Summary : “Apa kau tahu
siapa ibu kandung Menma?” tanya Gaara mengalihkan topic. Sasuke tak menjawab.
Ia memalingkan wajahnya. “Jadi, benar kau tahu.” Kata Gaara sambil tertawa
getir. “Aku bukan ayah Menma,” kata Sasuke. Gaara mendengus. “Kau pikir aku
percaya? Hanya kau seorang Uchiha yang tersisa di dunia ini,” “Kalau kau
berkata seperti itu, berarti Naruto tidak menceritakan semuanya padamu,” Not Yaoi.
DISCLAIMER : Naruto
Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship dan Hurt/Comfort
Rating : T
WARNING : Ide pasaran,
bertebaran typo, gaje, Canon dan bashing beberapa chara.
Author Note :
Di alam bawah sadar, Ai
menyebutnya kesadaran. Wujud awalnya berbentuk cahaya. Setelah jaraknya dekat,
cahaya itu berubah menjadi sosok manusia dari kesadaran itu.
Percakapan antara manusia dengan
bijuu Ai tulis dengan huruf dibold, biar jelas.
“blablabla..” percakapan biasa.
“blablabla..” percakapan dengan bijuu
Don't Like Don't
Read
Chapter Five
part Two
“Kau mau membunuhnya?” Nada
bicara Sasuke dingin dan mengancam.
Hinata terperanjat karena
aksinya terpergok oleh Sasuke, tapi ia berhasil menguasai diri. “Mana mungkin,”
elaknya. “Aku hanya membantunya agar ia..,” Hinata tersenyum manis penuh
simpati. “..tidak perlu menderita lagi. Kematian adalah solusi tepat untuk
mengakhiri penderitaan Naruto-kun. Bukan begitu Sasuke-kun?” Suara Hinata
terdengar manis merayu, tapi itu tidak berpengaruh pada Sasuke.
Cengkeraman Sasuke menguat.
Oniksnya berkilau asing. Tubuh Hinata menggigil samar. Firasatnya mengatakan itu
buruk. Tapi, sudah terlambat bagi Hinata untuk menyadarinya, ketika oniks
Sasuke berubah menjadi sharingan berputar-putar dan memerangkap Hinata dalam
dunia genjutsu Sasuke. Ia hanya bisa mendecih sial dalam hati. Saat matanya
terbuka, ia sudah terikat pada pancang tiang bersama ratusan Hinata lainnya.
Lalu, perlahan ia merasakan
sayatan demi sayatan benda tajam melukai kulit mulusnya. Tidak mengenai
organ-organ vitalnya secara langsung. Sayatannya hanya beberapa inci jaraknya dari
organ-organ vitalnya. Dengan demikian, Hinata tidak akan langsung mati. Tapi,
Hinata tidak bisa menghela nafas lega. Sebaliknya, ia justru dicekam rasa takut,
karena ia tahu Sasuke sengaja melakukannya.
Sasuke tidak berniat
membunuhnya secara cepat dan tanpa sakit. Ia ingin berlama-lama menyiksa Hinata
hingga rasa sakit itu mencengkram otaknya dengan erat bagai kulit yang
membungkus tubuhnya. Sangat erat hingga jika pun ia selamat, rasa sakit itu
akan terus mengikutinya, mengkungkungnya dan menghantuinya seumur hidupnya. Hanya
satu orang di dunia ini yang bisa menyembuhkannya dari trauma itu, yakni
Tsunada-sama yang ia yakini tak akan pernah mau menolongnya setelah semua yang
ia lakukan pada Naruto.
Hinata megap-megap, tersedak
oleh air ludahnya sendiri. Ia mengerang panjang, merasakan nyeri dan perih di
tempat-tempat bekas Sasuke menggoresnya dengan kunainya. Ia tahu ini hanya
ilusi, tapi ia tak berdaya melawannya. Rasanya begitu nyata. Kepalanya pusing.
Pandangannya nanar. Tubuhnya serasa melayang-layang, tapi benaknya tetap sadar
dan tahu apa saja yang dilakukan Sasuke pada tubuhnya.
“A-ampun, S-sasuke, am-ampun.”
Kata Hinata memohon ampun menghiba diantara deru nafasnya yang tidak beraturan.
Namun, Sasuke tidak mengubrisnya.
“Siapa yang memberimu hak
membunuh Naruto, Hah?” bentak Sasuke kasar.
