam Naruto usai perang dunia keempat. Biarlah semua itu jadi rahasia dan Naruto bisa memulai lembaran hidupnya yang baru. Sesuatu yang seharusnya diterima Naruto.

Beberapa bulan kemudian

Siang itu, Konoha kedatangan empat orang tamu istimewa. Pertama, mantan hokage mereka yang paling tampan versi majalah Konoha, yakni Sasuke Uchiha. Ia menatap datar desa kelahirannya yang tak mengalami banyak perubahan. Kakashi berjasa besar menjaga keaslian desanya, meski ada sentuhan modernisasi di beberapa sisi.
Tamu kedua yakni seorang kage dari desa Suna. Namanya tahu kan? Gaara, kazekage kelima Suna sekaligus yang paling tampan. Sebetulnya, Gaara dilarang ikut Sasuke. Ia bahkan menyindirnya sebagai Kage yang kurang pekerjaan, yang terlalu banyak waktu santai, hingga yang hobi melimpahkan tanggung jawabnya pada bawahannya. Tapi, Gaara tidak menggubrisnya. Ia memaksa ikut.  Tamu ketiga dan keempat adalah, Naruto yang hari ini tengah menggendong Menma.
Tampak Menma yang memberontak ingin turun. Ia merasa sudah besar. Ia malu karena ayah favoritnya masih saja suka menggendongnya, padahal ia kan sudah bisa berjalan di atas kedua kakinya sendiri. Naruto terkekeh geli mengabaikan rontaan tidak terima Menma, anak angkatnya.
Naruto mengangkat Menma sebagai anak setelah melihat betapa tidak akurnya Menma dengan ayah kandungnya, Sasuke. Ia begitu menyayangi Menma hingga hatinya sakit melihat kesedihan di mata Menma. Ia seperti memiliki ikatan batin dengan Menma, seolah-olah Menma ini anak kandungnya sendiri. Ikatan ini lebih dari ikatan ayah-anak. Ikatan yang Naruto rasakan bahkan sudah sampai tahap ibu-anak, seakan ia yang mengandung Menma. Aneh, kan? Naruto sendiri juga tidak mengerti kenapa ia bisa memiliki perasaan seperti itu.
Naruto mengerjabkan bulu lentiknya, untuk mengusir pemikiran yang bukan-bukan dari benaknya. “Menma lihat deretan patung di atas bukit sana! Patung keempat dari kiri. Itulah patung kakekmu. Namanya Minato Namikaze. Kakekmu dulunya hokage keempat. Hebat, kan?” Naruto berkata sambil menunjuk patung yang dia maksud.
Menma memiringkan kepalanya imut. Lalu, ia tersenyum lebar dan menunjuk-nunjuk senang. Hidung mancungnya terlihat mendongak angkuh. Meski ia tahu ia bukanlah cucu kandungnya, tetap saja ia bangga karena memiliki seorang kakek yang berkedudukan sebagai hokage. Coret Sasuke. Ia tak mau mengakui Sasuke sebagai hokage. Baginya, hokage itu hanya Hashirama, Tobirama, Hiruzen, Minato, Tsunade dan terakhir Kakashi.
Samar-samar, ia mendengar dengusan lemah Sasuke, pamannya di belakangnya. Ia mengerti alasan di balik dengusan Sasuke. Menma menoleh dan lalu memeletkan lidahnya, mengejek sang paman. Ia sampai detik ini masih tak mau mengakui Sasuke sebagai pamannya, karena ia jahat. Masak ia mengaku sebagai ayah kandungnya dan memaksa Menma mengakuinya. Padahal kan bukan. Menurutnya, itu fitnah. Karena itulah, Menma selalu saja memusuhinya dan menolak kehadirannya.
Lalu, Menma mendengar tawa tertahan dari paman Gaara yang berjalan beriringan dengan Sasuke. Ia memberi Gaara, paman kesayangannya yang selalu ingin dipanggil ayah sama seperti Naruto dan Sasuke, sebuah senyuman simpul. Gaara satu dari tiga orang yang kehadirannya bisa ia tolerir, selain Kankurou dan Matsuri. Tapi, hanya Narutolah yang ia ijinkan untuk mengurusnya. Bahkan, ia tak keberatan jika Naruto mencium dan menowel-nowel pipinya. Coba Sasuke! Tidak dilempari batu saja ia sudah syukur.
Menma lalu mencium aroma masakan yang disukainya, tak jauh darinya. Itu bau dango. Dango yang baru saja dimasak. Salah satu sifat yang menurun dari ayah kandungnya adalah kesukaannya pada makanan kecil itu. Menma menatap Naruto, merayunya agar memberinya uang untuk membeli dango. Naruto menghela nafas pasrah. Ia lalu memberi Menma uang. Begitu uang sudah ada di tangan, Menma langsung berlari diikuti Gaara ke kedai yang menjual dango.
“Dasar Menma,” gumam Naruto.
“Biarkan saja.” Nada bicara Sasuke tenang. Tidak ada emosi. Padahal tangannya sudah gemas ingin menjitak kepala keponakannya itu. Uchiha tidak seperti itu. Uchiha tidak tertawa lebar, tidak menatap berkaca-kaca, tidak lari  serampangan, Uchiha tidak kekanak-kanakan. Intinya Uchiha harus selalu cool dan kalem kapanpun dan dimanapun ia berada.
Naruto baru mau mengajak Sasuke mampir ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan, ketika ia melihat seseorang yang dikenalnya. Tangan Naruto sudah terangkat ke atas. Mulutnya membuka menyapa, “Hai!”
