Mpu Bharada
Tokoh Pembagi Kerajaan Kediri menjadi Kerajaan Janggala dan Panjalu
Tokoh
Mpu Bharada ini author kenal dari sebuah film berjudul Calon Arang yang
dibintangi oleh Suzana dan Barry Prima. Karena itulah, dulu author
menganggapnya sebagai tokoh fiktif, tokoh rekaan sutradara film. Author baru
tahu jika Mpu Bharada ini seorang tokoh sejarah juga
Sosok Mpu Bharada
Mpu
Bharada adalah seorang pendeta yang terkenal pandai, cinta pada sesama, dan
juga rajin beribadah. Kesaktiannya sudah tersiar kemana-mana hingga sampai ke
telinga Raja Airlangga. Selanjutnya, Raja Airlangga pun meminta bantuan pada
Mpu Bharada untuk mengatasi kemelut yang membelenggu kerajaan Kediri.
Raja
Airlangga dikisahkan meminta bantuan Mpu Bharada dua kali. Pertama, Mpu Bharada
diminta untuk menumpas pemberontakan Calon Arang yang menganut ajaran sesat,
ajaran Sekte Tantrayana yang ajarannya lewat jalan pintas agar umatnya segera
mencapai moksa. Upacara yang dilakukan antara lain menari-nari di atas kuburan
dengan iringan musik (instrumen kangsi dan kemanak) sambil minum darah dan
makan daging mayat yang dilakukan pada malam hari bertelanjang badan.
Ajaran
Tantra dimaksudkan untuk kebaikan. Akan tetapi, Calon Arang menyalah gunakan
kesaktiannya untuk membuat prahara di wilayah kerajaan Kediri. Ia menyebarkan
teluh yang menyebabkan banyak dari rakyat Kediri yang tewas. Berkat kecerdikan
Mpu Bharada dan kesaktiannya, akhirnya kejahatan Calon Arang berhasil ditumpas.
Ini tercantum dalam Serat Calon Arang bagian pertama.
Kedua,
Mpu Bharada diminta raja Airlangga untuk membagi kerajaan Kediri menjadi dua.
Semua ini bermula dari pertikaian diantara kedua anaknya raja Airlangga.
Keduanya saling berebut untuk menjadi raja menggantikan Airlangga. Tak ada
satupun dari keduanya yang mau mengalah. Airlangga yang tak ingin terjadi
perang saudara sepeninggal dirinya nanti, akhirnya memutuskan membagi kerajaan
Kediri menjadi dua. Mpu Bharada inilah yang Airlangga percaya mampu membagi
wilayah kerajaan secara adil. Ini dimuat dalam Serat Calon Arang bagian dua dan
Nagarakretagama pupuh 68.
Kesejarahan Mpu Bharada
Meski
Mpu Bharada diceritakan memiliki kekuatan yang luar biasa dan di luar nalar
manusia yakni bisa menghidupkan orang mati dll, bukan berarti ia bukanlah tokoh
sejarah. Sebagai contoh, para sunan. Mereka dikisahkan memiliki karomah yang
amazing. Sunan Giri bisa menyeberangi laut dalam waktu singkat. Sunan Kalijaga
diceritakan bisa bertahan hidup meski tidak makan, tidak minum berbulan-bulan
lamanya hingga tubuhnya lumutan karena menunggu tongkat Sunan Bonang di
pinggiran kali. Namun, meski demikian para tokoh Walisongo tetap diakui ada,
pernah hidup, dan menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Berarti, kasus Mpu
Bharada pun bisa dibaca demikian.
Untuk
membuktikan kesejarahan tokoh ini, author mengumpulkan beberapa literature.
Literature pertama, Serat Calon Arang. Di buku ini, nama Mpu Bharada
jelas-jelas disebutkan, baik pada bagian pertama maupun kedua. Serat Calon
Arang bab XII berbunyi, “Satu buah tahta dibuat di sebelah
Timur dan satu buah lagi di sebelah Barat. Yang bertahta sebelah Timur di sebut
Raja Janggala, yang bertahta di sebelah Barat Raja Kediri.”
Serat Calon Arang bab XIII berbunyi, “Serbuan Janggala oleh Raja Kediri.
Sengketa antara raja Janggala dan Kediri menyebabkan penarikan batas kerajaan
Janggala dan Kediri disertai kutuk oleh Mpu Bharada”
Nagarakretagama
pupuh 68 terjemahan C.C. Berg dalam Herkomst, Vorm en Functie der Medeeljavaansche
Rijksdeling Stheorie tahun 1953 berbunyi, “Pembelahan itu dilakukan oleh Mpu
Bharada dengan memancurkan air kendi dari arah Barat ke Timur sampai laut
membagi pulau Jawa menjadi dua: sebagian terletak di seberang Utara dan
sebagian di seberang selatan. Sebenarnya kedua kerajaan itu tidak jauh satu
sama lain, tetapi kelihatannya seolah-olah jauh terpisah oleh laut. Jawa lalu
diperintah oleh dua raja.”
Memang
kedua sumber itu, baik Serat Calon Arang maupun Nagarakretagama kurang layak
dijadikan rujukan sejarah, karena keduanya sama-sama karya sastra gubahan para
pujangga masa itu. Jaman sekarang mungkin sebutannya novel berlatar sejarah.
Namun, bukan berarti keduanya bisa ditolak. Sebab latar cerita, nama-nama raja
yang memerintah dan tahunnya dikuatkan oleh prasasti yang dikeluarkan pada masa
itu. Jadi, keduanya masih layak dijadikan rujukan.
Dari
Bali, ada prasasti yang menyebutkan nama Mpu Bharada, yakni prasasti Batu Madeg
yang berisi, Mpu Bharada pernah mengunjungi Bali pada tahun 929 (Lawang apit sanga). Kedatangan beliau untuk mengetahui
prihal Gunapriya Dharmapatni. Dikatakan pula bahwa beliau telah berkunjung ke
Bali untuk kedua kalinya setelah mangkatnya Dharmodayana Warmadewa. Kunjungan
itu dimaksudkan sebagai utusan Airlangga agar putranya dapatlah kemudian di
Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan itu ditolak sebab ia ingin menjadikan cucunya
sebagai raja.
Prasasti
Wurare atau prasasti Mahaksobhya untuk memperingati penobatan arca Mahaksobhya
di sebuah tempat bernama Wurare bertariks 1211 tahun saka, atau 1289 M.
Prasasti yang terdiri dari 19 bait ini diantaranya menceritakan tentang seorang
pendeta sakti bernama Arya Bharad, yang membelah tanah Jawa menjadi dua
kerajaan dengan air ajaib dari kendinya, sehingga masing-masing belahan menjadi
Janggala dan Panjalu. Pembelahan dilakukan untuk menghindari perang saudara
antara dua pangeran yang ingin berperang memperebutkan kekuasaan. Arya dan Mpu
memiliki makna yang sama jadi nama Arya Bharad serupa dengan nama Mpu Bharada.
Setelah
menetapkan batas wilayah kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala berdasarkan air
kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan ‘Barang siapa berani melanggar batas
tersebut hidupnya akan mengalami kesialan’. Menurut, prasasti Mahaksobhya atau prasasti
Wurare ini, kutukan itu sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan kedua
wilayah tersebut.
Masih
ada lagi prasasti yang mengisahkan tentang Mpu Bharada yakni, prasasti Terep
yang berbunyi, “…ri kala cri maharaja kalah dari Wwatan Mas menuju
Patakan….” Artinya, “… ketika Sri Maharaja kalah dari Wwatan Mas
menuju Patakan….”
Karena
sudah mengenal Mpu Bharada, raja Airlangga dalam pelariannya mendatangi lagi
Mpu Bharada untuk meminta perlindungan. Di tambah lagi , ternyata raja raksasa
wanita yang dihadapi Airlangga ini tidak lain mantan kakak ipar Mpu Bharada
(mantan istri Mpu Kuturan). Janda dari Girah alias Paduka Cri Mahadewi yang
berkedudukan di Khadiri dan pernah mengeluarkan prasasti Caramal Manuri tahun
1015 M atau 937 tahun Saka. Namun, akhirnya ia dikalahkan oleh Airlangga
dibantu Mpu Bharada. Sama dengan yang tertulis dalam Serat Calon Arang dan
Nagarakretagama.
Berdasarkan
prasasti-prasasti di atas, kiranya kita bisa mengambil kesimpulan jika tokoh
Mpu Bharada ini nyata, benar tokoh sejarah, bukan rekaan Mpu Prapanca dan
pengarang Serat Calon Arang.
Tempat Tinggal Mpu Bharada
Dalam
Serat Calon Arang, Mpu Bharada dikisahkan berasal dari pertapaan Lemah Tulis.
Lemah Tulis sendiri pernah dimuat dalam Nagarakretagama oleh Mpu Prapanca pupuh
76/3 dan pupuh 77/2 sebagai desa perdikan kebudhaan dengan sebutan Lemah Tulis,
Lemah Citra, dan Lemah Surat.
Berarti,
pada jaman Majapahit, Lemah Tulis ini masih ada (1365) sehingga Mpu Prapanca
bisa memasukkannya dalam inventaris negara. Menurut adat kebiasaan, desa
perdikan sebagai anugerah raja diberi pikukuh berupa prasasti agar tidak
terjadi pertikaian suatu saat nanti dan biasanya disimpan di desa perdikan yang
bersangkutan. Akan tetapi, prasasti Lemah Tulis tidak atau belum ditemukan.
Letak
Lemah Tulis menjadi perdebatan, setidaknya ada dua teori tentang letaknya. Pertama,
Agus Sunyoto dalam novel Dhaeng Sakara, Lemah Tulis berada di Sidoarjo yang
sekarang berubah ama menjadi desa Watu Tulis, kecamatan Prambon Sidoarjo. Teori
ini diperkuat dengan penemuan prasasti Kamalgyan yang ada di desa tersebut atau
disebut prasasti Watu Tulis. Prasasti ini menggambarkan tentang pembangunan
bendungan Waringin Sapta pada masa Airlangga (1037) untuk mencegah banjir
musiman dan irigasi.
Teori
kedua dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam cerita Calon Arang
karyanya, dinyatakan bahwa Lemah Tulis sekarang adalah Kabupaten Blora. Hal ini
berdasarkan apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Purbajaraka bahwa di Wurare
telah ditemukan arca Raja Kertanegara (Arca Mahaksobhya atau Joko Dolok)
sebagai penghormatan terhadap keagungan Mpu Bharada.
Kata
Wurare terdiri kata Bhu = tanah dan rare = anak. Karena itulah tempat itu
dinamakan Lemah Putra. Lama kelamaan Lemah Putra menjadi Lemah Patra yang
searti dengan Citra. Karena Patra artinya surat atau citra sehingga disebut
juga Lemah Citra. Dari sinilah asal-usul nama Lemah Tulis. Masih menurut
Pramoedya, Wurare berasal dari kata Wurara. Oleh masyarakat dari waktu ke waktu
Wurara menjadi Wrura, Wlura, Blura dan sekarang Blora.
Entah
teori mana yang benar. Selama prasasti tentang Lemah Tulis ini belum ditemukan
maka debat dimana tempat itu berada akan tetap ada. Sebagai warga Blora asli,
tentu saja author setuju dengan teori Pramoedya, karena sebuah kebanggaan
tersendiri jika kita memiliki tokoh besar yang tercatat dalam sejarah dengan
tinta emas.
Daftar
Pustaka,
- · Tafsir Sejarah Nagarakregama oleh Profesor Slamet Muljana terbitan LKIS, 2011 cetakan V
- Sejarah Bali Dwipa oleh Narendra Dev Pandit Shastri 1963 terbitan Bhuvana Saraswati
- · H. Kern, De Sanskrit – inscriptive van het Mahaksobhyabeeld te Simpang (Stad Surabaya, 1211 saka) VG, VII, 1917 hal 187-189
- Pusponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia II : Jaman Kuno cet 2 (Edisi Pemutakhiran) Jakarta, Balai Pustaka, 2008
menambah pengetahuan sekali kak makasih
BalasHapusmnc tv streaming