Summary : “Udahlah terima
aja. Gue beda keyakinan sama elo!” kata Naruto dengan seenaknya memutuskan. Ia
tak ambil pusing, lawan bicaranya mau komentar apa. Mau mewek kek. Mau jerit
kek. Terserah. Bukan urusan gue. One shoot. No sekuel. No BL.
DISCLAIMER
: Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship Rating : T
WARNING : MaleNaru, One Shoot alias langsung TAMAT. Jadi
jangan minta next chapter.
Pair : NaruKiba just
friend slight SasuSaku
Fic
ini terinspirasi dari sebuah cerita di facebook yang pernah ku baca. Jadi
jangan heran jika pernah mendengar cerita ini. Oke, Silakan menikmati. Semoga
berkenan di hati para reader.
Don't
Like Don't Read
Di sebuah ruangan yang
tenang, tampak beberapa remaja, pria dan wanita sedang sibuk di depan layar
monitor masing-masing. Mereka bekerja dalam keheningan. Satu-satunya suara yang
menghiasi ruangan itu hanyalan jentikan jemari pada keyboard atau hembusan nafas
masing-masing. Salah satunya yakni pria berambut pirang berkulit tan yang
menjabat sebagai Ketua OSIS.
Sejak tadi, iris safirnya
sibuk meneliti tiap huruf, kata, dan kalimat dari berkas laporan mingguan yang
dibuat para anggotanya sebelum di-ACC. Sebagai pria yang perfect, ia tak bisa
menolerir adanya typo-typo pada lembaran laporan. Tangannya dengan ganas
mencoret lembaran kertas itu. Bibirnya beberapa kali mendesis jijik melihat
buruknya laporan salah satu bawahannya. Sudahlah banyak typo sana-sini, salah
pula. hadeuh... pusing deh.
Tiba-tiba terdengar suara
pintu dibuka kasar. Muncul makhluk datang tak diundang pergi tak diantar,
berambut coklat gelap cepak, bertato taring terbalik warna merah di kedua
pipinya, dengan nafas ngos-ngosan, seperti habis dikejar anjing kampung yang
menderita rabies.
“Hosh..hosh..hosh... Nar,
gawat!” katanya dengan hebohnya.
Naruto melirik sekilas,
sebelum kembali pada pekerjaannya semula. Ia tak begitu antusias menanggapi
kata ‘Gawat,’ yang meluncur dengan indahnya dari bibir Kiba. Namanya juga Kiba.
Pasti dech, Naruto bakal nyesel kalau menanggapinya terlalu serius. Kiba kan
orangnya gitu. Aneh bin ajaib.
“Nar! Jangan diam aja!
Dengerin gue!” teriaknya mencak-mencak kayak cewek yang lagi PMS karena
diacuhin.
“Hn. Iya, gue dengerin. Langsung
aja, to the point.”
“To the anpan apa? Bisa diulang lagi?”
“To the point!” kata Naruto berusaha sabar meladeni Kiba. “Ngomong
aja langsung, nggak pake berbelit.”
“Halah sok Inggris, loe. Kayak
elo paling pinter se-KHS aja.” Ejek Kiba.
Naruto memutar bola matanya
malas menanggapi. Dengan ketus berkata, “Elo sebenarnya ke sini mau ngomong
apaan, sih? Kalau cuman mau ngeledek, mending elo pergi deh. Gue sibuk. Banyak
laporan yang harus gue periksa dan besok harus udah ada di atas meja Kepsek.”
“Eh, iya gue lupa. Ini
gawat, Nar. Bener-bener gawat.” Kata Kiba mengulang-ulang kata gawat.
“Iya, apa-nya yang gawat.”
“Si Sakura pacaran sama
Sasuke. Itu lho, cowok paling populer yang dulu jadi saingan elo waktu elo maju
dalam bursa pencalonan ketua OSIS.” Jelasnya panjang kali lebar. Tak lupa
dengan hujan gerimis yang mengundang.
Naruto berjengit jijik. Ia
berharap semoga hujan lokal itu tak sampai membasahi kertas laporan yang udah
susah payah ia koreksi dari beberapa hari yang lalu. Syukur-syukur bau jigong
Kiba yang rada malas gosok gigi, nggak nempel juga.
‘Awas saja kalau ada
tulisannya yang luntur, bakal gue make over nih bocah.’ Batin Naruto yang lebih
mengkhawatirkan kertas laporan daripada berita yang Kiba bawa.
“Nar, elo denger nggak sih
kata gue? Sakura udah resmi pacaran sama Sasuke.”
Naruto menarik nafas panjang
lalu membuangnya perlahan. Ia tengah berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesabaran
yang ia punyai untuk meladeni Kiba dengan segala ke-unik-annya.
“Gue denger. Terus, kenapa
kalau mereka pacaran? Gue mesti koprol sambil bilang, ‘Waw’ gitu?”
“Kok, reaksi elo dingin gitu
sih? Mestinya, elo tuh panas. Panas Men, panas. Kalau perlu elo samperin dia. Terus,
elo labrak makhluk songong itu.”
Naruto mengernyit bingung. “Lah,
buat apa? Kan Sakuranya sendiri yang mau, ikhlas dan sukarela. Kenapa gue yang mencak-mencak?
Pake acara ngelabrak pula. Kayak gue kurang kerjaan aja.”
“Is, elo tuh payah. Ini soal
harga diri, Men. Harga diri. Harga diri elo tuh udah diinjak-injak dia.
Si
Saskey-cap-pantat-ayam itu udah berani nyelonong nembak gebetan elo. Mestinya,
elo marah dong! Gue aja yang jadi temen elo panas. Kok, elonya sendiri malah
cuek bebek gitu. Elo udah nggak suka sama dia?”
“Masih.”
“Terus, kenapa elo stay cool?”
“Iya, kan dia nya udah sama
orang lain. Gue bisa apa?”
“Sebenarnya, dari awal ini
salah elo. Elonya sih nggak berbuat apa-apa. Elo nggak pernah coba-coba PDKT
atau kasih signal gitu sama dia. Makanya sekarang elo ketinggalan kereta.”
“Emang dia TV, kasih signal
segala? Elo tuh ada-ada aja. Kiba...Kiba... hi hi hi..”
“Is, gue serius ngomongnya.”
Ujar Kiba jengkel. Dia lalu narik kursi entah punya siapa, dan dibalik. Dia
duduk ngangkang menghadap Naruto dengan sandaran kursi sebagai pegangan.
“Jujur,
ya! Elo tuh ada hati nggak sih sama Sakura.”
Naruto menghentikan pekerjaannya
sejenak dan menatap Kiba serius. “Ya, sebagai cowok, jujur gue suka sama dia.
Siapa sih yang enggak? Secara, ia cantik, pinter, dan nggak pecicilan.
Singkatnya, cewek idaman-lah.”
“Terus, kenapa elo diam aja?”
“Gue diam karena gue maunya
ngomong ke dia, kalau gue udah siap ngelamar dia. Gue terlalu cinta ama dia,
jadi gue maunya serius. Gue nggak mau jadiin dia mainan, just pacaran doang.”
Naruto diam. Ia minum beberapa teguk air putih. Ngomong sama Kiba sering kali
bikin dia haus. “Masalahnya, gue belum siap saat ini. Kan elo tahu sendiri, gue
masih SMA. Usia gue baru sweet seventeen beberapa hari yang lalu. Belum matang
buat berumah tangga. So, gue milih diam aja.”
“Elo tuh mikirnya kejauhan!
Nikah, pret. Elo kayak Bapak-bapak kantoran.”
“Justru yang beraninya
ngomong ngajak pacaran ama cewek itu yang pengecut. Cintanya cuman di mulut.
Begitu ketemu bokapnya si cewek langsung ngibrit, hiii... takut. Gue bukan tipe
gitu.”
“Sumpeh deh, gue nggak
ngerti cara berfikir elo. Kenapa emangnya dengan pacaran? Semua orang di KHS
ini banyak juga yang pacaran.”
“Kib, elo tahu kan kalo
nyokap gue cewek? Adik gue cewek. Gue sayang banget ama mereka. Gue nggak mau
ada yang nyakitin mereka. Karena itu, gue nggak mau nyakitin cewek. Nyakitin
hati cewek sama aja nyakitin nyokap sama adek gue. Karena itu, gue nggak mau
pacaran. Gue maunya serius.”
“Pacaran itu kan juga salah
satu ajang penjajakan. Apa kita sreg dengan dia? Jangan sampai deh kita kayak
beli kucing dalam karung!”
“Nggak usah tutup mata deh,
loe. Akui aja, kalau orang pacaran itu karena ia pingin, ada rasa suka sama
cewek. Ingin ini, itu sama cewek kayak pasangan suami istri. Sayang, meski libido
udah segunung, tapi belum mau terikat. Jadi deh, ajang pacaran cuman buat baku
syahwat, seneng-seneng doang, terus kalau udah bosan dibuang. Kan nggak ada
hitam di atas putih. Jadi, nggak ada pertanggung jawaban kalau terjadi apa-apa
sama si cewek. Si cowok tinggal ngeles aja, suka sama suka kok. Gue nggak mau
jadi cowok bajingan macam itu.”
“Gara-gara prinsip anehmu
itu tuh, elo kehilangan cewek idaman elo. Lama-lama elo nggak laku lho. Terus,
jadi bujang lapuk dech. Udah deh buang aja prinsip kuno itu. Udah nggak jaman,
Men.”
Naruto tersenyum simpul dan
dengan tenang berkata, “Tenang, Tuhan itu udah menciptakan kita
berpasang-pasangan. Jadi, gue pasti punya jodoh sendiri. Gunung nggak akan lari
dikejar. Kalau tiba masanya, gue pasti bakal ketemu juga ama jodoh gue di
pelaminan. Dont care.”
“Tapi, kan...”
“Udahlah terima aja. Gue
beda keyakinan sama elo!” kata Naruto dengan seenaknya memutuskan. Ia tak ambil
pusing, lawan bicaranya mau komentar apa. Mau mewek kek. Mau jerit kek.
Terserah. Bukan urusan gue.
“Terserah elo lah, Nar.
Pusing gue. Gue cabut ya.” ujar Kiba pasrah.
“Hm. Dan, trims untuk
infonya, Kib.”
“Yoi.”
Dengan kepergian Kiba, ruang
OSIS kembali hening. Mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda
akibat kedatangan Kiba, dan asyik mendengarkan percakapan antara Ketua OSIS
mereka dengan teman baiknya.
THE END