Sambutan orang itu sungguh di luar dugaan. Ia bersiul dan mengedipi Naruto genit. “Hai cantik. Kau baru datang ke Konoha ya?”
Naruto melongo, terkejut. “DIAM KAU, SAI!” raung Naruto begitu ia pulih dari acara melongonya. Teganya Sai melakukan itu padanya. Jika hanya dibilang ehem ‘itu’ nya kecil, ia masih bisa terima. Tapi, cantik? Astaga! Itu penghinaan namanya. Dia itu cowok tulen. Dan, tidak ada cowok yang suka dipanggil cantik.
Sai sama terkejutnya dengan Naruto. “Astaga. Ini kau, Naruto.” gumamnya dengan mata membelalak lebar, tak percaya.  Ia langsung menguasai keadaan saat matanya menangkap aura berbahaya dari Naruto dan Sasuke yang sudah memicing jahat padanya.
Sai tertawa gugup. “Maaf, tadi aku tak melihatmu. Aku..maksudku aku tadi sedang…” Sai berfikir mencari alasan yang logis. “…menyapa Sakura. Ya, Sakura. Hai Sakura. Aku sudah beberapa minggu tak melihatmu. Kau tambah cantik saja.”  Lanjutnya setengah meracau. Matanya dengan panic meminta bantuan Sakura.
Naruto membalikkan tubuhnya baru menyadari kehadiran Sakura. Semenjak koma, kemampuan ninjanya kembali ke masa saat ia masih genin. Beberapa bulan ini, ia sedang berlatih untuk mengembalikan performanya seperti sedia kala. Latihannya sudah hampir menyamai kemampuannya yang dulu. Hanya kemampuan sensornya yang belum. “Sakura-chan,” sapa Naruto riang.
Sakura baru mau menjawab, ketika ada orang bodoh lain yang lagi-lagi menggoda Naruto dengan berani. Ia bahkan dengan berani menyentuh pundak Naruto. Naruto yang kesal langsung menghajar orang itu hingga babak belur. Karena tidak mengira bakal dihajar, orang itu langsung tepar di tempat.
Sakura meringis. Kiba yang datang bersama Sakura membatin, ‘Untung indera penciumanku kuat. Jadi, aku tidak bernasib sial seperti dia,’ Sasuke menatap datar. Sudah biasa soalnya. Makanan sehari-harinya kalau boleh bilang. Sai menggigit bibir bagian bawahnya. ‘Hampir saja aku bernasib seperti dia,’ pikirnya ngeri.
“Itu korban ke berapa?” tanya Sakura pada Sasuke setelah Naruto dan Sai pergi membawa orang, korban KDRT Naruto ke rumah sakit.
“Ke 100 atau ke 500? Entahlah. Aku sudah berhenti menghitungnya sejak tiga bulan yang lalu.”
“Kau tak bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya?” Kiba yang bertanya.
“Apa?” tanya Sasuke datar. “Itu sudah takdirnya.”
“Kau terdengar seperti Neji,”
Sasuke mengedikkan bahunya, acuh. “Itulah harga yang harus kita bayar. Kyuubi sudah memperingatkan sebelumnya.”
“Tapi, apa kita tak bisa mengurangi efek sampingnya. Feromon Naruto sangatlah kuat. Aku saja kalau tidak ada Akamaru mungkin juga akan bertingkah bodoh seperti dia.”
“Tidak,”.
“BTW,” Sakura menatap Sasuke aneh.  “Kenapa kau tidak terpengaruh?”
Oniks Sasuke menatap Sakura dingin. Nafasnya terdengar menderu. Oh, ternyata ia tidak setenang seperti yang diperlihatkannya. Sasuke tak akan mau mengakuinya. Tapi, ya, ia juga terpengaruh feromon Naruto. “Kyuubi,” Itulah jawabannya. Kyuubi tak akan membiarkan Sasuke mendekati Naruto. Menma masih bisa diampuni Kyuubi, tapi Sasuke tidak.
Kiba mengikik geli. “Bagaimana dengan Gaara, Kankurou dan orang-orang Suna?”
“Mereka sudah diurus Ichibi.”
“Fiuhh.. mengerikan.” Kata Kiba ngeri, namun bibirnya melekuk, pertanda jika ia menganggap situasi ini lucu. “Karena itukah, Naruto memotong rambutnya cepak?” tanyanya usil.
“Ya. Gara-gara itulah, Menma ngamuk dan merajuk beberapa minggu.”
“Oh, WOW. Sepertinya, beberapa hari ini, aku akan melihat Neji diganggu Menma.” Kata Kiba hampir ngakak karena geli. Lucu juga melihat Neji yang biasanya sok kalem dibuat gusar.
“Sudahlah. Jangan dibahas lagi!” Sakura yang berkata. Nadanya terdengar netral, tapi wajahnya tampak aneh. Pertanda, jika ia hampir tidak kuat menahan geli. Tinggal selangkah lagi, tawanya pasti meledak. “Aku ucapkan selamat datang kembali Sasuke. Senang melihatmu,” kata Sakura akhirnya.
“Terima kasih. Kedatanganku ke sini selain untuk berziarah juga untuk meminta bantuan kalian.”
“Apa?”
“Mewujudkan mimpi Naruto, menjadikan dia seorang hokage.”
Senyum Kiba melebar. Begitu pula dengan Sakura. “Tenang saja. Kami sudah mempersiapkannya.”
“Hn,” gumam Sasuke puas.
Dan, cerita ini pun berakhir dengan Happy ending.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar