Selasa, 11 April 2017

Mpu Bharada Guru Raja Airlangga



Mpu Bharada
Tokoh Pembagi Kerajaan Kediri menjadi Kerajaan Janggala dan Panjalu

Tokoh Mpu Bharada ini author kenal dari sebuah film berjudul Calon Arang yang dibintangi oleh Suzana dan Barry Prima. Karena itulah, dulu author menganggapnya sebagai tokoh fiktif, tokoh rekaan sutradara film. Author baru tahu jika Mpu Bharada ini seorang tokoh sejarah juga

Sosok Mpu Bharada
Mpu Bharada adalah seorang pendeta yang terkenal pandai, cinta pada sesama, dan juga rajin beribadah. Kesaktiannya sudah tersiar kemana-mana hingga sampai ke telinga Raja Airlangga. Selanjutnya, Raja Airlangga pun meminta bantuan pada Mpu Bharada untuk mengatasi kemelut yang membelenggu kerajaan Kediri.

Raja Airlangga dikisahkan meminta bantuan Mpu Bharada dua kali. Pertama, Mpu Bharada diminta untuk menumpas pemberontakan Calon Arang yang menganut ajaran sesat, ajaran Sekte Tantrayana yang ajarannya lewat jalan pintas agar umatnya segera mencapai moksa. Upacara yang dilakukan antara lain menari-nari di atas kuburan dengan iringan musik (instrumen kangsi dan kemanak) sambil minum darah dan makan daging mayat yang dilakukan pada malam hari bertelanjang badan.

Ajaran Tantra dimaksudkan untuk kebaikan. Akan tetapi, Calon Arang menyalah gunakan kesaktiannya untuk membuat prahara di wilayah kerajaan Kediri. Ia menyebarkan teluh yang menyebabkan banyak dari rakyat Kediri yang tewas. Berkat kecerdikan Mpu Bharada dan kesaktiannya, akhirnya kejahatan Calon Arang berhasil ditumpas. Ini tercantum dalam Serat Calon Arang bagian pertama.

Kedua, Mpu Bharada diminta raja Airlangga untuk membagi kerajaan Kediri menjadi dua. Semua ini bermula dari pertikaian diantara kedua anaknya raja Airlangga. Keduanya saling berebut untuk menjadi raja menggantikan Airlangga. Tak ada satupun dari keduanya yang mau mengalah. Airlangga yang tak ingin terjadi perang saudara sepeninggal dirinya nanti, akhirnya memutuskan membagi kerajaan Kediri menjadi dua. Mpu Bharada inilah yang Airlangga percaya mampu membagi wilayah kerajaan secara adil. Ini dimuat dalam Serat Calon Arang bagian dua dan Nagarakretagama pupuh 68.

Kesejarahan Mpu Bharada
Meski Mpu Bharada diceritakan memiliki kekuatan yang luar biasa dan di luar nalar manusia yakni bisa menghidupkan orang mati dll, bukan berarti ia bukanlah tokoh sejarah. Sebagai contoh, para sunan. Mereka dikisahkan memiliki karomah yang amazing. Sunan Giri bisa menyeberangi laut dalam waktu singkat. Sunan Kalijaga diceritakan bisa bertahan hidup meski tidak makan, tidak minum berbulan-bulan lamanya hingga tubuhnya lumutan karena menunggu tongkat Sunan Bonang di pinggiran kali. Namun, meski demikian para tokoh Walisongo tetap diakui ada, pernah hidup, dan menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Berarti, kasus Mpu Bharada pun bisa dibaca demikian.

Untuk membuktikan kesejarahan tokoh ini, author mengumpulkan beberapa literature. Literature pertama, Serat Calon Arang. Di buku ini, nama Mpu Bharada jelas-jelas disebutkan, baik pada bagian pertama maupun kedua. Serat Calon Arang bab XII berbunyi,Satu buah tahta dibuat di sebelah Timur dan satu buah lagi di sebelah Barat. Yang bertahta sebelah Timur di sebut Raja Janggala, yang bertahta di sebelah Barat Raja Kediri.”

Serat Calon Arang bab XIII berbunyi, “Serbuan Janggala oleh Raja Kediri. Sengketa antara raja Janggala dan Kediri menyebabkan penarikan batas kerajaan Janggala dan Kediri disertai kutuk oleh Mpu Bharada

Nagarakretagama pupuh 68 terjemahan C.C. Berg dalam Herkomst, Vorm en Functie der Medeeljavaansche Rijksdeling Stheorie tahun 1953 berbunyi,Pembelahan itu dilakukan oleh Mpu Bharada dengan memancurkan air kendi dari arah Barat ke Timur sampai laut membagi pulau Jawa menjadi dua: sebagian terletak di seberang Utara dan sebagian di seberang selatan. Sebenarnya kedua kerajaan itu tidak jauh satu sama lain, tetapi kelihatannya seolah-olah jauh terpisah oleh laut. Jawa lalu diperintah oleh dua raja.” 

Memang kedua sumber itu, baik Serat Calon Arang maupun Nagarakretagama kurang layak dijadikan rujukan sejarah, karena keduanya sama-sama karya sastra gubahan para pujangga masa itu. Jaman sekarang mungkin sebutannya novel berlatar sejarah. Namun, bukan berarti keduanya bisa ditolak. Sebab latar cerita, nama-nama raja yang memerintah dan tahunnya dikuatkan oleh prasasti yang dikeluarkan pada masa itu. Jadi, keduanya masih layak dijadikan rujukan.

Dari Bali, ada prasasti yang menyebutkan nama Mpu Bharada, yakni prasasti Batu Madeg yang berisi, Mpu Bharada pernah mengunjungi Bali pada tahun 929 (Lawang apit sanga). Kedatangan beliau untuk mengetahui prihal Gunapriya Dharmapatni. Dikatakan pula bahwa beliau telah berkunjung ke Bali untuk kedua kalinya setelah mangkatnya Dharmodayana Warmadewa. Kunjungan itu dimaksudkan sebagai utusan Airlangga agar putranya dapatlah kemudian di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan itu ditolak sebab ia ingin menjadikan cucunya sebagai raja.




Prasasti Wurare atau prasasti Mahaksobhya untuk memperingati penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare bertariks 1211 tahun saka, atau 1289 M. Prasasti yang terdiri dari 19 bait ini diantaranya menceritakan tentang seorang pendeta sakti bernama Arya Bharad, yang membelah tanah Jawa menjadi dua kerajaan dengan air ajaib dari kendinya, sehingga masing-masing belahan menjadi Janggala dan Panjalu. Pembelahan dilakukan untuk menghindari perang saudara antara dua pangeran yang ingin berperang memperebutkan kekuasaan. Arya dan Mpu memiliki makna yang sama jadi nama Arya Bharad serupa dengan nama Mpu Bharada.

Setelah menetapkan batas wilayah kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala berdasarkan air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan Barang siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan’. Menurut, prasasti Mahaksobhya atau prasasti Wurare ini, kutukan itu sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan kedua wilayah tersebut.

Masih ada lagi prasasti yang mengisahkan tentang Mpu Bharada yakni, prasasti Terep yang berbunyi,…ri kala cri maharaja kalah dari Wwatan Mas menuju Patakan….Artinya, “… ketika Sri Maharaja kalah dari Wwatan Mas menuju Patakan….”

Karena sudah mengenal Mpu Bharada, raja Airlangga dalam pelariannya mendatangi lagi Mpu Bharada untuk meminta perlindungan. Di tambah lagi , ternyata raja raksasa wanita yang dihadapi Airlangga ini tidak lain mantan kakak ipar Mpu Bharada (mantan istri Mpu Kuturan). Janda dari Girah alias Paduka Cri Mahadewi yang berkedudukan di Khadiri dan pernah mengeluarkan prasasti Caramal Manuri tahun 1015 M atau 937 tahun Saka. Namun, akhirnya ia dikalahkan oleh Airlangga dibantu Mpu Bharada. Sama dengan yang tertulis dalam Serat Calon Arang dan Nagarakretagama. 

Berdasarkan prasasti-prasasti di atas, kiranya kita bisa mengambil kesimpulan jika tokoh Mpu Bharada ini nyata, benar tokoh sejarah, bukan rekaan Mpu Prapanca dan pengarang Serat Calon Arang.  

Tempat Tinggal Mpu Bharada
Dalam Serat Calon Arang, Mpu Bharada dikisahkan berasal dari pertapaan Lemah Tulis. Lemah Tulis sendiri pernah dimuat dalam Nagarakretagama oleh Mpu Prapanca pupuh 76/3 dan pupuh 77/2 sebagai desa perdikan kebudhaan dengan sebutan Lemah Tulis, Lemah Citra, dan Lemah Surat.

Berarti, pada jaman Majapahit, Lemah Tulis ini masih ada (1365) sehingga Mpu Prapanca bisa memasukkannya dalam inventaris negara. Menurut adat kebiasaan, desa perdikan sebagai anugerah raja diberi pikukuh berupa prasasti agar tidak terjadi pertikaian suatu saat nanti dan biasanya disimpan di desa perdikan yang bersangkutan. Akan tetapi, prasasti Lemah Tulis tidak atau belum ditemukan.

Letak Lemah Tulis menjadi perdebatan, setidaknya ada dua teori tentang letaknya. Pertama, Agus Sunyoto dalam novel Dhaeng Sakara, Lemah Tulis berada di Sidoarjo yang sekarang berubah ama menjadi desa Watu Tulis, kecamatan Prambon Sidoarjo. Teori ini diperkuat dengan penemuan prasasti Kamalgyan yang ada di desa tersebut atau disebut prasasti Watu Tulis. Prasasti ini menggambarkan tentang pembangunan bendungan Waringin Sapta pada masa Airlangga (1037) untuk mencegah banjir musiman dan irigasi.

Teori kedua dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam cerita Calon Arang karyanya, dinyatakan bahwa Lemah Tulis sekarang adalah Kabupaten Blora. Hal ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Purbajaraka bahwa di Wurare telah ditemukan arca Raja Kertanegara (Arca Mahaksobhya atau Joko Dolok) sebagai penghormatan terhadap keagungan Mpu Bharada.

Kata Wurare terdiri kata Bhu = tanah dan rare = anak. Karena itulah tempat itu dinamakan Lemah Putra. Lama kelamaan Lemah Putra menjadi Lemah Patra yang searti dengan Citra. Karena Patra artinya surat atau citra sehingga disebut juga Lemah Citra. Dari sinilah asal-usul nama Lemah Tulis. Masih menurut Pramoedya, Wurare berasal dari kata Wurara. Oleh masyarakat dari waktu ke waktu Wurara menjadi Wrura, Wlura, Blura dan sekarang Blora.

Entah teori mana yang benar. Selama prasasti tentang Lemah Tulis ini belum ditemukan maka debat dimana tempat itu berada akan tetap ada. Sebagai warga Blora asli, tentu saja author setuju dengan teori Pramoedya, karena sebuah kebanggaan tersendiri jika kita memiliki tokoh besar yang tercatat dalam sejarah dengan tinta emas.




Daftar Pustaka,

  1. ·         Tafsir Sejarah Nagarakregama oleh Profesor Slamet Muljana terbitan LKIS, 2011 cetakan V
  2.  Sejarah Bali Dwipa oleh Narendra Dev Pandit Shastri 1963 terbitan Bhuvana Saraswati
  3. ·      H. Kern, De Sanskrit – inscriptive van het Mahaksobhyabeeld te Simpang (Stad Surabaya, 1211 saka) VG, VII, 1917 hal 187-189   
  4.  Pusponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia II : Jaman Kuno cet 2 (Edisi Pemutakhiran) Jakarta, Balai Pustaka, 2008

1 komentar: