FLIGHT
Summary
: Pesawat yang ditumpangi Naruto mengalami kecelakaan. Tubuh pesawat patah jadi
dua dan lalu ada api berkobar dari arah belakang. Rasa panik membuat mereka
meloncat dari pesawat, tanpa parasut. Berhasilkah Naruto selamat? One shoot.
FugafemNaru dan HiashifemNaru.
DISCLAIMER
: Naruto Belongs to Masashi Kishimoto
Genre : Friendship
dan Adventure
Rating : T
WARNING : Bertebaran typo, hasil SKS, tak sesuai EYD,
bikin kepala pening, gaje and many mores.
Pair : FugafemNaru
dan HiashifemNaru just friend
Author Note :
Fic
ini Ai persembahkan untuk keluarga dan teman-teman korban jatuhnya pesawat Air
ASIA. Ini Ai susah payah lho bikinnya. Maaf kalo feelnya nggak dapat. Ai kan
nggak pernah naik pesawat. Jadi maklum saja.
Don’t
Like Don’t Read
Chapter
1
Naruto
menyanderkan punggungnya ke
sandaran kursi, lelah. Seharian ini kerja banting tulang, dari pagi ngetik
depan komputer. Matanya sampai perih. Jemari tangannya malah terasa kebas, dan
sulit digerakkan lagi. Tapi ia tak mengeluh. Ia cukup senang dengan pekerjaan
ini, daripada keliling tempat pariwisata yang panasnya minta ampun itu.
“Huahhh...”
kuapnya lebar. Ia rentangkan kedua tangannya, mengusir pegal-pegal. Ia letakkan
kacamatanya di meja kecil di sampingnya, lalu mengambil air minum di kendi.
“Hahhh...
segarnya. Alhamdulillah.” Gumamnya puas. Meski hanya minum air dalam kendi
bulukan dari tanah liat, tapi segarnya sama dengan minum air dari kulkas. Adem,
mak trecep gitu.
Ia
kini beralih membuka surat yang tadi siang diantar pak pos. Tadi ia terlalu
sibuk ngetik, karena deadlinenya sudah dekat. Besok harus jadi. Makanya
suratnya tak langsung ia buka dan dibiarkan nganggur dari tadi.
“Eh...”
gumamnya bingung.
Ia
bolak-balik amplop itu. Dalam
amplop tercatat nama sang pengirim. “University of Konoha? Ini seperti tempat
Sakura kuliah. Ada apa ya?” tanyanya penasaran.
Ia
buka amplop itu hati-hati dengan gunting, khawatir merusak isinya. Dibukanya
lembaran surat yang berlipat
menjadi tiga itu. Ada kop surat
bertuliskan University of Konoha, menunjukkan surat itu resmi. Dibacanya surat
itu kata demi kata. Otaknya langsung menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia,
karena surat itu ditulis menggunakan bahasa
Inggris.
Matanya
terbelalak, tak percaya. Ia baca lagi berulang-ulang. Ia bahkan sampai membuka
kamus lusuhnya, yang menemaninya dari SMP itu, untuk memastikan.
“Alhamdulillah. Aku diterima.” Pekiknya senang setelah benar-benar yakin.
Ia
sedang sujud syukur ketika Merry, sepupunya datang berkunjung. “Kau sedang apa? Jangan bilang padaku, kalau kau mendapat
kabar luar biasa baik hari ini!” katanya setengah menggoda
“Aku
diterima kuliah di Jepang.” Katanya sumringah sambil senyum-senyum.
“Jepang?”
beo Merry tak mengerti. Ia langsung teringat
menara Tokyo dan pohon sakura, atribut paling menonjol dari negeri itu.
“Serius?”
Naruto
menganggukan kepala sebagai jawaban.
“Benarkah?
Syukurlah. Beruntung sekali kamu.” Kata Merry terlonjak, ikut bahagia. “Eh,
tapi gimana dengan ongkosnya? Kau yakin mau mengambilnya? Ini luar negeri lho.
Jepang, bukan Jogja.”
“Tenang.
Semua biaya ditanggung oleh pihak kampus. Nih lihat! Asal hemat, pasti nggak
jebol deh. Lagian di sana kan aku bisa nyari kerja sambilan juga.”
“Ooooo
gitu. Baguslah, aku lega. Kau beruntung, Nar. Kau bisa menggapai cita-citamu,
jadi anak kampus.”
“Kau
juga berhasil. Jadi ibu guru.” Goda Naruto.
“Ibu
guru apanya. Aku kan ibu rumah tangga.”
“Yah,
istrinya guru kan Ibu guru juga manggilnya.”
“Dasar
kau ini. Eh, lebih baik kau sekarang siap-siap
apa aja yang diperlukan. Ntar ada yang ketinggalan lagi. Repot kan jadinya.”
“Siap,
bos.” Kata Naruto terkekeh geli karena kini Merry melayangkan beberapa cubitan
ke pinggangnya.
SKIP TIME
Naruto
gelisah. Ia memegang pegangan kursinya erat, takut setengah mati. Jantungnya
berdentam-dentam keras, seakan ingin bersaing dengan deru pesawat. Tubuhnya
seolah tertarik, jungkir balik, membuat sang perut bergolak. Untung nggak
sampai muntah.
Bibirnya
yang merah delima, tak henti-hentinya berdoa. Semoga ia selamat sampai tujuan.
Soalnya kan akhir-akhir ini sering tersiar kabar berita jatuhnya pesawat.
Penumpangnya tak diketahui nasibnya karena sang pesawat tak kunjung ditemukan.
Dia kan jeri juga bernasib tragis seperti itu. Bayangin aja, mati tanpa
kuburan.
Penumpang
di sebelahnya mengulum senyum geli, melihat ekspresi Naruto yang sudah sepucat
mayat itu. “Baru pertama kali naik pesawat ya, Dik?” tanya penumpang itu yang
ternyata masih orang Indonesia.
“Iya.
Mbak, mau ke Jepang juga?” Balas Naruto sopan.
“Iya,
menemani suami yang kerja di sana.” katanya ramah. Ia memangku balita perempuan
berusia 6 bulan yang menggemaskan.
Melihat
wajah polos dan imut balita itu, membuat perhatian Naruto teralihkan. Perlahan
tubuhnya lebih rileks, tak setegang tadi. Apalagi setelah laju pesawat mulai
stabil, tak lagi menggerung kencang karena lepas landas. Ia iseng bercanda ria
dengan balita lucu itu.
Selang
10 menit, ia pun menguap. Ini kebiasaannya kalo sedang naik kendaraan,
bawaannya suka ngantuk. Ia pun menyamankan diri, mencari posisi enak untuk
tidur. Ia tak tahu berapa lama tertidur. Ia terbangun gara-gara ada guncangan
hebat dari pesawat.
Brakkkk...
Terdengar suara barang yang berjatuhan. Kepala para penumpang nyaris semuanya
membentur kursi di depannya. Suasana jadi ricuh dan panik.
“Ada
apa ini?” tanya salah satu penumpang, saling bersahutan, bertanya-tanya pada
pramugari. Tapi tak ada jawaban dan tak ada penjelasan sama sekali. Para
pramugari dan petugas, juga sama-sama tak tahu, penyebab goncangan hebat itu.
Semua
berjalan sangat cepat. Tiba-tiba mereka merasakan pesawat menukik tajam ke
bawah. “Kyaaa....Kyaaa....” teriak mereka bersamaan, mengetatkan sabuk pengaman
dan pegangan erat pada kursi.
“Hik
hik hik huweee... huwee....” balita yang tadi dipangku penumpang sebelahnya
menangis keras. Ia dudukkan sang ibu di lantai dengan tangan gemetar, seperti
intruksi petugas. Katanya lebih aman jika bayi di telungkupkan di lantai
pesawat, memberi kemungkinan selamat lebih besar.
Naruto
refleks memagangi tas ranselnya, seolah itu tali penyelamat hidupnya. Mulutnya
komat-kamit berdoa. “Ya, Allah selamatkan kami hingga tiba sampai tujuan.”
Doanya lirih.
Guncangan
pada tubuh pesawat semakin kuat dan kali ini terdengar suara Srakkkk... keras
sekali. Tubuh pesawat patah jadi dua tepat di atas lautan luas. Para penumpang
yang duduk di sayap, segera lompat ke bawah, menyelamatkan diri.
Mungkin
mereka mengira jarak pesawat dengan laut itu pendek, jadi punya pikiran bisa
selamat, meski tanpa parasut. Padahal kan itu hanya tipuan mata saja. Jarak pesawat dengan laut
kurang lebih masih 1-5 km. Hah...ada-ada saja. Yakin tuh bisa selamat?
Tapi
apa boleh buat kan? Namanya juga panik, daripada duduk manis nunggu mati.
Penumpang lainnya juga ikut-ikutan lompat ke bawah, berharap selamat setelah
terjun ke laut. Mereka tak bisa menunggu dibagikan parasut oleh petugas, karena
api mulai berkobar dari mesin bagian belakang.
Naruto
pun bersiap lompat. Ia mungkin sedikit lebih baik, karena nyiapin payung untuk
menahan laju gaya gravitasi bumi.
Mungkin memang tak sebagus parasut, tapi minimalislah efeknya daripada langsung
lompat gitu aja.
“Gyaaa....”
teriaknya histeris kencang. Angin nan kencang menampar mukanya hingga kulit
wajahnya bergerak-gerak tak karuan. Kain kerudungnya bahkan seperti mau lepas
dari kepalanya kalo saja tak ia masukkan ke dalam jaket yang sudah ia kancing
rapat.
Tubuhnya
terjun dengan bebas dengan kecepatan gila-gilaan, ke bawah. Ternyata payungnya
tidak berdaya menahan bobot badannya. Yah namanya juga usaha. Kalo gagal juga,
yang penting usaha kan.
.........................****.........................
Hari pertama di laut
Matanya
melotot horor, melihat pemandangan mengerikan di bawah sana. ada balita yang
juga menukik ke bawah. “Huwaaa... aaa..” terdengar suara balita menangis
melengking di bawahnya, lepas dari gendongan sang bunda.
Mata
Naruto sampai mau copot. Jantungnya berdegup kencang. Ingin hati menolong, tapi
apalah dia. Ia sendiri juga dalam posisi tak aman. Tubuhnya pun merosot ke
bawah, menyusul sang balita. Ia hanya bisa berdoa, semoga selamat.
Matanya
membola menatap lautan nan luas. ‘Laut lagi?’ batinnya, horor, memejamkan mata.
Ia tak kuasa, melihat tubuhnya masuk ke dalam air laut nan dalam. Ia tanpa
sadar menahan napas ketika dirasakannya tubuhnya menukik tajam dan dengan cepat
membentur air laut nan dalam.
Gara-gara
itu terciptalah bunga pusaran air nan cantik. Wuszzz... Byurrr.... suara air
laut bergolak, beriak kuat, dan
menyerupai pusaran gelombang. Tak lama kemudian muncullah Naruto dari
dalam air, masih memegangi payung dengan tangan kanannya. Payung itu berjasa besar dalam usaha mengapungkan
dirinya di atas permukaan laut.
“Hup
hup hup...” Suara deru nafasnya terengah-engah, gelagapan. Hidungnya panas dan
matanya pedih. Air laut nan asin memasuki indra pernafasannya dan mulutnya.
Tangan kirinya yang bebas mengusap
percikan air di wajahnya.
“Hufff...,
selamat. Alhamdulillah.” Serunya, lega.
“Ah,
di mana
aku sekarang?” tanyanya diantara bingung, lega, dan horor.
Sejauh
mata memandang hanya ada laut, laut, dan laut. OK bukan hanya laut, tapi juga
langit beserta hiasannya macam matahari, awan, dan burung-burung camar. Ini
persis seperti yang dilihatnya dari atas. Bahwa ia terjun ke dalam lautan
bebas.
“Hmm,
sepertinya balita itu jatuh di tempat yang berbeda.” Gumamnya. Tak ada bekas
orang atau benda jatuh dari atas pesawat
naas itu di sekitarnya, selain dirinya sendiri. Bahkan, serpihan badan pesawat pun tak ada.
Kini
ia hanya bisa merenungi nasibnya. Kenapa dari kemarin ia selalu sial kalo
berhubungan dengan laut, ya? Ini yang ketiga kalinya lho? Semoga saja kali ini
pun, ia bisa selamat.
Ia
memicingkan matanya. Sepertinya tadi di depan sana, kira-kira 500 meter, ia
melihat kilatan benda logam. Mungkin itu potongan badan pesawat. Dan mungkin
juga ada penumpang lain yang selamat. ‘Bisa jadi teman.’ Batinnya lega.
Ia
kembali berenang dengan satu tangan. Tangannya yang satu lagi masih memegangi
payung, anggap saja pelampung dadakan. Kakinya menendang-nendang air laut.
Ternyata
yang ditemukan itu potongan badan pesawat yang cukup besar. Cukuplah untuk
menampung dirinya sambil berbaring, melihat bintang. Ia mengayun-ayunkan
tangannya yang bebas ke depan, menuju potongan tubuh pesawat itu.
“Hup.”
Serunya, mencoba menaikinya. Ia duduk menselonjorkan kakinya, membiarkan air
laut mengayun-ayun papan itu. Payungnya untuk sementara waktu ia tutup dan berubah fungsi menjadi bantal dadakan.
“Capek juga.” Desahnya.
Selain
potongan besar itu, ada juga serpihan badan pesawat kecil-kecil dan satu buah
koper yang mengambang. Mungkin koper itu jatuh dari bagasi pesawat, sebelum api
berkobar dan terjadi ledakan hebat.
Iseng,
Naruto meraih koper itu. Pasti mahal tuh, kalo dijual. Tapi bukan itu sih yang
ia pikirkan. Hanya siapa tahu kalo ia berhasil selamat, ia bisa memberikannya
pada keluarga korban, sebagai kenang-kenangan. Atau bisa juga jadi alat
penyelamat kalo ia ketemu dengan penumpang
naas lainnya.
“Nah.
Beres sekarang.” Gumamnya senang, setelah mengikat koper itu dengan papan yang
ia tumpangi.
Naruto
menatap langit nan biru. Matahari bergerak ke sisi kanannya. Pancaran cahaya
menyentuh permukaan air laut, memberi sepuhan warna merah keemasan. “Hmmm,
sekarang jam berapa ya?” pikirnya bingung. Jam di tangannya mati. “Ah sudahlah
itu dipikirkan nanti. Sekarang go go go...” katanya memberi semangat pada diri
sendiri.
Setidaknya
kali ini lautnya tak setenang laut mengerikan waktu ia pertama kali berjumpa
dengan pria misterius itu. Ombaknya juga tak seganas laut selatan dengan
penghuni istana Kidul itu. Yeah, untuk saat ini laut berombak tenang.
Ia
kini menjadikan payungnya sebagai dayung. Hmm, kalo dipikir-pikir payungnya itu
multifungsi ya? Bisa jadi parasut, pelampung, bantal, sampai dayung. Entah fungsi apalagi yang akan
ia temukan nanti.
Kayuhan
rakit dadakannya menemukan si balita berusia 6 bulan, anak penumpang di
sebelahnya itu. Ia mengambilnya dari laut. Ia memeriksa, denyut nadinya. “Inna
lillahi.” Gumamnya lirih. Ternyata nadinya sudah tak berdenyut. Naruto
tertunduk sedih. Air mata mengalir di pipinya.
Ia
menyesali nasibnya. Seandainya ia lebih cepat turun, mungkin ia bisa berusaha
meraih tubuh bayi itu. Ia kini meletakkan sang bayi di sampingnya. Mungkin kalo
sudah sampai, sang bayi bisa dimakamkan secara layak.
Ia
mengayunkan dayungnya lagi. Di depan sana lagi-lagi ia menemukan dua sosok
tubuh yang sudah terbaring kaku. Itu tubuh sang ibu dan sang ayah balita itu.
“Inna lillahi.” Katanya lirih. Tubuhnya bergetar, larut dalam kesedihan.
Padahal
beberapa menit yang lalu mereka bercakap-cakap dan bercanda ria. Kini mereka
terbujur kaku di atas lautan. Yah mati memang tak bisa diduga kapan datangnya.
Kita hanya bisa mempersiapkan bekal, saat ajal menjemput.
Naruto
meletakkan jenasah sang bayi di samping kedua orang tuanya. Ia ingin keluarga
itu utuh, bahkan di tempat pembaringannya saat ini. Sebaris doa, ia lantunkan
untuk keduanya.
Hari Kedua
Naruto
mengayuh sampannya lambat-lambat. Wajahnya tampak mendung, tak bersemangat,
penuh beban pikiran. Selama perjalanan, ia kembali menemukan beberapa jenasah
penumpang yang mengambang tersebar. Hatinya perih, merasa tak berdaya.
Tetes-tetes demi tetes air mata mengalir indah, menangisi peristiwa tragis ini.
Ia
menguatkan batinnya, untuk kembali mengayuh sampannya. Hati kecilnya masih
berharap, menemukan penumpang lain yang selamat. Tiba-tiba sampannya menyentuh
sesuatu. Ia menoleh ke samping. Ada sesosok tubuh tertelungkup dalam air. Ia
lekas memeriksa denyut nadinya.
“Ah,
syukurlah. Ada yang masih hidup.” katanya lirih.
Naruto
susah payah menaikkan tubuh itu ke atas sampannya. Tubuhnya ia telentangkan,
sedangkan dia membiarkan sebagain tubuhnya terendam air laut. Ia tekan dada
pria paruh baya berambut raven itu, mengeluarkan air laut yang terminum.
Orang
itu tersedak, memuntahkan air laut dari bibirnya. Ia mengerjab-ngerjabkan bulu
matanya yang lentik. Padangan matanya sayu, berusaha mengingat dimana dia
sekarang?
Fugaku POV
Ia
tak begitu ingat apa yang terjadi? Seingatnya ia sedang tertidur di pesawat.
Tiba-tiba ada guncangan hebat, membuatnya terbangun. Guncangan kedua menyusul,
mengakibatkan tubuh pesawat patah dan api berkobar di tubuh bagian belakang.
Otaknya
langsung ngeblank. Ia baru sadar setelah melihat kru pesawat dengan tidak
bertanggung jawabnya, memakai parasut dan lompat, mengabaikan keselamatan
penumpang.
Ia
yang dilanda panik, segera menyambar kain korden untuk dijadikan parasut dadakan.
Lalu ia melompat ke dalam air, bersama dengan penumpang lainnya. Setelah itu ia
tak begitu ingat apa yang terjadi.
“Anda
baik-baik saja?” tanya seorang gadis di sampingnya, dengan bahasa Indonesia.
“Eh?”
gumamnya tak begitu yakin.
Ia
mengernyitkan dahinya heran. Gadis ini beriris biru langit nan cerah, tapi
fasih sekali berbahasa Indonesia. Seolah itu bahasa sehari-harinya. Fugaku langsung menepis
pikirannya yang bukan-bukan. Gadis ini sudah berbaik hati menolongnya. Tak
seharusnya ia mencurigainya yang bukan-bukan.
“Ehem.”
Ia berdehem, menghilangkan sumbatan dalam tenggorokannya. “Aku baik-baik saja.
Terima kasih sudah menolong.” Kata Fugaku yang dihadiahi senyuman manis dan
suara merdu gadis itu.
“Syukurlah.”
Katanya lega. Binar-binar kebahagiaan memancar dari iris birunya, memesona sang
kepala klan Uchiha.
End Fugaku POV
Hari ketiga
Hari
menjelang pagi. Sentuhan keemasan sang matahari menyepuh lautan, memberi
gradasi warna yang cantik. Mereka diam selama perjalanan. Naruto masih
mengapung di atas koper. Kaki-kakinya menendang air laut membuat sampan mereka
bergerak. Fugaku masih terbaring lemah di atas sampan, membiarkan Naruto
mengarahkan laju sampan, kemana ia akan pergi.
Hari
sudah menjelang malam, ketika mereka kembali menemukan sesosok tubuh. Pria
paruh baya juga, berambut coklat panjang, dengan posisi telentang. Perutnya
kempis, menandakan, tak banyak air laut yang masuk. Di sekitar tubuhnya ada
kain parasut.
Naruto
memeriksanya, ternyata ia juga masih hidup. “Ia masih hidup.” katanya riang.
“Ya?”
kata Fugaku tak semangat. ‘Memang mereka bisa menolongnya?’ batinnya mencibir.
Naruto mendekatkan tubuh itu pada sampan mereka. ‘Hem, sepertinya ia kenal
sosok itu. Kalo tak salah dia Hyuga Hiashi, salah satu temannya.’ Pikirnya.
“Maaf,
bisakah anda gantian? Kasihan dia kalo terus terendam air laut.”
“Apa?”
tanya Fugaku tak percaya dan panik. Ia suruh masuk ke dalam air laut lagi?
Hiii, ogah. Ia sudah nyaman di atas sampan ini. Tak mewah memang, tapi daripada
mengapung di air. “Kau ingin aku masuk ke dalam air laut dan dia di sini?”
tanyanya memastikan dan dibalas anggukan kepala.
Fugaku
merentangkan dua tangannya membentuk huruf X. “NO.” Katanya tegas. “Aku tak
mau.”
“Janganlah
egois! Kasihan dia. Kalo ia
meninggal bagaimana?”
“Biarkan
saja!” kata Fugaku dingin. Sifat dingin dan acuhnya kembali muncul. Ia juga
yakin Hiashi akan melakukan hal yang demikian padanya. Saat ini nyawanya lebih
penting. Ngapain mikirin orang lain. Yah itulah sisi egoisme manusia. Baru
nampak menonjol saat dalam kesulitan seperti ini.
“Anda
benar-benar kejam. Anda bukan manusia.” Desis penolongnya itu kecewa.
“Untuk
apa kau menolongnya? Kita aja belum tentu selamat.” tukas Fugaku tak terima.
“Mungkin
kesempatan hidup kita berkurang jika menolongnya. Tapi aku lebih suka begitu,
daripada hati nuraniku mati. Tanpa hati nurani apa bedanya kita dengan hewan.”
Celanya menohok hati Fugaku.
Hati
nurani? Itu yang tidak ia punya, begitu juga dengan saudara-saudaranya dan
mungkin juga kedua anaknya. Hati nurani dan cinta, tak lebih dari perasaan
konyol dari orang-orang lemah.
Naruto
dengan hati-hati, menelentangkan tubuh Hiashi di atas koper yang lumayan
panjang, gantian dengan Naruto. Naruto sendiri kembali menggunakan payungnya
sebagai pelampung dadakan. Hal itu membuat Fugaku mencelos.
Ia
yang lebih tua dari gadis itu, ternyata bertingkah sangat kekanakan. Gadis itu
dengan tegarnya rela berkorban untuk orang tak dikenalnya. Sedangkan dia, malah
sebaliknya. Padahal Hiashi ini sahabat baiknya. Mereka berteman dari TK, hingga
kini menjelang di usia separuh abad. Ia jadi malu setengah mati. Kenapa harus
kalah dari gadis muda ini, sih?
Ia
menarik nafas panjang. Ia mencoba menyentuh air laut, takut-takut. Tubuhnya
menggigil dan wajahnya memucat. Perlahan ia merasakan ada yang menarik kakinya
kuat-kuat saat kakinya masuk ke dalam air hingga selutut. Bayangan ia tenggelam
di dasar laut, membuat perutnya bergolak ingin muntah. Cepat-cepat ditariknya
kembai kakinya, ke atas sampan darurat ini.
Wajahnya
memucat hebat. Tubuhnya kini gemetaran. Bulu kuduknya berdiri seketika. ‘Takut
takut..takut...’ batinnya jeri. Yah inilah kelemahan terbesarnya. Ia takut
coret trauma dengan yang namanya air. Jangankan masuk ke dalam lautan, membilas
kepalanya di wastafel pun ia sudah bergidik ngeri. Ia biasa mandi ngepet di
bawah shower. Ia sama sekali tak berani berendam, bahkan di bak mandi.
Naruto
melihatnya. Ia memang awalnya tak suka dengan sikap egois si pria rambut raven
itu, tapi ia tetap memperdulikannya.
Bagaimanapun ia teman seperjalanannya juga? “Anda takut air?” tanyanya
hati-hati, takut menyinggung perasaan.
“I-i-iya.”
Katanya terbata-bata, menatap ngeri lautan nan delam. Hatinya mencelos.
Pikirannya galau. Haruskah ia menceburkan diri ke dalam sana? Bagaimana kalo
tubuhnya langsung tenggelam ke dasar lautan? Bagaimana kalo tubuhnya tak akan
pernah muncul ke permukaan? Da berjuta pertanyaan lain yang menghantuinya. Ia
merapatkan kelopak matanya erat. Ia tak sanggup membayangkan kengerian itu.
Nyalinya semakin menciut.
“Anda
takut air?” tanya Naruto mengulangi, khawatir pria lebih tua darinya itu tak
dengar.
“I-i-i-iya.
Ya, Aku takut sekali. Aku....” Ia mengambil nafas panjang, mengumpulkan
nyalinya yang melayang ke luar dari tubuhnya. “Aku sama sekali tak bisa
berenang. Tadi aku lompat dari pesawat karena refleks.” Lanjutnya masih pucat
pasi.
“Pantas.”Gumam
Naruto ngerti. “Tenang! Rilekskan badanmu. Semakin kaku, akan semakin membuatmu
ketakutan.” Kata Naruto menenangkan.
Fugaku
masih tak tenang. Tubuhnya bergerak-gerak tak tentu arah, membuat sampan itu
oleng sana-sini. Dan itu sukses membuat Fugaku ketakutan setengah mati.
“Tidakkk..tolong..tolonggg...” jeritnya histeris.
“Sudah
tenang. Anda duduk manis di atas rakit saja, nanti tambah repot.” Katanya
menginstruksikan. Ia kan pernah trauma juga, jadi ngertilah apa yang dirasakan
pria berambut raven ini.
“Ba-ba-baiklah.”
Kata Fugaku lirih. Ia mencoba menenangkan dirinya, mengalihkan pikirannya. Ia
mencoba menerapkan ajaran sang psikolog yang dikunjunginya dulu. Ia
membayangkan ia sedang duduk manis di kursi goyang. Ayunan ombak laut,
disamakan dengan ayunan kursi goyang. Cukup berhasil. Terbukti tubuhnya sudah
tak gemetaran lagi.
Kriukkk... Fugaku merona, malu. Traumanya berhasil
teratasi. Kini perutnya yang bunyi keras. Tapi apa boleh buat. Ia benar-benar
lapar. “Anda lapar?” dan dibalas anggukan kepala.
Naruto
memutar tas ranselnya dan membukanya sedikit. “Ini.” katanya mengulurkan roti,
masih dibungkus plastik. Fugaku menerimanya dengan senang hati.
“Terima
kasih.”
“Sama-sama.”
Mereka
kembali larut dalam keheningan. Hanya suara kecipak air laut, hasil tendangan
kaki Naruto. Fugaku yang sudah pulih tenaganya ikut membantu mengayuh dayung
dengan serpihan badan pesawat yang dipegangnya. Kalo ini ia bisa. Asal jangan
suruh nyemplung ke laut aja.
Menjelang
malam, barulah si Hyuga itu bangun. Ia nyaris saja terjatuh ke dalam air, kalo
saja Naruto tak memeganginya. Ia juga kaget sama seperti Fugaku saat menyadari
dimana tempat ia terbangun. Ia juga sama kelaparannya dengan Fugaku dan
lagi-lagi diberi Naruto sebungkus roti.
Naruto
menengadahkan kepalanya ke atas, memandang langit berbintang. Telinganya
menangkap suara malam dari ikan yang berkecipak di sekitar tubuhnya. Kakinya
tak lagi menendang, karena lelah.
“Terima
kasih sudah menolongku.” Kata Hiashi.
“Sama-sama.
Anda bisa berenang?” tanya Naruto sopan.
“Tidak
juga. Aku pake pelampung, makanya tak tenggelam ke dasar air laut.”
“Oooo...”
kata Naruto dan Fugaku kompak.
Mereka
berbincang santai di tengah temaram malam, ditemani bintang-bintang di langit.
Mereka menanyakan nama masing-masing dan kegiatan sehari-hari. Brrr... Tubuh
Naruto mulai kedinginan. Bajunya masih basah kuyub karena terus-menerus
terendam air.
Tiba-tiba
saja, ia merasa mengantuk. Ia pun menelungkupkan kepalanya di rakit. Tak berapa
lama kemudian ia pun pulas. Fugaku menjaga tubuh gadis itu agar tak merosot ke
dalam laut.
“Untung
ada dia, ya. Jadi kita bisa selamat.”
“Ya.
Dia memang gadis yang baik hati.” kata Fugaku singkat. “Kalo tak ada dia, entah
bagaimana nasib kita.” Katanya mendesah lelah, menengadah menatap langit malam
nan kelam. Kejadian tadi pagi, memang sangat horor. Ia saja masih sulit
mempercayainya, sampai sekarang.
“HP-mu
masih hidup?” tanya Hiashi membuyarkan lamunan Fugaku.
“Mati.
Kau?”
“Sama.
Hahhh... kita hanya bisa berharap kapal lewat.” Desahnya, menikmati suara alam.
“Kau tahu, kira-kira kita berada dimana?” tanya Hiashi lagi memecah keheningan.
“Ya.
Kalo tak salah dengar,
pramugari itu sempat bergumam kita tepat berada di tengah lautan, Laut Cina
Selatan.”
“Apa
yang akan kita lakukan sekarang?” desah Hiashi.
“Bertahan
hidup, dan mencari pertolongan kalo ada kesempatan.” Kata Fugaku datar. Ya,
hanya itu yang bisa mereka lakukan saat ini. Apalagi? Ini di tengah lautan
bung. “Kau tahu apa yang ku pikirkan saat ini?”
“Tak.
Memang aku ini paranormal.”
“Menebak
saja bisa, kan?”
“Jadi?
Apa yang kau pikirkan?”
“Jika
berhasil selamat, aku akan belajar renang.” Gumam Fugaku berandai-andai.
“Aku
juga.” Kata Hiashi menyetujui. Pikiran itu mengalihkan pikiran-pikiran
negatifnya. Memberinya suntikan asa di tengah keputus asaan yang menghimpit.
Bayangan putra-putrinya di rumah, membuat sangat rindu. Ia bertekat untuk
selamat.
Fugaku
pun demikian. Ia membayangkan rumahnya yang hangat. Mikoto, sang istri nan
cantik jelita dalam hayalann, menyambutnya dengan senyuman ramah, seusai lelah
bekerja. Ia kini juga merindukan dengusan tak sopan putra bungsunya, dan
tatapan dingin bin sengak sang putra sulung. Hal kecil memang, tapi memberinya
asa untuk terus bertahan.
Hari ketujuh
Sudah
beberapa hari ini mereka mengarungi lautan nan biru. Siang berganti malam dan
begitu seterusnya, tapi pantai masih sangat jauh dari pandangan. Mereka
bertahan hidup dengan memanfaatkan yang ada.
Soal
makanan serahkan pada Hiashi. Hiashi-san lumayan ahli menangkap ikan untuk
makan mereka bersama. Ikannya dimakan mentah-mentah. Tak mungkin kan mereka
memasaknya? Memangnya di tengah lautan
ada kompor? Hiashi dan Fugaku yang terbiasa makan sushi tak terlalu kesulitan
makan ikan mentah. Lain halnya dengan Naruto.
Gadis
itu nyaris tak tahan bau anyir dari daging. Perutnya rasanya mual, protes. Tapi
daripada mati kelaparan. Ia pun terpaksa makan mentah-mentah. Ia menutup
hidungnya agar tak perlu mencium baunya yang amis. Ia pun tak mengunyah sampai
lembut, tapi langsung menelannya. Ia tak ingin muntah karena merasakan sesuatu
yang tak sesuai seleranya.
Mereka
minum air dari tutup botol, beberapa teguk bergantian. Mereka berharap sampai
di pantai atau pertolongan itu datang sebelum air dalam botol habis. Kalo tak,
sia-sialah perjuangan mereka untuk terus hidup. Tak ada manusia yang bisa
bertahan tanpa air minum berhari-hari.
Mereka
saling bergantian berjaga, mengatur jadwal istirahat mereka. Di sela-sela itu
Fugaku dan Hiashi belajar renang sedikit-sedikit. “Yak, tarik.. tendang.
Tarik... tendang. Seperti itu terus. Baguss...” kata Naruto memberi aba-aba
pada Fugaku yang sekarang belajar renang.
Ada
yang tanya kenapa Fugaku berani nyebur ke laut? Memang ia sudah tak trauma?
Traumanya masih ada, tapi sedikit berkurang. Ini semua berkat bantuan jaket
pelampung. Dengan jaket pelampung, ketakutan akan tenggelam sedikit berkurang.
Makanya ia berani terjun.
Kedua,
karena di sampingnya ada Naruto. Meski tak mengenalnya lama, ia yakin gadis itu
tak akan melepaskan tangannya darinya. Makanya ia merasa aman dan terlindungi.
Ia
memberanikan diri, minta diajari berenang. Dan kini, ia sedang berusaha keras
menggerakkan kakinya, bergerak ke depan. Ditendang-tendangnya kuat-kuat air
laut, memberinya dorongan untuk bergerak. Ia memang berhasil meluncur ke depan,
tapi... Capek gila...
Peluhnya
bercucuran. Hiashi menatap geli sang sahabat. Ia baru istirahat setelah belajar
renang dan mencari ikan. Ikan tangkapannya ia taruh di papan. Kakinya
diselonjorkan. Payung ia kembangkan, menggantikan tugas atap rumah, untuk
melindunginya dari sengatan matahari.
Fugaku
akhirnya istirahat, setelah nafasnya tersengal-sengal. Naruto menghampiri
Fugaku yang kelelahan. Ia menarik Fugaku, mendekati sampan mereka. Fugaku dan
Hiashi bertukar posisi. Fugaku di atas sampan, Hiashi di atas koper, sedangkan
Naruto kembali menjadikan payungnya sebagai pelampung.
Ia
memang lebih sering terendam air laut daripada kering di atas papan. Mental
gadis ini kuat banget. Ia mampu bertahan begitu lama dari dingin laut nan
menggigit. Naruto yang merasa lelah, melipat payungnya lagi, dan memasukkannya
ke dalam tas. Ia menelungkupkan kepalanya di atas sampan. Ia pun tertidur.
Saat
Naruto tertidur, Fugaku dan Hiashi menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang.
Mereka terlibat percakapan sengit. Pembicaraan mereka terhenti, karena mereka
merasakan laut bergelombang kuat.
Refleks
Fugaku, mencengkram tubuh Naruto, membuat gadis itu terbangun. Ia takut terjadi
sesuatu yang buruk. Angin bertiup kencang, menerpa tubuh mereka, mempermainkan
kain kerudung Naruto.
“Sepertinya
bakal ada badai. Lekas, ikat tubuh kalian pakai tali ini!” kata Naruto sambil
mengulurkan tali.
“Untuk
apa?” tanya Fugaku keras, diantara suara tiupan angin.
“Agar
kita tak terpisah.” Balas Naruto tak kalah kerasnya.
Mereka
mematuhi perintah Naruto, bersiap menghadapi yang terburuk. Naruto melipat
payungnya yang telah berjasa besar padanya dan meletakkannya kembali ke dalam
tas ransel.
“Pegangan
yang kuat pada papan! Telungkupkan tubuh kalian di atas papan!” perintahnya
pada kedua pria yang ditolongnya. Ia menarik parasut yang tadi dipake Hiashi.
Ia menyelubungi tubuh mereka pakai parasut, sehingga kini praktis mereka tak
bisa melihat keluar.
“Kenapa?”
tanya Hiashi heran.
Gratakkk
gratakkkk... Suara air dari langit tercurah dengan derasnya, bagai ribuan jarum
diatas mereka. Mereka cukup beruntung. Ada parasut anti air yang melindungi
mereka dari guyuran hujan. Suara desingan air diiringi suara petir menggelegar
kuat, memekakkan telinga. Jglerrrr suara
petir menyambar dekat mereka.
“Gyaaa...”
Mereka menjerit kuat, karena kaget. Mereka takut dan ngeri petir itu menyambar
tubuh mereka. Hujan turun semakin deras. Air laut semakin bergelombang kuat,
memukul-mukul tubuh ringkih mereka, berusaha memisahkan mereka.
Mereka
terus bertahan, mengeratkan pegangan satu sama lain. Grrrr.... suara gigi
bergemeletuk diantara ketiganya terdengar silih berganti. Tangan mereka mungkin
sudah pucat pasi dan kebas. Tapi mereka tetap bertahan.
Naruto
merasakan getaran di tubuh bagian bawahnya. Matanya terkesiap. ‘Jangan-jangan
mau ada gelombang ombak besar, menerpa kami.’ Pikirnya tak karuan. “Cepat tarik
parasutnya. Pegangi kuat-kuat!” katanya yang langsung dilakukan FugaHiashi,
tanpa banyak tanya. Mereka mempercayakan keselamatan mereka pada gadis itu.
Tepat
setelah mereka memegangi parasut kuat-kuat, gelombang ombak besar, tanpa ampun
menghantam mereka. Gelombang itu menarik tubuh mereka, masuk ke dalam air laut
nan dalam dan dingin. Fugaku pun
panik, gelagapan saat air memasuki mulut dan hidungnya. Tubuhnya bergerak liar.
“Tenang.
Jangan dilawan. Tahan napas saja.” Seru Naruto, diantara air laut yang mau
masuk ke mulutnya. Ia memejamkan matanya, tak kuat menahan rasa perih. “Semakin
dilawan, semakin bahaya. Ikuti saja arusnya!” lanjutnya.
Fugaku
tak lagi panik dan kembali di posisi semula, terlentang di atas papan. Ia
mempercayai perkataan Naruto. Hiashi memang tak mengucapkan sepatah kata pun, tapi bukan berarti ia
lebih berani. Ia juga jeri. Saking ngerinya sampai kehilangan kata-kata.
Tubuh
mereka kembali terangkat ke atas permukaan, bergulung-gulung mengikuti gulungan
ombak lautan. Tubuh
mereka diombang-ambing ombak. Mereka memasrahkan diri kemana ombak itu membawa.
Mereka positif thinking saja. Tapi tubuh mereka semakin lama semakin lemah.
Mereka rasanya tak sanggup menahan gempuran air gelombang laut beserta air
hujan. Belum lagi badai yang menerpa yang ingin menerbangkan mereka? Sungguh
rasanya mereka ingin menyerah saja pada alam, menentukan nasib mereka.
Dingin
yang menusuk hingga ke sendi-sendi tulang, membuat pegangan mereka melemah.
Brrr... Tubuh-tubuh mereka bergemeletuk, kedinginan seiring panas tubuh yang
menghilang dari dalam tubuh mereka. Tangan mereka kini sudah mati rasa.. Dan
mereka akhirnya bertumbangan satu per satu.
Pertama
Fugaku yang tumbang, disusul Hiashi. Keduanya bukanlah tipe orang yang sudah
ditempa oleh hujan, angin, dan badai. Mereka tak kuasa menahan dingin yang
bekerja sama dengan angin, laut dan hujan, membekukan tiap sendi tulang mereka.
Hanya
Naruto yang sudah terbiasa dengan semua itu yang mampu bertahan. Ini kan
pengalaman keduanya. Kalo dulu bersama Sakura. Sekarang bersama dua orang warga
Jepang yang baru dikenalnya.
Ia
berusaha membuatnya tetap terjaga, menjaga dua tubuh teman seperjalanannya yang
sudah tumbang duluan. Badai ini berlangsung hampir seperti berjam-jam. Begitu
berat hingga Naruto pun sudah nyaris lemas. Ia kini tak lagi bisa merasakan
denyut nadi dan otot di tangannya.
Naruto
yang kedinginan, akhirnya tak kuasa. Ia pun ambruk di atas papan. Tubuh mereka kini
terombang-ambing, terbanting-banting di tengah lautan, dipermainkan gelombang
laut.
Hari kedelapan
Fugaku
yang bangun paling awal. Ia merasakan hangat mentari dan suara burung di atas
langit. ‘Mungkin badainya sudah berlalu.’ Pikirnya. Ia merasakan tubuhnya
berat. Mungkin di atasnya ada air hujan yang tergenang. ‘Eh, air hujan?’
pikirnya cepat.
Dengan
hati-hati, ia membalikkan parasutnya. Tangannya menceduk-ceduk genangan air.
Rasa segar nan dingin mengecap lidahnya. ‘Hmm, ini pasti air hujan semalam.’
Pikirnya. Ia segera mengambil plastik, bungkus roti yang ia jejalkan di saku.
Ia dengan sigap menampung semuanya.
Fugaku
masih asyik mengumpulkan air, ketika Hiashi sadar. Ia bergerak-gerak hendak
menarik parasutnya dari atas tubuhnya, tapi dilarang Fugaku. “Jangan gerak
dulu. Aku belum selesai.”
“Belum
selesai apa?”
“Ngumpulin
air hujan, untuk persediaan air minum.”
“Oooh.”
Hiashi
baru bangun setelah merasakan tangan-tangan Fugaku tak bergerak-gerak lagi di
atas parasutnya. “Sudah kan?” tanyanya minta kepastian.
“Sudah.”
Hiashi
menegakkan tubuhnya. Rasanya tubuhnya pegal semua. Ia gerak-gerakkan kecil. Ia
tak takut, meski tak terbaring di atas papan, karena ia masih mengenakan jaket
pelampung. Ia tarik parasutnya kuat. Ia lihat Naruto masih tidur menelungkup.
Bibirnya tersenyum ramah.
Tangannya
terjulur, menyentuh dahi Naruto. “Eh, panas?” gumamnya. “Dia demam.” Kata
Hiashi memberi tahu Fugaku.
Mereka
berdua saling pandang, menatap tubuh lemah si gadis. “A-a-aku pinjam jaket
pelampungmu ya? Bi-bi-biar ia terbaring di atas sampan. Kasihan dia. Dari
kemarin ia kedinginan.” Kata Fugaku
takut-takut. Trauma itu kembali menerjangnya.
Ia
geleng-gelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran yang menyusup kembali ke
otaknya. Ini bukan saatnya untuk itu. Ia harus menolong gadis itu. Dia sudah
terlalu banyak berkorban untuknya.
“Hn.”
Gumam Hiashi, memberikan jaketnya. Kini ia mengandalkan koper yang bisa
mengapung itu sebagai tali penyelamatnya. Fugaku dengan cepat mengenakan
jaketnya. Ia lalu nyemplung ke dalam air.
“Uwaa...”
jeritnya kecil, tiap kali ia nyebur ke dalam air. Meski yakin tak akan
tenggelam, tetap saja ia jeri tiap kali nyebur. Ia lalu dengan hati-hati,
menaikan tubuh Naruto ke atas sampan. Jaket gadis itu yang sudah basah kuyub
mereka lepas.
Untung
saat ini matahari sudah terbit. Jadi gadis itu menerima pancaran hangat dari
sang surya. Bibirnya yang biru pucat, kini menghangat. Hiashi berpegangan pada
pinggiran papan, mengompres Naruto.
Pada
hari itu, seharian mereka diam. Fugaku tak begitu becus menangkap ikan. Hanya
ada ikan kecil-kecil sebagai pengganjal perut. Untung gadis itu masih memiliki
beberapa keping biskuit. Jadi Naruto tak perlu tersiksa makan ikan mentah di
saat sedang sakit.
Matahari
bergerak tinggi. Fugaku memayungi Naruto. Mereka cukup berlindung dari sengatan
matahari dengan menyelimuti diri pake parasut. Demam Naruto belum juga
berangsur turun. Malah, ia semakin menggigil kedinginan. Batin mereka mencelos.
‘Seandainya
di dekat mereka ada obat penurun panas.’ Batin keduanya, mencelos. Mereka
khawatir, sakit Naruto memburuk dan gadis baik itu akhirnya tumbang di lautan.
Mereka pasti akan kebingungan. Selama ini mereka bertahan karena Naruto. Kalo
ia tak ada, bagaimana dengan nasib mereka?
Hari ke sepuluh
Hiashi
dan Fugaku bergiliran merawat Naruto yang masih demam. Demamnya sering naik
turun, dan tubuh Naruto semakin lemah. Itu membuat mereka cemas. Lagi-lagi
mereka berfikir ‘Seandainya di sini ada apotek.’
“Hei.
Menurutmu apa isi koper ini?” tanya Fugaku iseng.
“Entah.”
Jawab Hiashi acuh tak acuh.
“Kita
buka, yuk?”
“Terserah.”
Fugaku
pun membuka koper itu. kebetulan, kuncinya masih terpasang di koper. Ia
membukanya hati-hati agar, air laut tak masuk ke dalam dan mereka mati konyol.
Terutama Hiashi. Ingat ia belum mahir berenang.
Ternyata
isinya baju, selimut, beberapa makanan yang disambut senyuman lebar Fugaku. Eh,
ada juga bungkusan kecil. Fugaku membuka bungkusan itu. Ternyata itu adalah
obat ringan, salah satunya obat herbal penurun panas dan madu.
“Ada
obat. Kita minumkan pada Narutoo.” Kata Fugaku lega. Ada kemungkinan Naruto
bisa selamat. Ia menutup kembali kopernya. Hiashi meminuman obat itu pada
Naruto sesuai dosis.
Menjelang
malam, panas Naruto mulai turun. Ia berkeringat banyak, dan ini disyukuri
FugaHiashi. Naruto memang masih lemah, tapi ia sudah sadar dan tersenyum untuk
mereka. FugaHiashi kini bisa tersenyum lega. Penyelamat mereka berhasil
bertahan.
Hari ke dua belas
Kesehatan
Naruto berangsur-angsur membaik. Kini tenaganya sudah pulih, tak lagi hanya
bisa tergolek tak berdaya di atas sampan. Obat itu telah bekerja dengan baik,
seperti yang tertera dalam kemasan.
“Apa
itu?” tanya Naruto pada bungkusan yang lupa dikembalikan Fugaku.
“Entah.”
Kata Fugaku mengedikkan bahunya. Ia membuka bungkusan itu. Ternyata isinya satu
set pisau berbagai ukuran. “Bagus juga
ini. Jadi kita bisa menyayat ikan tangkapan kita lebih baik.” Gumamnya, entah
senang entah tidak.
Hari
berganti malam. Kini kegelapan merayap, menyelubungi mereka dengan hanya cahaya
kerlip bintang. Naruto merasakan gerakan di lautan. Ia juga entah kenapa
merasakan beberapa pasang mata sedang mengintainya.
Pikirannya
langsung melayang pada makhluk berwarna kelabu, bergigi runcing dan terkenal
ganas di lautan. Siapa lagi kalo bukan hiu. Ya, kini ia berfikir binatang itu.
Mungkin saja hiu-hiu itu berkeliaran di sekitar mereka, mengintai dari luat nan
dalam, dan lalu bersiap menyerang.
Naruto
memberi isyarat agar mereka naik ke atas sampan. Semua duduk berhimpitan. Agar
sampan itu tak oleng, Naruto sudah memberi barier pelampung dari koper dan
payungnya yang masih mengembang. Mereka kembali saling mengikatkan tubuh
mereka.
Naruto
memberi mereka masing-masing pisau untuk berjaga-jaga. Mereka membungkukkan
tubuh mereka serendah mungkin, dan menyelubungi tubuh dengan parasut basah
kuyub. Ini untuk membuat suhu tubuh mereka berkurang. Kalo tak salah, hewan
merasakan keberadaan mangsa dari suhu tubuhnya.
“Diam
dan jangan bergerak, apapun yang terjadi. Tunggu aba-abaku!” Kata Naruto cukup
keras untuk didengar FugaHiashi. Keduanya mengangguk.
Naruto
dengan mata tajam, mengawasi gerakan air. Ia sabar menunggu dengan penuh
ketegangan, kemunculan si hiu ke permukaan untuk makan malam. Saat ini tubuhnya
memang masih lemah, dan nyalinya pun menciut. Tapi ia tak akan menyerah semudah
itu. Ia tak mau menampakkan rasa takutnya. Ia usir rasa takutnya dengan
membayangkan tawa Merry dan Sakura, sang sahabat.
Tak
berapa lama kemudian, muncul seekor ikan hiu mengelilingi sampan mereka. Rasa
takut menjalari ketiganya. Mereka bergidik ngeri dari balik parasut. Ketiga
berdoa, semoga ikan itu tak menyadari keberadaan mereka. Selama proses itu,
Naruto dkk, menahan nafas.
Ikan
itu berputar-putar di sekitar sampan, hilir mudik. Mulutnya menganga lebar,
mengendus-endus bau darah. Ketiganya tanpa sadar saling merapatkan diri. Pisau
tersedia di genggaman dalam posisi siaga.
Ikan
itu membuka mulutnya lebar-lebar dan menyerang mereka. Graokkk... Dia menggigit
tepat mengenai ikatan kopernya dengan sampan, hingga koper itu terlepas dari
ikatan, dan sampan itu bergerak liar. Mereka bekerja sama menyeimbangkan sampan
agar tak jatuh ke dalam laut. Mereka menahan jeritan ngeri, dengan menggigit
bibir hingga berdarah.
Ikan
itu bergerak lagi, menyerang ke depan. Naruto menggerakkan serpihan papan yang
diubahnya jadi dayung, membuat gerakan menjauhi si hiu, dibantu kedua rekannya.
Hiu yang merasa sasarannya gagal, semakin bringas. Ia menyerang membabi buta.
Aksi kejar-kejaran pun berlangsung cepat dan buas.
Peluh
menetes deras di sekujur tubuh Naruto dkk. Tenaga pun mulai tersedot habis.
Tapi mereka tak berani berhenti sejenak. Itu sama saja artinya mati. Mereka
terus bergerak menghindari setiap serangan hiu itu.
Tapi
rasa capek yang memuncak, membuat gerakan mereka semakin lamban. Hiu itu bahkan
nyaris sudah menyerempet papan itu hingga termakan di bagian ujung. Fugaku dan
Hiashi sudah sangat kepayahan. Kalo begini sih, tinggal waktunya mereka dicerai
beraikan lalu dimakan satu per satu.
‘Tidak
bisa begini terus. Aku harus berbuat sesuatu.’ Pikirnya.
Hiu
ganas itu lompat ke arah mereka. Naruto menangkat salah satu kaki kirinya ke
atas, tepat ke mulut si hiu. Akibatnya parah, hiu itu berhasil menggigit kaki
Naruto. “Waaa..” pekiknya tertahan. Rasa nyeri menyerang urat sarafnya. Darah
akibat luka di pembuluh arteri, membuat darah menetes.
Tapi
sebelum gigitannya di hiu semakin kuat dan memutus kakinya, Naruto segera
memberi ganjalan diantara dua mulut itu gagang dayung yang terbuat dari campuran aluminium
dan besi. Kini si hiu menganga lebar.
Naruto
memberi isyarat pada Fugaku dan Hiashi yang sembunyi untuk menyerang kedua mata
hiu itu, dari dua sisi berlawanan dengan pisau dalam genggaman mereka. Sedang
Naruto menancapkan pisau paling panjang, tepat mengenai pembuluh utamanya di
bagian kepala.
Crassss...
Darah dari si hiu pun muncrat deras, membasahi baju dan perairan. Naruto yang
takut hiu-hiu lainnya berdatangan karena adanya darah itu, segera menjauh. Ia
memilih berenang dengan menjadikan payung itu sebagai topangan tubuhnya. Hiashi
yang sudah lumayan lincah juga berenang dengan lincah di sisinya. Hanya Fugaku
yang masih sibuk mengayuh sampan sejauh mungkin.
Sepanjang
malam mereka terus bergerak maju ke depan. “fuh fuh hah hah.. byur byurr
byurr.. kecipak cipakkk cipakk...” Hanya ada suara deru nafas mereka dan air
yang tersibak, yang terdengar. Rasa lelah dan kantuk menghantui ketiganya.
Mereka tak berani berhenti, meski otot di sekujur tubuh mereka menjerit-jerit,
kelelahan dan lemas. Mereka memaksakan diri bergerak hingga sang mentari muncul
ke permukaan, menerangi dunia.
“Huf.”
Gumam mereka, sedikit lega. Kali ini mereka menghentikan gerak laju mereka.
Bukan karena sudah tak sanggup lagi maju ke depan, tapi karena sampan mereka
menabrak potongan badan pesawat yang lebih besar. Dan beberapa koper yang
terserak. Mereka berbinar lega.
“Selamat.”
kata mereka. Dengan hati-hati, Naruto dan Hiashi pindah ke potongan tubuh
pesawat yang satunya. Keduanya membaringkan tubuhnya di sana. Fugaku tetap
menempati sampan yang kini koyak di beberapa sisi, bekas gigitan.
Mereka
tak banyak mengeluh, meski kini kelelahan dan kekurangan pasokan makanan.
Gara-gara insiden ikan hiu itu, mereka kehilangan persediaan makanan. Koper
berisi makanan itu sudah jatuh ke dalam air.
Hiashi
mengobati luka di kaki Naruto. Ia membasuhnya dengan air laut. Konon air laut
bisa membersihkan luka dan membunuh kuman. Setelah itu ia memberikan obat
yodium. Beruntung obat-obatan itu tidak ditaruh di koper.
Fugaku
sibuk menjarah koper-koper yang sebagian isinya masih utuh. Ia mengambil apa
saja yang dibutuhkan seperti, persediaan
mie instan, roti, obat-obatan, atau pakaian kering. Ada juga sih
beberapa lembar uang, berisi beberapa kartu. Ia simpan, untuk diberikan pada
keluarga korban.
.........................................*****...........................................
Hari ke lima belas
Pada
hari ke lima belas, duo Fugaku dan Hiashi kini bergantian sakit. Agak aneh
juga. Naruto kan yang kena gigitan hiu, tapi malah mereka yang tumbang duluan.
Mungkin karena cuaca yang tak mendukung.
Beberapa
hari ini hujan turun, membuat tubuh mereka mengigil kedinginan. Parasut itu dan
beberapa lembar selimut kering, tak cukup mampu menahan laju dingin. Mereka pun
terserang demam tinggi. Tubuh mereka tergolek lemah, hingga hanya bisa
berbaring di atas sampan. Naruto dengan telaten merawat keduanya.
Ia
bersusah payah menangkap ikan untuk makan mereka bertiga hanya mengandalkan
peralatan sederhana. Ia memisahkan antara daging dan durinya. Ia bahkan rela
menahan rasa amis dan gejolak mual, hanya untuk melembutkan ikan-ikan itu. Tak
mungkin keduanya disuruh makan ikan mentah yang masih utuh? Emang bisa ngunyah?
Naruto
dengan lembut menyelimuti tubuh Fugaku yang menggigil kedinginan dengan selimut
dan jaketnya. Brrr.... Suara gigi gelemetuk dan desisan suara silih bergantian
dari dua orang itu. Hiashi masih tidur lelap setelah minum obat.
“Na...naruto.
ji-jika a-aku tak selamat. Tolong...” kata Fugaku yang masih sadar, tergagap.
“Sttt...
Jangan bicara seperti Fugaku-jisan.” Potong Naruto tak suka.
“Sungguh
Nar. Aku merasa tak sanggup lagi.”
“Paman
pasti bisa. Kita bertiga pasti selamat. Tolong jangan bicara yang tidak-tidak.”
Fugaku
menatap langit nan cerah. Pikirannya melayang kemana-mana. Di satu sisi ia
ingin selamat dan kembali ke rumah. Tapi mengingat kondisi rumahnya yang suram,
entah mengapa ia malah ingin seperti ini. Ia bahagia hidup hanya bertiga saja,
dalam kesederhanaan dan kekurangan.
“Aku...
aku tak ingin pulang.” Curcol Fugaku. Naruto tak menjawab. Mungkin diantara
tipisnya harapan untuk selamat, membuat Fugaku-ji san ingin mencurahkan isi
hatinya yang paling dalam.
“Rumah
tanggaku berantakan. Istriku tak pernah ada di rumah, sibuk ke salon, arisan,
dan acara ini itu. Gara-gara itu aku tak kuasa menahan asa. Aku menjalin affair
dengan sekertarisku yang tak lain teman baik istriku sendiri. Istriku memergoki
kami. Kini rumah tanggaku berantakan.” Katanya. Bibir gemetar, tak tahan
menceritakan kegagalannya dalam membangun rumah tangga.
“Anak-anakku
marah padaku. Mereka tak mau lagi mengenalku. Mereka tak menganggapku ada. Kini
aku tinggal seorang diri di rumah, tanpa anak dan istri. Aku.. tak tahan dengan
semua itu.” Ia menutup wajahnya dengan lengannya, agar air mata yang kini
bercucuran dari matanya tak terlihat.
“Aku
sayang pada mereka, dan aku sangat merindukan mereka.” Katanya penuh sorot
kerinduan terpancar di matanya. “Aku menyesal. Sangat menyesalinya. Aku ingin
bertemu mereka, Naruto. Sekali saja.” lanjutnya lelah.
“Karena
itu paman harus bertahan. Seburuk apapun kehidupan kita, selama masih ada
nafas, kita masih bisa memperbaikinya. Aku yakin paman pasti bisa menyelamatkan
keluarga paman.” Kata Naruto lembut.
Ia
tak menyalahkan Fugaku yang sudah selingkuh. Perselingkuhan itu terjadi bukan
karena kesalahan Fugaku semata, melainkan karena kesalahan dua pihak. Pertama
Fugaku yang tak bisa menahan diri dan ingin lari dari masalah. Kedua dari pihak
si istri yang tak perhatian pada suami. Dan ketiga, anak-anak yang bukannya
membantu menghangatkan rumah mereka, malah bersikap dingin.
Perselingkuhan
itu tak lebih dari puncak gunung es. Masalah utamanya terletak pada miss
komunikasi dan renggangnya keharmonisan dalam keluarga. Selama dua hal itu tak
diperbaiki, perselingkuhan akan tetap tumbuh subur. Entah dari pihak si suami,
maupun si istri.
Fugaku
tersenyum. Hatinya kini lebih plong. Sungguh bicara dengan gadis ini lebih baik
daripada para psikolog itu. Gadis ini bisa membuatnya tenang. Ia juga
memberinya harapan untuk lebih baik lagi.
Naruto
lagi-lagi merasakan gerakan gelombang air laut. “Hmm...” gumamnya,
memperhatikan seksama suara desisan angin bercampur suara riak air dan
samar-samar suara peluit. “Alhamdulillah, sepertinya ada kapal yang lewat. Kita
selamat.” kata Naruto senang.
Ia
membangunkan Hiashi yang masih lelap. Matanya menatap Naruto dan Fugaku sayu.
Ia masih demam tinggi, jadi kepalanya agak pening. Bibirnya tampak putih pucat,
dan pecah-pecah karena kurang cairan.
“Ada
kapal lewat. Kita selamat.” kata Naruto memberitahu. Senyum sumringah tercetak
di pipinya. Hiashi yang berhasil menangkap kata kapal dan selamat, turut
tersenyum. Ia bersyukur akhirnya mereka selamat juga.
Tuttttt
tuttttt tuttt.... suara peluit panjang kapal besar, terdengar kencang. Naruto
mengembangkan payungnya yang berwarna putih, memberi isyarat. Untunglah
nahkodanya menyadari keberadaan mereka. Mereka menurunkan sekoci untuk menaikan
Naruto dkk ke dalam kapal berbendera kebangsaan Jepang.
........................*****........................
Naruto
tersenyum sumringah. Besok ia sudah bisa masuk kampus untuk mengikuti ospek.
Pihak kampus, menolerir keterlambatannya. Yah mereka turut bersimpati dengan
musibah yang dialami Naruto. Sebuah keajaiban jika Naruto bisa selamat dari
kecelakaan maut itu.
Yup
Naruto satu dari tiga penumpang yang berhasil selamat. Sisanya ditemukan dalam
wujud jenasah. Itu pun tak semua jenasah bisa ditemukan, hanya seperempatnya
saja termasuk dua pasangan suami istri dan balitanya, yang duduk di sebelah
Naruto.
Berkat
itu, mendadak Naruto jadi terkenal. Banyak yang ingin mewancarainya, baik dari
wartawan Indonesia maupun wartawan asing. Mereka bahkan sudah bersiap membeli
pengalaman Naruto bertahan hidup dari kecelakaan maut itu, dengan harga
fantastis.
Tapi
semua itu Naruto tolak. Ia risih dan merasa ketakutan dengan sorotan kamera
yang asing dari hidupnya. Cukup sekali namanya masuk dalam koran, yakni waktu
ia selamat dari kecelakaan di laut Pantai Selatan. Dan itu sudah cukup
membuatnya kapok.
Untunglah
ada Hiashi dan Fugaku yang sepertinya orang penting di Jepang. Naruto berhasil
lolos dari kamera-kamera yang ingin tahu peristiwa itu. Mereka menyadari betapa
takutnya Naruto dengan sorot kamera dan berondongan pertanyaan yang tiada henti
hingga sulit menjawabnya. Mereka hanya menulis inisial Naruto saja.
Ia
ditemani pengacara yang dua orang itu sewa untuk menjawab investigasi petugas
yang menyelidiki penyebab insiden kecelakaan itu. Kenapa harus pengacara?
Karena ia terlalu gugup dan takut untuk menjawabnya. Jiwanya sempat terguncang
dengan peristiwa traumatik itu.
Merry,
sepupunya menjerit meraung-raung waktu diberi tahu ia berhasil selamat. ia
menangis histeris, tak jelas. Katanya Naruto itu memang paling ahli dalam
membuat jantungnya deg-degan. Untung ia tak punya penyakit jantung. Tapi ia
turut bahagia, saudara satu-satunya itu berhasil selamat.
END
Akhirnya
kelar juga. Ai ngebut bikinnya lho. Penginnya kemarin publishnya. Tapi ya
sutralah, kalo baru sekarang bisanya. Untuk fic-fic lainnya maaf ya belum bisa
update. Udah Ai ketik kok, tapi wordnya masih kurang. Jadi ntar aja deh.
Terakhir RnR please.
Owari
“Pesawat
Air Asia tujuan Indonesia-Jepang dikabarkan hilang dari radar, dini hari. Kini
pihak otoritas sedang melakukan penyelidikan kemana pesawat itu hilang....”
kata pembaca berita di TV.
Merry
teriak histeris “Tidakkk....!” jeritnya. Ia sampai menjatuhkan piring yang
sedang dipegangnya. Air mata jatuh bercucuran.
“Ada
apa, Ma?” tanya suaminya perhatian. Di belakang mereka ada dua jagoan kecil
Merry.
“Pa,
Naruto, Pa. Naruto...hik hik hiks...”
“Iya,
Naruto kenapa?”
“Pesawat
yang ditumpanginya hilang.” Air matanya semakin tumpah dalam pelukan sang
suami. Ia menunjuk berita di TV yang kini sedang membicarakan berita kecelakaan
naas itu.
Hari ketiga
“Pihak
Basarnas bekerja sama dengan pemerintah Jepang, China, dan Filiphina telah
membantu melakukan pencarian ke seluruh laut Cina selatan. Mereka akhirnya
menemukan serpihan pesawat. Jadi kemungkinan pesawat Air Asia jatuh ke dalam
laut.” Kata pembaca berita di RCTI.
“Hik..
hik .. Hik.. Naruto..” isak tangis Merry sampai parau. Kini ia sedang ditemani
keluarga besar suaminya dan teman-temannya. Mereka turut prihatin dengan berita
buruk ini.
“Sabar,
Merr. Ikhlas dan pasrahkan semuanya pada Allah.” Kata sang ibu mertua
menasehati.
Hari kelima
“Basarnas
akhirnya berhasil menemukan tiga jenasah. Satu laki-laki, satu balita, dan satu
perempuan dewasa. Mungkin mereka keluarga. Saat ini jenasah sedang dibawa ke
rumah sakit polri.”
“Hik
hik hiik....” Isak tangis Merry kini lirih. Suaranya sudah sengau karena
beberapa hari ini ia tak berhenti menangis. Harapannya sudah menipis. Kini ia
hanya bisa duduk manis, mendengarkan lantunan surat yasin di ruang tamu.
Hari ke sepuluh
“Jumlah
jenasah yang berhasil ditemukan ada 35 dari 146 orang termasuk kru pesawat.
Para ahli menduga banyak jenasah yang jadi santapan hiu. Di lautan itu memang
banyak hiu hidup.”
“Ikhlaskan
saja, dik.” Nasehat suami Merry yang dibalas senyum kaku darinya.
Hari ke tujuh belas
“Tiga
orang dari 146 penumpang Air Asia yang jatuh ke laut Cina Selatan, ditemukan
selamat. Satu diantaranya berkewarganegaraan Indonesia, bernama Naruto. Saat
ini ia sedang dirawat bersama korban selamat lainnya di Rumah sakit Tokyo.”
“Syukurlah.
Dia selamat.” gumam Merry lega. Ini senyum pertamanya. Matanya kini dihiasi
binar kehidupan. Wajahnya tak lagi pucat dan sendu karena kebanyakan menangais.
Sang suami dengan setia memeluk istrinya, berbagi kebahagiaan.
“Yah
orang baik itu selalu dilindungi Allah. Apapun yang terjadi pasti Allah akan
memberikan yang terbaik untuk hamba kesayangannya.” Kata sang suami bijak.
Hari ke dua puluh
Naruto
sudah pulih. Ia tak banyak bicara. Merry ingin meneleponnya, tapi masalahnya
Naruto tak punya HP. Semua sudah tenggelam atau rusak karena terendam air laut.
Surat-surat penting untuk pendaftaran kuliah pun basah kuyub. Untuk pihak
kampus memberinya toleransi. Jadi ia masih bisa masuk kuliah.
Melalui
TV, Naruto memberikan kabar untuk saudara satu-satunya di Indonesia.
“Assalammua’alaikum. Hai, Mer. Aku di sini baik-baik saja. Aku selamat. Maaf
sudah membuatmu cemas. Ku harap kau belum membuatkanku lubang makam...” katanya
dengan nada geli, bergurau untuk menurunkan rasa tegangnya. Air mata menetes,
mengalir di pipinya. Ia masih sulit percaya bisa selamat dari musibah maut itu.
Merry
yang mendengar pesannya, mendengus sebal. Bisa-bisanya dia masih bercanda di
saat genting seperti ini. Tak tahukah dia, betapa cemasnya dia. Mungkin Naruto
sudah tahu, karena itu ia mengajak Merry bercanda lewat tv.
End Owari