“A-aku…” Hinata tergagap,
menelan ludah yang menyumbat pita suaranya. “Para tetua.” Jawabnya tanpa pikir
panjang. “Mereka menganggap Naruto adalah ancaman karena itu ia memberiku misi
ini,”
“DUSTA!” teriak Sasuke
menggema, menyelebungi dunia genjutsu yang memerangkap Hinata. Tiba-tiba saja
ia sudah berada tepat di depan Hinata dengan jarak yang terpaut 5 cm. Hinata
refleks memejamkan mata, terlalu takut melihat sharingan Sasuke.
“A-aku t-tidak..”
“Kau bohong, Hinata.” Potong
Sasuke. Suaranya berhembus membelai kulit Hinata yang terbuka. Hinata memejamkan
matanya rapat-rapat, merasakan melalui indera perabanya dinginnya kunai Sasuke
pada kulit di lehernya. Sasuke membelai kulit lehernya dengan kunainya, seolah
mencari tempat mana yang akan memberinya kepuasan tak terhingga jika kunai itu
menggores kulit Hinata.
“Akhkkhff…” rintih Hinata
merasakan kunai Sasuke membuat jejak goresan panjang pada lehernya. Darah segar
mengalir dari kulit lehernya yang terbuka. Jantung Hinata kebat-kebit mengingat
betapa dekatnya goresan kunai Sasuke pada pembuluh nadinya. Darahnya berdesir
menunggu dengan was-was kapan kunai itu memotong pembuluh nadi utamanya.
Tapi, Sasuke tidak
melakukannya. Ia hanya membuat sayatan demi sayatan pada tiap inci kulit leher
Hinata, mencongkelnya agar lubangnya lebih lebar, dan menikmati tiap goresan
plus rintihan kesakitan Hinata. Kesadaran Hinata sudah hampir pada ujungnya,
ketika Sasuke berkata. “Para tetua tidak akan memberimu misi seperti itu
karena..”
Mata Hinata terbuka secara
mendadak, menatap Sasuke. Ada kengerian mengintip pada irisnya. ‘Tidak mungkin
ia tahu,’ pikirnya kalut. “K-karena…?” tanyanya takut-takut.
“Karena jika Naruto mati
dengan cara yang tidak wajar, maka aku akan memusnahkan Konoha,” desis Sasuke
lirih sambil menghujamkan ujung kunainya pada leher Hinata dalam-dalam.
Ketakutannya mengalahkan rasa sakitnya.
“TIDAK MUNGKIN!” jerit Hinata panik. Tali tipis yang jadi harapan hidupnya
hampir putus. Ia tak mungkin bisa selamat dari ini. Ia ceroboh. Ia pikir rencananya
untuk memisahkan SasuNaru sudah sempurna. Jurang yang ia ciptakan diantara SasuNaru
tak mungkin bisa diseberangi. Jadi, tak mungkin keduanya akan saling menolong
jika ia melukai dan membunuh salah satunya. Tapi, ia salah.
Hinata bertanya-tanya dalam
hati. Seerat itukah hubungan Sasuke dan Naruto hingga keduanya bisa merasakan
bahaya yang mengancam satu sama lainnya? Bukannya Sasuke membenci Naruto? Dan,
begitu pula dengan yang sebaliknya? Tapi..tapi.., kenapa Sasuke mengancamnya
karena ia mau membunuh Naruto? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa yang sudah
ia lewatkan? Otak Hinata macet.
“Asal kau tahu saja, selama
ini aku tak pernah berniat menyelamatkan dunia shinobi. Itu keinginan Naruto.
Aku mau bertarung dengan Kagura bukan untuk Konoha ataupun dunia shinobi,
melainkan untuk diriku sendiri. Jika Naruto mati, kau pikir ada lagi yang bisa
menghentikanku…” Sasuke tersenyum
bengis. “..memusnahkan dunia shinobi ini?” tanya Sasuke sambil menyeringai
kejam.
“Tidak. Kau tidak mungkin
melakukannya. Kau ini hokage, kage paling kuat dan paling disegani di dunia
elemental.” Isak Hinata putus asa.
“Si Dobe yang bercita-cita
jadi hokage. Bukan aku.” Sasuke melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulainya,
yaitu menyiksa Hinata.
“A-ampun S-Sasuke, ampun.”
Jerit Hinata diantara lolongannya.
“Katakan yang sebenarnya!
Kenapa kau ingin membunuh Naruto?”
“Aku tidak.. Arhlhg@#$..”
Lolongan Hinata terdengar melengking, menyayat hati. Saat penyiksaannya
berhenti sejenak, ia mengambil nafas dengan rakus, mengumpulkan setiap atom
kekuatannya. Ia membutuhkannya untuk lepas dari genjutsu Sasuke, meski ia tak
yakin berhasil selamat. Klan Uchiha terkenal sebagai ahli genjutsu dan Sasuke
masternya.
Mata Hinata membelalak, saat
kunai Sasuke bergerak ke area matanya, menggoresnya perlahan, meninggalkan
belahan kulit yang lebar layaknya sungai. Darah mengalir deras dari celahnya.
Hinata hanya bisa melolong tanpa suara ketika Sasuke mencukil bola matanya yang
sebelah kiri. Rasa sakitnya mengelenyar menyebar ke seluruh tubuhnya, mengambil
hampir semua persediaan energinya.
Dan, ketika Sasuke hendak
melakukan hal yang sama pada sebelah matanya lagi, Hinata tak sanggup lagi
bertahan. Ia pun buka suara. “Semua ini salah Naruto,” raung Hinata memuntahkan
kebencian yang sudah dipendamnya sekian lamanya. “Gara-gara dia aku jadi
begini.” Isaknya seperti orang gila, tertawa histeris.
“Akulah yang pertama mengakui
keberadaannya, mengaguminya, dan mencintainya, tapi dia…” Hinata mendesis,
meluapkan kedengkian dan kebenciannnya. “..tidak menoleh padaku sedikitpun.
Selalu saja Sasuke, Sasuke, dan Sasuke. Hanya itu yang ada di otaknya. Aku
benci. Aku membencinya dengan segenap jiwa ragaku,” Ujarnya.
Mata Hinata mengeras. “Karena
itulah, aku mengadu domba kalian, mempengaruhi para penduduk desa untuk
membenci Naruto dan juga membuatmu terpilih sebagai hokage. Puncaknya, aku akan
menikahimu dan lalu membunuhmu pada malam pengantin kita. Aku ingin Naruto
merasakan sakitnya kehilangan orang yang disayanginya. Itu akan jadi balas
dendamku yang paling sempurna. Ha ha ha…”
Hinata tertawa jahat, menertawakan aksi balas dendamnya yang hampir rampung.
Sasuke diam mendengarkan.
‘Sakit jiwa,’ batinnya. Bahkan, para anggota Akatsuki yang paling jahat pun
kalah jahat dari Hinata. Cinta obsesif memang mengerikan. Ia jadi kagum pada
Sakura yang meski tergila-gila padanya dan sering Sasuke acuhkan, tapi tidak
berubah jadi makhluk mengerikan seperti yang ada di depannya ini. Sakura tetap
waras.
“Tapi.. si brengsek ini malah
sekarat. Ha ha ha…ia terlalu pengecut untuk bertahan hidup. Ia…”
“Kau salah lagi, Hinata.
Sekaratnya Naruto adalah bukti betapa kuatnya dia. Tekadnya untuk tetap hidup sangat kuat agar
orang-orang tercintanya tidak terkena dampak buruk Kyuubi yang menggila,
khususnya kau.”
Hinata untuk pertama kalinya
merasa waras. Otaknya bisa berfikir jernih setelah ia ditolak mentah-mentah
Naruto. Ia mendongak. Lavendernya menatap lurus Sasuke. “Apa maksudmu?”
tanyanya dipenuhi rasa ingin tahu.
“Naruto menolakmu bukan karena
tidak menyuaimu apalagi membencimu, tapi untuk menjauhkanmu dari masalah yang
membelenggunya.” Kata Sasuke.
“Kau bohong!” tukas Hinata.
“Naruto hamil.” Bagai disambar
petir, tubuh Hinata membeku di tempat. Matanya membelalak menatap Sasuke ngeri.
“Ah bukan. Tepatnya, Kyuubi yang hamil. Karena perkosaaan. Setelahnya, Kyuubi
jadi gila.” Potongan demi potongan informasi mengerikan itu meluncur dengan
lancarnya dari bibir Sasuke. Hinata menyimak. “Ia tak mau kau terseret masalah
pelik ini, karena itu ia tak mau menjawab pernyataan cintamu. Ia ingin
menanggungnya sendiri. Itu adalah bukti betapa ia menyayangimu.”
“Tidak,” isak Hinata dengan
tubuh lemah lunglai. Ia baru menyadari betapa buruknya dia. Betapa jahatnya
dia. Ia memandang hina dirinya karena telah menyakiti Naruto sangat dalam.
‘Naruto,’ panggilnya dalam hati. Tubuhnya terguncang-guncang, larut dalam
kesedihan. Ia terduduk di lantai, apatis setelah Sasuke melepaskan genjutsunya.
“Itu tidak mungkin,” racaunya diantara siak tangisnya.
Sasuke menatap Hinata penuh
perhitungan. Ia tak tahu apa yang dikatakannya. Itu meluncur begitu saja. “Kau
masih bisa memperbaikinya, Hinata. Bantu Naruto. Tebus dosamu pada Naruto,”
Hinata mendongak, menatap
Sasuke. Matanya sembab oleh air mata. “Apa?”
Saat itulah, Sasuke tahu apa
yang harus dilakukannya selanjutnya. Ia lalu membeberkan rencananya pada Hinata
dan disetujui Hinata dengan anggukan.
SKIP TIME
Bulan bergerak di atas langit
bersinar terang diantara bintang yang berkerlap-kerlip. Beberapa shinobi yang
terdiri dari gabungan shinobi Konoha dan Suna duduk melingkar di atas diagram
khusus yang dibuat oleh Yonbi dengan Sasuke sebagai pusatnya. Suasana malam ini
begitu hening, syahdu, seolah tahu akan adanya peristiwa besar hari ini. Angin
malam yang berasal dari gurun pun tidak berhembus sama sekali malam ini, seolah
takut merusak hari ini.
Mereka semua berkonsentrasi
penuh pada tugasnya masing-masing. Para bijuu mengalirkan cakranya
masing-masing pada aliran garis yang menuju pusat diagram tempat dimana Naruto
berbaring lemah. Gaara, Temari, Shikamaru, Shuigetsu, Kiba, Kankurou, dan Jugo
berjaga di posnya masing-masing melakukan hal yang sama seperti para bijuu
yakni mengalirkan cakra mereka pada diagram. Sasuke dan Hinata, sebagai pewaris
darah Ootsuki membuka segel yang menghubungkan antara kesadaran Naruto dengan
Shikadai yang duduk di dekat Naruto.
Ritual ini berlangsung
singkat, sangat singkat, hanya dalam hitungan detik dan menit. Akan tetapi,
keheningan yang ganjil dan ketegangan yang dirasakan masing-masing pihak,
membuat mereka merasa ini berjalan selama berjam-jam lamanya.
Setelah mendapat isyarat dari
Sasuke, perlahan-lahan kesadaran Shikadai meninggalkan kesadarannya dan
memasuki alam bawah sadar Naruto. Saat ia membuka mata, ia berada dalam sebuah
ruangan yang gelap. Begitu gelapnya hingga ia bahkan tak bisa melihat dirinya
sendiri.
Reaksi awalnya, Shikadai
panik. Ia dilanda ketakutan. Padahal selama ini, ia yakin, ia tidak takut
gelap. Tapi, khusus tempat ini, ia ngeri. Ia merasakan aura tak wajar dari
kegelapan ini. Ia seperti tercekik oleh hawa kejahatan yang menyedot semua
kebahagiaannya.
Ia bernafas tersengal-sengal
seolah pasokan udara bersih sudah dicabut dari paru-parunya secara mendadak.
Otaknya memerintahkan lari dari tempat terkutuk ini. Tapi, kakinya tak mau
diajak bekerja sama. Ia hanya terpaku di tempat karena ia tak tahu kemana harus
lari. Di sekelilingnya, hanya ada kegelapan, kegelapan dan kegelapan. Kegelapan
itu mengepungnya dari berbagai sisi.
Lalu, ia mendengar suara
Sasuke berkomunikasi melalui benaknya. “Abaikan! Itu aura Kyuubi. Panggillah
nama Naruto! Jika ia mendengarmu, ia akan menuntunmu ke tempatnya.” Berkat
itulah, Shikadai berhasil mengatasi ketakutannya dan tekadnya untuk menuntaskan
misinya semakin teguh.
“Naruto-san! Naruto-san!”
panggilnya. Mungkin kurang keras karena
tak ada sahutan sama sekali. Justru bulu kuduknya yang semakin meremang yang
menjawabnya. Shikadai menggeleng-glengkan kepalanya mengusir ketakutannya. Ia
menguatkan perisai mentalnya (jika ada) dan mulai memanggil Naruto lagi.
“Naruto-san!” Masih tidak ada sahutan, meski panggilannya yang kedua lebih
keras dari yang pertama.
Rasa cemas itu kembali.
“NARUTO! NARUTO!” Kali ini, Shikadai berteriak sekeras-kerasnya berharap Naruto
mendengarnya. Lalu, tiba-tiba muncul sebuah kesadaran lain menuju Shikadai
berada. Ia bertanya-tanya dalam hati, ‘Siapa itu? Naruto kah?’ Kesadaran itu
lalu memperlihatkan cahayanya dan juga wujudnya. Ternyata itu… “Menma!” pekik
Shikadai senang. “Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” tanyanya lagi bingung.
Khlhayh baba dada..jaja…”
celoteh Menma yang tentu saja tidak dimengerti Shikadai.
Shikadai menepuk jidatnya,
menyadari kebodohannya. Bisa-bisanya ia bertanya pada balita yang bahkan tak
bisa mengucapkan kosa kata dengan benar. “Aku tidak mengerti ucapanmu, Menma,
tapi.. sudahlah. Lupakan saja. Tidak penting ini. Aku senang kau di sini. Kita
pergi mencari Naruto-san bersama-sama, ya?” Ajaknya sambil menggendong tubuh
Menma. Bersama Menma, kegelapan itu tidak lagi menerornya. Ia merasa yakin
bahwa ia akan berhasil.
“Lalu, ia melihat kesadaran
yang bersinar terang tak jauh dari tempatnya. Shikadai bergegas hampir berlari
mendekatinya. Ia melihat kesadaran itu berubah bentuk menjadi sesosok pemuda
yang indah yang tengah berbaring di atas ranjang di depan sana. Shikadai tidak
bisa menyebutnya tampan ataupun cantik karena ia perpaduan dari dua hal itu.
Yang jelas, ia sangat indah menawan, sesuatu yang belum pernah dilihatnya di
dunia ini. Dan, yang terutama Shikadai merasa damai di dekatnya. Jika angel itu
ada, mungkin orang inilah angel itu.
“Dada!” teriak Menma
memberontak dari gendongan Shikadai. Dengan penuh semangat ia merangkak dan
memanjat dalam ranjang orang tersebut. Tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi
orang itu dan berceloteh riang. Perlahan, kedua mata orang itu terbuka
memperlihatkan safirnya yang mempesona. “Kau siapa?” tanyanya dengan suara yang
jernih memikat.
“Anda Naruto-san?” tanya
Shikadai yang kini berdiri di samping kanan orang tersebut.
“Aku mengenalmu?” tanya orang
itu balik.
“Namaku Shikadai, putra
Shikamaru Nara dan Temari Nara. Kita tidak pernah bertemu, tapi kedua orang
tuaku sering bercerita tentangmu,”
“Oh ya?” pekiknya lalu tertawa
geli. Ia berusaha bangun dengan susah payah dan lalu membawa Menma dalam
pangkuannya. “Jadi, Shika sudah menikah dan punya anak? Wah, berarti sudah lama
sekali aku tidur. Aku hanya ingat, aku tertidur usai berduel dengan Sasuke.
Sesudahnya, aku tak ingat lagi.”
“Anda koma sesudah itu.” kata
Shikadai meniru apa yang diajarkan Sasuke, berjaga-jaga jika Naruto bertanya.
“Dan anak ini, anaknya Sasuke-jisan.”
“Sasuke pun sudah menikah?
Dengan siapa?”
“Segeralah sadar! Kami semua
merindukan anda. Dunia ini tidak lengkap tanpa anda.” Elak Shikadai. Ia sudah
diperingatkan Sasuke dengan sangat-sangat keras, untuk memberi sesedikit mungkin
informasi pada Naruto. Dan, informasi soal orang tua Menma masuk dalam daftar
terlarang, tidak boleh diketahui Naruto secara mutlak. Ia hanya boleh tahu jika
Sasuke adalah ayahnya Menma. Titik tidak pakai koma.
Orang itu tersenyum lalu
mengangguk. Sesudahnya, kesadaran Menma menghilang. Shikadai menyusul beberapa
detik kemudian. Shikadai bangun dengan nafas terengah-engah. Ia tidak sendiri.
Beberapa shinobi yang senior pun kondisinya sama sepertinya. Sasuke, mantan
hokagenya bahkan sudah pucat pasi seperti mayat, tergolek lemah.
Karin dan tim medis Suna
bergerak cepat, menolong para shinobi di ruangan itu. Shikadai ingat.
Matsuri-basan meraihnya dan lalu menyembuhkannya. Selama proses itu, ia diam
saja. Setelah keadaannya tenang, para tim medis sudah meninggalkan tempat itu
dan sekaligus memindahkan tubuh Naruto ke ruang perawatan selanjutnya, barulah
ia buka suara. “Naruto-jisan kehilangan ingatannya.” Kata Shikadai.
Semua kepala menoleh pada
Shikadai. Mantan hokagenya bergumam lirih yang berhasil ditangkap Shikadai
hanya kalimat, ‘Kyuubi benar,’. Mungkin
mantan hokagenya ini sudah diberitahu oleh Kyuubi, jika Naruto akan mengalami
amnesia. Shikadai membuka mulut lagi. “Ia hanya ingat peristiwa sebelum duel
Sasuke-sama dengan Naruto-san usai mengalahkan Kau-Tahu-Siapa.”
Shikadai menolak menyebut nama
Kaguya, Madara dll yang jadi pencetus perang mengerikan dalam peradaban
shinobi. Nama itu jadi mimpi paling buruk dalam ingatan para shinobi, seolah-olah
dengan menyebut namanya akan membuat mimpi buruk itu hadir lagi dalam kehidupan
mereka.
Ayahnya diam terpekur menatap
lantai. Ibunya mengelus kepala Shikadai, enggan menatap mata Shikadai secara
langsung. Sedangkan, shinobi dewasa lainnya hanya menatap muram tembok, lantai
atau langit-langit ruang ini. “Aku juga melihat Menma muncul dalam kesadaran
Naruto-san.” Kata Shikadai lagi. Ia mendapat atensi semua orang kembali. “Aku
bilang pada Naruto-san, jika ia anak Sasuke-sama.” Lanjutnya.
“Kau tidak mengatakan nama
ibunya, kan?” tanya Sasuke.
“Tidak.”
“Kerja bagus, Shikadai. Kau
hebat. Persis seperti ayah, ibu, kakek, dan paman-pamanmu,” puji Sasuke membuat
pipi Shikadai merona.
Ia menundukkan kepalanya untuk
menutupi pipinya yang merah sempurna. “T-terima kasih,” ujarnya tergagap.
Semua orang yang hadir hanya tertawa
menertawakan tingkah Shikadai yang menurut mereka lucu.
“Boleh minta waktunya
sebentar?” Kata Hinata. Semua shinobi kini beralih menatap Hinata ingin tahu.
Sasuke diam, tapi matanya menatap tajam, memberi Hinata peringatan agar tidak
macam-macam. “Aku ingin mengumumkan jika pertunanganku dengan Sasuke
dibatalkan, karena aku..aku..” Hinata menghirup nafas panjang. “..akan masuk
biara. Aku ingin menjadi biksuni,”
Suasananya hening.
Masing-masing dari mereka sibuk mencerna isi pengumuman Hinata. “Apa kau yakin,
Hinata?” Kiba yang bertanya, mewakili semuanya.
“Ya. Aku akui, semua yang
telah ku lakukan pada Naruto-kun selama ini sangatlah jahat. Aku menyesal. Aku
ingin menebusnya dengan mengabdikan sisa hidupku hanya pada Kami-sama. Maaf,”
katanya dengan suara bergetar, menahan emosi yang menyesakkan dadanya.
Semua orang saling lirik. Mata
mereka saling bertanya. Lalu mengangguk secara serempak. Secara tidak langsung,
mereka sudah memaafkan Hinata. Sebetulnya, mereka ingin Hinata membuat
pengakuan dosanya pada Naruto. Tapi, itu tidak mungkin karena itu berarti
membongkar kisah kelam Naruto usai perang dunia keempat. Biarlah semua itu jadi
rahasia dan Naruto bisa memulai lembaran hidupnya yang baru. Sesuatu yang
seharusnya diterima Naruto.
Beberapa bulan kemudian
Siang itu, Konoha kedatangan
empat orang tamu istimewa. Pertama, mantan hokage mereka yang paling tampan
versi majalah Konoha, yakni Sasuke Uchiha. Ia menatap datar desa kelahirannya
yang tak mengalami banyak perubahan. Kakashi berjasa besar menjaga keaslian
desanya, meski ada sentuhan modernisasi di beberapa sisi.
Tamu kedua yakni seorang kage
dari desa Suna. Namanya tahu kan? Gaara, kazekage kelima Suna sekaligus yang
paling tampan. Sebetulnya, Gaara dilarang ikut Sasuke. Ia bahkan menyindirnya
sebagai Kage yang kurang pekerjaan, yang terlalu banyak waktu santai, hingga
yang hobi melimpahkan tanggung jawabnya pada bawahannya. Tapi, Gaara tidak
menggubrisnya. Ia memaksa ikut. Tamu
ketiga dan keempat adalah, Naruto yang hari ini tengah menggendong Menma.
Tampak Menma yang memberontak
ingin turun. Ia merasa sudah besar. Ia malu karena ayah favoritnya masih saja
suka menggendongnya, padahal ia kan sudah bisa berjalan di atas kedua kakinya
sendiri. Naruto terkekeh geli mengabaikan rontaan tidak terima Menma, anak
angkatnya.
Naruto mengangkat Menma
sebagai anak setelah melihat betapa tidak akurnya Menma dengan ayah kandungnya,
Sasuke. Ia begitu menyayangi Menma hingga hatinya sakit melihat kesedihan di
mata Menma. Ia seperti memiliki ikatan batin dengan Menma, seolah-olah Menma
ini anak kandungnya sendiri. Ikatan ini lebih dari ikatan ayah-anak. Ikatan
yang Naruto rasakan bahkan sudah sampai tahap ibu-anak, seakan ia yang
mengandung Menma. Aneh, kan? Naruto sendiri juga tidak mengerti kenapa ia bisa
memiliki perasaan seperti itu.
Naruto mengerjabkan bulu
lentiknya, untuk mengusir pemikiran yang bukan-bukan dari benaknya. “Menma
lihat deretan patung di atas bukit sana! Patung keempat dari kiri. Itulah
patung kakekmu. Namanya Minato Namikaze. Kakekmu dulunya hokage keempat. Hebat,
kan?” Naruto berkata sambil menunjuk patung yang dia maksud.
Menma memiringkan kepalanya
imut. Lalu, ia tersenyum lebar dan menunjuk-nunjuk senang. Hidung mancungnya
terlihat mendongak angkuh. Meski ia tahu ia bukanlah cucu kandungnya, tetap
saja ia bangga karena memiliki seorang kakek yang berkedudukan sebagai hokage. Coret
Sasuke. Ia tak mau mengakui Sasuke sebagai hokage. Baginya, hokage itu hanya
Hashirama, Tobirama, Hiruzen, Minato, Tsunade dan terakhir Kakashi.
Samar-samar, ia mendengar
dengusan lemah Sasuke, pamannya di belakangnya. Ia mengerti alasan di balik
dengusan Sasuke. Menma menoleh dan lalu memeletkan lidahnya, mengejek sang
paman. Ia sampai detik ini masih tak mau mengakui Sasuke sebagai pamannya,
karena ia jahat. Masak ia mengaku sebagai ayah kandungnya dan memaksa Menma
mengakuinya. Padahal kan bukan. Menurutnya, itu fitnah. Karena itulah, Menma
selalu saja memusuhinya dan menolak kehadirannya.
Lalu, Menma mendengar tawa
tertahan dari paman Gaara yang berjalan beriringan dengan Sasuke. Ia memberi
Gaara, paman kesayangannya yang selalu ingin dipanggil ayah sama seperti Naruto
dan Sasuke, sebuah senyuman simpul. Gaara satu dari tiga orang yang
kehadirannya bisa ia tolerir, selain Kankurou dan Matsuri. Tapi, hanya Narutolah
yang ia ijinkan untuk mengurusnya. Bahkan, ia tak keberatan jika Naruto mencium
dan menowel-nowel pipinya. Coba Sasuke! Tidak dilempari batu saja ia sudah
syukur.
Menma lalu mencium aroma
masakan yang disukainya, tak jauh darinya. Itu bau dango. Dango yang baru saja
dimasak. Salah satu sifat yang menurun dari ayah kandungnya adalah kesukaannya
pada makanan kecil itu. Menma menatap Naruto, merayunya agar memberinya uang
untuk membeli dango. Naruto menghela nafas pasrah. Ia lalu memberi Menma uang.
Begitu uang sudah ada di tangan, Menma langsung berlari diikuti Gaara ke kedai
yang menjual dango.
“Dasar Menma,” gumam Naruto.
“Biarkan saja.” Nada bicara
Sasuke tenang. Tidak ada emosi. Padahal tangannya sudah gemas ingin menjitak
kepala keponakannya itu. Uchiha tidak seperti itu. Uchiha tidak tertawa lebar,
tidak menatap berkaca-kaca, tidak lari
serampangan, Uchiha tidak kekanak-kanakan. Intinya Uchiha harus selalu
cool dan kalem kapanpun dan dimanapun ia berada.
Naruto baru mau mengajak
Sasuke mampir ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan, ketika ia melihat
seseorang yang dikenalnya. Tangan Naruto sudah terangkat ke atas. Mulutnya
membuka menyapa, “Hai!”
Sambutan orang itu sungguh di
luar dugaan. Ia bersiul dan mengedipi Naruto genit. “Hai cantik. Kau baru
datang ke Konoha ya?”
Naruto melongo, terkejut.
“DIAM KAU, SAI!” raung Naruto begitu ia pulih dari acara melongonya. Teganya
Sai melakukan itu padanya. Jika hanya dibilang ehem ‘itu’ nya kecil, ia masih
bisa terima. Tapi, cantik? Astaga! Itu penghinaan namanya. Dia itu cowok tulen.
Dan, tidak ada cowok yang suka dipanggil cantik.
Sai sama terkejutnya dengan
Naruto. “Astaga. Ini kau, Naruto.” gumamnya dengan mata membelalak lebar, tak
percaya. Ia langsung menguasai keadaan
saat matanya menangkap aura berbahaya dari Naruto dan Sasuke yang sudah
memicing jahat padanya.
Sai tertawa gugup. “Maaf, tadi
aku tak melihatmu. Aku..maksudku aku tadi sedang…” Sai berfikir mencari alasan
yang logis. “…menyapa Sakura. Ya, Sakura. Hai Sakura. Aku sudah beberapa minggu
tak melihatmu. Kau tambah cantik saja.”
Lanjutnya setengah meracau. Matanya dengan panic meminta bantuan Sakura.
Naruto membalikkan tubuhnya
baru menyadari kehadiran Sakura. Semenjak koma, kemampuan ninjanya kembali ke
masa saat ia masih genin. Beberapa bulan ini, ia sedang berlatih untuk
mengembalikan performanya seperti sedia kala. Latihannya sudah hampir menyamai
kemampuannya yang dulu. Hanya kemampuan sensornya yang belum. “Sakura-chan,”
sapa Naruto riang.
Sakura baru mau menjawab,
ketika ada orang bodoh lain yang lagi-lagi menggoda Naruto dengan berani. Ia
bahkan dengan berani menyentuh pundak Naruto. Naruto yang kesal langsung
menghajar orang itu hingga babak belur. Karena tidak mengira bakal dihajar,
orang itu langsung tepar di tempat.
Sakura meringis. Kiba yang
datang bersama Sakura membatin, ‘Untung indera penciumanku kuat. Jadi, aku
tidak bernasib sial seperti dia,’ Sasuke menatap datar. Sudah biasa soalnya.
Makanan sehari-harinya kalau boleh bilang. Sai menggigit bibir bagian bawahnya.
‘Hampir saja aku bernasib seperti dia,’ pikirnya ngeri.
“Itu korban ke berapa?” tanya
Sakura pada Sasuke setelah Naruto dan Sai pergi membawa orang, korban KDRT
Naruto ke rumah sakit.
“Ke 100 atau ke 500? Entahlah.
Aku sudah berhenti menghitungnya sejak tiga bulan yang lalu.”
“Kau tak bisa melakukan
sesuatu untuk mencegahnya?” Kiba yang bertanya.
“Apa?” tanya Sasuke datar.
“Itu sudah takdirnya.”
“Kau terdengar seperti Neji,”
Sasuke mengedikkan bahunya,
acuh. “Itulah harga yang harus kita bayar. Kyuubi sudah memperingatkan
sebelumnya.”
“Tapi, apa kita tak bisa
mengurangi efek sampingnya. Feromon Naruto sangatlah kuat. Aku saja kalau tidak
ada Akamaru mungkin juga akan bertingkah bodoh seperti dia.”
“Tidak,”.
“BTW,” Sakura menatap Sasuke
aneh. “Kenapa kau tidak terpengaruh?”
Oniks Sasuke menatap Sakura
dingin. Nafasnya terdengar menderu. Oh, ternyata ia tidak setenang seperti yang
diperlihatkannya. Sasuke tak akan mau mengakuinya. Tapi, ya, ia juga
terpengaruh feromon Naruto. “Kyuubi,” Itulah jawabannya. Kyuubi tak akan
membiarkan Sasuke mendekati Naruto. Menma masih bisa diampuni Kyuubi, tapi
Sasuke tidak.
Kiba mengikik geli. “Bagaimana
dengan Gaara, Kankurou dan orang-orang Suna?”
“Mereka sudah diurus Ichibi.”
“Fiuhh.. mengerikan.” Kata
Kiba ngeri, namun bibirnya melekuk, pertanda jika ia menganggap situasi ini
lucu. “Karena itukah, Naruto memotong rambutnya cepak?” tanyanya usil.
“Ya. Gara-gara itulah, Menma
ngamuk dan merajuk beberapa minggu.”
“Oh, WOW. Sepertinya, beberapa
hari ini, aku akan melihat Neji diganggu Menma.” Kata Kiba hampir ngakak karena
geli. Lucu juga melihat Neji yang biasanya sok kalem dibuat gusar.
“Sudahlah. Jangan dibahas
lagi!” Sakura yang berkata. Nadanya terdengar netral, tapi wajahnya tampak
aneh. Pertanda, jika ia hampir tidak kuat menahan geli. Tinggal selangkah lagi,
tawanya pasti meledak. “Aku ucapkan selamat datang kembali Sasuke. Senang
melihatmu,” kata Sakura akhirnya.
“Terima kasih. Kedatanganku ke
sini selain untuk berziarah juga untuk meminta bantuan kalian.”
“Apa?”
“Mewujudkan mimpi Naruto,
menjadikan dia seorang hokage.”
Senyum Kiba melebar. Begitu
pula dengan Sakura. “Tenang saja. Kami sudah mempersiapkannya.”
“Hn,” gumam Sasuke puas.
Dan, cerita ini pun berakhir
dengan Happy ending.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar